Mengenai Saya

Minggu, 31 Maret 2024

MENGUAK TRANSENDENSI - PENDAKIAN - MI'RAJ PUASA DAN MENEMU KENALI ASAL USUL MANUSIA SEBAGAI PUNCAK CIPTAAN


Ramadhan secara harfiah, berakar dari kata "Romdan" yang bermakna "pembakaran". Pembakaran yang di maksud sebenarnya sangat bernuansa spiritual. 

Ketika Nabi mengatakan, Ramadhan adalah Tuan dari semua bulan. Hal itu, bisa kita ilustrasikan bahwa bulan-bulan yang lain itu bersifat materil sedangkan Ramadhan adalah bulan yang bersifat spiritual. Hal ini mengandaikan satu instruksi kesadaran bahwa apapun aktus - aktivitas yang kita lakukan di bulan ramadhan ini, harus di letakkan di dalam kerangka dan kesadaran spiritual.

Ramadhan dalam arti pembakaran spiritual di ilustrasikan sebagai suatu Ikhtiar manusia untuk menekan DIRI yang Palsu dan dalam waktu yang bersamaan kita diajak untuk MENEMU KENALI DIRI KITA YANG OTENTIK, DIRI KITA YANG SEJATI, DIRI KITA YANG ASLI. 

Mengapa?. Karena selama ini kita seringkali terjebak pada diri kita Yang palsu atau Terlempar dari Keotentikan diri kita. Lantas, SIAPAKAH DIRI KITA SESUNGGUHNYA?. pertanyaan fundamental Ini  bukan saja terdapat dalam tradisi islam. Hampir semua tradisi agama-agama, selalu berangkat dengan Pertanyaan, DARI MANA ASAL USUL AKU DAN SIAPAKAH AKU?.

Artinya kita harus memahami Ramadhan sebagai satu aktus pembakaran, yang di andaikkan sebagai emas atau logam mulai ; Ketika Emas atau logam Mulia di padukan atau di kepung oleh logam-logam Palsu. Maka tidak ada cara lain, kecuali dengan cara melakukan suatu aktus atau aktivitas pembakaran dengan titik didih tertentu.

Demikianlah ramadhan hadir untuk membakar, menempa dan mendadar diri kita secara spiritual. Agar kita bisa memilah dan memilih, mana diri kita yang asli dan mana diri kita yang palsu. Ihwal itulah, menemukan diri yang otentik - Asli adalah mission Ramadhan dan juga merupakan mission Keislaman.


**

"Dante Alegeri", seorang Penyair di abad pertengahan melahirkan satu karya Sastra Religius bernama "Divine commedy" - suatu proses perjalanan spiritual, dimana setiap manusia mengalami tiga fase, antara lain : Inferno, Purgaturio dan Paradiso. Inferno adalah masa kegelapan - masa dimana kita berkubang dengan dosa. Purgaturio adalah masa pencerahan atau pembakaran, yang secara Harfiah identik dengan kata ramadhan. Paradiso adalah Masa dimana kita terlepas dari segala sekat-sekat Fisik yang bersifat material. 

Al Qur'an menstressing kata "Pulang" dengan berbagai bentuknya yaitu Roja'ah - Yarji'un - irji'i. secara harfiah berarti Pulang atau kembali. Apa Maksud Pulang atau Kembali Dalam Kaitannya dengan Puasa sebagai sebuah Metode untuk Menemu kenali diri kita Yang Asli - Otentik?. 

Secara Filosofi, yang di sebut Pulang adalah orang-orang yang senantiasa tiba pada titik dimana dia berangkat. Ketika kita berangkat pada sebuah titik dan pulang pada titik yang sama, maka hal itu menujukkan bahwa kita sukses untuk pulang. Tetapi, kalau kita berangkat dari sebuah titik dan pulang pada titik yang berbeda. Maka, hal itu menunjukkan bahwa kita gagal untuk pulang atau dalam istilah Al qur'an di sebut ; tersesat.

Pulang atau Kembali berarti menemukan kembali titik dimana kita berangkat. titik berangkat inilah yang di sebut dengan Ide Asal Usul. Ketika kita mampu Menautkan titik pulang dan titik berangkat, pasti lurus. Hal itulah yang disebut dengan "sirotal mustakim". Sekalipun sebenarnya sirotal mustakim itu bukan jalan lurus. Melaikan, Istiqomah atau konsisten - dimana pun dia terlempar atau dimana pun Dia Terjebak pada diri yang Palsu, dia tetap pulang pada dirinya yang Asli.

