Kompas, Minggu, 16 Oktober 1994.
Oleh M. Dawam Rahardjo
Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke Pabelan saja. Ya, mengapa kok sulit-sulit memilih pesantren? Bukankah aku sudah demikian akrab dengan pondok yang terletak di Muntilan itu? Kiainya sahabatku. Barangkali di antara para kiai yang kukenal, dialah, Kiai Hamam Dja'far, yang paling dekat, dalam pikiran maupun perasaan. Lagi pula itulah pondok yang paling indah bagiku. Aku berkenalan dengan pondok ini kira-kira pada tahun 1973 ketika aku mula pertama mengunjunginya, atas anjuran Pak Ud.
Kukira aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dalam romantisasiku, pesantren itu mestilah rindang. Tapi jarang aku melihat pesantren yang halamannya masih ditanami pohon-pohon yang lebat. Dulu mungkin. Namun kini telah banyak ditebangi untuk memberi tempat pada bangunan baru yang umumnya ceroboh itu. Pabelan, sangat berbeda. Pohon-pohon di desa itu masih lebat. Malah Pak Kiai menambahnya dengan tanaman-tanaman baru. Ketika itu sedang musim menanam jeruk. Buah jeruknya besar-besar, tidak seperti biasa. Tapi ada juga ditanam pohon melinjo dan kemudian flamboyan.
Sebelum kuputuskan pergi ke Pabelan saja, aku sudah mempertimbangkan pesantren lain, terutama di Jawa Timur. Pernah kupertimbangkan untuk memilih Tebuireng. Pak Ud pasti mengizinkan. Suasana peribadatannya pun enak. Dalam lima waktu, masjid utamanya pasti penuh jamaahnya. Tapi aku pakewuh dengan Pak Ud. Jangan-jangan kedatanganku merepotkannya. Karena aku, maksudku istriku, pasti tak akan diizinkan untuk bisa memasak sendiri.
Aku juga pernah berpikir, alangkah indahnya bisa tinggal untuk beberapa hari di Gontor, Ponorogo. Tapi sudah lama aku di persona non grata-kan Kiai Zarkasi, gara-gara aku pernah mengritik pondok modern ini, karena sikap isolatifnya terhadap masyarakat sekelilingnya. Padahal sahabat-sahabat mudaku banyak yang alumni Gontor. Cocok aku dengan kebanyakan mereka itu, dengan pola akidahnya, akhlaknya yang manis-manis dan kepandaian mereka umumnya dalam bahasa Arab.
Lalu, oleh Pak Malik Fadjar, aku pernah dianjurkan pula untuk menengok sebuah pesantren di pantai utara Jawa. "Kiainya Muhammadiyah lho!" katanya. Dia pikir aku pasti cocok dengan cara berpikir kiai ini. "Kiainya gemar qira'ah dan tafsir," ujarnya lagi sambil mengacungkan jempolnya. Pak Malik mungkin menyadari bahwa aku senang dengan qira'ah dan tafsir. "Cobalah ditengok dulu," ia menganjurkan.
Sebuah mobil dengan sopirnya membawaku dan istriku menyusuri pantai utara Jawa. Sebelumnya, karena ingin menempuh jalan pintas, mobil sedan kecil itu menembus jalan-jalan kecil di antara bentangan tambak yang gemerlapan ditimpa sinar mentari pagi. Di sebuah kota kecil di tepi pantai yang panas tapi juga cukup rindang itu, bercokol pesantren itu. Di situ aku bisa "menghilang" untuk sementara waktu yang telah kurencanakan, pikirku. Tak mungkin bisa orang menghubungiku. Ketika orang mencariku, mungkin aku sedang berjalan-jalan dengan istriku di sampingku, menatap tongkang-tongkang mengapung di perairan. Kami berdua bisa menghafal wirid sambil menikmati debur ombak.
Karena aku tidak begitu sreg dengan situasi pondok yang kurang bersih itu, aku mengurungkan niatku. Dan tiba-tiba aku berpikir, mengapa tidak ke Pabelan saja?
Kurundingkan ideku dengan Hawariah, istriku. Ia tampak begitu senang. "Ke mana saja Mas pergi dan membawaku, aku akan senang. Kebahagiaanku adalah bila bersamamu Mas," katanya mendukung dan membesarkan hatiku. Kata-kata inilah yang sering dikatakan kepadaku, hampir klise. Maka kulayangkan sepucuk surat kepada Kiai Hamam, mohon untuk bisa diterima. "Saya bersama istri mau nyantri barang sebulan, bila diterima," kataku dalam surat.
