Jika kita menyebut bulan Ramadhan adalah Suci. Maka, saya tidak berani menyebut bulan selain Ramadhan adalah tidak suci. Daripada kita berdebat, bahwa Bulan Rajab tidak suci, Sya'ban tidak suci, Muharram tidak suci?. Lebih baik, kita cari pemaknaan yang lebih dalam dan lebih substansial, perihal suci dan tidak suci.
Suci dan tidak suci itu bukan sesuatu yang mewaktu dan meruang. Suci dan tidak suci itu urusan pelakunya - manusianya. begitu manusia meramadhankan dirinya, dia memasuki kesucian dirinya (Fitrah).
Maka, Bersyukurlah kita, sebab Allah memberikan bulan Ramadhan sebagai bulan untuk mengingatkan kita. Kenapa di ingatkan?. Karena Menurut Allah, kita telah terbukti Kerap tidak menggunakan akal untuk berpikir, abai untuk merenung. Malas menganalisa segala sesuatu, termasuk kalah dalam mentafakkuri diri sendiri. Sehingga kalau tidak di ingatkan, maka kita menjadi lupa, bahwa pada dasarnya kita (Manusia) adalah makhluk yang Orisinil, Asli dan Suci tanpa bercak. Makanya, Ramadhan harus kita pahami sebagai jam-jam pelatihan atau trainning, jam-jam pendidikan. Sedangkan Puasa adalah Aktivitas yang sejatinya berlasung secara terus menerus sepanjang Hidup.
Mengapa demikian?. Karena puasa adalah kita berhak melakukan sesuatu tetapi kita tidak melakukannya. Pada batas waktu tertentu, kita berhak makan dan minum. Tetapi, kita bersepakat dengan Allah untuk tidak makan dan minum, dari sejak fajar menyingsing sampai sore atau matahari terbenam.
Soal lain misalnya, kita kerap kali memahami bahwa kalau bulan ramadhan setan di belenggu. Hal itu tidak salah, hanya saja. Tidak bisa berhenti di situ pemahaman kita. Jika Kita belajar, ilmu kita mesti berkembang. Sehingga ada bahasa yang berkembang: Ada retorika, ada Usluk dalam bahasa arab. Ada Subsastra dalam bahasa indonesia. Bahasa bukan hanya grammer. Literatur juga adalah bahasa.
Mestinya kita mentadabburi lebih jauh, soal Setan Di belenggu Pada Bulan Ramadhan. Secara Substansial, Pemaknaan setan di belenggu hanya bisa dilakukan dengan metodelogi puasa atau cara membelenggu setan dengan Menahan diri. Siapa yang membelenggu setan?. Tidak mungkin Allah yang membelenggunua. Sebab, Kita adalah khalifah Allah, kita telah di beri metodenya, maka kita yang membelenggu setan, kita yang melakukannya. Bukankah, Allah telah memberikan remot kepada manusia, yang membedakannya dengan mahkluk selain manusia. Jika tidak di manfaatkan atau tidak dipergunakan, maka benarlah warning Allah, bahwa Manusia adalah "dzoluman jahula" (Bodoh dan dzolim).
Sekarang pemahaman dan cara berpikir kita tentang setan, mestinya di perpanjang dan di perluas. Apakah setan yang di maksud, di belenggu di bulan Ramadhan adalah setan dalam bentuk Jazadiah atau Non Jazadiah?. Ataukah Setan yang di maksud, bukanlah sesuatu di luar diri kita, Yang bisa saja adalah sebuah frekuensi, bisa sel, bisa virus, bisa kuman. Bisa koordinat-koordinat dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Bisa atmosfer. Bisa Kita memahaminya dengan nano teknologi, misalnya.
Jika setan yang di maksud bukan sesuatu yang berbentuk fisik dan ia senantiasa Mengaktual di dalam diri kita. Maka, setan itu adalah suatu pontensialitas yang terus menerus harus kita selidiki. Yang kerap membersamai manusia sehingga manusia kerap kehilangan keseimbangannya. Sementara, Keseimbangan dan ketidakseimbangan di dalam diri manusia itu sangat luas, ini soal lain jika hendak di urai.
Artinya puasa sebagai sebuah metode yang di berikan Allah di dalam Ramadhan, memiliki cara agar membuat kita menghitung kembali, faktor apa saja, frekuensi yang mana saja, yang selama ini membuat ketidakseimbangan di dalam hidup kita. Sehingga produk ketidak seimbangan kita adalah keburukan, kejahatan dan kemaksiatan.
Kebanyakan Ustad, Kiai atau Da'i kerap menyampaikkan bahwa jika kita menjalankan puasa di dalam ramadhan, maka seluruh dosa-dosa kita sebelumnya dan yang akan datang, di ampuni oleh Allah. Padahal dalam Tadabbur sederhana saya, Pengampunan Allah di masa yang lalu atas dosa-dosa kita sebelum kita berpuasa, berbanding lurus dengan kondisi atau syarat, sebagaimana Sabda Rosulullah, "Imanan wah tisaban".