Sebagaimana yang saya utarakan diatas, bahwa Hampir semua tradisi agama-agama, membicarakan tentang Teori Asal Usul. Sebab, Hanya orang yang tahu asal usulnya yang sukses untuk pulang dan ini merupakan suatu Visum atau suatu cara pandang yang jauh kedepan, bahwa kita jangan merasa abadi di bumi ini, karena kita selalu terpanggil untuk pulang. Berbahagialah kita, jika kita selalu menjadi pribadi yang merindukan pulang atau Kembali. 

Di titik itulah, kita mengenal satu tradisi dalam islam di sebut tradisi keterpanggilan?. Hal itu tidak lain dan tidak bukan, di wakili oleh Tradisi Tawaf (Haji) ; satu bentuk melingkar mengelilingi ka'bah yang berlawanan dengan arah jarum jam. Menurut "Sayyid Husain Nasser", tawaf mengandaikkan kepada kita bahwa kita memutar arah jarum jam kembali ke belakang. Memutar arah jarum jam berarti kita akan menelusuri titik berangkat kita dan titik berangkat kita juga merupakan titik pulang kita. Di situlah hikmah dan makna, "Innalillahi wa inna ilahi rojiun - kita berangkat dari Allah dan Kembali kepada Allah".

Artinya, Hanya dengan memutar ke belakanglah mekanisme yang paling tepat untuk menemu kenali titik keberangkatan kita - "irji'i ila robbi qirodiyatan mardiyah - kembali kepada TuhanMu". Hanya orang-orang yang kembalilah yang sukses menemukan titik berangkatnya.

Dalam Tradisi keronahian Islam atau yang biasa kita kenal dengan Terminologi Irfani, ada satu diktum terkenal yang menyebutkan, "man arofa nafsahu fa qod arofa robbahu - barang siapa yang menemu kenali dirinya maka ia berpotensi mengenali Tuhannya".

Menurut Prof. Dr. Sayyid Husain Nasser, seorang Guru Besar yang termasuk 200 Filosof dunia mengatakan, ada yang menarik ketika orang hendak mengkaji status ontologi Ego - Asal Usul Atau Diri, sebab selama ini ketika orang membicarakan Ego atau diri yang otentik, Rujukan kita akan tertuju Pada "Rene Descartes" - Cartesian dengan diktum terkenalnya, "Aku eksis karena aku berpikir". Tetapi, Nasser dalam salah satu perjumpaan mengatakan, sesungguhnya ketika kita hendak mengkaji ego otentik atau Asal Usul Manusia dalam perspektif status ontologis, maka Q.S. At Tin adalah salah satu Pintu masuknya".

Hadist yang Di riwayatkan oleh Imam Ahmad Bin Hambal, seorang sahabat Abu Dzar Al Ghifari bertanya kepada Rosulullah, "apa makna dari surat At Tin?. Mengapa Di dalam Q.S At Tin, Allah bersumpah kepada Alam 4 kali berturut-turut - "wat tini waz zaitun wa turusinin Wa hadzal baladil amin - aku bersumpah, demi Pohon Tin, demi Buah zaitun, demi bukit sinai dan demi kota yang penuh dengan keberkahan dan kedamaiaan (Mekkah)".

Lantas, apa hubungan sumpah Allah kepada Alam sebanyak empat kali dan di susul dengan informasi manusia, "lqod kholaqnal insanu fi ahsani taqwim - sungguh kami telah mencipta manusia dalam sebaik-baik penciptaan".

Di titik itulah, problem kita kebanyakan Memang harus di mulai dari cara kita menemu kenali diri kita. Kalau selama ini kita kerap terlempar keluar, mengangkangi diri kita yang otentik dan Menautkan diri pada Realitas eksternal, maka ramadhan kali ini kita niscaya merefleksikan kembali untuk menengok kembali ke dalam diri kita dan mencari diri kita kembali ke dalam diri kita.

Mengapa Allah Bersumpah kepada Alam 4 kali dan setelah itu Allah memberi Informasi tentang manusia?.

