Kita bergembira, karena ada inisiatif untuk mengaktifkan pembicaraan tentang Lingkungan dalam masa pandemi covid ini, kita seolah-olah di tuntut untuk melihat manusia dengan membalikkan perspektif, yaitu dari Antroposentrisme kepada Lingkungan. Semacam pembalikkan subjek, baik Hukum, budaya, dsb. sekaligus pembalikan etika. Dari etika yang berpusat pada manusia, menuju pada etika lingkungan (Eco sovia atau Eco sentrisme).
Kita kerap kali kaget untuk membalikkan perspektif ini. Karena, kita hidup seolah-olah menjadi Tuan besar diatas Bumi. Kita menikmati semua fasilitas kemanusiaan dengan mengeksploitasi apa yang ada di depan kita, yaitu Alam. Baik di dalam pandangan Filosofi, maupun ilmu hukum.
Perubahan ini adalah suatu perubahan yang sangat substantif. Sebab, kita merubah perspektifnya, dari Natural Rights menuju The rights of natural. Semacam lompatan kuantum. manusia menikmati seluruh haknya diatas dunia, atas dasar hak yang di peroleh secara alamiah atau di berikan oleh alam (sekalipun sebatas klaiman). Lalu, manusia memanfaatkan hal tersebut, justru untuk mengeksploitasi alam.
Beberapa waktu lalu, Dunia di gemparkan dengan kehadiran seoran anak Muda, yang bernama 'Greta Thumber' yang menjadi Person Of the Year dari majalah Time, karena dia berhasil mengumpulkan 240 juta orang untuk ikuti di dalam kampanye penyelamatan lingkungan. Dia bertemu dengan banyak pemimpin dunia, CEO dan Koorporasi.
Tapi, sayang dia tidak datang ke indonesia dan bertemu dengan Pak Jokowi. Sebab, saya tidak bisa membayangkan, jika dia bertemu dengan Presiden Jokowi dan dia bertanya, "Mr. Presiden do you Speaking Environmentalisme?". Mungkin presiden akan menjawab, "yah, saya sedang membangun Ibu kota Baru di kalimantan". Lalu, apakah itu akan menjadi Bullying sedunia. Sebab, membangun ibu kota. Artinya merusak Lingkungan.
Kita hendak membuka suatu pembicaraan, agar milineal mendapatkan suatu pikiran baru tentang hidup milineal yang di dera oleh isu lingkungan.
Jika kita masuk ke dalam pergaulan Internasional, orang akan tunggu kita mengucapkan suatu pikiran, yang bisa membuktikan bahwa kita adalah global Netizen, yang Salah satu Grandmernya di dalam pergaulan Internasional adalah Environmentalism. Sebab, di dunia sekarang orang sudah tidak bertanya, do you speaking english. Tapi, orang akan bertanya Do you speaking Environmetalisme.
Mungkin orang akan bertanya, mengapa demikian?. karena kita terhubung oleh satu isu, yaitu only one earth (hanya satu bumi). Sementara mereka yang tidak paham terhadap Earth etics, dianggap sebagai orang yang buta huruf terhadap pengetahuan, buta huruf terhadap masa depan, buta huruf terhadap relasi baru di abad milineal.
Isu lingkungan masuk ke indonesia, melalui LSM. Janggal, karena isu tersebut masuk Bukan melalui Universitas. Memang di beberapa universitas, ada mata kuliah Hukum lingkungan. Tetapi, radikalisasi isu tersebut, bukan berasal dari kampus. Melainkan berasal dari civil society (masyarakat), walhi, misalnya. Yang di takdirkan berkelahi dengan pemerintah soal lingkungan hidup. Sama seperti Isu Demokrasi dan Human Right juga masuk melalui civil society. sebab, dulu masa pemerintahan soeharto, tidak ada isu tersebut. Lalu, di impose oleh civil society, terutama LBH. Sebagaimana halnya, Isu Gender equality juga masuk melalui Civil society.
Kita lihat isu-isu radikal, Lingkungan hidup, demokrasi dan human Right, serta Gender equality dan Ibu Bumi. Justru menjadi tema yang seksi, ketika di ucapkan oleh civil society. Universitas justru Bungkam, padahal semestinya Kampus adalah jembatan diskursus tersebut.
Sesungguhnya gerakan intelektual atau kelompok mahasiswa, mestinya menyambungkan pikiran civil society yang terhalang oleh negara. Mengapa?, Karena negara terus menerus membutuhkan Tanah. Negara terus menerus membutuhkan Infrastruktur statis di hidupkan. Negara ingin, agar APBN harus menghasilkan sesuatu yang terlihat. Padahal, Isu lingkungan selalu menjadi efek dari arogansi pembangunan. Itulah sebabnya, selalu ada dialektika antara Environment dan Development.
Mengapa pembicaraan tentang lingkungan, tidak berbunyi di indonesia. Padahal, ada milineal di dalam istana. Mestinya, Jika milineal masuk istana, maka grandmer (Kosa kata) Lingkungan hidup juga harus masuk ke dalam istana. Artinya, milineal harus berani menyatakan, bahwa " saya milineal dan saya Harus bisa membunyikan bahasa lingkungan Hidup, bukan sekedar God lucking".
Kita di Indonesia terlalu sibuk membicarakan Isu Radikalisme dan intoleransi. Padahal di dunia sekarang, orang bicara tentang lingkungan hidup. Seolah-olah kita terkucil dari pembicaraan dunia. Karena kita tidak bisa menghubungkan, antara cita-cita kemerdekaan dan konsitusi dengan wacana-wacana Kontemporer.
Selain itu, Selalu ada arogansi di dalam Antropologi, sehingga eksploitasi terhadap alam, dianggap perintah Tuhan. Padahal, eksploitasi terjadi, karena in equality dalam kebijakan. Misalnya, kalau ada orang miskin merambah Hutan, hal itu bukan, karena Perintah Tuhan. Tetapi, reaksi atas Kebijakan yang tidak pro orang Miskin. Eksploitasi Manusia terhadap alam adalah akibat eksploitasi manusia terhadap manusia. Secara sederhana bisa di kemukakan, Mengapa Proletart mengeksploitasi alam, karena ada Kapitalis yang mengeksplitasi prloterat.
