Mengenai Saya

Minggu, 16 Januari 2022

TOLERANSI GENDER DI MASYARAKAT SULAWESI SELATAN


Lima jari tangan, dari jempol hingga kelingking adalah simbol analogi gender di Sulawesi Selatan.

"Bissu Saidi" beberapa waktu sebelum dia wafat, untuk menuliskan gendernya apakah sebagai laki-laki, perempuan atau waria. Beliau menuturkan, “Tidak nak. Saya ini bissu. Bissu itu sendiri,” jawabnya kepada Historia.

"Saidi" kemudian mengangkat tangannya. Membuka telapaknya, lalu memegang jempolnya. Jempol itu, kata dia, adalah bura’ne (laki-laki), kelingking adalah makunrai (perempuan), telunjuk adalah calabai (waria), jari manis adalah calalai (tomboi), dan jari tengah untuk bissu.

Pada masa lalu, bissu dianggap sebagai pranata spiritual paling vital sebagai penyambung dan penghubung antara manusia dan dewa. Bissu memiliki bahasa sendiri, yang diyakini sebagai bahasa orang-orang langit. Bahkan di beberapa kerajaan, bissu dilindungi oleh raja dan diberikan amanah dalam menjaga arajang (pusaka kerajaan).

Tak hanya itu, calalai dan calabai, pun diterima di tengah masyarakat. Tak ada pertentangan atau bahkan tindakan untuk menekan. “Mereka hidup layaknya seperti orang lain,” kata peneliti sosial dan filolog Universitas Hasanuddin, Muhlis Hadrawi.

Namun, perubahaan perlahan-lahan terjadi. Ketika budaya baru, dalam hal ini munculnya agama (Kristen dan Islam) menempatkan pembagian gender hanya ada dua, laki-laki dan perempuan secara kodrati. “Dari sini, calalai, calabai dan bissu, akhirnya menjadi masyarakat kelas dua,” kata Muhlis.

Bahkan pada periode tertentu, saat pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan dilaksanakan Operasi Taubat. Orang-orang yang mengakui dirinya di luar dari gender perempuan dan laki-laki akan dikejar. Jika calalai akan diberikan kembali baju perempuan. Begitu pun sebaliknya untuk calabai dan bissu, diberikan baju laki-laki.

Sementara itu, dosen Fakutas Imu Budaya Universitas Hasanuddin, Alwi Rachman mengatakan, kehidupan sosial di masyarakat Bugis dan Makassar (umumnya Sulawesi Selatan) sejak masa lalu mengenal lima identifikasi gender tersebut. “Secara individu per individu sikap saling menghargai itu muncul,” katanya. “Bahkan, karena tingginya toleransi di kalangan kelompok, bissu misalnya mendapatkan tempat penting dalam sebuah ritual.”

Tapi bagi Alwi, budaya Bugis dan Makassar itu sangat maskulin. Karakter akan keberanian, keteguhan dan keperkasaan selalu menampilkan sosok laki-laki. Namun bukan berarti, sisi maskulinitas ini mengabaikan identitas gender lainnya. “Di Sulsel, (pada) masa kerajaan kita tidak sulit menemukan raja perempuan,” katanya.

Christian Pelras dalam Manusia Bugis, menuliskan relasi gender masyarakat Bugis begitu cair. Hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan tidak saling membatasi gerak. Orang Bugis tidak menganggap laki-laki atau perempuan lebih dominan satu sama lain.

Pelras, mengutip Sir Stamford Raffles pada 1817 bahwa di Sulawesi Selatan perempuan “tampil lebih terhormat dari yang bisa diharapkan dari tingkat kemajuan yang dicapai peradaban Bugis secara umum, dan perempuan tidak mengalami kesulitan hidup yang keras, kemelaratan, atau kerja berat, yang telah menghambat kesuburan kaum mereka di bagian dunia lain.”

Namun kemudian bagi Pelras, calabai yang dituliskannya sebagai “jenis kelamin ketiga” dan calalai sebagai “jenis kelamin keempat” masing-masing memiliki peran di masyarakat. Tak jarang, calabai akan berperan dalam prosesi ritual tradisional sebagai indo’ botting (ibu pengantin yang berperan dalam menentukan langgeng tidaknya pasangan). 

James Brooke dalam jurnal perjalanannya ke Wajo pada 1840 mengatakan, tentang kebiasaan seorang laki-laki yang berpakaian seperti perempuan, dan perempuan yang berpakaian seperti laki-laki; bukan hanya untuk sementara waktu, tetapi seumur hidup berperilaku seperti jenis kelamin yang mereka tiru itu.

Jadi, meski perbedaan gender di kalangan orang Bugis memang ada, namun fleksibilitasnya tergambar dalam ungkapan mau’ni na woroane-mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui; mau’ni makkunraina woroane sipa’na” (meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki).


-Coretan Pena Nalar Pinggiran, Rst-

Rabu, 12 Januari 2022

PENDIDIKAN ADALAH MATA AIR DAN MATA API ; DIALEKTIKA

Pendidikan itu membawa orang dari kegelapan Menuju cahaya terang - "Mina dzulumati ilan nur", hal itu disebut Tarbiyah.

Kirikulum pendidikan kita ini pada dasarnya membosankan. Tetapi, peserta didik tetap di paksakan untuk di Instalkan kedalam pikiran mereka. Padahal, peserta didiknya tidak suka. 

Kita bisa menegok metedologi pendidikan di Amerika, Jika ada Mahasiswa yang medaftar di salah satu perguruan tinggi. mahasiswa tersebut di suruh untuk menuliskan kurikulumnya sendiri, dosen dan rektor hanya sebagai Fasilitator ssja. Sedangkan kita di indonesia, Kurikulumnya di patenkan, yang entah apa tujuannya?. Padahal kebebasan di dalam pendidikan adalah Interaksi antara fasilitator dan kebutuhan belajar peserta didik.

Di amerika, Misalnya. Peserta Didik hanya mau belajar 3 Mata Kuliah, yaitu Filsafat, Fisika dan Environmental Etics (Lingkungan). Maka, Rektor akan mengatakan ; "Silahkan Taruh Kurikulum anda di meja saya. Besok saya akan siapkan dosennya". Jadi, dosen di siapkan oleh rektor berdasarkan kebutuhan Mahasiswanya.

Sedangkan kita di indonesia, tidaklah demikian. Semester pertama, kita belajar mata kuliah yang pernah kita pelajari di SMP dan SMA, seperti Matematika, bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, serta agama. Apakah tidak cukup pelajaran-pelajaran itu kita pelajari saat SD, SMP, SMA ataukah Mahasiswa-Mahasiswa ini dianggap kurang Bertaqwa, sehingga mesti diajarkan agama lagi.

Ihwal itulah, sehingga Kita ini Ragu-ragu menentukan Paradigma Pendidikan kita seperti apa. 

Beberapa waktu lalu, ada Fase PSBB, PPKM. Seluruh aktivitas belajar di rumahkan. Tidak sedikit peserta didik, telah bosan belajar. Nah, mestinya seluruh Stekholder pendidikan, mencari metodologi lain Untuk menerangkan Ilmu pengetahuan. Misalnya, hubungan antara Fisika, ekologi dan ilmu sosial. Guru atau Dosen tersebut, Datang ke suatu tempat, terangkan pada peserta didik melalui Video, bahwa pohon adalah sungai. Lalu, murid bingung dan Bertanya Bagaimana bisa pohon di sebut sebagai sungai. Dari situ, kita bisa terangkan, bahwa air itu mengalir dari kapiler pohon, lalu di uapkan ke ujung daun. Maka, sesungguhnya ada sungai kecil melewati pohon, yang Muaranya di ujung daun. Supaya dia menguap, setelah Fotosintesis. 

Musuh pertama dari gagalnya pendidikan kita adalah Feodalisme. Feodalisme ini terhubung dengan sistem politik kita. Di dalam Feodalisme orang di larang menggeleng, kita hanya boleh manggut-manggut. Artinya kurikulum pendidikan kita, diarahkan untuk anti dialektika. Padahal, dengan Jalan Pendidikanlan kita bisa saling menegur pikiran. Itulah sebabnya, Guru atau Dosen tidak boleh menjadi Feodal, karena guru atau Dosen Adalah teman berpikir murid - Mahasiswa. Sehingga tidak ada jarak Feodalisme antara Dosen dan Mahasiswa atau Guru dan murid.

Sejatinya, Saya ingin menyampaikkan bahwa pendidikan adalah relasi kesetaraan antar manusia. Sedangkan dimensi pertama dari pendidikan adalah keakraban dengan manusia, lingkungan dan alam semesta. 


**

Apa paradigma pendidikan kita?.

Di Prancis, Filosofi dan Cara Pandang Hidup mereka, bahkan di jadikan sebagai paradigma pendidikanya, menyangkut 3 prinsip dasar dari revolusi prancis, yaitu "Egalite (Kesetaraan)", "Freternite (Persaudaraan)" dan "Liberte (kebebasan)". Maka anak SD, SMP belajar Ilmu pengetahuan dan Filsafat itu Biasa, ihwal itulah, sehingga Ilmu-ilmu sosial sangat berkembang pesat di Prancis.

Di Amerika, Filosofinya atau Paradigmanya adalah Kebebasan manusia untuk mencapai kehendaknya sendiri, kebalikan dari Filosofi Prancis. Sebagaimana metode Pendidikan Amerika, diatas saya sampaikkan, bahwa sekolah atau kampus dan semua instrumennya, hanya Fasilitator. 

Menpaga Paradigma pendidikan di Amerika lebih sekuler?. Karena, Amerika tidak pernah mengalami revolusi sosial seperti Prancis.  Prancis punya Catatan sejarah dalam menumbangkan Feodalisme, makanya mereka Mahfum apa itu Demokrasi. Amerika, bangsa yang berdiri karena di datangi oleh Imigran, itulah yang menunjukkan bahwa Di Amerika tidak ada orang asli Amerika, tetapi di Prancis banyak orang Asli prancis. Amerika adalah bangsa Imigran, sehingga tidak mungkin ada semacam politik identitas di Amerika. Karena orang Spanyol, merasa sama haknya dengan Orang Meksiko. Orang meksiko sama haknya dengan Orang Jamaika, dan semua orang boleh menjadi Presiden, karena ada mimpi kebebasan yang menjadi Harapannya. 

kita Indonesia, berupaya mencari Vocal Point tersebut, sebagaimana Amerika dan Prancis. Tetapi, kita gugup, Karena jejak Feodalisme kita tidak pernah selesai, bahkan Tetap menjadi memory Sampai sekarang. hal itu sering Kita jumpai di dalam kelas, Saat seorang Profesor Menjelaskan. Mahasiswanya Bungkam, karena takut Dia adalah seorang Profesor. Di Amerika tidak begitu, dia prancis apalagi, justru mereka berdebat dengan profesornya. Artinya, feodalisme masih mencengkram sistem pendidikan kita dan menjadi hambatan, mengapa Pendidikan kita belum naik. 

Memang kita punya Filosofi pendidikan, "Tutu wuri handayani" atau "imadi mangon karso". Tapi, hal Itu tidak bisa di implementasikan. Karena, kita gagap memahami maksud Ki Hajar Dewantoro saat mengucapkan hal itu. Bisa saja, saat Beliau mengucapakan diktum pendidikan tersebut, ia Sedang membayangkan Plato bicara di akademi plato, di mana Plato berdiri di tengah kelas dan muridnya mondar mandir, tetapi dialektika dan diskusi tetap berlansung.

Hal itu bisa terjadi, jika sistem pendidikan kita, tidak dalam Cengkraman feodalisme. Nah, indonesia jika mau mengakumulasi IQ dan Nalar Kritis, Feodalisme inilah yang mesti di hilangkan terlebih dahulu.