Nabi menjawab, wahai sahabatku Abu Dzar, Allah bersumpah kepada Alam sebanyak 4 kali sesungguhnya sesungguhnya sebuah simbol atau metafora untuk mewakili 4 tradisi kenabian : pertama, At tin adalah simbolisme suatu pohon, tempat dimana secara historis Nabi Zulkifli melakukan proses Transendensi, proses pensucian kerohanian diri atau bertahannus di bawah pohon tin dan di bawah pohon itulah Nabi zulkifli di daulat sebagai Rosul. 

Dalam studi - studi lingkungan, penelitian menunjukkan bahwa Nama Zukifli adalah nama Non Arabic. Namanya sesungguhnya adalah Zul dari Kota yang bernama Al Kifil berada di dataran india atau Kafilah Wastu. Siapakah tokoh besar yang lahir di Kafilah wastu india, yaitu Sidharta Budha Ghautama, yang pernah mengalami Pencerahan rohani dari Sang Yang Widi di bawah pohon Bodi. Jangan sampai Pohon Bodi itulah yang di sebut Pohon At Tin. Sebab, Dalam Q.S. Al Mukmin : 78, Allah berfirman, "laqod arsanal rusulan ming qoblik minhum mam qosasna alaik wa minhum man lam naksus alaik - sungguh muhammad, sebelum aku membentangkan dan membangkitkan engkau sebagai Rosul, aku telah mengutus rosul-rosul sebelum engkau, sebahagian rosul itu aku kisahkan kepadamu di dalam Al Qur'an dan sebahagian lainnya kami tidak kisahkan kepadamu".

Abu Dzar kembali bertanya, Ya Rosulullah berapa Jumlah Nabi dan Rosul yang tidak di kisahkan Allah di dalam Al Qur'an. Rosulullah menjawab, " Nabi-nabi yang tidak di kisahkan Al qur'an, tidak kurang dari 125 ribu orang". Makanya hindarilah Pemahaman yang menganggap kitalah yang paling benar dan satu-satunya jalan keselamatan menuju Tuhan.  Allah itu Maha kasih dan Maha Penyanyang. Itulah sebabnya jalan menuju Tuhan, sebanyak Nafas-nafas orang yang merindukannya.

Kedua, Az zaitun adalah simbolisme yang di nisbatkan kepada Nabi Isa yang terdapat di Palestina, yang sampai hari ini kita ketahui palestina adalah negeri yang memproduksi buah zaitun. Ketiga, Bukit sinai adalah simbolisme Kanabian Nabi Musa. Ke empat, Baladil amin adalah simbolisme yang di nisbatkan kepada Rosulullah Muhammad SAW.

Bagian yang paling menarik, kata Sayyid Husain Naser adalah di dalam risalah Al Qur'an, ada namanya sumpah. Ketika Allah bersumpah atas sesuatu, berarti sesuatu itu sangat penting. Ada penekanan, ada aksentuasi. Dalam Q.S. At Tin ini kita melihat bagaimana Pertautan antara Alam yang 4 kali berturut dan di susul dengan informasi hakikat cipta manusia.

Dalam studi-studi al qur'an kita mengenal terma Munasabah, dari kata Nasab - Kekerabatan atau hubungan kekeluargaan. Artinya, al qur'an bersumpah atas Nama Allah dan beberapa karakter alam, lantas di susul dengan manusia. Maka secara hakiki menunjukkan bahwa ada hubungan kekerabatan antara alam dan manusia. Salah satu jejak persaudaraan kita dengan Alam, mengalami keterpanggilan untuk kembali kepada asal usulnya.

Semesta dan manusia memiliki status yang beririsan. Maka di sinilah menjadi suatu landasan ontologis untuk mengungkap siapa aku?.

Dalam perspektif Filsafat, realitas semesta ini terdiri dari empat status ontologis. Realitas yang paling rendah di sebut, Alam Hamparan atau alam Terestia. Seperti bumi dan Planet-planet. Realitas kedua di sebut realitas intermidite atau alam antara (Cakrawala) - Cak Nur menyebutnya sebagai Kaki Langit. Diatas Alam antara, di sebut alam Selestia (Langit). Lapisan terakhir atau tertinggi dari semesta di sebut Alam Infinitum - Sidhratul muntaha atau realitas al mustawa - Lauful mahfudz.

Empat karakter lapisan alam semesta inilah yang mempertautkan Lapisan diri manusia, yang juga ada 4 lapis.