***
Mari kita buka percakapan lingkungan ini, dengan menguraikan contoh yang kontroversial, agar kita bisa menemukan perspektif baru.
Setelah Covid, kita harus berpikir ulang. Apakah betul bahwa hak yang di berikan oleh Alam atau yang di sediakan oleh seluruh filsafat Antroposentrisme, masih berguna ketika berhadapan dengan pandemi?. Bagi kita (manusia) atau Bagi pandangan Antroposentrisme, covid adalah penganggu. Karena itu, kita sebut Covid sebagai virus. Lalu, kita maki-maki virus Corona, sebagai penyebab dari pandemi ini. Lalu, kita berupaya untuk mencari vaksinnya.
Tetapi, jika logikanya di balik ; pernahkah kita berpikir dengan menggunkan Perspektif Kosmologi atau dari perspektif Ibu Bumi. Sesungguhnya bumi menganggap bahwa Manusia adalah Virus. Maka, dalam upaya menghalangi dan memperkuat dirinya (Bumi), anti bodi Bumi bernama covid keluar menyerang virus, yang bernama Manusia. Artinya, Hak saya sebagai manusia untuk bertahan hidup dari Virus, sama dengan Hak virus untuk bertahan hidup dari kelakuan manusia, yang menyebabkan virus menyerang manusia.
Fakta yang di perlihatkan hari-hari ini, seluruh kerusakan lingkungan, yang di sebabkan oleh manusia. Sudah setara dengan sesuatu yang kerap kita sebut dengan bencana alam. Namun, kita enggan menyebut kerusakan manusia sebagai bencana alam. Itulah sebabnya, jika kita bicara hukum lingkungan. Kita mesti paham, bahwa kita harus mengubah seluruh kebiasaan berpikir kita yang konvensional.
Secara ekologi, mestinya manusia sudah punah. Sebab, manusia tidak mungkin menetap selamanya di alam semesta ini. Mestinya sudah ada spesies lain, yang berhak menggantikan status manusia di bumi. Entah, dia adalah robot atau mahluk lain yang bermutasi untuk menyatakan hak untuk menghuni bumi. Karena kesetaraan mahluk itulah, sehingga sampai sekarang terjadi perdebatan, apakah betul lingkungan hidup akan menghilangkan manusia?. Sebahagian kalangan menganggap, bahwa lingkungan itu niscaya di rawat agar berguna bagi manusia. Sementara alam merasa mengapa mesti manusia yang spesial diatas alam.
Saya pernah membaca beberapa skrip kuno, tentang hubungan antara alam dan manusia, yang menceritakan tentang Seorang pendeta Budha, yang berjalan di Tibet bersama beberapa muridnya. Di tengah perjalanan, seorang murid, pendeta Budha meninggal dunia. Lalu, murid lainnya mengatakan pada gurunya (pendeta), "kita mesti mengubur kawan saya ini". Kemudian Gurunya menjawab, "biarkan saja, tidak usah di kubur. Mengapa anda mau mengubur mayat itu dan ingin memberi makan cacing tanah. Sementara burung-burung bangkai kekurangan makanan".
Menurtku, ini suatu perspektif yang betul-betul radikal. Kita menganggap bahwa tubuh manusia itu, karena kesuciannya atau karena Tradisi, sehingga ia mesti di kubur. Tetapi, bagi seorang Pendeta Budha, tubuh manusia ketika meninggal. Maka, dia akan berubah menjadi mineral dan Mineral itu adalah hak makhluk lain untuk mengkonsumsinya.
Jika tubuh manusia, di kubur. Maka, telah menjadi hak Cacing untuk mendapatkan protein dari tubuh manusia. Sama halnya, jika di biarkan di udara terbuka (Tidak di kubur), menjadi hak burung bangkai untuk mendapatkan protein. Sampai sekarang, Tradisi tidak mengubur Tubuh manusia yang telah meninggal masih berlansung di tibet. Justru, pendetanya membuatkan ritual. Setelah itu, datanglah burung bangkai memakannya. Selesai.
Pandangan hidup semacam ini mengajarkan kepada kita, bahwa relasi antara manusia dan lingkungan juga terdapat di dalam ajaran-ajaran Tradisional, dalam bentuk agama atau petuah-petuah kultural. Artinya keadaan itu membuat kita mungkin melihat, semacam picu untuk mulai menghitung relasi antara alam dan manusia.
Kita coba lagi Mengilustrasikan dengan Mengaktifkan Imajinasi, perihal hubungan Manusia dan alam (lingkungan), agar membantu kita menemukan suatu perspektif baru. Misalkan, ada sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu sementara berlansung perkuliahan tentang etika lingkungan. Lalu, ada seorang Mahasiswa yang sedang menulis disertasi, tentang Filsafat lingkungan, karena Mahasisiwa tersebut merasa kedinginan. Sehingga, Ia bolak balik ke toilet untuk Buang air Kecil. Saat Dia balik dari Toilet, dia merasa kakinya di gigit oleh semut. karena itu, semut tersebut dia injak di dalam kelas.
Pada waktu semut itu tewas di dalam kelas. maka, secara teknis kelas itu berubah dari A mines S (simbol kelas adalah A, sedangkan semut adalah S). Tetapi, Jika kita melihat dari sudut ekologis, begitu semut itu meninggal di dalam kelas. Maka kelas itu, tidak lagi kelas dengan simbol A. Melainkan telah berubah kualitasnya (bukan lagi A mines S). Tetapi, dengan simbol bukan A. Mengapa berubah?. karena, ada satu mahluk yang hilang dari kelas, yaitu semut yang di injak mati oleh seorang mahasiswa.
