Dahulu kata KakekQ, yang seorang Imam Pertama Di lereng gunung Alila-Topbang itu berpesan pada ayahku, "Nak, saya ini tidur beralaskan tangan. namun, jika Engkau (Belajar) sekolah. Paling tidak, engkau Minimal akan tidur beralaskan bantal".
Kakek saya adalah satu diantara banyak orang seusianya yang tau membaca dan menulis, serta sangat rajin membaca. Pasca beliau wafat, alamanak buku-bukunya yang selalu di kirimkan ayahku dari Makassar, habis di ambil kemanakan dan cucu-cunya yang menyambangi Mukimnya. Juga, banyak sekali isi surat menyuratnya dengan ayahku, yang di simpan rapi oleh ayah saya dirumah.
Dulu, setelah lulus SR (Sekolah Rakyat), ia sempat di tawari menjadi Guru di salah satu Daerah di Alor, yang sangat jauh. Hanya saja, tawarkan tersebut, punya konsekuensi yang menabrak prinsipnya, apalagi ia adalah seorang Imam Tua pertama di kampung. sehingga ia menenggelamkan tawaran tersebut di kedalam realitas.
Itulah juga barangkali, satu sebabnya, saya sangat susah diajak kompromi dengan hal yang menabrak idealisme dan prinsip yang telah lama saya bangun.
Iya, beliau adalah Imam Kampung pertama di lereng Alila-Topbang.
Dalam penuturan bapak saya, dengan langkah getar-gemetar tangannya. Ia Tetap menanam bibit kenari dan pinang yang butuh bertahun-tahun berbuah. Bukan " untuk saya", katanya. tapi untuk cucu dan cicitnya kelak.
Uang dari hasil ayaman bambu, yang harus di pikul turun naik gunung, yang tidak seberapa, di pakai untuk menyekolahkan ayah saya. Sedangkan hasil-hasil kebun lainnya, di gunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Beberapa adik, ayah saya terpaksa putus sekolah. Apalagi di tengah lingkungan kampung dan alor secara umum masih sangat patriarki, sehingga prioritas untuk di sekolahkan adalah anak lelaki. Hanya dua adik bapak saya yang berhasil mengeyam pendidikan menengah atas, karena di boyong ke makassar tahun 1990-an, setelah ayah kembali ke Alor untuk mempersunting Ibu Saya.
Ayah saya menginjakkan kaki di Tanah daeng, sekitar tahun 1970-an, setelah lulus SMA di Kupang. Jadi tidak perlu di ragukan soal asam garam, terik dan hujan badai kehidupan padanya, sebab ia telah melakoninya.
Saya hendak meng-underline, bahwa Ayah saya benar-benar menjalankan amanah Ayahnya dulu, sebelum keluar rumah menuju Ujung Pandang ; Jika engkau sekolah (Belajar), maka engkau akan tidur beralaskan bantal. Tidak seperti ayahmu yang tidur beralaskan tangan".
Iya, ayah saya memang tidak, bisa melanjutkan sekolah sampai ke jenjang perguruan tinggi. Tapi, buah tangannya, banyak sekali menghasilkan sarjana.
Sekitar 16 anak, kemanakan dan cucu yang berhasil menjadi sarjana (S1), yang tinggal di rumah. sudah termasuk dengan saya, Insya Allah dalam waktu dekat akan melanjutkan study. Jumlah Itu belum di tambah dengan yang tinggal dengan ayah saya sewaktu masih muda. Dan sekitar 8 orang lagi yang sedang mengeyam Kuliah, termasuk adik kandung saya, yang mengambil jurusan Filsafat Islam. Panjang kalau mengulasnya. Yang pastinya, ayah saya benar-benar amanah menjalankan Visi Kakek saya.
Berkenaan dengan itu saya teringat dengan, Raja Louis XIV yang ingin membangun istana Versailles. Istana yang dalam sejarah, di kenal dengan "Istana yang paling megah dan glamor di dunia". Ketika beliau mengutarakan niatnya ini, banyak yang berusaha menghambat karena alasan durasi waktu yang sangat lama untuk membangun istana yang semegah itu.
apa kata, Raja Louis XIV ; "saya membangun istana ini, bukan untuk saya. Tapi untuk kejayaan prancis". Bukan hanya Kini saja. tapi, untuk masa depan. Bukan hanya kita atau kami saja, tapi untuk anak, cucu dan cicit. Itulah generasi.
Bulir kerinduan yang masuk menembus Dan menyatu bersama aliran darah, memompa jantung dan mendidihkan kepala yang bekerja lebih extra dari biasanya.
Seberapa majukah derap langkah peradaban Negeri Seribu Moko?.
Satu hal yang perlu kita ketengahkan, bahwa peradaban tidak di ukur dari Seberapa banyak Tanah, Hutan dan laut yang di konversi menjadi gedung-gedung pencoret langit dengan tinta air mata.
Peradaban tidak diukur dari seberapa massif produksi kendaraan perhari. peradaban tidak diukur dengan seberapa canggih Gedget-Gedget terbaru dan Peradaban tidak di ukur dari seberapa intens kita menggunakan Jejeraing sosial. tidak, Itu bukan Hipotesa peradaban.
Kunci suatu peradaban, terletak pada SDM (Sumber daya manusia). apalah arti gedung-gedung Tinggi, jika bersamaan ada derai mata yang tumpah karena tanah, Hutan dan lautnya dirampas. apalah arti produksi kendaraan, jika memarjinalisasi pejalan kaki. apalah arti gedget-gedget tercanggih, jika nurani semakin bau dan bernanah. apalah arti jejaring sosial, jika kita semakin Individualistik.
Harus di akui Bahwa saya Tidak di lahirkan dan di besarkan di atas Tanah Leluhurku, apatah lagi Di tempa dan didik dengan lingkungan, adat, Budaya dan Norma Negeri Seribu Moko. tapi, satu hal yang perlu ku kabarkan pada Kalian ialah, KecintaanKu pada tanah leluhurku bisa saja Melebihi kecintaan kalian pada Alor.
Tetap begitu Alorku, agar rindu ini tetap terawat. Sekali ternoda, kita butuh ratusan, bahkan Jutaan detik untuk mengembalikanmu.
Rindu ini, kerap datang dengan bahasa kencenderungan yang jarang di pahami orang. Rindu ini sepertimu, yang penuh misteri. Ia keras kepala dan tidak bisa diajak kompromi.
#Nalar pinggiran