Saya sepakat dan mendukung, Visi Merdeka belajar ala Menteri Nadiem. hanya saja Bang Nadiem, seumpama Pulau sendiri yang bicara Merdeka belajar. Sementara Di luar Bang Nadiem, tidak ada yang disebut dengan Kemerdekaan manusia. Selain itu, Presiden meminta Bang Nadiem untuk melakukan standarisasi Kurikulum. Gagasan ini bagus, jika Imputnya sama. Tetapi, basis imput sesungguhnya adalah kapasitas lokal. Kenapa?. Karena tidak mungkin anak di NTT itu di sama ratakan dengan algoritmanya dengan Anak di Makassar, karena jam terbang internetnya berbeda.

Benar, bahwa Jepang itu hancar dan luluh lantak oleh dua bom, hirosima dan nagasaki. Komandan perangnya melapor pada kaisar Hirohito. Kaisar, kita telah kalah. Kaisar berkata, hitung berapa jumlah guru yang tersisa dan saya akan bangun jepang dalam 20 tahun. Kaisar hirohito berpikir tentang potensi Guru. 

Coba kita menengok kebelakangan sedikit, Melihat Singapura dan Korsel. saat mereka membangun bangsanya, mereka sangat miskin dan bisa di bilang, mereka masih terbelenggu oleh feodalisme. Sama seperti, Mental kolonial yang menghuni mental kita beratus ratus tahun. Okelah, Ada jepang yang menduduki kita, selama 3,5 tahun. Tetapi, itu hanya disrupsi kecil. Faktanya mereka bisa keluar dari Goa kegelapan, untuk mengubah mental mereka juga. 

Hal itu menunjukkan bahwa Memang ada semacam gerak sejarah yang memaksa Korsel dan singapura, yang tadinya ada semacam belenggu "Culture Matters", dalam Terma "Samuel Hutington". Tetapi, Mereka melihat bahwa kompetisi di asia di mungkinkan, jika fasilitas Rasional di Instalkan kedalam Kurikulum pendidikan. Inilah yang kita tidak punya. Memang korsel, juga pernah punya Masa, dimana upaya itu harus di tangani dengan tangan besi (Otoriter), sebagaimana Li Kuan Yu (singapura) Juga demikian. Tetapi, mereka menginginkan Perubahan itu berlansung secara Insitusional.

Kita gagal waktu reformasi, untuk merubah semua itu. Karena dalil para tokoh yang berkontribusi besar, sesungguhnya menginginkan Revolusi. Tetapi, Revolusi dianggap terlalu Radikal, makanya di edit menjadi reformasi. Padahal, jika revolusi terjadi, maka tentu yang terjadi adalah perubahan secara kualitatif. Sedangkan Reformasi, hanya perubahan kuantitatif saja. Makanya waktu reformasi, Kultur Foedal Cary over (menopang) ke dalam sistem politik, kedalam sistem Pendidikan. Jadi, tidak ada gunting yang tajam untuk memutus kultur Feodal ini. 

Kita sering menganggap bahwa Feodalisme adalah Local wisdom. Korsel dan jepang Juga masih menganggap feodalisme di dalam wilayah Kultur mereka. Tetapi, di dalam wilayah birokrarsi, mereka betul-betul liberian, bukan lagi Patrimonial. Sedangkan kita, Birokrasi kita tetap Patrimonial dan Kita tidak usah bohong. Sebab, di hampir semua rekrutmen apapun di bangsa Ini, tidak ada yang demokratis. Demokrasi di bangsa ini omong kosong. Saya adalah termasuk korban Praktek Patrimonial. Demokrasi, hanya Terjadi di Pemilu, pilkada, dsb. Itu pun hanya di soal Teknisnya saja. Selebihnya di sandera. 

Di titik itu, kita bisa menarik benang kusut bahwa Bangsa kita ini, punya Sense of Urgency (pikiran yang mendesak) untuk merebut benteng terlalu tinggi, tetapi sense of urgency membenahi benteng rendah sekali atau bahkan tidak ada pikiran yang mendesak memberikan cahaya yang lebih untuk benteng yang baru saja di rebut. 

Jika singapura, saat mulai membangun bangsanya, modal utamanya lebih rendah dari negara Termiskin di Afrika Tahun 1959. Sama juga dengan Korsel, bahkan ada streotipe tentang Orang Korsel adalah Bodoh dan Malas. Tapi, sekarang kita bicara begitu, kita dianggap orang bodoh. Karena, Sense Of Urgency mereka untuk merebut benteng dan Membersihkan benteng sama-sama tinggi. Sedangkan kita, keterdesakan untuk merebut benteng (kekuasaan) sangat tinggi. Tapi, keterdesakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sangat rendah. Tentu, hal ini mengandung daya dorong yang kuat, Tapi tidak pernah terjadi. Apakah kita tidak punya Keterdesakan membenahi pendidikan?.

Secara cepat dan kita harus jujur menjawab, bahwa kita tidak punya keterdesakan membenahi pendidikan. Kita bisa buka data penelitian Orang-orang yang menunjukkan Angka dan tingkat pendidikan di suatu daerah di Indonesia, itu sangat rendah. Padahal, Sumber daya alam kita melimpah. kita tidak kekurangan Garis pantai sebagai sumber protein untuk mengisi Otak. Kita punya banyak Gunung, sebagai sumber cadangan Carbon reading ketimbang Eropa. Kita punya resort beras. Artinya, kita punya Protein, kita punya Karbohidrat, kita punya oksigen. Kita punya bandara, kita punya Jalan tol. Tetapi, akses untuk menghubungkan pendidikan menjadi sangat rendah. Ajaib, coi.

Kenapa?. Karena sense of urgency (keterdesakan pikiran) tidak di ucapkan dengan Kosisten. Para kepala Daerah asal bicara saja, setelah itu di gerogoti lagi oleh Feodal.

Pendidikan itu sering kali di tarik oleh figur seorang leadernya. Kata Nabi, "Seperti apa kamu, seperti itulah juga Pemimpinmu".

Kita saksikan, Kemalasan berpikir terlihat dimana-mana. Akibat, leader kita di setiap simposium, menyuruh Para Guru dan Murid Menghafal nama-nama ikan. Tidak ada dialektika. Saya membayangkan, misalnya presiden bertanya," Nak, saya presiden Republik Indonesia, saya ingin bertanya tentang ikan?". Lalu, murid dan Guru-guru akan menjawab, Pasti soal nama-nama ikan, pak. presiden menjawab, "bukan. Saya mau bertanya mengapa Ikan tidak bisa manjat pohon?. Anak-anak akan terbuka pikirannya dan mencari Informasi tentang hal itu. Apa keterangan yang berhubungan, sehingga ikan tidak bisa manjat pohon.

Bahwa Ternyata ada gaya Kohesi, sehingga tidak mungkin bagi ikan memanjat pohon. Lantas, Mengapa Cicak bisa. Karena kohesi adalah pelajaran kimia dasar, diajarkan kepada Anak SD dalam bentuk yang mikro, agar anak terbuka cakrawala berpikirnya tentang Gravitasi dan Kohesi. Lebih besar kohesi sehingga Ikan tidak bisa manjat pohon. Rumus itu datang sendirinya karena ada dialektika.

Kalau presiden bisa mengajak anak murid untuk berpikir dialaktik, mungkin kita punya harapan tentang pendidikan. Jadi sekali lagi, visi seorang pemimpinlah yang menentukan masa depan sebuah bangsa. Kalau guru-guru kita setiap hari mendengarkan Pidato presiden tentang Politik of Hope, mungkin kita percaya tentang Indonesia maju.

Makanya, menjadi Wajar kemalasan berpikir itu terlihat dimana-mana. Dianggap, jika sudah bisa main Twitter, IG dan Pesbuk, sudah mapan secara pengetahuan atau Lihat saja Talk show kita sekarang, isinya hanya pendakalan Cara berpikir. Teknologinya maju pesat. Tetapi, Otaknya zero. 

Hal ini, Sama dengan kalangan Selebritis kita, hanya sekali, dua kali tampil di Tv sudah merasa jadi selebritis. Selebritis itu harus paham seluruh pikiran dunia, karena itu ia disebut selebritis. Bukan, hanya paham sinetron yang dia lakoni, kemudian, media menyorotnya dan terlihat dia memakai "Hermest". Lalu, kita mengatakan mereka selebritis. 

Padahal, jika Selebritis itu di tanya "hermest" itu siapa?. Palingan Mereka akan menjawab, Hermest adalah Tas mewah yang harganya sekian ratus juta. Inilah yang di maksud ; Mewah, tapi Dangkal. Tidak ada kaitan, antara apa yang di gunakan dengan pengetahuannya.  Tetapi, anehnya Followersnya Jutaan.

Estetika sesuatu itu ketika Selaras antara apa yang digunakan dengan apa yang dia tahu. Nah, Tahu itu Fungsi pendidikan dalam Kurikulum. Jadi, pendidikan kita ini selain menjadikan kita seperti singa, kambing, anjing dan serigala (metafora 4 unggas dalam Struktur pembetukan Manusia). Ternyata, pendidikan kita hanya menjadikan kita sebagai Followers. 

"Hermest" itu Nama dewi pengetahuan, yang di asosiasikan menjadi Jonto perdangangan. Dulu misalnya, Hermest di sebut sebagai Tasnya "Grace Kelly". Grace Kelly memakai Tas Hermest untuk menutupi kandungannya, dari paparazi. Selain itu Grace Kelly pernah memakai Tas Hermest untuk memukul petugas Sebuah Restoran di Los Angels, karena Grace Kelly mau masuk makan dengan seorang Sastrawan kulit hitam. Tetapi, si petugas restoran tidak memperbolehkan masuk. boleh masuk, asal temannya yang kulit hitam tidak boleh ikut masuk. 

Artinya, Hermest dulu di pakai untuk melindungi Privasi Dan di dalam tas tersebut ada Jejak Hak asasi Manusia. Sekarang Hermest, selain di pakai untuk di pamerkan dan kebalikan dari prinsip Hak asasi manusia. Seperti, ada seorang ibu-ibu memakai hermest. Di sebelahnya ada baby sister yang menggendong Bayinya. Bayinya menangis, Baby sister mau memindahkan ke Ibunya. Ibunya menjawab, Kamu tidak lihat tangan saya. saya ini lagi pakai hermest, Tidak bisa menggendong. Jadi, kedangkalan inilah sesungguhnya Harapan pendidikan kita. Sebab, Percuma Mewah, tapi dangkal.

Menteri Pendidikan kita ini, sesungguhnya punya Misi yang mulia. Hanya saja, kendala di sekitarnya Cukup riskan dan sistemik.

Akhir-akhir ini, kita sedang di dorong tentang kemajuan artificial Intelegency (ada Tulisan saya Soal Ini di bagian Lain), dimana kita bisa merekayasa Intelegency seseorang, Dengan asumsi bahwa kapasitas selebral kita, hanya 10% mobilisasinya. Hal ini bisa di tingkatkan, apakah dengan Biologis atau dengan cara artifisial. Apakah kita harus memberdayakan hal-hal seperti ini untuk mengakselerasi kecerdasan kita?.