Apa yang terjadi sebetulnya setelah semut itu meninggal. maka, kebiasaan mahasiswa untuk pergi ke toilet, hanya beberapa kali. Menjadi berkali- kali. Bagaimana jalan pikirannya sehingga bisa demikian?. Semut yang tewas, tidak lagi bermetabolisme, tidak bisa lagi mengolah Energi dan tidak bisa lagi memproduksi Kalori. Maka, secara Otomatis suhu udara di dalam kelas akan berubah atau turun sekian derajat. Begitulah Logika ekologi, berjalan.
Seminggu kemudian, Mahasiswa Tersebut membuka komputernya untuk mengikuti kuliah berikutnya, sambil menunggu balasan proposal dari pemerintahan belanda yang diajukan untuk memperoleh beasiswa (studi banding lingkungan hidup di deng Hag). Namun, setelah seminggu, Mahasiswa tersebut tidak mendapatkan Jawaban dari pemerintah belanda. Akibatnya, Mahasiswa tersebut mulai memaki-maki pemerintah belanda ; Dasar Kolonial, penjajah, tidak mau menjawab proposal saya.
Belakangan kita tau, bahwa minggu lalu terjadi kenaikan air laut di depan Dam (Tanggul) Amsterdam (belanda) dan air laut tersebut masuk ke ruang komputer kemendikbud belanda, akibatnya komputer Kemendikbud Belanda rusak. Naskah proposal beasiswa Mahasiswa dari indonesia yang diajukan kepada pemerintah belanda tergenang air. Oleh karena itu, tidak bisa di jawab oleh pemerintah belanda.
Sekarang kita analisa, mengapa air di pemukaan kota amsterdam itu naik 0,00 sekian Meter.
Jika kita belajar sedikit tentang hubungan-hubungan Homeo statik. Sebagaimana saya sampaikkan diatas, bahwa Setelah mahasiswa itu menginjak semut dan semut itu Mati. Maka, Suhu ruangan menjadi turun, akibatnya dia lebih sering ke toilet untuk buang air (bukan hanya sekali).
Secara teoritis, jika dia pergi buang air kecil berlebihan. Maka, jumlah air seni yang ada di kampusnya akan bertambah, pada saat yang bersamaan Terjadi hujan. Maka, berlimpah lah air seninya yang masuk ke gorong-gorong kota Makassar dan air itu sampai ke laut. Maka, naiklah permukaan air laut Makassar. Saat yang bersaman es di kutub utara sedang mencair. Maka, bertambahlah volume air di dalam laut dunia.
Artinya, secara teoritis. Mahasiswa tersebut yang jengkel dengan semut, lalu menginjak semut tersebut hingga tewas. Sehingga menyebabkan dia bolak balik lebih sering ke toilet untuk buang air kecil. Maka, tentu Toilet akan bertambah airnya. Di Saat yang bersamaan sedang terjadi Hujan, air seni yang bercampur air Hujan mengalir menuju laut lepas. Saat air tersebut sampai ke laut lepas, dalam waktu bersamaan Es di Kutub utara sedang mencair. Maka, permukaan air di kota amsterdam menjadi naik dan membanjiri ruangan Depdikbud belanda, sehingga menenggelamkan Komputer di dalamnya, yang berisi Naskah proposal beasiswa Mahasiswa indonesia Tersebut.
Kalau kita di tanya, mengapa mahasiswa tersebut gagal memperoleh Beasiswa di Amsterdam?. Karena mahasiswa tersebut, menginjak semut di Makassar. Ihwal itulah yang di sebut dengan Logika ekologis. Kepak kupu-kupu di Hutan Amazon, bisa menyebabkan badai di California. Asap knalpot di Makassar, bisa menyebabkan gagal panen, di sidrap. Di titik itulah, Kita kerap kali gagal memahami kaitan ekologis itu di dalam skala yang besar. Itulah sebabnya, hukum lingkungan di dunia sekarang di buat dari Hak-hak alamiah Manusia kepada Hak alam.
Hukum lingkungan di bangsa kita ini ada. Tetapi, belum sampai kepada pandangan yang Radikal. Hukum lingkungan di buat, hanya memungkinkan kebutuhan manusia atau Untuk kemakmuran manusia. Bukan untuk melindungi lingkungan. Jika pemerintah kita serius terhadap Lingkungan. mestinya sebelum membangun infrastruktur harus melalui riset amdal atau Kajian lingkungan. Artinya, sebelum ada riset dan kajian lingkungan, haram membangun Infrastruktrur. sebab, di dalam Hukum lingkungan, riset dan kajian Amdal, di maskudkan untuk membatalkan pembangunan Infrastruktur. sekarang pemerintah kita membalik logika tersebut. Mereka menyatakan akan membangun ini dan itu di suatu daerah dan mempersilahkan akademisi untuk mengkaji hukum lingkungannya. Mestinya di riset terlebih dahulu, baru di putuskan secara politik.
Misalnya, Di berapa gunung di indonesia, telah memberlakukan Aturan yang sangat ketat bagi para pelancong, apalagi pelancong yang perokok dan membawa rokok naik ke gunung. Jika kita turun, Kita harus bisa membuktikan Berapa banyak batang rokok yang kita isap, dengan membawa pulang puntungnya. Tarulah kita bawa, 20 batang. Sementara yang kita bawa turun hanya 2 puntung. Maka, kita harus kembali naik untuk mencari 18 puntungnya atau kita akan di denda dengan mahal. Prinsip seperti ini mestinya sudah harus menjadi aturan baku pemerintah kita, sebab di luar negeri aturan tersebut sudah tidak main-main.
Prbolem hukum lingkungan kita di indonesia sangat Kacau. jika ketahuan Gunung tertentu kotor, mestinya di beritakan, agar orang tau. Tetapi, tidak ada yang mau memberitakan, bahkan direkturnya mengatakan jangan memberitakan. Sebab, jika di beritakan direkturnya bisa dapat sangsi dan turun pangkat. Jadi, kita melihat ada paradoks kebijakan, yang kotor justru di sembunyikan. Akibatnya, sampah menumpuk, tanpa adanya pemberitahuan. Akhirnya, Secara statistik kita tidak punya data kerusakan lingkungan secara Valid, Karena datanya ditutup. Padahal tidak sedikit yang belajar dan bicara hukum lingkungan di dalam insitusi tersebut.
