Qolallahu ta'ala fi qur'anil karim, audzubulilla hi misyaitoni rrojim, bismillahirohmanirrohim
Allah SWT berfirman:
وَسَارِعُوْۤا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُ ۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ
"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa," (QS. Ali 'Imran: 133).
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ ؕ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
"(yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan." (QS. Ali 'Imran: 134)
Wa Qola aidon, "Fa akhi waj haka hanifan liddin fitra tallahi hillati fatarannasa alaiha laa tabdila li kholqi dinul qoyyima waa la kinnal aksaronnasi la ya' lamun".
Wa qola Rosulullahu Sollallahu alaihi wassalam, "mang kana akhiru lailatan ramadhana baktissamawati wal ardh wal malaikati lii ummati muhammad li musibatin. Qila ay musibati ya Rosulullah, dzahaba ramadan lii anna mustajaba wa sahodaqotin makbula".
Wa Qola aidhon, "Tarakktu fil hawa wa ajla satin fi hawa".
Halal bil Halal ini menarik untuk di kaji. Sebab, tema ini, seakan menjadi tema rutin yang di uraikkan dengan pambahasan-pembahasan turunan tersendiri, Setiap setahun sekali. khususnya selepas kita merayakan dan menikmati idul fitiri.
Pertanyaan mendasarnya, apa yang di maksud Halal Bil Halal : halal itu apa?. "Bi" itu apa?. Diksi "Bi" menurut Ibnu Hisyam Al anshori dalam kitabnya Bugdhil Labib, ada 14 Maknanya.
Kita mengkaji makna Halal terlebih dahulu, sebab kata Halal adalah kata yang kita serap dari bahasa arab, yang kita harus ketahui makna aslinya secara semantik lughawi. Setelah itu kita akan mengkaji penjabaran kata Halal sebagai petunjuk kita berkehidupan dan bagaimana implementasi di dalam kehidupan.
Diksi Halal di dalam bahasa arab, sumber awalnya berakar dari kata "Al hillu". Kata kerjanya adalah "Al hallah al hillu" : halalan wa halalan dan akar kata utamanya bersumber dari kata al hillu. Al hillu ini bermula dari sesuatu yang sudah terurai dan tidak memiliki persoalan. Itulah sebabnya, Jika orang arab mengatakan ada benang atau tali yang kusut, lalu di urai dan menjadi lurus kembali, disebut sebagai "Hillul Musykila". Persoalannya telah tuntas, talinya telah lurus kembali. Keadaan yang sudah lurus dan tidak ada persoalan lagi, di kembalikan ke bentuk masdarnya atau derivasinya berubah menjadi kata HALAL.
Dari situlah kemudian, mengapa dalam terma agama kita mengenal Istilah Halal. Hal itu memberikan kesan kepada kita, bahwa Hal-hal yang ingin kita interaksikan, tidak di pandang bermasalah oleh agama.
Bagiamana Al-Qur'an menampilkan ayat-ayat yang berkaitan dengan Kata Halal dan sejatinya hal itu adalah petunjuk dalam kehidupan kita, yang mau tidak mau pasti kita akan mengalaminya, Ketika hal itu di tampilkan. maka, makna dasar ini akan terbawa dalam implementasi kata Halal yang di maksudkan, boleh jadi dalam kehidupan kita, ada persoalan-persoalan yang seperti benang kusut, yang memang harus di uraikan.
Mari kita turunkan beberapa bagian yang menarik di dalam Al-Qur'an dan nanti kita akan evaluasi, apakah pendidikan ramadhan yang mengurai hal itu, telah benar-benar mengantarkan kita pada suasana Fitrah, sehingga di katakan Idul fitri atau Jangan-jangan ada yang belum terurai dan apa yang kita harus lalukan pasca idul fitri.
Kita lihat kata Halal pertama yang di cantumkan Al-Qur'an, terdapat dalam Q.S. 2 : 168, " Yaayyuhannasu Kulu Mimma Fil Ardhi Halalan Toyyibah (Hai sekalian Manusia silahkan kalian bertebaran di muka Bumi - Carilah makan dari makanan yang Halal dan Baik)". Silahkan kita bertebaran di muka bumi - beraktivitasi, berkerasi. Minimal untuk memenuhi hajat pokok hidup kita. Tetapi, harus di lakukan dengan cara yang halal dan Hasil yang di dapatkan dari proses yang Halal tersebut harus baik.
"Yaayyahunnas", Jika kita merujuk pada konteks diatas - Halal. Tidak mungkin terjadi konteks Halal, apalagi jika Di susun menjadi Halal bi Halal. Jika unsur-unsur Yaayyuhannas tidak terpenuhi.
Kita lihat Unsur-unsur Yaayyuhannas ; Hai semua Manusia. Di dalam Al-Qur'an penunjukkan Manusia, setidaknya disebut dengan lima nama, yaitu Al Basyar disebutkan 35 kali di dalam Al-Qur'an. Al ins di sebutkan 18 kali dalam Qur'an. Al insan, disebutkan 65 kali. Bani adam disebutkan 7 kali. Annas disebutkan 241 kali dalam Al-Qur'an.
Sebagaimana yang kita ketahui, setiap diksi atau huruf dalam Al-qur'an itu punya penekanan makna tersendiri. Seperti berbeda ketika disebutkan al ins dan al insan, Annas dan Bani Adam, dst. Menariknya terjemahan mushaf kita, ada yang menerjemahkan serupa.