Sebenarnya kita sudah berada didalam Tahap itu, kita sudah hadir sebagai manusia separuh biotek. Milineal misalnya, ketika ketinggalan Hp, dia seperti ketinggalan separuh dari aktivitasnya. Karena kita mengumpulkan semua hal, bahkan emosi kita di dalam Hp tersebut ; Kita takut sekali, kalau ketinggalan Hp, lalu di buka oleh pacar kita dan dia mendapati Ada kode lain disitu. Artinya, kita sangat grogi, jika kita ketinggalan hp. sesungguhnya Hp ini adalah separuh eksisistensi psikologi kita dan hal itu menunjukkan bahwa Perkembangan teknologi dengan sendirinya akan mendefenisikan ulang tentang eksistensi manusia. Apakah saya masih manusia atau Mikro Robot?. Di situlah Tugas teman-teman yang belajar filsafat untuk mendefenisikan ulang eksistensi manusia. 

Kita harus siap dengan kemajuan Teknologi dan informasi. Sehingga Dalam persiapan itu, kita memang akan berhadapan dengan problem Etics. Karena ada ingatan sejarah, tentang Frangkenstain. Bahkan Hitler juga dulu membuat rekayasa manusia seperti itu (biologic U genic atau Genetis baru). Tetapi, kalau kita terus menerus menganggap moral atau etika bisa menghalangi Teknologi. Maka, mestinya Kita juga berhenti untuk mengembangkan teknologi. Artinya, Etika dan Teknologi, mestinya di jembatani oleh Kurikulum pendidikan. Di jembatani oleh Nalar (Akal). 

Nah, Bagaimana bisa kurikulum kita menjemput Percaturan dunia, jika kurikulum kita masih merayakan keagungan Wiro sableng. Memang, wiro sableng pada zamannya itu Jagoan. Tetapi, sekarang perangnya dengan algoritma. Memori kita ini memang senang mengembalikan kejayaan masa lampau. Tetapi, lemah untuk daya pukul kedepan.

Sekarang tanggung jawab moril kita adalah terus membantu Bang Nadiem untuk memberikan dasar baru, agar Abang Menteri mendorong terus laju pertumbuhan pendidikan. Sebab dia akan berhadapan dengan Birokrasi yang bermental korup, licik dan culas. 


**

Saya Pernah di tanya, siapa Filosof yang Paling mempengaruhi pikiranmu?.

Secara Individual, kalau kita mau dekatkan karakter kita dengan seorang Filosof, tergantung apa yang menjadi problem Hidup kita. Sehingga tidak ada patokan umum. Saya suka dan mengikuti logika Eksistensialisme Neitzche, karena dia mampu untuk menerobos persembunyian Etics yang palsu pada zaman itu, Dengan mengucapkan bahwa "The Wil to power - segala sesuatu akan kembali secara eternal". Karena itu akan merangsang kita untuk berpikir,  tentang bagaimana cara dia melihat keadaan. Sehingga ia menimbulkan Filsafat Eksistensialis. Nah, hal itu bagian filsafat yang inheren, dalam rangka menyiapkan fasilitas batin, dengan kerumitan dunia.

Jika kita membersamai hal itu, kita akan menemukan bahwa di tahun 60-an, semua orang Gandrung terhadap Filsafat Eksistensialisme Neitzche. Dia mempengaruhi, lagu-lagu The Beatles. Dia mempengaruhi juga Lirik-lirik Nina Simone, yang berupaya anti terhadap kekuasaan. Jadi, kita bisa baca bahwa Filsafat itu menggenagi wilayah-wilayah lain dalam hidup.

Tetapi, kalau soal politik, Nietzche tidak bicara itu. Kita mesti cari Filsuf lain, Thomas Hobbes, Ibnu Khaldun, atau Jhon Rolls di Amerika, Misalnya. Kalau lulusam Harvard pasti tahu, sebab dia professor di Harvard. Yang melihat problem Ketidakadilan (Justice) dan berupaya mendamaikan liberal klasik dan Solidaritas manusia.

Sekarang sudah banyak Filsuf-filsuf yang lebih nyeleneh, Seperti Slavok zizak. Semua itu hanya perkembangan dari pkiran-pikiran klasik eropa, yang di benamkan ke dalam insitusi, sehingga dia tidak hilang. Sekalipun pernah suatu masa, gereja membenamkan Ilmu Pengetahuan dan Sains yang di simpan di dalam Museum-museum gereja Katolik.

Dalam kaitan itu, kita bisa menyebutkan seorang filsuf, yang bernama 'Umberto Ueko'. Umberto Ueko itu menulis suatu buku (Novel) yang bernama The Name of rose, yang kemudian di jadikan sebuah Filem. Dia menggambarkan pengetahuan itu Di sembunyikan di suatu perpustakan yang hanya boleh di akses oleh elit, yang pada waktu itu adalah Gereja katolik. Sehingga mereka yang masuk ke dalam perpustakaan tersebut, jika tidak di izinkan elit pasti akan mati, karena dianggap sebagai kutukan Tuhan.

Padahal sebetulnya, pengusa waktu itu (Gereja) menaruh racun di setiap ujung Lembar halaman buku (Biasa kalau kita mau Membalik lembar Kertas buku, kita menggunakan tangan setelah mengambil air liur di lidah). Jadi, ketahuan jika ada yang mati, itu karena keracunan.

Suatu waktu ada yang mati, maka Gereja mengucapkan ini adalah melawan kehendak Tuhan. Padahal itu adalah Kelakuan kriminal mereka yang menghalangi Ilmu pengetahuan.

Dari peristiwa itu, kita bisa mengaktivasi nalar kritis kita, bahwa pernah ilmu pengetahuan di halangi oleh Arogansi Agama. Dari situ kita bisa menghubungkan dengan soal-soal yang menimpa kita, seperti Madilog - Tan malaka yang buku-bukunya di larang. Pdfnya masih tersebar, tetapi bahaya jika bukunya di baca. Sama seperti Syech Siti Jenar, memang kasus itu spektakuler. Mengapa syech Siti jenar, mengambil resiko Saat dia sedang naik ke level Tarekat untuk mencapai kesempurnaan Rohani.

Dari situ kita bisa menghubungkan, dalam Sosio-kultural indonesia ada persaingan pikiran menghasilkan kekerasan. Nah, di situlah spiritnya. Jika guru-gurunya bermutu dan dia bisa mengaitkan seluruh pengetahuan dunia.

Berkenaan dengan halaman buku yang di beri racun, hampir sama dengan Zaman Dinasti Abbasiyah, yang gemilang selama 500 Tahun. Sebagai Muslim, saya bangga pernah baca tentang Kejayaan Sains di Masa Abbasiyah. misal Al Khawarizmi, yang pertama kali meneguhkan Algoritma, sebagai dasar dari Matematika, aljabar, Mantiq, dsb. Sekalipun di ujungnya, berhenti. Setelah Hamid Al Ghazali, datang dengan ajaran yang lebih mengendepankan Wahyu atau agama ketimbang Sains. Sekalipun Dinasti Ottoman bisa berjaya selama 500-600 tahun, tetapi mereka tidak bisa mengembangkan Sains sebagaimana Periode Abbasiyah. Lalu, masuklah Periode Khulagu Khan, abad 13 saat menyerang Bahgdad.

Pikiran barat, karena di sembunyikan Gereja. Bahkan banyak yang di bakar. Tetapi, beberapa buku dasar Plato dan Aristo di selamatkan dan kemudian di bawah ke negeri arab, di terjemahkan kedalam bahasa arab, kemudian terjemahkan kembali ke Barat kembali. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Alexander adalah anak murid aristoteles, yang membawa separuh pikirannya ke persia. Jadi, peradaban sesungguhnya tidak terputus. Justru, karena ada intelektual Arab yang tertarik dengan pengetahuan, sekalipun terjadi debat, mana yang lebih penting Wahyu atau Sains, antara Al Ghazali dan Ibnu Rusyd.

Sebetulnya kita bisa terangkan sebagai sejarah Ilmu pengetahuan, kita tidak perlu terlibat ke dalam dilema tersebut. Nah, hal ini mestinya juga masuk kedalam kurikulum pendidikan kita, bagiaman Ilmu pengetahuan bertumbuh dan bagaimana Ilmu pengetahuan di halangi.

Tetapi, kembali lagi bahwa Guru atau Dosen harus punya Cakrawala berpikir yang makroskopis dan Tebal kritisismenya. Supaya dia tidak mempromosikan sesuatu.

Terakhir, saya ingin menyampaikkan bahwa Ahli fisika yang paling terkenal, Albert Einstein mengatakan, bahwa "eksistensi alam semesta bukan sesuatu yang Coinsidance". Bukankah hal itu sangat spiritualis, karena dia berhasil mengkontekstualisasikan eksistensi religius dan Sains.

Begitu kita maksimalkan Daya Rasio. Kita akan tiba pada semacam kekosongan. Kekosongan itu mesti di jawab, ternyata agama menjawab hal itu, sebagai pengalaman spiritual. Artinya, berilmu juga merupakan pengalaman spiritual. Nah, selama ini kan kita tidak diajarkan. seolah-olah anak Teknik tidak boleh belajar filsafat atau anak Fisip tidak boleh belajar Teknik. Padahal ilmu itu satu kandungan yaitu keinginan untuk menerangkan, sekaligus mengangumi atau menggetarkan (Tremendum).

Berkenaan dengan itu saya ingat ungkapan Imanuel Kant, "manusia itu berjalan dengan bintang diatasnya dan moral di hatinya". Artinya Manusia di tuntun dengan pengetahuan (Bintang) dan kata hati untuk memberi Tanggung jawab etis.

Itulah sebabnya, Descartes datang dengan Ungkapan terkenalnya, "Cogito Ergo sum - aku berpikir maka aku ada". Kalau kita sekarang "Coitus Ergo sum - aku koitus maka aku ada".

Descartes berupaya memberi titik balik dari teologi ke rasionalitas. Tetapi, di tahu bahwa jika dia melakukan revolusi dari Teologi ke Rasionalitas. Maka dia akan di ganggu oleh aristokrasi teologi. Sehingga dia masih memberi kesempatan untuk berpikir bagian Teokratis dan menunda ke belakang. Tetapi, dia tetapi memberikan garis bawah pengetahuan hanya bisa di mulai, jika ada keragu-raguan.

Kedepannya, bahkan di prediksi pada tahun 2045 dimana era Robotic, era Cybyon (penyatuan antara Artifisial Intelegensia dan sains biologi), era Cyber Net. Jika kita tidak memulainya saat ini dengan menyelundupkan ke dalam kurikulum. Maka, Milineal akan menagih kita pada tahun 2045, mengapa kalian tidak membekali kita dalam menghadapi era itu.

Kita ada dalam kegamangan hari ini, sebab selain kita butuh Infrastruktur Statis. Kita mestinya menginstalkan kedalam pikiran pemerintah kita. Yang kerap menyebut-nyebut Bahwa era 4.0 tapi Pikirannya 0.4. Karena, mereka hanya membayangkan. Sementara jejak ke arah itu tidak di lakukan. 


**

Konteks pendidikan kita sekarang, di buat ketika zamannya langka informasi, buku-buku kurang. maksudnya sumber informasi sedikit. Efeknya, di jadikan dalam satu kelas. Yang saya mau tanya begini ; apakah di dalam kelas itu mensimulasikan dunia luar atau tidak?. Kalau tidak, justru menghancurkan anak didik. Sebab, orang tujuannya mendidik itu, agar kita efektif ketika masuk ke society (Masyarakat). Kalau pada konteks ini, justru tidak kompatibel dengan society, maka pasti rusak.

Misalnya, ketika kita di society. apakah baik saling tolong menolong atau membantu satu sama lain?. "Tentu Baik". Tetapi, ketika kita saling bantu satu sama lain di dalam kelas saat ujian, pasti kita di marahi guru kan.!.