Sementara, Salah satu dalil dalam hukum lingkungan, jika kita merusak di Hulu, maka kita harus memperbaiki yang di tengah. Sehingga kualitasnya tidak berubah ketika sampai di hilir.
Contoh lain Misalnya, Tentang sumber polusi, yang sampai sekarang belum kita temukan solusi yang sustain, yaitu pengolahan Sampah rumah tangga atau sampah Hasil konsumsi, apalagi kalau tetangga kita suka bakar sampah, sekalipun tukang sampah yang mengumpulkan akan menampung juga di TPA.
Pertanyaan adalah Jika seseorang membakar sampah, berarti ada sampah di rumahnya. Secara filosofis, apakah seseorang itu membuat sampah di rumahnya, sehingga dia kemudian membakarnya. Sebab, tidak mungkin rumahnya adalah produsen sampah. Sebenarnya, yang kita sebut sebagai sampah bukan hasil konsumsi rumah tangga. Sebab, Sampah itu adalah sesuatu Yang kita bawa dari luar. Waktu kita belanja dari luar, kita pada dasarnya sudah bawa sampah. Jadi, konsep sampah sebetulanya adalah bukan apa yang kita buang, tetapi apa yang kita bawa masuk.
Ihwal itulah sehingga etika lingkungan mestinya sudah masuk dalam struktur paling fundamental dalam negara, Parpol misalnya. Sebab, Tidak bisa kita melepaskan kebijakan yang pro terhadap Lingkungan dari politik.
Bagaimana paradigma politik, di korelasikan dengan etika lingkungan?.
Coba kita Ilustrasikan, sebelum Periode pertama Presiden jokowi. Di masa Kampanye mereka, Saya membaca agenda kampanye kedua Paslon, baik prabowo, maupun Jokowi. Prabowo misalnya, akan mencetak 20 juta Hektar sawah untuk ketahanan pangan. Jokowi tidak mau kalah, dia menantang Prabowo. sebab, 20 hektar sawah tanpa ada air adalah percuma. Karena itu, Jokowi Mau mencetak 20 bendungan raksasa.
Suatu waktu seorang yang tinggal di pinggiran menuturkan, jika prabowo mencetak 20 hektar sawah. maka, separuh dari tanah saya yang berada di pinggiran akan di ambil. Maka, orang yang di pinggiran tersebut, kehilangan separuh tanahnya. Sedangkan Jokowi akan membangun 20 bendungan besar, separuh tanah orang pinggiran tersebut akan hilang lagi. Maka, hilanglah tanah orang pinggiran tersebut. Begitulah logikanya berjalan.
Secara ilustratif, jika Orang pinggiran tersebut memilih untuk Golput. Karena kedua paslon dalam Kampanyenya, sesungguhnya bersekongkol untuk mengambil tanahnya.
***
Prinsip utama di dalam Environmentalism adalah kesetaraan mahluk. Artinya saya dan semut, punya status ontologi yang sama sebagai penghuni alam. Semut dan duri mawar, punya status yang sama.
Rantai makanan mengatur atau punya Hukum (etika) - nya sendiri untuk membuat ekosistem ini menjadi seimbang. Kita boleh makan daging. Karena bukan keinginan kita. Tetapi, karena keinginan alam, agar kita bisa punya protein. Jadi, di dalam Prinsip environmentalism atau Radikalisme Enviromentalism, keberadaan (eksistensi) kita (manusia) tidak lebih tinggi statusnya ketimbang semut.
Lantas bagaimana cara kita bisa bertahan Hidup, jika alam tidak boleh di rambah oleh manusia?.
Hal ini merupakan salah satu problem di dalam etika lingkungan, yaitu mencoba melihat kesimbangan, sekaligus mengukur apakah keseimbangan tersebut di tentukan oleh manusia atau alam. manusia bisa menentukan keseimbangan tersebut. Tetapi, kita tidak tahu, versi keseimbangan menurut bumi.
Salah satu problem yang di timbulkan soal ini, antara menentukan kecukupan konsumsi manusia terhadap alam, di terangkan oleh Jonh Locke di abad 18, Locke menyebutnya sebagai "batas konsumsi manusia". Secara sederhana seperti ini, Jika ada satu lokasi tanah, Agar saya bisa bertahan hidup, maka saya mesti mengelola separuh dari tanah tersebut. Bisakah saya mengelola semuanya?. Bisa. Tetapi, hal itu mengandaikkan, bahwa hanya saya yang ada di bumi.
Jika ada 20 orang di sekitar lokasi tanah tersebut, maka saya boleh ambil sebanyak-banyaknya atau semampu yang saya lakukan. Tetapi, dengan prinsip bahwa orang lain juga punya kesempatan untuk mengambil sebanyak-banyaknya juga. Dengan cara seperti itu, maka terjadilah distribusi yang adil. Artinya, saya boleh mengambil 1/20 dari tanah tersebut, karena ada 20 orang. Hal itulah yang di maksud, properti. Tetapi, problemnya adalah kalau semuanya di ambil oleh 20 orang. Lalu, bumi atau alam bereaksi - kalau semuanya di ambil oleh manusia. maka, Ulat dan cacing dapat apa?. Bumi menganggap, Adil untuk manusia, tetapi tidak adil untuk alam - cacing, ulat, dsb.
Tetapi, kita sebagai manusia punya kemampuan untuk mendalilkan hal tersebut- etika. Sebab, kelak kita akan mati dan tubuh kita akan terurai menjadi mineral, sehingga cacing dan ulat bisa mengkonsumsinya. Sebagaimana yang saya sampaikkan diatas.