Lapisan pertama diri kita disebut dengan Tubuh, yang beririsan lansung dengan Lapisan alam yang pertama ; Terestia - hamparan bumi. Secara elementer, apa yang menjadi elemen-elemen semesta yang ada di bumi, juga ada pada tubuh kita. Kalau kita pernah bersentuhan dengan Tradisi filsafat kuno dari semua peradaban yang ada di bumi ini, maka kita akan menemukan satu kesimpulan bahwa elemen-elemen semesta yang ada di bumi ini ada empat lapis ; Api, air, tanah, udara. Karena bumi dan tubuh kita bertaut, maka Tubuh kita juga mengandung empat anasir ; Tanah - segala sesuatu yang kita makan. Air. Udara dan Api - darah kita.

Lalu naik ke lapisan kedua, ke level Cakrawala. Di titik ini, sudah bukan lagi Pertautan Tubuh. Melainkan pertautan rasio atau akal. Itulah sebabnya antara cakrawala dan Pikiran bersaudara. Makanya, kita kenal istilah cakrawala pemikiran. 

Level ketiga adalah langit. Bukan lagi Tubuh dan akal. Tetapi, lebih dalam dari itu. Langit bertautan dengan Anfus - Nafs atau Jiwa. Nafs memiliki tiga kategori, pertama Nafsul Mutmainnah, Nafsul lawwamah dan Nafsul amarah.

Lantas siapa diri kita?. Saya menegaskan sekali lagi, Hanya orang-orang yang mengetahui titik berangkat dan titik pulanglah yang mengetahui hakikat dirinya. Hanya orang-orang yang Berinnalillahi lah yang mengatehui dirinya atau yang biasa kita sebut dengan Fitri.

**


Puasa sebagai Sarana Pendakian Spiritual punya keterkaitan pada proses pencaharian Diri kita yang sesungguhnya. Saya kerap menyebutnya sebagai Transendensi Puasa atau Proses menemukan kembali pesan spiritual puasa.

Transendensi sesungguhnya Istilah Filsafat yang berakar dalam Tradisi Al Qur'an, yaitu Mi'raj. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Mi'raj adalah sebuah peristiwa Spiritual, tentang pendakian kerohanian.

Mi'raj sebagaimana yang tertuang Di dalam Q.S. Al Ma'arij : 3, di tegaskan oleh Allah, "Minallahi Dzilma ma'arij - yang berasal usul dari Allah lah yang mengalami Proses pendakian Spiritual (Mi'raj)". Artinya, Entitas atau sesuatu yang tidak berasal usul dari Allah, tidak akan pernah mengalami Proses pendakian Spiritual.

Hal ini menarik untuk kita Konstruksi secara dalam dan jauh, yang mana yang berasal dari Allah secara kategoris dan filosofis, serta yang mana yang tidak ber - asal usul dari Allah.

Pertama, tentu kita akan bertanya apa itu Transendensi atau Mi'raj?.

Ada sebuah hadist yang menyebutkan bahwa, "Assolatu mi'rajul mu'minun - Sholat adalah mi'rajnya orang Mukmin". Hanya saja kita harus lebih ke dalam melihat perspektif mukmin ini, tidak hanya sekedar memahami secara Letter late. 

tentu kita akan bertanya lagi, Siapakah Mukmin?. Sejauh ini kita melihat dan hampir semua tafsir ketika mencoba memberikan Penafsiran terkait dengan Diksi Mukmin dengan berbagai derivasinya : Mukminin, mukminat, yukminun, dst. Cenderung meletakkan mukmin sebagai Sesuatu yang bersifat Eksternal atau sesuatu yang berada di luar kita, seperti Manusia mukmin makassar, mukmin jakarta, mukmin sumatera, mukmin NTT, mukmin Kalimantan. Sehingga pengetahuan kita tentang mukmin adalah suatu entitas - Komunitas - Masyarakat - Bangsa - Negara. 

Padahal pesan Al Qur'an tentang kategori mukmin ini lebih kepada aspek spirtual. Mengapa?. Karena sholat sebagai sebuah media sesungguhnya berdimensi spiritual. Sehingga menjadi tidak logis, jika sholat sebagai sebuah media Spiritual bagi seorang mukmin, sementara yang melakukan Pendakian Spiritual - Mi'raj adalah sesuatu yang Non Spiritual.