Nah, dari situ Kita harus menyadari, bahwa limitasi itu hadir karena zamannya. Apakah masuk akal, meletakkan anak yang umur lahirnya sama ke dalam satu kelas. Memangnya Ini produk motor atau mobil, sehingga desain pendidikannya seperti ini. Kita duduknya sendiri-sendiri, Menghadapnya ke buku, bukan kepada teman. Bukan diskusi yang di dorong. Padahal, Di society (masyarakat) kita tidak akan menemukan hal itu. 

Misalnya, ada masalah, lalu Guru menerangkan dengan hanya Satu cara untuk memecahkan masalah tersebut. Bukankah hal itu membunuh akar kreatifitas kita. Mengapa?. Karena, kreatifitas itu datang dari memecahkan masalah dengan cara yang berbeda. Jika kita tidak boleh memikirkan cara yang berbeda untuk memecahkan masalah. Maka, kita tidak terpakai di Society. Karena kita hanya bisa jadi Followers.

Artinya, secara Fundamental, pendidikan zaman dulu, tidak perlu di teruskan. Kita sudah melalui banyak limitasi Teknologi, informasi dan sebagainnya. Sehingga Metode pendidikan zaman dulu, stop lah!.

Justru saya sangat sepakat dengan konsep Ki Hajar Dewantoro, " Semua orang Guru, semua orang adalah Murid, setiap tempat adalah sekolah. Jadi, tidak perlu di buatkan suatu ruangan, kemudian di siapkan dalam satu society. Artinya, sejak awal kita tinggal saja di society, sehingga kita tidak berjarak dengan Lingkungan, alam semesta dan Manusia. Kita tingga natural progresi dari apa yang di pelajari.

sekolah itu hanya satu cara untuk memecahkan masalah. Ada banyak cara untuk memecahkan masalah yang sama. Jika sudah tidak kompatibel metodologinya, Rubah. Tidak usah terlalu fanatik dengan Cara. Yang jelas Tujuannya sama. Yang kita niscaya fanatik adalah Tujuannya, Bukan caranya. Caranya kita harus fleksibel dan adaptif. 

Ada satu Eksperimen yang di lakukan oleh 'Russel akof', seorang penggiat pendidikan. Dia memberi eksperimen pada seorang Murid Kelas 2 SD. Dia menyebutkan, bahwa pelajaran ini bukan pelajaran pedagogy, tetapi pada kontekstual. Waktu dia memulai percobaannya, dia menyuruh anak Kelas dua SD tersebut untuk mengajari Komputer hitung-hitungan (tambah-tambahan, kali-kalian, dst). Si anak SD belum tahu ilmu itu. Tetapi, di suruh tetap mengajari komputer Matematika. 

Jadi, yang di berikan oleh Russel Akof adalah Mission dan Problem. Lalu, bahan pendukungnya banyak di sedikan. seperti buku-buku dan Informasi lainnya. Kedekatan terhadap informasi, dia punya objek yang akan di pecahkan dan Dia serius mengerjakannya. Akhirnya Si anak SD itu berhasil menyelesaikan problem tersebut dalam waktu 6 bulan dan pelajaran yang di serap untuk memcehkan masalah itu, seperti pelajaran 4 semester Mahasiswa. Artinya, dua tahun di singkat menjadi 6 bulan. Ketika konteksnya benar. Sementara ketika kita belajar matematika, kita cuman belajar kalkulasi. Bukan belajar Logika. 

Itulah sebabnya, Jika ada anak-anak yang mengatakan pelajaran matematika tidak berguna, saya kadang-kadang sepakat Juga. Mengapa?. Karena kita tidak di beri konteks terhadap itu. Kalau kita di beri mision untuk menyelesaikan sesuatu, salah satu caranya harus belajar matematika, menjadi tidak masalah.

Misalnya, Ada pertanyaan begini, "Ada dua orang di tanya sama bosnya tentang tinggi sebuah gedung?. Orang pertama menjawab 23 m 40 Cm. Sedangkan kawannya yang satu menjawab tidak tahu dan meminta izin untuk di beri waktu 2 jam. Dia keluar, dia lihat bayangannya, dia hitung, lalu dia jawab, jawabannya sekitar 24 m. 

Jawab orang kedua, kalah akurat dengan kawannya yang pertama. Tetapi, kira-kira yang di pilih yang mana?. Yang hafal tingginya atau yang memecahkan masalah. Tentu, yang memcehkan masalah, sebab dia lebih berguna dan kita akan berhadapan dengan masalah yang kita tidak bisa bayangkan sebelumnya. Nah, masalah di sekolah adalah masalah yang telah di bayangkan sebelumnya. sementara dalam realitas society, dalam Kenyataam hidup, kita akan menghadapi masalah yang kita tidak pernah bayangkan sebelumnya. Itulah yang di sebut, problem solving. 

Metodelogi pendidikan, watak pendidikan dan kurikulumnya, tidak melatih kita untuk menjadi problem solver. Kita di latih untuk menghafalkan ilmu. Sekalipun kita tidak tahu apa gunanya. 

Vocal point Dari Gagasan Pendidikan kontekstual yang saya ingin sampaikkan bahwa kita itu niscaya berlajar semua hal, sebab manusia itu tidak fakultatif. Semua manusia itu universal.

Jika selama ini, kita menganggap Universitas, seperti sebuah Gedung yang banyak kamarnya, yang disebut Fakultas-fakultas. Seperti Fisip, Hukum, Ekonomi, keperawatan, itu adalah Kamar-kamar.

Nah, Saya mencita-citakan sebuah rumah dialektika yang banyak pintunya, bukan banyak kamarnya. Agar, ada yang masuk lewat pintu fisip, pintu Hukum, pintu ekonomi, dsb. Di dalam rumah kita campur dan membaur. Sebab, saat kita ke pasar atau ke masyarakat. Orang tidak tanya engkau dari fisip atau Hukum.

Itulah sebabnya, pintu (Fakultas) mesti mengajarkan kita untuk menjadi manusia Universitas.  Karena sekarang belum ada Universitas, yang ada adalah kumpulan Fakultas-fakultas. Karena, tidak ada sarjana Universitas, yang ada adalah Sarjana Fakultatif. Jadi, memang sejak awal pendidikan ini salah berpikir. Karena kita tidak meneruskan apa yang diajarkan nenek moyang kita. Kita terlalu kagum dengan barat dan satunya lagi kagum sama arab.

Misalnya, Kalau saya megatakan saya buruk atau saya Baik, memangnya itu menunjukkan bahwa saya buruk atau baik, betulan. saya baik atau buruk, apakah di tentukan oleh anda atau saya?. Kita (saya atau anda) tidak berhak menilainya. Kita ini sama-sama Murid, kenapa saling mengisi lapor. Yang berhak mengisi lapor murid adalah Guru. Memangnya Saya atau anda adalah Tuhan.

Nah, ada hak Tuhan dan ada Hak manusia. Jadi, tidak masalah saya jika di bully. Sebab, jangankan di bully, di bunuh juga saya tidak apa-apa. Tetapi, kalau saya tidak terbunuh, jangan salahkan saya. Karena, aku tidak berkuasa atas nyawaku, maupun nyawamu. Jadi ada pembagian Tugas dalam kehidupan ini : Tuhan bikin padi, kita bikin beras dan kita menjadikannya sebagai Nasi, maka kita kenal ada nasi goreng, nasi kuning, dsb. Jangan Tuhan di suruh goreng Nasi. Itu kacau namanya. 

saya Tidak punya daya tarik, sehingga tidak menjadi alasan untuk orang mendengarkan ketika bicara sampai berlarut-larut malam atau membersamai tulisan-tisan saya. Sebab, begitu saya mengaku bahwa saya berjasa atas orang lain, maka saya batal.

Misal, ada orang yang menyembuhkan orang sakit, Dengan meniupkan ke dalam media air. Memangnya, karena tiupan orang tersebut sehingga seseorang yang sakit itu menjadi sembuh. Tidak, coi. Kita ini di kerjasamakan, agar menyatu diantara kita dan Allah yang melaksanakannya, " Fa al lima yurid (Dia maha Bekerja atas apa yang dia kehendaki)".

Sudah berapakali saya bilang, bahwa saya bukan Ustadz, bukan Kiyai dan teman-teman diskusi bukan Ummatku. Kita adalah Ummat dan Pengikut Nabi Muhammad SAW. Nabi sudah tidak ada, tetapi Nubuwah terus menerus sampai Dunia ini binasa. 

Misalnya, kita bangdingkan Komplikasi masalah di indonesia ini dengan zaman Nabi Muhammad, mana yang lebih parah?. Identifikasi masalah di Zaman Nabi Muhammad sangat Jelas ; Orang Muslim, jelas. Orang Musyrik, jelas. Munafik  jelas. Orang Ikhlas, jelas. Zaman sekarang, orang Kafir saja, Ceramah kiri kanan. (Kafir dalam artian kualitatif. Tetapi, budaya dan identitasnya Muslim). Mengapa, saat itu, problemnya lebih sederhana, tetapi, ada Nabi. Sekarang kompleksitas masalahnya, jauh lebih parah. Tapi, Tidak ada Nabi.

Lantas, apakah ada wahyu setelah Nabi Muhammad?. Pertanyaan demikian menunjukkan betapa parahnya struktur pendidikan kita. awan saja di kasih wahyu Oleh Allah, lebah saja di berikan wahyu ; "Wa aw ha ilan nahli - dan aku mewahyukan kepada lebah-lebah". Berarti sangat mungkinkah, kerbau dan sapi mendapat wahyu juga. Sebab mereka mahkluk Allah. Apalagi Manusia, yang Puncak ciptaan Allah. Meskipun wahyunya tidak regulatif seperti para Nabi-nabi.

Nubuwah itu sampai hari ini berlansung, Allah terus Berfirman pada kita. Sampai hari Ini Allah terus menerus memberi ayat-ayat. Hanya saja, sistem kepekaan kita yang berbeda. Sebab, daya tangkap kita terhadap Ayat dan tanda, tergantung pada kualitas software kita.

Itulah sebabnya, Selain belajar membaca ayat Al-Qur'an, secara tekstual. Kita juga harus belajar membaca ayat-ayat yang tidak di firmankan secara Regulatif.

Misalnya, suatu kejadian saat Nabi Musa Membelah Laut (Wahai Musa Pukulkan Tongkatmu ke laut). Selama ini, kita berpikir dan membaca bahwa hanya Nabi Musa saja yang perintahkan (Wahyu) oleh Allah. Sehingga kita tidak berpikir, bahwa Air laut pun Pastinya di perintahlan oleh Allah untuk terbelah. Artinya, ada Ayat berikutnya, tetapi tidak tertulis secara Administratif (Wahai Air, membelahlah, begitu engkau di sentuh oleh Tongkat Musa). Ada ayatnya, cuman kita Tidak pernah berpikir sejauh itu. 

Kenapa kita berpikir sejauh itu. Karena pendidikan kita, meniscayakan kita untuk sekedar menghafal bukan berpikir. 


*Pustaka Hayat
*Coretan Nalar Pinggiran 
*Pejalan sunyi
*Rst

Minggu, 02 Januari 2022

KOSA KATA BARU DUNIA - ENVIRONMENTAL ETICTS ; DIALEKTIKA

Kita bergembira, karena ada inisiatif untuk mengaktifkan pembicaraan tentang Lingkungan dalam masa pandemi covid ini, kita seolah-olah di tuntut untuk melihat manusia dengan membalikkan perspektif, yaitu dari Antroposentrisme kepada Lingkungan. Semacam pembalikkan subjek, baik Hukum, budaya, dsb. sekaligus pembalikan etika. Dari etika yang berpusat pada manusia, menuju pada etika lingkungan (Eco sovia atau Eco sentrisme).