Artinya, manusia dan bumi, saling mengintip siapa yang menjadi objek dan siapa yang subjek. Problemnya, jika benda itu kita jadikan objek. Benda itu kita objekkan, karena kepentingan kita di dalam satu konteks. Misalnya, kamera saya bilang dia adalah objek, karena itulah saya bisa memindahkannya kemana-mana, karena saya ingin anggle saya sempurna. kamera tersebut saya jadikan objek, karena saya punya kepentingan dengan kedudukan saya. Dengan kata lain, sesuatu kita jadikan objek, karena pikiran kita menghendaki dia menjadi objek. Bukan karena dia memang objek. Tetapi, bagi kamera, justru sayalah yang menjadi objeknya.
Hal itu sama dengan, bumi dan manusia. Kita mau mengatakan bahwa bumi adalah subjek, tetapi kita butuh sumber dayanya. Akibatnya bumi kita objektifsir.
Soal-soal dan problem seperti itulah yang terdapat dalam Filosofi Etika Lingkungan, sehingga sampai sekarang terjadi debat yang tidak berkesudahan. sementara disaat yang bersamaan kita di kejar oleh soal Global warning, daya tahan pangan, dsb. Saya menyuguhkan hal ini, bukan sebagai solusi. Agar kita memahami kedalaman persoalan. Hal itulah yang disebut sebagai berpikir radikal.
Misalnya, di salah satu daerah terdalam di kalimantan menganggap bahwa Bumi - hutan adalah sumber hidup mereka, sehingga orang-orang mengiterpretasi bahwa masyarakat tersebut menjadikan bumi sebagai objek?. Kadang kala, kita tidak bisa pastikan, apakah yang di maksud di objekkan menurut masyarakat tersebut. Sebab, di dalam Pikiran atau Local pengetahuan mereka mengatakan, bahwa dari awal nenek moyang kita makan dari hutan ini atau mereka mau bilang, Kita di beri makan oleh hutan tersebut.
Di badui dalam itu, bambu rumah mereka tidak beraturan, ada yang panjang dan ada yang pendek. Tidak di buat rata. Sebab, prinsip orang badui, yang panjang jadi potong dan yang pendek jangan di sambung. orang kota ketika datang di badui dalam menganggap mengapa bambu rumah mereka di bikin tidak beraturan. Padahal, sesungguhnya tidak beraturan itulah aturan mereka.
Soal lain misalnya, Bagaimana jika ada orang yang menganggap bahwa dia Vegetarian. Lalu, kita tanya mengapa anda vegetarian?. Dia menjawab, "karena saya anggap memakan daging itu menyiksa mahkluk". Lalu, kita bertanya lagi?. Jadi, selama ini anda hanya makan sayur saja?. Ia menjawab, "Ia saya hanya makan sayur saja". Seseorang yang menolak makan daging, dengan asumsi menyiksa Mahluk dan hanya memakan Sayur. Sesungguhnya, dia telah merebut Hak ulat daun untuk memakan Klorofil. saat dia makan daun (sayur), dalam waktu bersamaan dia membunuh juga ulat daun, karena makanan ulat daun adalah daun (klorofil). Maka, diskusi pun berhenti. Karena, dia tidak bisa menjelaskan logika Vegetarian. Berbeda ketika pilihannya tidak makan Daging, karena Fashion atau menurunkan berat badan.
Hal itu sama dengan Asumsi, dia tidak makan daging ayam. Karena, ayam adalah mahkluk. Tetapi, Untuk memenuhi protein tubuhnya. maka, dia makan telur. Hehehe...benar, dia tidak makan daging ayam. Tetapi, calon ayam dia makan. Demikianlah, problem-problem sederhana di dalam Logika. Karena itulah menjadi Envirionmentalis, mesti tertib di dalam pikiran, harus ada koherensi di dalam logika.
***
Di dalam sejarah Perlindungan Lingkungan, Ada satu istilah yang disebut dengan "Eco terorisme". Eco terorisme, bukan menteror lingkungan. Tetapi, memanfaatkan terorisme untuk melindungi hutan.
Di Amerika, para aktivis lingkungan sudah capek memberi semacam sinyal agar jangan menebang pohon. Tetapi, pohon tetap di tebang juga. Karena, kebutuhan industri.
Suatu waktu, ada sekelompk orang mencari pohon yang akan di tebang dan lalu mereka memasang paku di dalam pohon tersebut. dengan maksud agar tukang potong pohon saat memotong, gergajinya akan terkena paku. Maka, gergajinya akan patah dan pentalan dari patahannya, bisa terkena tubuh si pemotong pohon. Fungsinya agar memberi efek jera kepada penebangan pohon. Tetapi, dengan cara memaku pohon. Itulah yang disebut Eco Terorisme
Jika kita benar-benar mau melihat dan mengurusi lingkungan hidup, maka kita sudah harus merubah cara pandang kita terhadap lingkungan Hidup dan kehidupan.
Misalnya, ada sebuah sungai di Zew Zealand, di nyatakan sebagai subjek hukum sempurna. Sungai ini, punya hak sebagaimana manusia, di lindungi, tidak boleh dikotori. Memang ada problem, seperti bagaimana jika Sungai itu menelan Seorang yang sedang memancing. Jika sungai itu adalah subjek hukum sempurna, tentu dia akan di kenakan delik (pidana). Sekalipun masih dalam perdebatan, tetapi sudah ada terobosan untuk menganggap bahwa subjek hukum sempurna, bukan hanya Manusia, tapi juga yang non human, seperti sungai.
Di salah satu Negara bagian di amerika serikat, misalnya. Binatang piaran sudah harus di daftarkan sebagai anggota keluarga. Karena, ada kewajiban jika kita memelihara sesuatu. Maka, dia punya hak untuk di lindungi secara hukum. Jadi, sesungguhnya keadaan ini, ada kebingungan secara manusiawi. Tetapi, bagi alam itu hal biasa.