***
Dari jalan raya Yogya-Magelang, aku naik dokar. Istriku memakai kebaya dan kerudung yang berenda kembang. Kerudung tradisional yang masih dipakai ibuku dan perempuan-perempuan desa. Wajahnya yang putih dan bulat seperti rembulan itu selalu tersenyum. Hatiku selalu hangat bersamanya.
Kami disambut dengan tawa lepas, khas Kiai Hamam.
"Mau belajar wirid? Ha, ha, ha," tawanya berderai.
"Apa mau jadi sufi?" tanyanya lagi dengan nada senda gurau. Walaupun begitu tanggapan formalnya, tetapi Kiai Hamam penuh pengertian.
"Saya membutuhkan guru yang bisa membimbing, Kiai," kataku.
"Siapa yang bisa jadi guru Mas Dawam?" jawabnya penuh keyakinan. Kami, dalam waktu-waktu sebelumnya, memang sering bicara mengenai tasauf dan filsafat, sebuah pembicaraan "tingkat tinggi". Kalau berbincang-bincang, tentu sampai larut malam. Yang tadinya menemani kami, biasanya mundur satu per satu. Akhirnya tinggal kami berdua, hingga subuh.
"Saya ingin bisa wirid yang agak panjang," kataku. "Juga ingin bisa membaca doa iftitah untuk pidato atau ceramah." Kalau diminta ceramah keagamaan, aku sebenarnya malu jika hanya bisa membaca yang itu-itu saja. Syukur kepada Allah dan salawat untuk nabi, itu saja. Aku juga sering diminta untuk memberi khotbah Jumat. Bahkan juga khotbah Idul Fitri atau Idul Adha. Dan aku selalu menolak. Mereka tidak tahu bahwa aku tak bisa mengucapkan bacaan-bacaan yang diperlukan itu di luar kepala. Tahu mereka, aku adalah "tokoh Islam", atau "cendekiawan Muslim".
Akhirnya Kiai Hamam maklum juga. Tapi guru-guru muda yang pintar-pintar di situ, tak seorang pun bersedia menjadi guru mursyid-ku. Mereka hanya menuliskan doa-doa untukku. Malah mereka memberiku doa wirid bikinan Pondok Gontor yang ditulis sendiri oleh Kiai Imam Zarkasyi. Ternyata doa ala Gontor itulah yang paling bisa kuterima.
Ingin bisa baca wirid yang agak panjang. Itulah obsesiku. Dengan wirid itu aku akan merasa tak perlu lagi berdoa dan meminta sesuatu kepada Tuhan secara verbal. Kupikir, Tuhan itu Maha Tahu dan Maha Mendengar suara batin sekalipun. "Berzikirlah kalian akan Daku, niscaya Aku akan mengingatmu," demikian tertulis dalam surat Al Baqarah ayat 152.
Karena tak ada yang bersedia menjadi guruku, akhirnya aku belajar sendiri saja. Tentu saja aku mengalami kesulitan, karena aku sudah tidak lagi lancar membaca huruf-huruf Arab. Tapi aku ini memang tolol benar. Mengapa aku tak melihat potensi istriku? Bukankah ia lulusan Mu'alimat Muhammadiyah Yogya yang terkenal itu? K.H. Yunus Anis dan K.H. Ahmad Badawi, keduanya pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah, termasuk guru-gurunya.
Sungguh keterlaluan aku ini. Tidak pernah berpikir bahwa seorang perempuan itu bisa menjadi guru mengaji lelakinya. Maklum, aku selalu menjadi imam waktu shalat.
"Dengar baik-baik ya Mas! Aku baca pelan-pelan, Mas menirukanku," katanya mulai menjadi guru mursyid-ku. Kalau ia membimbing doa wirid habis shalat, kedengarannya biasa saja. Tetapi kalau doa-doa untuk khotbah, memang agak janggal. Mungkin karena adanya persepsi bahwa perempuan itu tidak pernah jadi khatib.