Kita kerap kali kaget untuk membalikkan perspektif ini. Karena, kita hidup seolah-olah menjadi Tuan besar diatas Bumi. Kita menikmati semua fasilitas kemanusiaan dengan mengeksploitasi apa yang ada di depan kita, yaitu Alam. Baik di dalam pandangan Filosofi, maupun ilmu hukum. 

Perubahan ini adalah suatu perubahan yang sangat substantif. Sebab, kita merubah perspektifnya, dari Natural Rights menuju The rights of natural. Semacam lompatan kuantum. manusia menikmati seluruh haknya diatas dunia, atas dasar hak yang di peroleh secara alamiah atau di berikan oleh alam (sekalipun sebatas klaiman). Lalu, manusia memanfaatkan hal tersebut, justru untuk mengeksploitasi alam. 

Beberapa waktu lalu, Dunia di gemparkan dengan kehadiran seoran anak Muda, yang bernama 'Greta Thumber' yang menjadi Person Of the Year dari majalah Time, karena dia berhasil mengumpulkan 240 juta orang untuk ikuti di dalam kampanye penyelamatan lingkungan. Dia bertemu dengan banyak pemimpin dunia, CEO dan Koorporasi.

Tapi, sayang dia tidak datang ke indonesia dan bertemu dengan Pak Jokowi. Sebab, saya tidak bisa membayangkan, jika dia bertemu dengan Presiden Jokowi dan dia bertanya, "Mr. Presiden do you Speaking Environmentalisme?". Mungkin presiden akan menjawab, "yah, saya sedang membangun Ibu kota Baru di kalimantan". Lalu, apakah itu akan menjadi Bullying sedunia. Sebab, membangun ibu kota. Artinya merusak Lingkungan.

Kita hendak membuka suatu pembicaraan, agar milineal mendapatkan suatu pikiran baru tentang hidup milineal yang di dera oleh isu lingkungan.

Jika kita masuk ke dalam pergaulan Internasional, orang akan tunggu kita mengucapkan suatu pikiran, yang bisa membuktikan bahwa kita adalah global Netizen, yang Salah satu Grandmernya di dalam pergaulan Internasional adalah Environmentalism. Sebab, di dunia sekarang orang sudah tidak bertanya, do you speaking english. Tapi, orang akan bertanya Do you speaking Environmetalisme.

Mungkin orang akan bertanya, mengapa demikian?. karena kita terhubung oleh satu isu, yaitu only one earth (hanya satu bumi). Sementara mereka yang tidak paham terhadap Earth etics, dianggap sebagai orang yang buta huruf terhadap pengetahuan, buta huruf terhadap masa depan, buta huruf terhadap relasi baru di abad milineal.

Isu lingkungan masuk ke indonesia, melalui LSM. Janggal, karena isu tersebut masuk Bukan melalui Universitas. Memang di beberapa universitas, ada mata kuliah Hukum lingkungan. Tetapi, radikalisasi isu tersebut, bukan berasal dari kampus. Melainkan berasal dari civil society (masyarakat), walhi, misalnya. Yang di takdirkan berkelahi dengan pemerintah soal lingkungan hidup. Sama seperti Isu Demokrasi dan Human Right juga masuk melalui civil society. sebab, dulu masa pemerintahan soeharto, tidak ada isu tersebut. Lalu, di impose oleh civil society, terutama LBH. Sebagaimana halnya, Isu Gender equality juga masuk melalui Civil society.

Kita lihat isu-isu radikal, Lingkungan hidup, demokrasi dan human Right, serta Gender equality dan Ibu Bumi. Justru menjadi tema yang seksi, ketika di ucapkan oleh civil society. Universitas justru Bungkam, padahal semestinya Kampus adalah jembatan diskursus tersebut.

Sesungguhnya gerakan intelektual atau kelompok mahasiswa, mestinya menyambungkan pikiran civil society yang terhalang oleh negara. Mengapa?, Karena negara terus menerus membutuhkan Tanah. Negara terus menerus membutuhkan Infrastruktur statis di hidupkan. Negara ingin, agar APBN harus menghasilkan sesuatu yang terlihat. Padahal, Isu lingkungan selalu menjadi efek dari arogansi pembangunan. Itulah sebabnya, selalu ada dialektika antara Environment dan Development.

Mengapa pembicaraan tentang lingkungan, tidak berbunyi di indonesia. Padahal, ada milineal di dalam istana. Mestinya, Jika milineal masuk istana, maka grandmer (Kosa kata) Lingkungan hidup juga harus masuk ke dalam istana. Artinya, milineal harus berani menyatakan, bahwa " saya milineal dan saya Harus bisa membunyikan bahasa lingkungan Hidup, bukan sekedar God lucking".

Kita di Indonesia terlalu sibuk membicarakan Isu Radikalisme dan intoleransi. Padahal di dunia sekarang, orang bicara tentang lingkungan hidup. Seolah-olah kita terkucil dari pembicaraan dunia. Karena kita tidak bisa menghubungkan, antara cita-cita kemerdekaan dan konsitusi dengan wacana-wacana Kontemporer.

Selain itu, Selalu ada arogansi di dalam Antropologi, sehingga eksploitasi terhadap alam, dianggap perintah Tuhan. Padahal, eksploitasi terjadi, karena in equality dalam kebijakan. Misalnya, kalau ada orang miskin merambah Hutan, hal itu bukan, karena Perintah Tuhan. Tetapi, reaksi atas Kebijakan yang tidak pro orang Miskin. Eksploitasi Manusia terhadap alam adalah akibat eksploitasi manusia terhadap manusia. Secara sederhana bisa di kemukakan, Mengapa Proletart mengeksploitasi alam, karena ada Kapitalis yang mengeksplitasi prloterat.


***

Mari kita buka percakapan lingkungan ini, dengan menguraikan contoh yang kontroversial, agar kita bisa menemukan perspektif baru. 

Setelah Covid, kita harus berpikir ulang. Apakah betul bahwa hak yang di berikan oleh Alam atau yang di sediakan oleh seluruh filsafat Antroposentrisme, masih berguna ketika berhadapan dengan pandemi?. Bagi kita (manusia) atau Bagi pandangan Antroposentrisme, covid adalah penganggu. Karena itu, kita sebut Covid sebagai virus.  Lalu, kita maki-maki virus Corona, sebagai penyebab dari pandemi ini. Lalu, kita berupaya untuk mencari vaksinnya. 

Tetapi, jika logikanya di balik ; pernahkah kita berpikir dengan menggunkan Perspektif Kosmologi atau dari perspektif Ibu Bumi. Sesungguhnya bumi menganggap bahwa Manusia adalah Virus. Maka, dalam upaya menghalangi dan memperkuat dirinya (Bumi), anti bodi Bumi bernama covid keluar menyerang virus, yang bernama Manusia.  Artinya, Hak saya sebagai manusia untuk bertahan hidup dari Virus, sama dengan Hak virus untuk bertahan hidup dari kelakuan manusia, yang menyebabkan virus menyerang manusia. 

Fakta yang di perlihatkan hari-hari ini, seluruh kerusakan lingkungan, yang di sebabkan oleh manusia. Sudah setara dengan sesuatu yang kerap kita sebut dengan bencana alam. Namun, kita enggan menyebut kerusakan manusia sebagai bencana alam. Itulah sebabnya, jika kita bicara hukum lingkungan. Kita mesti paham, bahwa kita harus mengubah seluruh kebiasaan berpikir kita yang konvensional. 

Secara ekologi, mestinya manusia sudah punah. Sebab, manusia tidak mungkin menetap selamanya di alam semesta ini. Mestinya sudah ada spesies lain, yang berhak menggantikan status manusia di bumi. Entah, dia adalah robot atau mahluk lain yang bermutasi untuk menyatakan hak untuk menghuni bumi. Karena kesetaraan mahluk itulah, sehingga sampai sekarang terjadi perdebatan, apakah betul lingkungan hidup akan menghilangkan manusia?. Sebahagian kalangan menganggap, bahwa lingkungan itu niscaya di rawat agar berguna bagi manusia. Sementara alam merasa mengapa mesti manusia yang spesial diatas alam.

Saya pernah membaca beberapa skrip kuno, tentang hubungan antara alam dan manusia, yang menceritakan tentang Seorang pendeta Budha, yang berjalan di Tibet bersama beberapa muridnya. Di tengah perjalanan, seorang murid, pendeta Budha meninggal dunia. Lalu, murid lainnya mengatakan pada gurunya (pendeta), "kita mesti mengubur kawan saya ini". Kemudian Gurunya menjawab, "biarkan saja, tidak usah di kubur. Mengapa anda mau mengubur mayat itu dan ingin memberi makan cacing tanah. Sementara burung-burung bangkai kekurangan makanan". 

Menurtku, ini suatu perspektif yang betul-betul radikal. Kita menganggap bahwa tubuh manusia itu, karena kesuciannya atau karena Tradisi, sehingga ia mesti di kubur. Tetapi, bagi seorang Pendeta Budha, tubuh manusia ketika meninggal. Maka, dia akan berubah menjadi mineral dan Mineral itu adalah hak makhluk lain untuk mengkonsumsinya.

Jika tubuh manusia, di kubur. Maka, telah menjadi hak Cacing untuk mendapatkan protein dari tubuh manusia. Sama halnya, jika di biarkan di udara terbuka (Tidak di kubur), menjadi hak burung bangkai untuk mendapatkan protein. Sampai sekarang, Tradisi tidak mengubur Tubuh manusia yang telah meninggal masih berlansung di tibet. Justru, pendetanya membuatkan ritual. Setelah itu, datanglah burung bangkai memakannya. Selesai. 

Pandangan hidup semacam ini mengajarkan kepada kita, bahwa relasi antara manusia dan lingkungan juga terdapat di dalam ajaran-ajaran Tradisional, dalam bentuk agama atau petuah-petuah kultural. Artinya keadaan itu membuat kita mungkin melihat, semacam picu untuk mulai menghitung relasi antara alam dan manusia. 

Kita coba lagi Mengilustrasikan dengan Mengaktifkan Imajinasi, perihal hubungan Manusia dan alam (lingkungan), agar membantu kita menemukan suatu perspektif baru. Misalkan, ada sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu sementara berlansung perkuliahan tentang etika lingkungan. Lalu, ada seorang Mahasiswa yang sedang menulis disertasi, tentang Filsafat lingkungan, karena Mahasisiwa tersebut merasa kedinginan. Sehingga, Ia bolak balik ke toilet untuk Buang air Kecil. Saat Dia balik dari Toilet, dia merasa kakinya di gigit oleh semut. karena itu, semut tersebut dia injak di dalam kelas.

Pada waktu semut itu tewas di dalam kelas. maka, secara teknis kelas itu berubah dari A mines S (simbol kelas adalah A, sedangkan semut adalah S). Tetapi, Jika kita melihat dari sudut ekologis, begitu semut itu meninggal di dalam kelas. Maka kelas itu, tidak lagi kelas dengan simbol A. Melainkan telah berubah kualitasnya (bukan lagi A mines S). Tetapi, dengan simbol bukan A. Mengapa berubah?. karena, ada satu mahluk yang hilang dari kelas, yaitu semut yang di injak mati oleh seorang mahasiswa.

Apa yang terjadi sebetulnya setelah semut itu meninggal. maka, kebiasaan mahasiswa untuk pergi ke toilet, hanya beberapa kali. Menjadi berkali- kali. Bagaimana jalan pikirannya sehingga bisa demikian?. Semut yang tewas, tidak lagi bermetabolisme, tidak bisa lagi mengolah Energi dan tidak bisa lagi memproduksi Kalori. Maka, secara Otomatis suhu udara di dalam kelas akan berubah atau turun sekian derajat. Begitulah Logika ekologi, berjalan. 