Sekarang coba kita Lihat sejarah terhadap gerakan lingkungan hidup, agar kita punya arah persepktif. Suatu waktu Di tahun 60 an, misalnya. ada seorang perempuan, professor Kimia. Suatu ketika dia keluar rumahnya untuk jalan-jalan. di hari pertama musim semi, dia tidak mendengar kicau burung. Dia merasa aneh dan penasaran, karena hari pertama di Musim sebelumnya, selalu ada kicau burung, sebagai pertanda tibanya musim semi.
Akhirnya dia menghubungi teman profesornya untuk membuat riset. Di temukanlah bahwa burung-burung itu, pada musim sebelumnya memakan buah-buahan di sekitar kota tersebut, yang telah di pestisida. burung-burung itu mati, karena tidak bisa membedakan antara buah-buahan yang telah di pestisida dengan tidak di pestisida. Dari ihwal itulah sehinga Professor ini menulis sebuah buku, yang Berjudul "Musim semi yang sunyi". gagasan ini menjadi gerakan lingkungan hidup di dunia.
Demikianlah Suatu peristiwa intelektual, yang membuat kita berpikir bahwa cara kita mengeksplotasi alam sudah melampaui kearifan yang di berikan oleh alam. Kita sedang berada dimana dunia mungkin sudah berada di era pengakhiran manusia.
***
Salah satu Tokoh atau anggota dari Frankfrut Shcool, yang di buat tahun 1920-an. Di maksudkan untuk memberi alternatif terhadap gagasan marxisme ortodoks ialah Jurgen Habermas.
Di dalam teori Jurgen Habermas, masyarakat di petakan dalam model relasi antara State (negara) dan Ekonomi (pemodal), serta Kultur. Jadi, dalam Teori Jurgen, ada 3 blok Masyarakat. Jurgen Habermas memberi istilah khusus dalam relasi antara State (negara) dan ekonomi, ia menyebutnya sebagai sistem. Jadi, sistem adalah kerjasama atau hubungan Resiprokal antara Negara dan ekonomi. Di luar kedua itu, ada Kultur, yang ia sebut sebagai Life wall (Dunia kehidupan), yang isinya adalah makna.
Terma sistem yang di maksudkan diatas adalah Relasi antara Negara dan ekonomi, yang di persatukan dengan satu rasionalitas. Secara sederhana kita bisa memahaminya, sesuatu dapat di katakan stabil, jika didalamnya beroperasi, jenis kesepakatan yang bisa di ukur dengan statistik. Misalnya, pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan kepastian hukum. Semua itu disebut rasionalitas didalam sistem. Tetapi ada rasionalitas lain, yang di sebutkan jurgen Habermas, yaitu Komunakasi. Isinya adalah kesepakatan-kesepakatan kultural (Etik).
Biasanya terjadi krisis didalam masyarakat atau dalam terma sosialnya disebut krisis legitimasi (Konfrontasi). Krisis legitimasi ini terjadi, bila rasionalitas sistem, yang sifatnya kuantitatif di paksakan ke dalam rasionalitas yang sifatnya kualitatif. Maksudnya, negara dan ekonomi, kerap berkerja di dalam konsep rasionalitas kuantitatif, karena yang mereka kejar adalah akumulasi secara Kuantitatif. Makanya, kita sering dapati untuk menumbuhkan satu sektor. Sektor lainnya yang akan di push. Sedangkan, masyarakat sedang menikmati Rasionalitasnya. Karena bisa bercakap-cakap antar tetangga, antar komunitas atau menikmati keakraban warga negara.
Komunikasi dalam masyarakat kultural tidak di bisa ukur berdasarkan prinsip kuantitatif. Tetapi, dalam prinsip kualitatif (pemaknaan). Sama seperti seorang dokter, Jika dia menggunakan rasionalitas saintifiknya. Maka, dia lansung suntik saja pasiennya. Tetapi, dia mesti berkomunikasi dengan pasiennya, agar pasiennya percaya bahwa dia adalah dokter. Selain itu, agar tidak ada rasa sakit yang di timbulkan. Itulah yang disebut Rasionalitas komunikasi dalam Masyarakat sipil.
Negara tidak perduli dengan semua pertimbangan kualitatif masyarakat sipil. Jika negara telah mengukur rasionalitas kuantitatifnya dan menguntungkan secara pokitik dan ekonomi, apalagi dengan menggunakan starategi marketing. maka tidak ada alasan lain, selain melaksanakannya.
Di titik inilah, Pelanggaran terhadap Hak asasi manusia dan eksploitasi terhadap lingkungan terjadi. Lucunya, Negara akan hadir lagi dalam memberikan promosi, bahwa mereka telah menyelesaikan pembangunan ini dan itu yang Pro terhadap Rakyat, sebagai upaya terhadap pertumbuhan suatu sektor. Padahal kenyataannya yang terjadi, tidak ada penerimaan terhadap Masyarakat. Justru, Di nikmati oleh sebahagian elit. Inilah yang di sebut Krisis legitimasi. Jadi, krisis legitimasi terjadi, ketika Rasionalitas Negara yang kuantitatif di paksakan kepada Rasionalitas Kebudayaan yang kualitatif.
Krisis legitimasi inilah, yang menerangkan kepada kita, mengapa Intensitas separatisme tetap bertumbuh di wilayah-wilayah indonesia yang tingkat kemiskinan dan kekayaannya menganga. Tapi, negara menganggap itu sebagai tindakan melawan Hukum. Memang separatis itu melawan hukum. Tapi, pernahkah Negara membaca bahwa ada batin warga negara atau masyarakat kultural yang terganggu?.
Hal ini juga yang berlansung di dalam demonstrasi mahasiswa dan opisisi, mereka lansung di lekatkan pada tindakan melawan hukum. dimensi Komunikasi kebudayaannya gagal di pahami negara. Padahal hal itu bisa berpotensi memecah belah indonesia. Selain itu juga, arogansi sistem terhadap dunia kehidupan masyarakat Kultural.