Pertama, puasa niscaya kita lakukan dengan landasan iman, sebagaimana yang telah saya uraikan di bahagian pertama. Iman ini kita pahami secara intelektual, secara spiritual, secara hati, secara perasaan, secara apapun saja. Sebagaimana dengan apa yang saya sampaikkan diatas. Sedangkan Ihtisaban, kita pahami benar-benar dengan logika dan kalkulasi.
Dengan kita berpuasa, kita melihat kembali lajur-lajur administrasi dari hidup kita. margin dosa kita seberapa?, Jenis-jenis dosa kita apa saja?. Kesalahan-kesalahan hidup kita apa saja?. Kesalahan yang sifatnya keliru, khilaf atau salah atau dosa, atau dosa besar, Kita kalkulasikan masing-masing?. Lalu, margin pahala, margin plus hidup kita berapa?.
Jika Ihtisaban atau kita mengaudit diri kita selama berpuasa, artinya kita memproduksi suatu keputusan, Untuk menjalani sesuatu yang baru sama sekali berdasarkan ihtisaban atau perhitungan itu tadi. Kalau Ihtisaban atau perhitungan hidup kita benar-benar di lakukan selama berpuasa. Maka, selesai berpuasa di dalam ramadhan, kita menjalankan sesuatu yang baru, itulah yang disebut : Taubatan Nasuha atau Fitrah (Terdapat di Tulisan Idul fitri).
Puasa ramadhan itu pembelajaran. Pembelajaran artinya kita merekapitulasi atau merefleksi kembali desain nilai puasa kita, sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini apa?. atau ramadhan sebagai laboraturium, agar kita berlatih kembali untuk berpuasa, sehingga akfivitas kita yang bermacam-macam di luar Ramadhan, Kita tetap setia di dalam prinsip berpuasa. Kalau di dalam ilmu kedokteran, hal itu disebut dengan terma Dosis. Orang bisa menentukan dosis, berdasarkan batas kesehatannya. Over dosis menjadi tidak sehat dan under dosis juga menjadi tidak sehat. Untuk menentukan batas dosis itu namanya puasa.
Misalnya, ada sebuah Hikayat yang menyebutkan bahwa Seseorang hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Jangan di pikir hal itu adalah ilmu tentang makan. Sebab, hal itu merupakan ilmu tentang puasa. Sama seperti, jangan berpikir ilmu tentang cahaya adalah ilmu tentang cahaya. Sebab, ilmu tentang cahaya juga ilmu tentang kegelapan Dan ilmu tentang kegelapan juga merupakan ilmu tentang cahaya. Sebab, tidak akan mungkin kita memahami tentang ilmu cahaya tanpa memahami ilmu tentang kegelapan, dan sebaliknya.
Mengapa Rosulullah SAW tidak melakukan hal itu?. Karena Rosulullah SAW mempuasakan Ilmunya mengenai kesehatan. Sehingga Rosulullah SAW menahan diri (puasa) untuk tidak makan kalau tidak benar-benar pada detik yang pas, Ketika dia membutuhkan makan, secara medis. Tetapi, Begitu frekuensi atau jumlah makanan mulai berpotensi tidak terlalu positif terhadap badannya, maka Rosulullah SAW mempuasai lagi badannya dengan berhenti makan sebelum kenyang. Itu ilmu puasa, bukan hanya ilmu makan. Karena selama ini, kebudayaan dan pemikiran kita tentang puasa baru memahami bahwa Puasa itu soal makan dan minum. Makanya, tidak jarang kita menganggap berbuka puasa itu seperti hari raya puasa.
Padahal Sebenarnya, jika kita ingin lebih dalam sedikit dan untuk meningkatkan ilmu, kita bisa memahami berbuka puasa sebagai sebuah bentuk pengabdian dan toleransi. Sebab, kalau kita sudah terbiasa berpuasa dalam hidup dan kehidupan. kalau hanya sampai magrib, kita pasti mampu. bahkan sampai Isya sekalipun kita mampu. Jadi, jika kita ingin mencari nilai-nilai lain dari hidup kita, Tradisi kita sehari-hari. sesungguhnya hidup kita memiliki dialektika untuk menjadi matang. Misalnya, kita lomba lari, kalau takaran kita atau kuda-kuda batin kita hanya sampai pada garis finish. Maka, kita akan berpesta pora begitu kita sampai di garis finish. Tetapi, kalau sejak awal kuda-kuda batin kita memohon energi dari Allah dan menggali energi dalam diri kita untuk tetap berlari 1 KM sesudah garis finish. Maka, ketika kita sampai di garis finish, kita tidak akan kaget. Kita tidak akan berfoya-foya, kita tidak akan kegirangan Dan tentunya kita lebih matang, dari sekedar orang yang cuman mencapai garis finish.