Seminggu kemudian, Mahasiswa Tersebut membuka komputernya untuk mengikuti kuliah berikutnya, sambil menunggu balasan proposal dari pemerintahan belanda yang diajukan untuk memperoleh beasiswa (studi banding lingkungan hidup di deng Hag). Namun, setelah seminggu, Mahasiswa tersebut tidak mendapatkan Jawaban dari pemerintah belanda. Akibatnya, Mahasiswa tersebut mulai memaki-maki pemerintah belanda ; Dasar Kolonial, penjajah, tidak mau menjawab proposal saya.

Belakangan kita tau, bahwa minggu lalu terjadi kenaikan air laut di depan Dam (Tanggul) Amsterdam (belanda) dan air laut tersebut masuk ke ruang komputer kemendikbud belanda, akibatnya komputer Kemendikbud Belanda rusak. Naskah proposal beasiswa Mahasiswa dari indonesia yang diajukan kepada pemerintah belanda tergenang air. Oleh karena itu, tidak bisa di jawab oleh pemerintah belanda.

Sekarang kita analisa, mengapa air di pemukaan kota amsterdam itu naik 0,00 sekian Meter.

Jika kita belajar sedikit tentang hubungan-hubungan Homeo statik. Sebagaimana saya sampaikkan diatas, bahwa Setelah mahasiswa itu menginjak semut dan semut itu Mati. Maka, Suhu ruangan menjadi turun, akibatnya dia lebih sering ke toilet untuk buang air (bukan hanya sekali). 

Secara teoritis, jika dia pergi buang air kecil berlebihan. Maka, jumlah air seni yang ada di kampusnya akan bertambah, pada saat yang bersamaan Terjadi hujan. Maka, berlimpah lah air seninya yang masuk ke gorong-gorong kota Makassar dan air itu sampai ke laut. Maka, naiklah permukaan air laut Makassar. Saat yang bersaman es di kutub utara sedang mencair. Maka, bertambahlah volume air di dalam laut dunia. 

Artinya, secara teoritis. Mahasiswa tersebut yang jengkel dengan semut, lalu menginjak semut tersebut hingga tewas. Sehingga menyebabkan dia bolak balik lebih sering ke toilet untuk buang air kecil. Maka, tentu Toilet akan bertambah airnya. Di Saat yang bersamaan sedang terjadi Hujan, air seni yang bercampur air Hujan mengalir menuju laut lepas. Saat air tersebut sampai ke laut lepas, dalam waktu bersamaan Es di Kutub utara sedang mencair. Maka, permukaan air di kota amsterdam menjadi naik dan membanjiri ruangan Depdikbud belanda, sehingga menenggelamkan Komputer di dalamnya, yang berisi Naskah proposal beasiswa Mahasiswa indonesia Tersebut. 

Kalau kita di tanya, mengapa mahasiswa tersebut gagal memperoleh Beasiswa di Amsterdam?. Karena mahasiswa tersebut, menginjak semut di Makassar. Ihwal itulah yang di sebut dengan Logika ekologis. Kepak kupu-kupu di Hutan Amazon, bisa menyebabkan badai di California. Asap knalpot di Makassar, bisa menyebabkan gagal panen, di sidrap. Di titik itulah, Kita kerap kali gagal memahami kaitan ekologis itu di dalam skala yang besar. Itulah sebabnya, hukum lingkungan di dunia sekarang di buat dari Hak-hak alamiah Manusia kepada Hak alam.

Hukum lingkungan di bangsa kita ini ada. Tetapi, belum sampai kepada pandangan yang Radikal. Hukum lingkungan di buat, hanya memungkinkan kebutuhan manusia atau Untuk kemakmuran manusia. Bukan untuk melindungi lingkungan. Jika pemerintah kita serius terhadap Lingkungan. mestinya sebelum membangun infrastruktur harus melalui riset amdal atau Kajian lingkungan. Artinya, sebelum ada riset dan kajian lingkungan, haram membangun Infrastruktrur. sebab, di dalam Hukum lingkungan, riset dan kajian Amdal, di maskudkan untuk membatalkan pembangunan Infrastruktur. sekarang pemerintah kita membalik logika tersebut. Mereka menyatakan akan membangun ini dan itu di suatu daerah dan mempersilahkan akademisi untuk mengkaji hukum lingkungannya. Mestinya di riset terlebih dahulu, baru di putuskan secara politik. 

Misalnya, Di berapa gunung di indonesia, telah memberlakukan Aturan yang sangat ketat bagi para pelancong, apalagi pelancong yang perokok dan membawa rokok naik ke gunung. Jika kita turun, Kita harus bisa membuktikan Berapa banyak batang rokok yang kita isap, dengan membawa pulang puntungnya. Tarulah kita bawa, 20 batang. Sementara yang kita bawa turun hanya 2 puntung. Maka, kita harus kembali naik untuk mencari 18 puntungnya atau kita akan di denda dengan mahal. Prinsip seperti ini mestinya sudah harus menjadi aturan baku pemerintah kita, sebab di luar negeri aturan tersebut sudah tidak main-main. 

Prbolem hukum lingkungan kita di indonesia sangat Kacau. jika ketahuan Gunung tertentu kotor, mestinya di beritakan, agar orang tau. Tetapi, tidak ada yang mau memberitakan, bahkan direkturnya mengatakan jangan memberitakan. Sebab, jika di beritakan direkturnya bisa dapat sangsi dan turun pangkat. Jadi, kita melihat ada paradoks kebijakan, yang kotor justru di sembunyikan. Akibatnya, sampah menumpuk, tanpa adanya pemberitahuan. Akhirnya, Secara statistik kita tidak punya data kerusakan lingkungan secara Valid, Karena datanya ditutup. Padahal tidak sedikit yang belajar dan bicara hukum lingkungan di dalam insitusi tersebut. 

Sementara, Salah satu dalil dalam hukum lingkungan, jika kita merusak di Hulu, maka kita harus memperbaiki yang di tengah. Sehingga kualitasnya tidak berubah ketika sampai di hilir.

Contoh lain Misalnya, Tentang sumber polusi, yang sampai sekarang belum kita temukan solusi yang sustain, yaitu pengolahan Sampah rumah tangga atau sampah Hasil konsumsi, apalagi kalau tetangga kita suka bakar sampah, sekalipun tukang sampah yang mengumpulkan akan menampung juga di TPA.

Pertanyaan adalah Jika seseorang membakar sampah, berarti ada sampah di rumahnya. Secara filosofis, apakah seseorang itu membuat sampah di rumahnya, sehingga dia kemudian membakarnya. Sebab, tidak mungkin rumahnya adalah produsen sampah. Sebenarnya, yang kita sebut sebagai sampah bukan hasil konsumsi rumah tangga. Sebab, Sampah itu adalah sesuatu Yang kita bawa dari luar. Waktu kita belanja dari luar, kita pada dasarnya sudah bawa sampah. Jadi, konsep sampah sebetulanya adalah bukan apa yang kita buang, tetapi apa yang kita bawa masuk.

Ihwal itulah sehingga etika lingkungan mestinya sudah masuk dalam struktur paling fundamental dalam negara, Parpol misalnya.  Sebab, Tidak bisa kita melepaskan kebijakan yang pro terhadap Lingkungan dari politik. 

Bagaimana paradigma politik, di korelasikan dengan etika lingkungan?.

Coba kita Ilustrasikan, sebelum Periode pertama Presiden jokowi. Di masa Kampanye mereka, Saya membaca agenda kampanye kedua Paslon, baik prabowo, maupun Jokowi. Prabowo misalnya, akan mencetak 20 juta Hektar sawah untuk ketahanan pangan. Jokowi tidak mau kalah, dia menantang Prabowo. sebab, 20 hektar sawah tanpa ada air adalah percuma. Karena itu, Jokowi Mau mencetak 20 bendungan raksasa. 

Suatu waktu seorang yang tinggal di pinggiran menuturkan, jika prabowo mencetak 20 hektar sawah. maka, separuh dari tanah saya yang berada di pinggiran akan di ambil. Maka, orang yang di pinggiran tersebut, kehilangan separuh tanahnya. Sedangkan Jokowi akan membangun 20 bendungan besar, separuh tanah orang pinggiran tersebut akan hilang lagi. Maka, hilanglah tanah orang pinggiran tersebut. Begitulah logikanya berjalan.

Secara ilustratif, jika Orang pinggiran tersebut memilih untuk Golput. Karena kedua paslon dalam Kampanyenya, sesungguhnya bersekongkol untuk mengambil tanahnya.

***

Prinsip utama di dalam Environmentalism adalah kesetaraan mahluk. Artinya saya dan semut, punya status ontologi yang sama sebagai penghuni alam. Semut dan duri mawar, punya status yang sama. 

Rantai makanan mengatur atau punya Hukum (etika) - nya sendiri untuk membuat ekosistem ini menjadi seimbang.  Kita boleh makan daging. Karena bukan keinginan kita. Tetapi, karena keinginan alam, agar kita bisa punya protein. Jadi, di dalam Prinsip environmentalism atau Radikalisme Enviromentalism, keberadaan (eksistensi) kita (manusia) tidak lebih tinggi statusnya ketimbang semut.  

Lantas bagaimana cara kita bisa bertahan Hidup, jika alam tidak boleh di rambah oleh manusia?.

Hal ini merupakan salah satu problem di dalam etika lingkungan, yaitu mencoba melihat kesimbangan, sekaligus mengukur apakah keseimbangan tersebut di tentukan oleh manusia atau alam. manusia bisa menentukan keseimbangan tersebut. Tetapi, kita tidak tahu, versi keseimbangan menurut bumi.

Salah satu problem yang di timbulkan soal ini, antara menentukan kecukupan konsumsi manusia terhadap alam, di terangkan oleh Jonh Locke di abad 18, Locke menyebutnya sebagai "batas konsumsi manusia". Secara sederhana seperti ini, Jika ada satu lokasi tanah, Agar saya bisa bertahan hidup, maka saya mesti mengelola separuh dari tanah tersebut. Bisakah saya mengelola semuanya?. Bisa. Tetapi, hal itu mengandaikkan, bahwa hanya saya yang ada di bumi.

Jika ada 20 orang di sekitar lokasi tanah tersebut, maka saya boleh ambil sebanyak-banyaknya atau semampu yang saya lakukan. Tetapi, dengan prinsip bahwa orang lain juga punya kesempatan untuk mengambil sebanyak-banyaknya juga. Dengan cara seperti itu, maka terjadilah distribusi yang adil. Artinya, saya boleh mengambil 1/20 dari tanah tersebut, karena ada 20 orang. Hal itulah yang di maksud, properti. Tetapi, problemnya adalah kalau semuanya di ambil oleh 20 orang. Lalu, bumi atau alam bereaksi - kalau semuanya di ambil oleh manusia. maka, Ulat dan cacing dapat apa?. Bumi menganggap, Adil untuk manusia, tetapi tidak adil untuk alam - cacing, ulat, dsb. 

Tetapi, kita sebagai manusia punya kemampuan untuk mendalilkan hal tersebut- etika. Sebab, kelak kita akan mati dan tubuh kita akan terurai menjadi mineral, sehingga cacing dan ulat bisa mengkonsumsinya. Sebagaimana yang saya sampaikkan diatas. 

Artinya, manusia dan bumi, saling mengintip siapa yang menjadi objek dan siapa yang subjek. Problemnya, jika benda itu kita jadikan objek. Benda itu kita objekkan, karena kepentingan kita di dalam satu konteks. Misalnya, kamera saya bilang dia adalah objek, karena itulah saya bisa memindahkannya kemana-mana, karena saya ingin anggle saya sempurna. kamera tersebut saya jadikan objek, karena saya punya kepentingan dengan kedudukan saya. Dengan kata lain, sesuatu kita jadikan objek, karena pikiran kita menghendaki dia menjadi objek. Bukan karena dia memang objek. Tetapi, bagi kamera, justru sayalah yang menjadi objeknya.