Kalau shalat, tentu saja aku yang menjadi imam. Aku bangga sekali bisa menjadi imam istriku. Seolah-olah itulah tanda kelaki-lakianku yang sejati. Ketika berdoa, kami berdoa bersama. Kadang-kadang bacaanku dikoreksi. Ada kalanya aku jengkel dikoreksi. Apa ini karena pengaruh alam patriarki? Hawariah hanya tersenyum sabar dan terus membimbingku.
Di waktu magrib, isya dan subuh, kami selalu pergi berjamaah ke masjid. Tapi kami sering bepergian kala siang. Jadi tak bisa pergi ke masjid di waktu lohor dan isya, kecuali salat dhuha. Kami selalu menjalankannya. Sehabis subuh kami menderas Alquran bersama-sama. Hanya saja mengajiku terputus-putus, karena aku sering membaca terjemahannya. Aku bawa The Holy Quran, terjemahan dan catatan kaki Maulana Muhammad Ali. Aku paling matuk (cocok) dengan tafsir ini, rasional dan optimis.
Ketika matahari sudah terbit, ia mulai memasak sarapan. Aku keluar jogging yang sudah menjadi kebiasaanku itu. Lalu kami makan bersama. Sesudah masak, langsung ia mencuci piring. Dan aku menimba air sumur. Air dari pompa dragon bukan air yang baik. Jadi aku ngangsu sumur tetangga yang jernih, mengisi kolah dan ember persediaan untuk dimasak menjadi air minum. Setelah itu kami membersihkan halaman yang setiap pagi bertabur dedaunan yang rontok. Sambil menyapu, aku melatih hapalanku keras-keras agar bisa dikoreksi kalau salah.
***
Sayang sekali, aku datang ke Pabelan pada saat liburan. Jadi kampus kosong, tak ada santrinya, kecuali beberapa yang tinggal, mungkin untuk mengikuti kursus khusus. Tapi justru karena itulah kami seperti diberi kesempatan untuk bisa mandi di Kali Pabelan. Kali sepi dari santri yang biasa mandi di situ.
Air sungai itu mengalir bening. Batu-batuan besar kecil yang bertebaran membuat suara gemercik dialiri arus. Hawariah, seperti orang desa lainnya, memakai kain dan mandi di pancuran dan kali yang dangkal. Bagi orang yang biasa hidup di Jakarta, ini adalah suatu kemewahan. Ketika mandi, Hawariah seperti bidadari yang turun dari kayangan. Kain batik melilit ketat di tubuhnya yang basah. Rambutnya tergerai.
Di jalan pulang kami berbelanja di warung desa. Hawariah selalu berbicara renyah waktu membeli bahan-bahan kebutuhan. Karena itu ia memang lekas dikenal. Menurut perasaanku yang subyektif, istriku itu mungil, putih dan bersih. Posturnya seperti putri bangsawan atau mungkin berwajah "elitis" dalam bahasa masyarakat kota. Tapi penampilannya sederhana, seolah-olah ia tak sadar akan kecantikannya sendiri. Tak usah berusaha menampilkan diri, kehadirannya di desa itu sudah sangat terasa. Orang-orang melihat kami, waktu kami berjalan. Kadang-kadang mereka menegur. Orang lelaki tentu melihat kepadanya. Yang perempuan juga melihatnya, lalu menengok kepadaku seolah-olah ingin tahu siapa lelaki yang beruntung di sampingnya itu.
Ia rajin datang ke pengajian di rumah tetangga sebelah. Suatu ketika pengajian memutuskan untuk memperbarui tikar yang telah banyak rusak itu. Uang yang terkumpul agaknya masih jauh dari mencukupi. Istriku langsung bilang, ialah yang menutupnya. Baginya, uang itu tidak seberapa. Tapi bagi ibu-ibu di desa itu nilainya masih lumayan besar.
Di waktu malam sering terdengar suara berzanji. Inilah yang khas di desa itu. Penduduk desa umumnya memang jamaahnya NU. Tetapi pesantrennya beraliran reformis. Santrinya mengikuti wirid Gontor. Tapi imam masjidnya tetap berada di tangan kiai desa. Masjid pondok itu tetap dibiarkan seperti aslinya. Ini cocok dengan suasana desa yang rindang.
Kami sering ingin mengejar dari mana datangnya suara berzanji itu. Ada kalanya dari perhelatan perkawinan. Di waktu sore, menjelang magrib, kami mengejar suara salawat nabi yang dikumandangkan itu. Kalau tidak hujan kami jalan-jalan. Yang kami jumpai adalah langgar-langgar atau masjid-masjid kecil. Pohon-pohon kelapa meneduhi halaman masjid.