Di titik inilah kita sudah mulai mengalami kemacetan Paradigma mengenai diksi Mukmin. Karena itulah, perlu kita kembali merekonstruksi bahwa semua diksi mukmin yang terdapat di dalam Al qur'an menunjuk kepada aspek yang berdimensi spiritual. Termasuk, syarat Mukmin pada perintah Puasa.

Lantas, Mukmin itu apa?.

Di dalam Tafsir - Tafsir metafisik atau Tafsir Isyari. Salah satunya adalah tafsir Risalatul Qusyairiyah karya Imam Qusairi di andaikan bahwa mukmin adalah AR RUH. Artinya, jika Al qur'an menggunakan diksi Mukmin, sesungguhnya menurut Imam Qusyairi, Allah sedang menyapa Ruh - Ruh yang sedang bersemayam di dalam pribadi-pribadi kita. Bukan eksternalitas diri atau sesuatu yang berada di luar diri kita. 

Itulah sebabnya, mengapa Puasa kita harus maknai sebagai suatu peristiwa Spiritual. Bukan cuma sekedar peristiwa Fiqih belaka. Jika cuman sekedar peristiwa Fiqih - Menahan diri dari tidak makan, minum dan berhubungan suami istri di siang hari yang di mulai dari terbentang fajar shodiq sampai jatuhnya ufuk di sebelah barat. Jika seperti itu cara kita memaknai puasa, maka sangat jauh kemungkinannya kita bisa meraih taqwa.

Mengapa demikian?. Salah satu ujung Puasa yang hendak kita capai adalah taqwa. Tetapi, selain derajat taqwa yang hendak kita capai. ada beberapa anggitan-anggitan atau Konsep-konsep yang harus kita bongkar kembali. Sebab, bertautan juga dengan Terma Fitrah, seperti Zakat Fitrah dan Idul Fitri.

Mengapa selain Taqwa, Fitrah atau Fitri juga berada pada ujung Puasa?. Hal ini tentu mengandaikkan kepada kita bahwa hanya manusia-manusia yang menemu kembali dirinya yang otentik - Fitrah yang dapat meraih derajat taqwa. Jika kita tidak berhasil menemukan Manusia yang Otentik atau Manusia yang asli (Diri Yang Fitrah). Maka, kita berpotensi gagal mencapai derajat taqwa.

Hal inilah kira-kira hubungan antara Transendensi - Mi'raj (Pendakian Spiritual) dan Menguak Misteri Manusia (menemukan diri yang Otentik dan Diri yang Palsu).

Di dalam Al Qur'an, kita mengetahui bersama bahwa Tujuan Puasa adalah Taqwa. Tetapi, taqwa itu apa?. Taqwa adalah Puncak kemuliaan. Dalam Bahasa Al-qur'an di sebut "Akram -  Mulia", bentuk super latif daripada kata "Karim". Ketika kita membuka Al Qur'an. Maka, hanya ada dua posisi "Akram" atau hanya ada dua pintu "Akram". Akram adalah Potensi kemaha-muliaan Allah yang di teteskan kepada orang-orang yang di kehendaki : Pertama, "Inna akramakum inndallahi Astqoqum - Potensi kemahamuliaan Allah, hanya bisa di teteskan kepada orang-orang yang terus membangun tradisi Taqwa". Kedua, "Iqro warobbukal akram - kemaha muliaan Allah sangat berpotensi di berikan kepada orang-orang yang mengkonstruksi tradisi membaca".

Artinya taqwa dan membaca inilah yang menjadi pusat setrum kesadaran kaum mukminin. Sebab, ketika kita mengabaikan hal ini, maka kita akan terpuruk dari segi peradaban. Tetapi, ketika kita memadukan antara tradisi taqwa dan tradisi membaca, maka dari titik itulah Peradaban bermula.

Ramadhan berdasarkan Nubuwah Rosulullah SAW mengandaikan bahwa, "Man shoma romadhona imanan wah tisaban, ghufiralahu ma taqoddama min tsambi - barang siapa yang bersungguh - sungguh menegakkan puasa ramadhan dengan iman dan mengkaji atau membaca dirinya. Maka dia berpotensi mendapatkan ampunan dari Allah".

Hal ini menarik, sebab ada pesan-pesan yang tersembunyi di balik nubuwah rosulullah dan pesan-pesan Al Qur'an yang selama ini enggan kita bongkar secara serius.