Hal itu sama dengan, bumi dan manusia. Kita mau mengatakan bahwa bumi adalah subjek, tetapi kita butuh sumber dayanya. Akibatnya bumi kita objektifsir.

Soal-soal dan problem seperti itulah yang terdapat dalam Filosofi Etika Lingkungan, sehingga sampai sekarang terjadi debat yang tidak berkesudahan. sementara disaat yang bersamaan kita di kejar oleh soal Global warning, daya tahan pangan, dsb. Saya menyuguhkan hal ini, bukan sebagai solusi. Agar kita memahami kedalaman persoalan. Hal itulah yang disebut sebagai berpikir radikal.

Misalnya, di salah satu daerah terdalam di kalimantan menganggap bahwa Bumi - hutan adalah sumber hidup mereka, sehingga orang-orang mengiterpretasi bahwa masyarakat tersebut menjadikan bumi sebagai objek?. Kadang kala, kita tidak bisa pastikan, apakah yang di maksud di objekkan menurut masyarakat tersebut. Sebab, di dalam Pikiran atau Local pengetahuan mereka mengatakan, bahwa dari awal nenek moyang kita makan dari hutan ini atau mereka mau bilang, Kita di beri makan oleh hutan tersebut.

Di badui dalam itu, bambu rumah mereka tidak beraturan, ada yang panjang dan ada yang pendek. Tidak di buat rata. Sebab, prinsip orang badui, yang panjang jadi potong dan yang pendek jangan di sambung. orang kota ketika datang di badui dalam menganggap mengapa bambu rumah mereka di bikin tidak beraturan. Padahal, sesungguhnya tidak beraturan itulah aturan mereka.

Soal lain misalnya, Bagaimana jika ada orang  yang menganggap bahwa dia Vegetarian. Lalu, kita tanya mengapa anda vegetarian?. Dia menjawab, "karena saya anggap memakan daging itu menyiksa mahkluk". Lalu, kita bertanya lagi?. Jadi, selama ini anda hanya makan sayur saja?. Ia menjawab, "Ia saya hanya makan sayur saja". Seseorang yang menolak makan daging, dengan asumsi menyiksa Mahluk dan hanya memakan Sayur. Sesungguhnya, dia telah merebut Hak ulat daun untuk memakan Klorofil. saat dia makan daun (sayur), dalam waktu bersamaan dia membunuh juga ulat daun, karena makanan ulat daun adalah daun (klorofil). Maka, diskusi pun berhenti. Karena, dia tidak bisa menjelaskan logika Vegetarian. Berbeda ketika pilihannya tidak makan Daging, karena Fashion atau menurunkan berat badan.

Hal itu sama dengan Asumsi, dia tidak makan daging ayam. Karena, ayam adalah mahkluk. Tetapi, Untuk memenuhi protein tubuhnya. maka, dia makan telur. Hehehe...benar, dia tidak makan daging ayam. Tetapi, calon ayam dia makan. Demikianlah, problem-problem sederhana di dalam Logika. Karena itulah menjadi Envirionmentalis, mesti tertib di dalam pikiran, harus ada koherensi di dalam logika.


***

Di dalam sejarah Perlindungan Lingkungan, Ada satu istilah yang disebut dengan "Eco terorisme". Eco terorisme, bukan menteror lingkungan. Tetapi, memanfaatkan terorisme untuk melindungi hutan.

Di Amerika, para aktivis lingkungan sudah capek memberi semacam sinyal agar jangan menebang pohon. Tetapi, pohon tetap di tebang juga. Karena, kebutuhan industri.

Suatu waktu, ada sekelompk orang mencari pohon yang akan di tebang dan lalu mereka memasang paku di dalam pohon tersebut. dengan maksud agar tukang potong pohon saat memotong, gergajinya akan terkena paku. Maka, gergajinya akan patah dan pentalan dari patahannya, bisa terkena tubuh si pemotong pohon. Fungsinya agar memberi efek jera kepada penebangan pohon. Tetapi, dengan cara memaku pohon. Itulah yang disebut Eco Terorisme

Jika kita benar-benar mau melihat dan mengurusi lingkungan hidup, maka kita sudah harus merubah cara pandang kita terhadap lingkungan Hidup dan kehidupan. 

Misalnya, ada sebuah sungai di Zew Zealand, di nyatakan sebagai subjek hukum sempurna. Sungai ini, punya hak sebagaimana manusia, di lindungi, tidak boleh dikotori. Memang ada problem, seperti bagaimana jika Sungai itu menelan Seorang yang sedang memancing. Jika sungai itu adalah subjek hukum sempurna, tentu dia akan di kenakan delik (pidana). Sekalipun masih dalam perdebatan, tetapi sudah ada terobosan untuk menganggap bahwa subjek hukum sempurna, bukan hanya Manusia, tapi juga yang non human, seperti sungai.

Di salah satu Negara bagian di amerika serikat, misalnya. Binatang piaran sudah harus di daftarkan sebagai anggota keluarga. Karena, ada kewajiban jika kita memelihara sesuatu. Maka, dia punya hak untuk di lindungi secara hukum. Jadi, sesungguhnya keadaan ini, ada kebingungan secara manusiawi. Tetapi, bagi alam itu hal biasa.

Sekarang coba kita Lihat sejarah terhadap gerakan lingkungan hidup, agar kita punya arah persepktif. Suatu waktu Di tahun 60 an, misalnya. ada seorang perempuan, professor Kimia. Suatu ketika dia keluar rumahnya untuk jalan-jalan.  di hari pertama musim semi, dia tidak mendengar kicau burung. Dia merasa aneh dan penasaran, karena hari pertama di Musim sebelumnya, selalu ada kicau burung, sebagai pertanda tibanya musim semi. 

Akhirnya dia menghubungi teman profesornya untuk membuat riset. Di temukanlah bahwa burung-burung itu, pada musim sebelumnya memakan buah-buahan di sekitar kota tersebut, yang telah di pestisida. burung-burung itu mati, karena tidak bisa membedakan antara buah-buahan yang telah di pestisida dengan tidak di pestisida. Dari ihwal itulah sehinga Professor ini menulis sebuah buku, yang Berjudul "Musim semi yang sunyi". gagasan ini menjadi gerakan lingkungan hidup di dunia. 

Demikianlah Suatu peristiwa intelektual, yang membuat kita berpikir bahwa cara kita mengeksplotasi alam sudah melampaui kearifan yang di berikan oleh alam. Kita sedang berada dimana dunia mungkin sudah berada di era pengakhiran manusia.


***

Salah satu Tokoh atau anggota dari Frankfrut Shcool, yang di buat tahun 1920-an. Di maksudkan untuk memberi alternatif terhadap gagasan marxisme ortodoks ialah Jurgen Habermas.

Di dalam teori Jurgen Habermas, masyarakat di petakan dalam model relasi antara State (negara) dan Ekonomi (pemodal), serta Kultur. Jadi, dalam Teori Jurgen, ada 3 blok Masyarakat. Jurgen Habermas memberi istilah khusus dalam relasi antara State (negara) dan ekonomi, ia menyebutnya sebagai sistem. Jadi, sistem adalah kerjasama atau hubungan Resiprokal antara Negara dan ekonomi. Di luar kedua itu, ada Kultur, yang ia sebut sebagai Life wall (Dunia kehidupan), yang isinya adalah makna.

Terma sistem yang di maksudkan diatas adalah Relasi antara Negara dan ekonomi, yang di persatukan dengan satu rasionalitas. Secara sederhana kita bisa memahaminya, sesuatu dapat di katakan stabil, jika didalamnya beroperasi, jenis kesepakatan yang bisa di ukur dengan statistik. Misalnya, pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan kepastian hukum. Semua itu disebut rasionalitas didalam sistem. Tetapi ada rasionalitas lain, yang di sebutkan jurgen Habermas, yaitu Komunakasi. Isinya adalah kesepakatan-kesepakatan kultural (Etik).

Biasanya terjadi krisis didalam masyarakat atau dalam terma sosialnya disebut krisis legitimasi (Konfrontasi). Krisis legitimasi ini terjadi, bila rasionalitas sistem, yang sifatnya kuantitatif di paksakan ke dalam rasionalitas yang sifatnya kualitatif. Maksudnya, negara dan ekonomi, kerap berkerja di dalam konsep rasionalitas kuantitatif, karena yang mereka kejar adalah akumulasi secara Kuantitatif. Makanya, kita sering dapati untuk menumbuhkan satu sektor. Sektor lainnya yang akan di push. Sedangkan, masyarakat sedang menikmati Rasionalitasnya. Karena bisa bercakap-cakap antar tetangga, antar komunitas atau menikmati keakraban warga negara. 

Komunikasi dalam masyarakat kultural tidak di bisa ukur berdasarkan prinsip kuantitatif. Tetapi, dalam prinsip kualitatif (pemaknaan). Sama seperti seorang dokter, Jika dia menggunakan rasionalitas saintifiknya. Maka, dia lansung suntik saja pasiennya. Tetapi, dia mesti berkomunikasi dengan pasiennya, agar pasiennya percaya bahwa dia adalah dokter. Selain itu, agar tidak ada rasa sakit yang di timbulkan. Itulah yang disebut Rasionalitas komunikasi dalam Masyarakat sipil.

Negara tidak perduli dengan semua pertimbangan kualitatif masyarakat sipil. Jika negara telah mengukur rasionalitas kuantitatifnya dan menguntungkan secara pokitik dan ekonomi, apalagi dengan menggunakan starategi marketing. maka tidak ada alasan lain, selain melaksanakannya.

Di titik inilah, Pelanggaran terhadap Hak asasi manusia dan eksploitasi terhadap lingkungan terjadi. Lucunya, Negara akan hadir lagi dalam memberikan promosi, bahwa mereka telah menyelesaikan pembangunan ini dan itu yang Pro terhadap Rakyat, sebagai upaya terhadap pertumbuhan suatu sektor. Padahal kenyataannya yang terjadi, tidak ada penerimaan terhadap Masyarakat. Justru, Di nikmati oleh sebahagian elit. Inilah yang di sebut Krisis legitimasi. Jadi, krisis legitimasi terjadi, ketika Rasionalitas Negara yang kuantitatif di paksakan kepada Rasionalitas Kebudayaan yang kualitatif.

Krisis legitimasi inilah, yang menerangkan kepada kita, mengapa Intensitas separatisme tetap bertumbuh di wilayah-wilayah indonesia yang tingkat kemiskinan dan kekayaannya menganga. Tapi, negara menganggap itu sebagai tindakan melawan Hukum. Memang separatis itu melawan hukum. Tapi, pernahkah Negara membaca bahwa ada batin warga negara atau masyarakat kultural yang terganggu?.

Hal ini juga yang berlansung di dalam demonstrasi mahasiswa dan opisisi, mereka lansung di lekatkan pada tindakan melawan hukum. dimensi Komunikasi kebudayaannya gagal di pahami negara. Padahal hal itu bisa berpotensi memecah belah indonesia. Selain itu juga, arogansi sistem terhadap dunia kehidupan masyarakat Kultural.

Hubungan negara dan ekonomi, yang kerap di sebut dengan oligarki. Oligarki versus Civil society. Jika saja negara mau. maka, ia seharusnya menggunakan Oposisi, untuk mengingatkan mereka. Tetapi, justru negara meniadakan oposisi dan dibuatkan suatu streotipe, siapa yang oposan di anggap melawan hukum. Akibatnya terjadilah konfrontasi.