"Mas, bangun Mas, sudah subuh lho," kata istriku membangunkan. Aku sebenarnya sudah mendengar suara azan. Malah sudah kudengar suara orang mengaji atau membaca sesuatu, dengan irama khas. Aku pun bangun, bergegas ke kamar mandi, mengambil air wudhu.
Tapi di luar masih sangat gelapnya. Tak ada lampu. Apalagi gerimis agak lebat turun. Kami pergi pakai lampu senter. Untung di Pabelan, tanahnya berpasir, jadi tak begitu becek. Kalau berjalan, tangannya pasti menggandengku, agak di belakang. Terasa benar aku menjadi lelaki, sandaran hidupnya. Memang sulit benar berjalan berdua dengan satu payung. Air pun tak bisa kami hindari. Aku seperti sedang berpacaran, dalam beribadah.
Aku bersyukur punya istri yang cocok. Coba bayangkan, jika istriku itu bukan "ahli ibadah", repot. Aku tidak pernah menjelaskan maksudku nyantri seperti itu. Ia sudah tahu dengan sendirinya. Malah itu menjadi keinginannya juga. "Mondok" seperti itu lebih memberi kebahagiaan daripada piknik. Dengan beribadah berdua seperti itu kami sekaligus berpacaran, menunjukkan rasa cinta. Kami tidak pernah merasa sedang bertapa.
Sebelum meninggalkan Pabelan, Hawariah pamit. Para ibu pada semedot, dengan berat hati menerima pamitan itu. Beberapa waktu kemudian bu nyai menceriterakan betapa tetangga-tetangga di sekitar rumah tempat kami menginap itu, semacam “guest house” pesantren, sangat gelo kami meninggalkan Pabelan. Sangka mereka kami adalah penghuni baru. Mereka senang mendengar suara-suara yang terdengar dari pondokan kami. Suara orang mengaji atau kaset salawat dan doa yang dilagukan oleh Ustadz H. Salahuddin Benyamin dengan paduan suara perempuan-perempuan yang mengiringi atau alunan suara ustadz Umar Said yang merdu. Tapi yang paling terkesan pada mereka agaknya adalah pasangan kami berdua yang tampak runtang-runtung, seorang perempuan berkebaya dan lelaki yang selalu berkopiah.
***
Empat tahun kemudian, tak kusangka, istriku di panggil Allah. Kini, kurasakan dalam kenangan, itulah sepotong kenangan yang begitu indah dalam hidupku.
Istriku pergi untuk selamanya di kamar kami, di suatu subuh. Ketika itu istriku tak berdaya, sakit. Ia hanya bisa terbaring miring. Setelah salat sunat koblal subuh, aku pun bersalat subuh. Kubaca Al Fathihah, surat Al-Tin dan surat Al-Qadr seperti yang selalu dibaca imam di Masjid Pabelan, agar dia mendengarkan, seolah-olah kami sedang berjamaah. Aku yakin ia sedang ma'mum kepadaku. Belum sempat wirid, Hawariah telah memintaku mengelus-elus dengkulnya yang sakit. Ia seperti menikmatinya, karena aku mengelus-elusnya dengan mesra sambil membaca wirid.
Ketika aku kemudian keluar dari kamar, Yu Jum, pembantu yang merawat istriku, berganti masuk ke kamar. Beberapa saat kemudian ia berteriak-teriak dan meminta agar aku masuk ke kamar. Aku lihat istriku seperti telah tiada. Anakku lelaki yang memeriksanya merasakan bahwa mamaknya tak lagi bernapas. Nadinya pun tak lagi berdenyut. Tangis dua anak pun berderai bersama dengan tangisku dan orang-orang rumah.
Di hari kedua, sesudah kematian itu aku salat subuh di tempat yang sama. Aku pun membaca wirid yang dulu pernah kupelajari di Pabelan. Tangisku meledak. Wiridku tersendat-sendat di sela-sela sedu tangis yang berat. Terkenang olehku ketika aku sedang dibimbing olehnya, membaca wirid di Pondok Pabelan. Mungkinkah rohnya mencari jalan keluar lewat wirid dan elusanku di dengkulnya itu.