Bagaimana kita berproses atau melakukan pendakian spiritual atau Mi'raj?. Di dalam Al Qur'an di sebutkan, "Aqimisshola li dzikri - Dirikan sholat untuk mengingatku atau mengenangku". Apakah ingatan yang di maksud adalah ingatan yang berada pada intelektualitas kita?. Tentu tidak. Sebab, ada ingatan yang lebih sublim dan lebih Ilahi yaitu ingatan spiritual. Bagaimana mungkin Allah memerintahkan kita untuk mengingat sesuatu yang kita sendiri tidak pernah menyaksikannya?. Artinya kita pernah menyaksikan Allah Sebelumnya. Sebab, Hanya hal-hal yang pernah kita saksikanlah yang bisa kita ingat.

Luar biasanya Al qur'an karena ia memberikan informasi tentang Perjumpaan kita dengan Allah yang sekaligus mengandaikkan satu pesan penting yang juga tertuang di dalam Al Qur'an, agar kita banyak mengingat Allah, "Udzkuruni udzukurukum -  perbanyaklah engkau mengingatku, maka aku pun akan mengingatMu".

Jika demikian, diri yang manakah yang mengingat perjumpaan tersebut?. Di sinilah Allah mentarbiyah kita, bahwa ada satu peristiwa Peradaban Pasca Keabadian, yang kita sebut dalam risalah Al Qur'an, yaitu Ar Ruh. Dimana setiap ruh kita pernah berjumpa dengan Allah, "Alastu Bi robbikum, Qolu bala syahidna". Menurut Ibnu Arobi, salah seorang Teosof dalam Risalatul Qoul (Risalah tentang Cosmos - Assyajaratu Qoul - Pohon Semesta). Kata Qoul itu berasal dari kata "Kun - idza aroda syai'an ayyakulalahu kun fayakun". Ketika Allah di kepung oleh keMaha Tunggalannya, KeMaha Senyapannya dan KeMaha Sendiriannya. Maka, Allah berkeinginan menciptakan sesuatu di luar dirinya dan beliau hanya menyatakan Kun Fayakun.

Siapakah Kun dan siapakah Fayakun?. Menurut Ibnu Arobi, secara Ontologi ; Kun hakikatnya adalah Muhammad dan Fayukun hakikatnya adalah seluruh semesta - seluruh realitas (Malakut, jabarut, jin dan Ruh). Ihwal itulah, dalam salah satu Syair Puisi Gus Mus - K.H. Mustifa Bisro menyebutkan, "Muhammad, engkau adalah KunKu dan Aku adalah FayukunMu".

Ihwal itulah Nabi dalam sebuah sabdanya mengatakan, "Ana nurillahi wal mukminuna Minni - aku ini adalah manifestasi cahaya Allah yang melimpah ruah atau dalam bahasa Al Qur'an di sebut Sirojan Munira (cahaya yang terang benderang) dan mukmin itu adalah tetesan cahayaku".

Artinya, Sebagaimana yang saya sebutkan diatas, semkain menemukan arah yang jelas, bahwa Mukmin itu bukanlah sesuatu yang berada di luar diri kita - Eksternal. Melainkan Ar Ruh itu sendiri. Al Qur'an surat Al Hijir : 29 memberikan informasi, mengapa Mukmin itu Ruh?. Karena Ruh itu ber asal usul dari Allah, " fa idza sawwaituha Wa nafakhtu fi hi mirruhi - ketika aku telah menciptakan manusia secara sempurna, maka ku tiupkan ruhku kepada setiap pribadi".

AR Ruh adalah sesuatu yang bersifat Ilahi dan juga di sebut sebagai Mukmin. Dimana sandarannya?. Bisa kita cek Di Q.S Al Hasyar, " huwallahul ladzi lailaha illahu Huwal malikul quddusi salamul mukkinul muhaiminul azizul jabbaru mutakabbir". Mukmin itu adalah Yang Maha mempercayai dan memberikan kepercayaan. Kalau di kategorikan Mukmin sebagai salah satu Sifat Allah adalah MIM besar. Ketika Allah meniupkan ruhnya ke dalam diri kita, Mim besar ini mengalami derivasi atau penetesan cahaya menjadi mim kecil.

Di titik inilah, kata-kata mukmin dalam bentuknya yang paling beragam menunjuk kepada Ruh ; ya ayyuhaladzina amanu innallahu wa mala ikatu yu shollauna alan nabi ya ayyuhal ladzina amanu shollu alaihi wassalimu mutaslima - Wahai Ruhku, sesungguhnya Allah dan Para malaikatnya memberikan mandatori kepada Muhammad sebagai wasilah (penghubung) dan Wahai Mukmin-mukmin kamu juga harus berwasila menjadikan Muhammad sebagai wasilah".