Hubungan negara dan ekonomi, yang kerap di sebut dengan oligarki. Oligarki versus Civil society. Jika saja negara mau. maka, ia seharusnya menggunakan Oposisi, untuk mengingatkan mereka. Tetapi, justru negara meniadakan oposisi dan dibuatkan suatu streotipe, siapa yang oposan di anggap melawan hukum. Akibatnya terjadilah konfrontasi.
Hal-hal seperti ini juga terjadi di Soal-Soal Lingkungan. Satu-satunya etika lingkungan yang benar adalah ketika datangnya dari Kementrian lingkungan Hidup, artinya datang dari sistem, yang skala statistiknya di hitung berdasarkan rasionalitas kuantitatif. Jadi, orang-orang modern menganggap diksursus lingkungan yang datangnya dari LsM, Aktivis lingkungan dan mahasiswa adalah omong kosong.
Kita sederhanakan agar lebih muda di pahami. Relasi negara dan Ekonomi (Pemodal) meniscayakan terjadinya eksploitasi terhadap alam. Kita tidak pernah berpikir, bahwa Dampak terparah justru tertimpa pada masyarakat adat, masyarakat sipil yang di pinggiran. Negara tidak pusing dengan semua itu, Karena bagi negara, Civil society dan Alam semesta adalah pelacur, Yang kapan saja boleh di tidur tanpa di nikahi. Apalagi di tambah dengan bumbu romantisme. Padahal, Eksploitasi terhadap alam itu sama seperti eksploitasi patriarkisme terhadap perempuan. Didalam sistem patriarki, berlaku etis patriarki, yang dalam gagasan sistem menganggap, jika telah meniduri Alam dan Manusianya adalah orang macho dan alam serta manusia dianggap budak seks.
Konfrontasi dari Masyarakat sipil dan Alam, karena negara tidak paham bahwa Masyarakat sipil (kultur) dan Alam punya Inner Heart (inner value), bagian ini biasanya di kupas dalam Feminis Environmental etics.
Sebetulnya pemimpin yang tidak punya kemampuan konsepsional untuk melihat sesuatu, pasti menjadi negara peniru, bahwa Amerika pernah Mengeksploitasi minyak di texaz, australia pernah juga mengeksploitasi bata bara. Jadi kita mau ikuti yang demikian. Padahal bukan itu substansinya, substansinya adalah Oligarki telah menyuntik negara dan ia menagih balik, sehingga prinsip-prinsip etika lingkungan hidup di abaikan.
Misalnya, soal rasionalitas kuantitatif. Dulu, di australia. Pemerintah australia menganggap orang aborigin tidak punya tempat tidur (Rumah). Maka, dengan Rasionalitas kuantitatif, satu kampung suku aborigin di berikan rumah, satu orang satu. penduduk aborigin, masuk saja dalam rumah tersebut. Hari pertama, orang aborigin tidurnya gelisah semua. Hari kedua, petugas pemerintahan datang cek rumah-rumah tersebut, tetapi dia dapati rumah itu, atapnya telah di cabut. Hari ketiga, petugas datang mengecek lagi, ternyata jendala dan pintunya juga sudah di buka. Lalu, orang-orang aborigin di tanya sama petugas, kenapa kalian buka atap rumah yang kami berikan?. Karena, Orang aborigin tidak bisa tidur, kalau tidak melihat langit dan bintang.
Pemerintah tidak paham, tidak punya gagasan terhadap rasionalitas komunitas tersebut. Mereka anggap, jika di berikan rumah. Maka, disitulah ukuran kesejahteraan masyarakat. Padahal, bagi orang aborigin. Kebahagian dan kesejahteran, jika tidur masih bisa lihat langit.
Pemerintah kita juga demikian. Demi rasionalitas Kuantitatif, hak masyarakat adat di rampas, Di eksploitasi, pembangunan infrastruktur statis yang tidak memikirkan dampak lingkungan hidup sama sekali.
Dulu, terjadi banjir besar di badui, jembatan yang menghubungkan antara badui dalam dan badui luar roboh dan hanyut akibat air meluap di kali tersebut. Suatu waktu, ada orang jakarta datang ke lokasi tersebut, menemukan bahwa jembatan yang menghubungkan badui dalam dan badui luar rusak dan tidak bisa lagi di gunakam sebagai akses untuk menyebrang. Lalu, orang tersebut berinisiasi untuk bertemu dengan kepala adat setempat, lengkap dengan uang untuk di gunakan membangun jembatan yabg rusak, " Pak saya ada uang, tolong beli bambu. Nanti saya mau membangun jembatan ini. Sekalian saya bawa tukangnya".
Maksud orang tersebut baik, karena hendak membangunkan jembatan yang menghubungkan akses badui dalam dan badui luar.
Apa jawaban kepala adat, "bapak bolak balik badui yah?". Tidak, kebetulan saya tahu. Makanya, saya datang ke sini, jawab orang tersebut. Lalu, keterangan kepala adat, "kalau bapak memberi uang. Memang orang-orang tidak kerja. Karena, bapak yeng akan mengerjakannya. Tetapi, jika suatu saat banjir datang lagi dan membuat jembatan roboh dan rusak. Orang-orang tidak akan kerja lagi, karena orang-orang menunggu bapak datang. Jadi, jangan kasih uang ke kami. Biarkan kami yang kerjakan sendiri".
Jadi, demikianlah Local Logic atau local wisdom masyarakat badui demikian. kita seringkali salah menganggap bahwa masyarakat butuh bantuan. Padahal sesungguhnya tidak, karena masyarakat adat mempuanyai Inner Logicnya sendiri.
Jika kita tidak mengikuti narasi yang di bangun oleh negara. Maka, kita akan di pentungi. Masih kepala batu, di bawakan buldozer. Masih kepala batu, di arak dari barak seluruh Instrumen negara untuk mengejar dan menghantam Rakyat. Semua itu karena kita tidak belajar dari konflik-konflik agraria di berbagai negara. Karena, demi kebutuhan akumulasi pertumbuhan ekonomi secara kuantitatif, sehingga meniscayakan eksploitasi.