Masih segar dalam ingatanku kami berjalan bergandengan, sambil membawa payung dan lampu senter, sarimbit ke masjid, dalam hujan gerimis di waktu malam dan subuh, yang menyebabkan pakaian kami basah. Terkenang olehku kami bercinta dalam salat berjamaah berdua yang sudah menjadi kebiasaan yang indah itu. Sehabis salat dan wirid, ia selalu mengajakku bersalaman dan menciumi tanganku berulang-ulang. Dan aku pun mengecup keningnya.
Aku mengecup kedua mata-istriku yang terakhir kalinya ketika jenazahnya hendak digotong ke masjid sebelah, hendak disalatkan. Bulu matanya terasa dibibirku, seolah ia masih hidup.
***
Ketika ditinggal oleh istri pertamanya, Hawariyah, yang telah menemaninya seperempat abad, Dawam mengaku sangat terpukul dan frustrasi. Hal itu telah mengundang keprihatinan kawan-kawannya. Mereka tidak ingin hal itu mengganggu psikologi dan kesehatan Dawam. Itu sebabnya, cerita Dawam, mereka berlomba-lomba memperkenalkan dan menjodohkannya dengan sejumlah orang.
Dawam mengaku sangat terhibur oleh perhatian teman-temannya itu. Besarnya perhatian mereka turut mengobati luka hatinya. Atas dorongan teman-temannya, Dawam kemudian membuat resolusi: ia harus menikah lagi. Amien Rais, salah satu karibnya, misalnya, menjodohkan Dawam dengan seorang stafnya di PPSK (Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan).
“Dia cantik sekali. Menurut saya, PPSK waktu itu ramai dikunjungi orang dan tokoh bukan karena kegiatannya, tapi karena di sana ada perempuan cantik itu,” seloroh Dawam.
“Termasuk juga saya,” akunya, sambil terbahak. Saya ikut terbahak mendengarnya.
“Saya sempat dipertemukan dengannya secara tidak langsung di Malang oleh Amien Rais. Dia janda, punya anak satu,” imbuhnya. “Saya diberitahu jika suami pertamanya adalah seorang insinyur. Waktu mengetahui itu saya berpikir, kenapa ya dia bisa pisah dengan suaminya, padahal suaminya kan insinyur? Apakah karena ‘demand’-nya terlalu tinggi? Saya tidak berusaha mencari tahu lebih jauh. Yang jelas, akhirnya saya tak berani meneruskan,” ujar Dawam, mengenang.
Sesudah itu, Dawam dijodohkan dengan janda seorang pemimpin Muhammadiyah. Perjodohan itu dicomblangi oleh Munawir Sjadzali. Amien Rais juga merestuinya. Beberapa kali Dawam mengaku “dijebak” untuk ketemu dengan perempuan yang dimaksud.
“Orangnya sih cantik. Tapi dia bekas isteri tokoh, saya jadi sungkan. Dan kemudian juga tidak muncul perasaan apapun saya terhadapnya,” akunya. Kandidat itupun dicoret dari daftar.
Karena hampir semua kandidat yang disodorkan teman-temannya tak ada yang nyantol, Dawam sempat mutung kepada teman-temannya. “Nggak ada yang beres,” ujarnya. Sampai suatu ketika adik perempuannya menyodorkan sebuah nama: Sumarni.
Dawam sudah lama mengenal Sumarni. Kebetulan, sejak jaman mahasiswa di Yogya, Sumarni juga adalah aktivis HMI. Oleh karenanya, tak ada halangan berarti ketika Dawam dipertemukan kembali dengan tokoh perempuan tersebut. Sebagai seorang romantis, Dawam tentu mudah jatuh cinta. Apalagi, anak-anak Dawam, yang waktu itu masih kuliah, juga merasa cocok dengannya.
Ada cerita unik ketika Dawam mengabari kawan-kawannya bahwa ia akan segera menikah kembali. Karena banyak dari mereka sebelumnya merasa direpoti oleh Dawam untuk mencarikan jodoh, banyak dari mereka yang marah karena Dawam tak memperkenalkan lebih dulu calon istrinya itu ke kawan-kawannya.
“Mereka terlalu sayang pada saya, sehingga tidak ingin kalau saya bakal kecewa. Jadi, inginnya mereka, siapapun calonnya, mereka harus tahu lebih dulu, agar bisa memberikan pertimbangan. Fuad Bawazier itu marah sekali pada saya,” cerita Dawam.