Kalau hal ini kita bisa renungi dan Pahami. Maka bisa kita ketahui mengapa ujung Puasa itu di sebut sebagai Puncak Kemuliaan - Akram.

Apa yang harus di lakukan untuk mendapatkan kedudukan termulia?. Dengan melakukan transendensi - pendakian spiritual secara terus menerus, "minallahi dzilma ma'arij - karena hanya ruh kitalah yang berasal usul dari Allah", maka hanya Ruh lah yang bisa melakukan Mi'raj atau pendakiam spiritual.

Kedua, Al Qur'an memerintahakan kepada kita untuk rendah hati atau menemu kenali kembali hakikat diri kita dengan melihat alam semesta sebagai saudara kita atau kakak kita.

Perjumpaan antara yang Ilahi (Tinggi) dan paling terdalam (Ruh) inilah yang di sebut dengan Diri manusia yang orisinil, Otentik dan asli.  

**

Menemukan kembali diri yang otentik atau Ego otentik, merupakan Tradisi Kerohonian Yang tidak hanya di kukuhkan oleh seorang "Rene descartes" di sebuah kota kecil di belanda pada abad ke 17. Tetapi, juga di percakapkan secara sublim dalam Al Qur'an, bahkan Al Qur'an memberikan sebuah jejak Pembelajaran dan pencerahan yang sangat luar biasa kepada kita pada Q.S. Thoriq ; 1 - 7, Allah menebarkan satu informasi yang sangat dahsyat tentang ASAL USUL DIRI ATAU DIRI OTENTIK.


وَالسَّمَاۤءِ وَالطَّارِقِۙ - ١

Demi langit dan yang datang pada malam hari.

وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الطَّارِقُۙ - ٢

Dan tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?

النَّجْمُ الثَّاقِبُۙ - ٣

(yaitu) bintang yang bersinar tajam,

اِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌۗ - ٤

setiap orang pasti ada penjaganya.

فَلْيَنْظُرِ الْاِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ - ٥

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan.

خُلِقَ مِنْ مَّاۤءٍ دَافِقٍۙ - ٦

Dia diciptakan dari air (mani) yang terpancar,


يَّخْرُجُ مِنْۢ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَاۤىِٕبِۗ - ٧

yang keluar dari antara tulang punggung (sulbi) dan tulang dada.

Pada Qur'an Surat At Thoriq sesungguhnya, Allah Mengandaikan bahwa setiap manusia memiliki dua asal usul. Tetapi, sebelum Allah menyingkap Diri kita secara otentik, Allah bermain Kode, metafora atau Semiotika.

Semiotika atau kode hadir untuk menegaskan satu hal bahwa narasi-narasi biasa teramat sulit untuk mengungkapkan realitas yang sesungguhnya. Makanya, menjadi wajar jika banyak Filosof Kebingungan, bahkan Stres. 

Ketika kita ingin mengetahui diri kita, Ego otentik atau asal usul kita. Maka, berdasarkan Instruksi QS. AT thoriq, kita di perintahkan untuk memecahkan Tiga Kode.

Pertama, "Was ssama' - Demi Langit. Ada apa dengan langit?. Mengapa setiap orang yang hendak menemukan atau menelusuri hakikat dirinya, ia harus memecahkan kode Langit. Langit adalah simbol ketinggian - Assam'u - Salah satu karakteristik Dzat Ilahi - entitas tertinggi - yang Infinitum - sesuatu yang bersifat mulia dan agung.

Seolah-olah Allah hendakan mengatakan kepada kita, wahai manusia, ketika engkau hendak mengonstruksi kesadaran asal usulmu, ketahuilah bahwa Wassama' - Demi aku dan Demi Langit, sejatinya engkau ini adalah Elemen-elemen langit. Bukan bumi ini.

Maulana Jalaluddin Rumi sebagai seorang Sufi Mistik dan penyair di abad pertengahan mengandaikkan manusia Dalam selarik puisinya, "wahai Diri, mengapa engkau harus terjerembab di bumi. Padahal engkau bahagian dari elemen langit. Engkau memiliki sayap-sayap. Terbanglah dan jangan engkau terpuruk di muka bumi ini".