Di dalam gerak seperti ini, Potensi konfliknya pasti meningkat dan jika ia terekspose, maka Para Buzzer akan terus bekerja. Jadi, negara selalu dalam keadaan darurat, yang dalam waktu bersamaan membuat masyarakat hidup dalam keadaan darurat. Karena, tidak ada kelegaan untuk melihat hak dari alam untuk mendefenisikan diri sendiri. Instrinsik value dari alam dianggap sebagai soal teknis, yang bisa di rekayasa melalui undang-undang.
Seluruh dunia justru sebetulnya minta perhatian terhadap Indonesia, karena indonesia dianggap mampu menjadi contoh atau kita sebut saja, Indonesia adalah gerbang untuk masuk di dalam masyarakat 5.0. Teknologinya 4.0, masyarakatnya 5.0. Agar teknologi tidak mengintrusi atau mengeksplotasi alam dan lingkungan, serta society. Justru yang punya konsep itu sekarang adalah jepang. Teknologi jepang sekarang sudah 5.0, tetapi jepang khawatir, masyarakatnya akan jadi robot. Maka, dia kembangkan society 5.0, kembali kepada kultur atau dalam Bahasa S Huntington, culture matters.
Indonesia yang punya kekayaan Local wisdom dan kekayaan alam. Tetapi, jejaka kekayaan tersebut di hilangkan. Demi akumulasi rasionalitas kuantitatif.
Kalau kita memperhatikan secara sungguh-sungguh, keadaan yang terjadi di istana, jarak antara sistem dan Kultur ini semakin menganga lebar. Sedangkan posisi Gerakan mahasiswa, gerakan intelektual adalah reprsentasi masyarakat sipil untuk membegal jarak antara sistem dan Masyarakat sipil atau meminjam Istilah Vaclac Havel, seorang wartawan dan sastrawan yang mempelopori perjuangan masyarakat sipil di cekoslovakia, dengan menggunakan Terma "Paralel Polis". Polis yang paralel dengan negara, artinya masyarakat sipil membayang-bayangi terus negara. Apa yang di lakukan oleh Vaclac Havel saat itu adalah menyebarkan pamflet-pamflet, diskursus yang kritis atau yang ia sebut sebagai Samis dat (pamflet bawa tanah).
Sekarang kita tidak perlu gunakan Pamflet bawah tanah lagi. Sebab, kita sudah punya WA group. Tetapi, potensi itulah yang kemudian di baca oleh negara, bahwa WA group bisa jadi paralel polis. Karena itulah kita di buatkan UU ITE (polisi cyber). dimana WA group di intai. sesungguhnya sistem tersebut mengintai lagi dunia kehidupan (Life wall) kita. Padahal dunia kehidupan itu urusan kualitatif, kita mau share Cinta, perasaan, kita mau share kejengkelan, kebencian dan share apapun adalah hal yang natural.
Bayangkan, sistem ini secara terus menerus mengintervensi Dunia kehidupan kita yang kualitatif dan itu adalah pertanda legitimasi makin lama makin jatuh. Kita bisa buat sebuah teori baru, jika statistik menyebutkan bahwa elektabilitas terhadap pemimpin sedang meninggi, itu pasti bohong. Sebab, jika tinggi elektabilitasnya, untuk apa mengintai Dunia kehidupan masyarakat sipil melalui polisi Cyeber.
Jika hal ini terus berlanjut, maka kita akan menjadi Republik of feer. sebab bagian yang paling intim dari manusia yaitu komunikasi antar warga negara dan keakraban pun telah di pantau oleh negara. Jadi, sesungguhnya negara ini adalah negara Orweelian, negara yang di bayangkan Oleh George Orweel, dalam "nine ten Eighty", "the big brother is wacthing you (si bos besar terus menonton kita). Hal yang merupakan ciri dari negara otoriter. Novel George Orweell itu adalah Satire terhadap kekuasaan stalin pada waktu itu. Setelah Fasisme, ada stalin, Mussolini. Di ingatkanlah dalam satire, bahwa Fasisme, Stalin dan Mussolini sama saja (Big brother Is Watching you).
kalau kita mengucapkan seperti itu kepada pemimpin kita, mereka akan besar kepala. Padahal itu adalah satire terhadap kekuasaan bengis. Setara dengan Le fia tangnya Thomas Hobbes. Beginalah akibatnya, jika kekuasan tidak paham dengan konsep-konsep, sehingga kita bingung juga menjelaskan kepada kekuasaan.
Kita bisa membandingkannya pada para pemberontak Aceh, misalnya. Mereka adalah Orang-orang pintar dan Cerdas, yang berupaya menghasilkan alternatif. Tetapi, pada akhirnya di sebut pemberontak, karena soal hukum. Namun, Logika Daud Beriuh, Hasan Tiro, dsb, sangat cemerlang, karena bisa membuka jalur diplomasi dunia. hal itulah yang tidak di milik diplomat kita sekarang. Bayangkan saja, Diplomat kita Masuk ke ruang PBB, dia memberikan data dengan power point. Sementara para aktivis-aktivis Aceh dan Papua sudah lebih dahulu menyuplai data yang betul-betul ril dari dalam hutan. Hal itu disebut dengan Electronic Stragel.
Saya menerangkan ini sebagai Teori, bukan dalam rangka untuk bertentangan dengan pemerintah. Persis sama, dengan pasukan Kiri dari Sandinista, Nikaragua, yang di pimpin oleh Ortega. Jadi, gerombolan Pasukan Kiri Sandinista, Mengupload informasi paling mutakhir dari dalam Hutan Nikaragua masuk ke server seorang Professor USA di Los angels. Lalu, di olah menjadi paper dan paper itu di sebarkan ke seluruh dunia, sehingga ada basis akademisnya. Mengapa kemudian, Pasukan geriliya Kiri di Nikargua menang, karena di bantu oleh kelompok Akademis di Los Angels.