Sebagai penghormatan kepada teman-temannya, akhirnya Dawam memperkenalkan calon isterinya. Lucunya, ujar Dawam, ternyata semua yang hadir hari itu adalah mantan aktivis HMI, sehingga jadi mirip rapat KAHMI. “Mereka semua kaget, karena yang saya bawa adalah mantan aktivis Kohati,” cerita Dawam.
“Ya, ampun, ternyata Mbak Marni tho!?” ujar Mar’ie Muhammad, ketika itu.
Ya, sebagai alumni HMI dan tokoh penting di Kementerian Perempuan pada masanya, Sumarni tentu juga dikenal di lingkungan kawan-kawan Dawam.
Meski berpendidikan tinggi, dan seorang lulusan Amerika, menurut Dawam, di rumah Sumarni tetap menempatkan dirinya sebagai perempuan Jawa yang sangat menghormati suaminya. Berbeda dengan Dawam yang keras, Sumarni memang sosok yang lemah lembut.
***
WIRID DAN HARGA SEBUAH KENANGAN
Cerpen di diatas adalah "Wirid" (1994), yang sesungguhnya sangat kuat, sehingga sanggup menggugurkan air mata siapa saja yang membacanya, tak pernah dimasukkan Dawam dalam buku kumpulan cerpennya, "Anjing yang Masuk Surga" (2007). Tentu saja itu menerbitkan pertanyaan. Kenapa tidak dimasukkan?!
Mengenai hal ini, saya juga pernah membaca tentang percakapan Dawam dengan kerabatnya. Kerabatnya saat itu masih menjadi asistennya.
Berdasarkan penuturan kerabat Dawam, bahwa alasan tak dimasukkannya Cerpen "Wirid", kedalam kumpulan Cerpennya, bisa membuat kita tersenyum, namun juga memberi banyak pelajaran, setidaknya bagi kerabatnya waktu itu.
Mereka yang telah membaca cerpen itu tentu saja paham, jika cerpen diatas adalah sebuah tanda kasih sekaligus biografi kehilangan dari seorang lelaki yang telah direnggut cintanya. kehilangan itu telah melahirkan duka. Cukup dalam. Namun, sebagaimana lazimnya duka, dan juga luka yang biasa menghinggapi para pujangga atau pemikir, duka itu juga telah menjadi energi yang kemudian melahirkan karya yang kuat. Bagi Dawam, bekas duka itu adalah cerpen diatas.
Ceritanya, pada Tahun 1994, Dawam kehilangan isterinya, perempuan yang telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Perempuan ini, yang pernah disebutnya sebagai bulan itu, kemudian menjadi pendamping hidupnya selama lebih dari dua puluh tahun, sebelum kemudian maut merenggutnya.
Ada satu adegan yang mudah sekali kerabatnya bayangkan saat Dawam menceritakan mendiang isteri pertamanya.
"Saat Dawam menulis, istrinya kerap menemaninya. Seringkali ia bahkan sampai jatuh tertidur dilantai dibelakang kursi yang Ayahanda Dawam duduki. Meski sering dilarang, ia menganggap itu sebagai tanda cinta dan pengabdian kepada suami," demikian ceritanya, suatu hari.
Jadi, kita bisa paham, kenapa Ayahanda Dawam kemudian bisa menangis hingga berhari-hari sesudah kepergian isterinya. Setidaknya itu cerita yang pernah didengarkan dari beberapa kawannya.
Tapi hidup toh harus dilanjutkan bukan?! Anak-anak Dawam juga perlu diperhatikan. Apalagi, sebagaimana lazimnya anak-anak, meskipun telah beranjak remaja mereka juga tetap membutuhkan sosok ibu di tengah-tengah keluarga, sebagai pengimbang sosok ayahnya. Akhirnya, atas desakan sejumlah keluarga dan kolega, Dawam kembali membuka hatinya.
Kerabatnya mendengar ada drama, roman, dan sejumlah anekdot seputar proses pencarian pendampingnya untuk kali kedua itu. Singkat cerita, ia kemudian bertemu dengan mantan aktivis Kohati Yogya, adik angkatannya, yang saat itu merupakan pejabat tinggi di sebuah kementerian. Perempuan itu, yang juga sama-sama berasal dari daerah Vorstenlanden, seorang lulusan Amerika. namun yang selalu bisa menghadirkan dirinya sebagai perempuan Jawa, kemudian menjadi pendamping baru Dawam.