Kedua adalah "wa ma adroka ma thoriq - demi malam yang Penuh dengan misteri". Memang malam, dalam Pengkajian Post modern mengalami destruksi pemikiran. Karena, konotasi malam dalam Posmo identik dengan kedurjanaan ; Manusia malam, bahkan Mahluk paling eksotik seperti kupu-kupu saja di sematkan dengan malam, menjadi hancur leburlah. Makanya ada distorsi tentang malam yang kita temukan dewasa ini. Padahal Diksi malam dalam Jejak Al Qur'an  merupakan wadah, dimana setiap orang dapat menemukan dirinya yang otentiknya. Sebagaimana Al qur'an menegaskan, "wa minal layli fathajjada bihi na fil latalka asa ayyaba atsaka robbuka maqoman mahmuda - hendaklah engkau merebut dua pertiga malamku, tegakkan sholat tahajjud dan engkau akan menemukan kebajikan yang tak terper-maknai dan engkau aku dudukkan bersama orang-orang istimewa".

Ketiga adalah "Annajmu tsakib" - bintang yang berpendar cahayanya. Ada apa dengan bintang?. Tidak ada bintang yang bersinar di siang hari. Sebab, Bintang kedirian kita hanya akan bersinar di malam hari. Ketika kita ingin menemu kenali diri kita yang otentik, maka akrab-akrab dengan malam. 

Ketika kita bisa memecahkan tiga kode ini. Maka sebenarnya hakikat diri kita adalah sesuatu yang langit, sesuatu yang penuh dengan misteri.

Allah memberikan informasi tentang Asal usul kita yang pertama adalah "Ingkullu nafsin alaiha hafiz - Ketahuilah di dalam dirimu ada Hafidz". Secara Harfiah hafidz itu adalah penjaga yang sangat kokoh, penjaga yang tidak bisa di negosiasi, penjaga yang tidak bisa di bohongi dan tidak bisa di instruksi.

Apa itu Hafidz? Dialah Ar - Ruh. Apa itu Hafidz? Dialah "Minnalahi Dzilma Ma'ari. Sesuatu yang berasal usul dari Allah. Hafidz dalam berbagai kajian Epistemologi islam, di sebut dengan Ar Ruh. Dalam Q.S. Al Hijr : 29, Allah menyatakan, " fa idza sawwaytuhu wa na fahktuh fi hi min ruhi". Karena dia adalah sesuatu yang di tiupkan oleh Allah, maka dialah yang berasal usul dari Allah. Dialah Mukmin - Entitas kepercayaan dari Allah yang di teteskan kedalam diri kita.

Dalam tradisi mistik Islam, Ruh inilah di andaikkan sebagai sesuatu yang Ilahi - Tajalli ilahi. Karena Ruh berasal usul dari Allah. Makanya di sebut Al Aslu - al asli. Lalu,  di transmisi ke dalam bahasa indonesia menjadi Asal Usul dan dari asal usul inilah kata Asli itu muncul.  Artinya diri kita yang asli atau yang otentik adalah AR RUH - ELEMEN LANGIT YANG DI ANDAIKKAN MAULANA RUMI. 

Di dalam diri kita ada sesuatu yang terus memperingatkan kita, mengistruksi kita, jika kita membelot dari pesan-pesan ilahi, pesan-pesan Kenabian. Itulah diri kita yang asli, diri kita yang otentik - Ego yang Asli. 

Sebelum kita mengakhiri puasa, kita di berikan beban syar'i, tetapi bermakna spiritual yaitu zakat fitrah - suatu bentuk negosiasi kepada Allah, bahwa aku sukses menemu kembali diriku yang sesungguhnya, diriku yang otentik dan orang yang berhasil menemu kenali dirinya yang otentik inilah yang Berhak Merayakan (Idul Fitri). Sebuah perayaan Tentang kembalinya seorang Mukmin, yang selama ini di kepung oleh Simulacrum - simulacrum atau jejak - jejak tanda yang bersifat eksternal atau dalam bahasa yang lebih halus kepalsuan-kepalsuan. 

Makanya, Puasa ini seharusnya di maknai secara mendalam sebagai sarana Pendadaran diri dari Tradisi-tradisi kepalsuan yang mengepung kita selama ini. 


Makassar, 15 Maret 2024


*Rst

*Pejalan Sunyi

*Nalar Pinggiran