Hal-hal seperti ini juga terjadi di Soal-Soal Lingkungan. Satu-satunya etika lingkungan yang benar adalah ketika datangnya dari Kementrian lingkungan Hidup, artinya datang dari sistem, yang skala statistiknya di hitung berdasarkan rasionalitas kuantitatif. Jadi, orang-orang modern menganggap diksursus lingkungan yang datangnya dari LsM, Aktivis lingkungan dan mahasiswa adalah omong kosong.

Kita sederhanakan agar lebih muda di pahami. Relasi negara dan Ekonomi (Pemodal) meniscayakan terjadinya eksploitasi terhadap alam. Kita tidak pernah berpikir, bahwa Dampak terparah justru tertimpa pada masyarakat adat, masyarakat sipil yang di pinggiran. Negara tidak pusing dengan semua itu, Karena bagi negara, Civil society dan Alam semesta adalah pelacur, Yang kapan saja boleh di tidur tanpa di nikahi. Apalagi di tambah dengan bumbu romantisme. Padahal, Eksploitasi terhadap alam itu sama seperti eksploitasi patriarkisme terhadap perempuan. Didalam sistem patriarki, berlaku etis patriarki, yang dalam gagasan sistem menganggap, jika telah meniduri Alam dan Manusianya adalah orang macho dan alam serta manusia dianggap budak seks.

Konfrontasi dari Masyarakat sipil dan Alam, karena negara tidak paham bahwa Masyarakat sipil (kultur) dan Alam punya Inner Heart (inner value), bagian ini biasanya di kupas dalam Feminis Environmental etics. 

Sebetulnya pemimpin yang tidak punya kemampuan konsepsional untuk melihat sesuatu, pasti menjadi negara peniru, bahwa Amerika pernah Mengeksploitasi minyak di texaz, australia pernah juga mengeksploitasi bata bara. Jadi kita mau ikuti yang demikian. Padahal bukan itu substansinya, substansinya adalah Oligarki telah menyuntik negara dan ia menagih balik, sehingga prinsip-prinsip etika lingkungan hidup di abaikan.

Misalnya, soal rasionalitas kuantitatif. Dulu, di australia. Pemerintah australia menganggap orang aborigin tidak punya tempat tidur (Rumah). Maka, dengan Rasionalitas kuantitatif, satu kampung suku aborigin di berikan rumah, satu orang satu. penduduk aborigin, masuk saja dalam rumah tersebut. Hari pertama, orang aborigin tidurnya gelisah semua. Hari kedua, petugas pemerintahan datang cek rumah-rumah tersebut, tetapi dia dapati rumah itu, atapnya telah di cabut. Hari ketiga, petugas datang mengecek lagi, ternyata jendala dan pintunya juga sudah di buka. Lalu, orang-orang aborigin di tanya sama petugas, kenapa kalian buka atap rumah yang kami berikan?. Karena, Orang aborigin tidak bisa tidur, kalau tidak melihat langit dan bintang.

Pemerintah tidak paham, tidak punya gagasan terhadap rasionalitas komunitas tersebut. Mereka anggap, jika di berikan rumah. Maka, disitulah ukuran kesejahteraan masyarakat. Padahal, bagi orang aborigin. Kebahagian dan kesejahteran, jika tidur masih bisa lihat langit.

Pemerintah kita juga demikian. Demi rasionalitas Kuantitatif, hak masyarakat adat di rampas, Di eksploitasi, pembangunan infrastruktur statis yang tidak memikirkan dampak lingkungan hidup sama sekali.

Dulu, terjadi banjir besar di badui, jembatan yang menghubungkan antara badui dalam dan badui luar roboh dan hanyut akibat air meluap di kali tersebut. Suatu waktu, ada orang jakarta datang ke lokasi tersebut, menemukan bahwa jembatan yang menghubungkan badui dalam dan badui luar rusak dan tidak bisa lagi di gunakam sebagai akses untuk menyebrang. Lalu, orang tersebut berinisiasi untuk bertemu dengan kepala adat setempat, lengkap dengan uang untuk di gunakan membangun jembatan yabg rusak, " Pak saya ada uang, tolong beli bambu. Nanti saya mau membangun jembatan ini. Sekalian saya bawa tukangnya".

Maksud orang tersebut baik, karena hendak membangunkan jembatan yang menghubungkan akses badui dalam dan badui luar.

Apa jawaban kepala adat, "bapak bolak balik badui yah?". Tidak, kebetulan saya tahu. Makanya, saya datang ke sini, jawab orang tersebut. Lalu, keterangan kepala adat, "kalau bapak memberi uang. Memang orang-orang tidak kerja. Karena, bapak yeng akan mengerjakannya. Tetapi, jika suatu saat banjir datang lagi dan membuat jembatan roboh dan rusak. Orang-orang tidak akan kerja lagi, karena orang-orang menunggu bapak datang. Jadi, jangan kasih uang ke kami. Biarkan kami yang kerjakan sendiri".

Jadi, demikianlah Local Logic atau local wisdom masyarakat badui demikian. kita seringkali salah menganggap bahwa masyarakat butuh bantuan. Padahal sesungguhnya tidak, karena masyarakat adat mempuanyai Inner Logicnya sendiri. 

Jika kita tidak mengikuti narasi yang di bangun oleh negara. Maka, kita akan di pentungi. Masih kepala batu, di bawakan buldozer. Masih kepala batu, di arak dari barak seluruh Instrumen negara untuk mengejar dan menghantam Rakyat. Semua itu karena kita tidak belajar dari konflik-konflik agraria di berbagai negara. Karena, demi kebutuhan akumulasi pertumbuhan ekonomi secara kuantitatif, sehingga meniscayakan eksploitasi.

Di dalam gerak seperti ini, Potensi konfliknya pasti meningkat dan jika ia terekspose, maka Para Buzzer akan terus bekerja. Jadi, negara selalu dalam keadaan darurat, yang dalam waktu bersamaan membuat masyarakat hidup dalam keadaan darurat. Karena, tidak ada kelegaan untuk melihat hak dari alam untuk mendefenisikan diri sendiri. Instrinsik value dari alam dianggap sebagai soal teknis, yang bisa di rekayasa melalui undang-undang.

Seluruh dunia justru sebetulnya minta perhatian terhadap Indonesia, karena indonesia dianggap mampu menjadi contoh atau kita sebut saja, Indonesia adalah gerbang untuk masuk di dalam masyarakat 5.0. Teknologinya 4.0, masyarakatnya 5.0. Agar teknologi tidak mengintrusi atau mengeksplotasi alam dan lingkungan, serta society. Justru yang punya konsep itu sekarang adalah jepang. Teknologi jepang sekarang sudah 5.0, tetapi jepang khawatir, masyarakatnya akan jadi robot. Maka, dia kembangkan society 5.0, kembali kepada kultur atau dalam Bahasa S Huntington, culture matters.

Indonesia yang punya kekayaan Local wisdom dan kekayaan alam. Tetapi, jejaka kekayaan tersebut di hilangkan. Demi akumulasi rasionalitas kuantitatif.

Kalau kita memperhatikan secara sungguh-sungguh, keadaan yang terjadi di istana, jarak antara sistem dan Kultur ini semakin menganga lebar. Sedangkan posisi Gerakan mahasiswa, gerakan intelektual adalah reprsentasi masyarakat sipil untuk membegal jarak antara sistem dan Masyarakat sipil atau meminjam Istilah Vaclac Havel, seorang wartawan dan sastrawan yang mempelopori perjuangan masyarakat sipil di cekoslovakia, dengan menggunakan Terma "Paralel Polis". Polis yang paralel dengan negara, artinya masyarakat sipil membayang-bayangi terus negara. Apa yang di lakukan oleh Vaclac Havel saat itu adalah menyebarkan pamflet-pamflet, diskursus yang kritis atau yang ia sebut sebagai Samis dat (pamflet bawa tanah).

Sekarang kita tidak perlu gunakan Pamflet bawah tanah lagi. Sebab, kita sudah punya WA group. Tetapi, potensi itulah yang kemudian di baca oleh negara, bahwa WA group bisa jadi paralel polis. Karena itulah kita di buatkan UU ITE (polisi cyber). dimana WA group di intai. sesungguhnya sistem tersebut mengintai lagi dunia kehidupan (Life wall) kita. Padahal dunia kehidupan itu urusan kualitatif, kita mau share Cinta, perasaan, kita mau share kejengkelan, kebencian dan share apapun adalah hal yang natural.

Bayangkan, sistem ini secara terus menerus mengintervensi Dunia kehidupan kita yang kualitatif dan itu adalah pertanda legitimasi makin lama makin jatuh. Kita bisa buat sebuah teori baru, jika statistik menyebutkan bahwa elektabilitas terhadap pemimpin sedang meninggi, itu pasti bohong. Sebab, jika tinggi elektabilitasnya, untuk apa mengintai Dunia kehidupan masyarakat sipil melalui polisi Cyeber.

Jika hal ini terus berlanjut, maka kita akan menjadi Republik of feer. sebab bagian yang paling intim dari manusia yaitu komunikasi antar warga negara dan keakraban pun telah di pantau oleh negara. Jadi, sesungguhnya negara ini adalah negara Orweelian, negara yang di bayangkan Oleh George Orweel, dalam "nine ten Eighty", "the big brother is wacthing you (si bos besar terus menonton kita). Hal yang merupakan ciri dari negara otoriter. Novel George Orweell itu adalah Satire terhadap kekuasaan stalin pada waktu itu. Setelah Fasisme, ada stalin, Mussolini. Di ingatkanlah dalam satire, bahwa Fasisme, Stalin dan Mussolini sama saja (Big brother Is Watching you).

kalau kita mengucapkan seperti itu kepada pemimpin kita, mereka akan besar kepala. Padahal itu adalah satire terhadap kekuasaan bengis. Setara dengan Le fia tangnya Thomas Hobbes. Beginalah akibatnya, jika kekuasan tidak paham dengan konsep-konsep, sehingga kita bingung juga menjelaskan kepada kekuasaan.

Kita bisa membandingkannya pada para pemberontak Aceh, misalnya. Mereka adalah Orang-orang pintar dan Cerdas, yang berupaya menghasilkan alternatif. Tetapi, pada akhirnya di sebut pemberontak, karena soal hukum. Namun, Logika Daud Beriuh, Hasan Tiro, dsb, sangat cemerlang, karena bisa membuka jalur diplomasi dunia. hal itulah yang tidak di milik diplomat kita sekarang. Bayangkan saja, Diplomat kita Masuk ke ruang PBB, dia memberikan data dengan power point. Sementara para aktivis-aktivis Aceh dan Papua sudah lebih dahulu menyuplai data yang betul-betul ril dari dalam hutan. Hal itu disebut dengan Electronic Stragel.

Saya menerangkan ini sebagai Teori, bukan dalam rangka untuk bertentangan dengan pemerintah. Persis sama, dengan pasukan Kiri dari Sandinista, Nikaragua, yang di pimpin oleh Ortega. Jadi, gerombolan Pasukan Kiri Sandinista, Mengupload informasi paling mutakhir dari dalam Hutan Nikaragua masuk ke server seorang Professor USA  di Los angels. Lalu, di olah menjadi paper dan paper itu di sebarkan ke seluruh dunia, sehingga ada basis akademisnya. Mengapa kemudian, Pasukan geriliya Kiri di Nikargua menang, karena di bantu oleh kelompok Akademis di Los Angels.


*Pustaka Hayat
*Coretan Nalar Pinggiran
*Rst
*Pejalan Sunyi
*Lelaki Panggilan