Perempuan ini juga seorang isteri yang berdedikasi. Dawam mengaku sangat beruntung memiliki isterinya yang sekarang. Di saat-saat sulit, terutama ketika ia berada di tengah-tengah masa sakitnya, isterinya setia mendampingi, sekaligus bisa menjadi bemper psikologisnya, orang yang menyediakan dirinya menjadi keranjang keluh kesah suaminya.
Ketika Dawam mulai bangkit dari sakitnya dan hendak membukukan cerpen-cerpennya, munculah insiden, yang bisa membuat kita tersenyum. Namun, mengandung pelajaran yang berharga.
Ceritanya, sesudah divonis gagal ginjal pada tahun 2006, Dawam mulai berdamai dengan penyakitnya dan pelan-pelan mencoba bangkit. Pada saat itu, ia sangat produktif menulis cerpen, hobi yang telah ditekuninya sejak masih SMA di Solo. Karena cerpen yang ditulisnya cukup banyak, Dawam hendak membukukannya. Dan munculah insiden tersebut.
Istrinya, Sumarni, menangis hebat. Pasalnya, Dawam hendak memasukkan cerpen “Wirid”, yang ditulis untuk mengenang istri pertamanya, Hawariyah, ke dalam buku kumpulan cerpennya. Sumarni mengaku tidak rela kalau cerpen yang ditulis pada 10 Oktober 1994 itu ikut dimasukkan
"Ibu" menangis. Dia tidak mau cerpen "Wirid" masuk ke dalam buku saya.” Kalimat itu meluncur dari mulut M. Dawam Rahardjo (1942-2018), pada suatu siang, ketika kerabatnya masih bekerja sebagai asistennya, bertahun-tahun silam. Kerabatnya, tidak ingat persis, bagaimana perbincangan itu bermula, yang jelas hari-hari itu Dawam banyak bercerita mengenai kehidupan pribadinya. Ia, misalnya, bercerita tentang perempuan-perempuan yang pernah ditaksirnya, termasuk kisah cintanya dengan kedua isterinya. Ya, sepanjang hidupnya, Dawam punya dua istri.
Orang yang dipanggil “ibu” itu tak lain adalah istri keduanya, Sumarni, yang dinikahinya pada 17 Maret 1995. Dawam menikahi Sumarni sesudah istri pertamanya, Zainun Hawariyah, yang dinikahinya sejak tahun 1968, meninggal pada bulan Desember 1994.
Pada awalnya Dawam menganggap jika itu hanyalah rengekan biasa yang tak perlu panjang diperhatikan. Ia ingin memasukkan cerpen itu semata-mata karena cerpen itu adalah cerpen yang bagus dan pernah mendapatkan penghargaan, jadi bukan dengan maksud hendak mengawetkan kenangan.
Namun ia kemudian melihat jika isterinya benar-benar merasa terluka. Iapun merenung. Sesudah itu, ia kemudian bisa memahami perasaan isterinya, yang telah belasan tahun mendampinginya. Apa yang telah berlalu, memang harus berlalu. Dalam sebuah pernikahan, bahkan bagi pasangan senior seperti dirinya, karat-karat masa lalu bisa menjadi kerikil yang mengganggu. Itu sebabnya Dawam kemudian bukan hanya mengeluarkan cerpen itu dari bukunya, namun juga membakar seluruh arsip yang terkait dengan masa lalunya itu.
Itu tentu bukan hal yang mudah. Bahkan bagi seorang Dawam. Namun ia tak ingin mengawetkan rasa cemburu isterinya, yang bisa menghalangi keikhlasan dan kesepenuh-hatiannya, dengan membiarkan masa lalu menyelinap diam-diam dalam kehidupan mereka.
Semua hal dalam hidup memang ada harganya. Saat tiba giliran membayar, kita harus rela melepaskannya, agar tak menjadi orang berutang seumur hidup. Bukankah hidup memang persis seperti penggalan puisinya Amir Hamzah, "bertukar tangkap dengan lepas"?!
Begitulah cerita kenapa cerpen "Wirid" tak masuk dalam buku "Anjing yang Masuk Surga".
*Nalar pinggiran