Hal Itu, bisa kita simulasikan dalam konteks puasa, bahwa Puasa tidak hanya soal urusan mulut. Karena puasa juga soal telinga, mata, hidung, dan semua instrumen diri kita. Artinya, kita dengan ramadhan yang terus menerus setiap tahun sekali sebenarnya adalah Quick Course (Kursus kilat) sebulan untuk meningkatkan kembali kemampuan kita, seberapa banyak kita harus mendengarkan dan seberapa banyak kita harus bicara?. Apa sebenarnya yang perlu kita lihat dan apa sebenarnya yang tidak perlu kita lihat?. Berapa persen mata kita atur dengan prinsip puasa, bahwa tidak semua hal boleh kita lihat?. Bahwa tidak semua hal tepat kita lihat?. Bahkan tidak semua hal boleh kita pakai untuk mengizinkan mata kita untuk menyaksikannya?. Begitupun dengan telinga kita, apa yang sebaiknya kita dengarkan dan apa yang sebaiknya kita tidak dengarkan?. .
Kalau perhitungan dari mata dan telinga, masing-masing sudah lumayan matang. Barulah kita hitung lagi : sebenarnya mendengar dengan bicara, lebih banyak mana?. Mendengar dengan melihat, lebih penting yang mana?. Kalau kata Allah, lebih penting mendengar. Sebab, Kalau ada pemimpin buta, masih lebih baik ketimbang pemimpin Tuli. Jadi, sebenarnya puasa adalah sebuah universitas yang luar biasa. Kita tidak perlu baca macam-macam, asalkan kita ingat bahwa kita punya mata. ingat bahwa kita punya telinga, ingat kita punya hidung, kaki, tangan dan kita kaitkan dengan prinsip puasa. Persis seperti yang pernah di lakukan oleh Nabi Zakaria, untuk menunggu-nunggu kehamilan istrinya, beliau dianjurkan untuk berpuasa bicara.
Dengan prinsip puasa adalah menahan diri Dan tidak melakukan hal-hal yang sebenarnya kita berhak untuk melakukannya. Kita bisa mengambil keputusan untuk melakukan puasa yang bermacam-macam. Misalnya, kalau kita suka coto, cobalah kita untuk tidak makan coto 6 bulan. Kalau kita tidak suka Konro, cobalah kita makan konro 6 bulan, agar kita menjadi orang sakti. Sebab, kalau kita hanya bisa melakukan hal yang di kita inginkan. Itu anak bayi juga bisa melakukannya, lihat anak bayi kalau mau kecing, kencing. Kalau mau berak, berak. Kalau mau teriak, teriak. Kalau kita mau jadi orang dewasa dan matang, kita berlatih untuk melakukan sesuatu yang mungkin kita tidak sukai asal itu benar Dan kita tidak melakukan sesuatu yang kita sangat sukai.
Puasa bicaranya Nabi Zakaria itu, pasti ada desain terhadap dimensi-dimensi yang berbeda. Orang yang melakukan puasa bicara itu sebenarnya sedang melakukan suatu perombakan yang sangat luar biasa didalam pikiran dan hatinya. Sehingga ia terbiasa untuk mengeluarkan satu kata, sebelum matang betul perhitungannnya. Bahwa satu kata itu pantas di ucapkan pada momentum tertentu, pada responden tertentu. kalau perhitungan itu tidak dengan perhitungan prinsip puasa. Seperti kita di zaman sekarang ini. Semua orang bicara. Tidak hitung waktu, tidak hitung momentum. messengger, WA dan linimasa bertebaran kemana-mana, tidak di hitung. Sehingga yang terjadi adalah Inflasi informasi dalam hidup kita.
Padahal Dalam hidup ini, Kita punya ruang secara pribadi untuk bercinta dengan pasangan kita, dengan anak kita, dengan keluarga kita, dengan teman, sahabat dan kawan kelompok kita. Setiap kejadian di dalam hidup kita adalah ruang-ruang percintaan, sampai cinta sebangsa dan sebagainya.
Di titik itulah, Puasa adalah suatu peluang yang sangat luar biasa, dimana setiap individu muslim memiliki peluang ruang dan waktu, untuk bercinta dengan Allah SWT., Kita tinggal mencari cara pandang untuk menemukan dan menghayati, bahwa betapa dahsyat dan beruntungnya kita mendapatkan peluang untuk bercinta secara pribadi dengan Allah swt. Kenapa bercinta secara pribadi? , karena Allah mengatakan : "Puasamu itu Milikku atau orang yang bercinta denganKu dan aku sendiri yang akan menyediakan balasan-balasan".
Berdasarkan hadist diatas, tidak mungkin puasa itu tidak privat, karena tidak seorang pun bisa tahu kita berpuasa atau tidak. Kita juga tidak bisa mengawasi bapak kita, anak kita, istri kita atau keluarga kita atau siapapun itu Dan kita juga bisa saja berbuka puasa dengan orang-orang yang kita tidak tahu apakah dia berpuasa atau tidak. Oleh karena itu, puasa adalah sebuah ruang dimana kita bisa berhadapan lansung secara pribadi dengan Allah SWT dan kita tinggal punya ilmu atau tidak untuk memanfaatkan semua itu.
*Rst
*Pejalan Sunyi
*Nalar Pinggiran
*Coretan Pinggiran