Ketika di sebutkan An nass, tidak pernah bahkan di sebutkan dalam bahasa arab kecuali untuk menunjukkan kepada konteks MANUSIA dalam hal sifat sosialnya, bahwa manusia sepanjang berkehidupan, ia tidak bisa hidup sendiri dan butuh orang lain yang meniscayakan dia untuk berinteraksi. Karena itulah ketika Allah memanggil dengan sebutan, "Yaayyuhannas" yang di tuju dari informasi ini adalah Pertama, semua Manusia (Tanpa batas, melampaui sekat-sekat Aqidah). Kedua, menunjuk konteks hubungan sosial. Artinya dalam konteks hubungan keduniaan - hubungan sosial. maka Al qur'an mengajak kita untuk bersinergi dan tidak menjadikan aqidah sebagai sekat.
Manariknya Al qur'an, Ketika Allah memanggil dengan kata Yaayyuhannas, Allah menggunakan kata " Ya" yang di sebutkan 361 kali dalam Al qur'an dan fungsinya di sebut sebagai huruf memanggil dengan jarak objek (dekat, menengah atau Jauh). Padahal ada 14 huruf panggilan dalam bahasa arab. Tetapi Al qur'an hanya menggunakan kata "Ya". Mengapa?, Karena diksi "Ya" yang paling fleksibel (bisa memanggil yang jauh, yang menengah, yang dekat atau untuk meminta bantuan).
Luar biasanya, ketika di panggil dengan panggilan "Ya" yang di tujukan kepada semua manusia tanpa terkecuali. Lalu, di tegaskan dengan diksi, "Ayyuha" di sebutkan sebanyak 150 kali dalam Al qur'an. "Ayyuha" dalam gramatikal bahasa Arab berfungsi sebagai kalimat munadah ; Penguat( Tauqid) dan Tanbih (pengingat). Seolah-olah Allah hendak mengatakan, " Hai semua manusia tanpa terkecuali, baik engkau merasa dekat denganku, menengah denganku ataupun merasa jauh denganku. Aku tegaskan (penguat - tauqid). Silahkan bertebaran - berkreasi - berkativitas di setiap tempat yang engkau bisa pijak di bumi.
Lalu, di lanjutkan dengan diksi "Mimma", yang awalnya dari Kata "Min" tambah "Ma". Jika Hurufnya, hanya "Ma" saja. Maka, artinya semua di bumi. Tetapi, kalau ada "mim" (Tab'id ; menunjuk pada Sebahagian yang bisa di Capai). Menariknya diksi "Fi ardhi" di tafsir lagi dalam Q.S. 49 ; 13 dengan pembuka yang sama, "Yaayyuhannasu inna kholaqnakum min dzakari wa untsa wa ja alnakum zu'ubaw wa qoba'il - (Hai semua manusia kami ciptakan kalian itu ada yang lelaki dan perempuan dan kami tetapkan pola berkehidupan kalian secara sosial akan bersifat komunal-komunitas)". Qoba'il itu adalah bentuk jama' dari kata Qobilah - Suku.
Sebelum masuk kepada Halal, Allah menampilkan pendahuluan yang mengacu kepada halal dengan menghadirkan bentuk kata kerja, yang dengan pekerjaan itu menuntut kita untuk menyebar di muka bumi - bekreasi, mencari ke setiap tempat di muka bumi. Jadi, seolah-olah dalam berbagai aktivitas pekerjaan kita itu ada hubungan-hubungan yang mungkin tidak harmoni. Makanya Diksi harmoni ini akan di tafsir dalam Q.s. 49 ; 13 yaitu Lifa'arufu.
Risalah tertinggi dari Konteks ini adalah keragamaan kita dalam berinteraksi, dimana pun kita berada. Tujuan akhirnya kata Al qur'an adalah Lifata'arafu ; Harmoni. Yang dari harmoni itu tercipta suatu keadaan yang kondusif, kemakmuran, kesuksesan. Makanya mengapa kehidupan rumah tangga, langkah awalnya di sebut Ta'aruf (pola awal membangun harmoni dan juga sekaligus pembuka menuju Sakinah, mawahdah dan warohmah. Ketika kita menarik hal ini dalam konteks yang lebih luas ; pekerjaan, bersosial, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Boleh jadi dalam berinteraksi itu, yang seharusnya harmoni, justru ada hubungan-hubungan yang tidak harmoni.
Setelah itu barulah kalimat Halalan, seakan-seakan memberikan ranah koreksi kepada kita. Sedangkan, toyyib itu atau kondisi ideal, baik untuk kesehatan, untuk keuangan, untuk kenyamanan di rumah tangga, dsb itu tidak mungkin bisa di hasilkan, jika tidak ada halalnya. Makanya, kalimat Halal itu Mahal dalam Rumusan Al-qur'an. Untuk sampai pada kalimat halal, terlebih dahulu kita mengurai persoalan. Mengurai persoalan untuk melahirkan sebuah ketenangan. Misalnya, kita mendapatkan Toyyib dalam kemapanan ekonomi (kaya). tapi tidak tuntas masalah Halalnya, akibatnya Kegelisahan yang kita dapatkan. Ketenangan itu mahal dan yang kita cari dari ibadah adalah ketenangan. Makanya kita latihan tuma'nina (tenang), " ala bidzikrillahi Tat ma innal Qulub". Bahkan panggilan terindah dari Allah atau Legacy terakhir adalah ketika di panggil dalam keadaan tenang, hal itulah yang di maksud dalam Q.S. 89 ; 27-30, " Yaayyattuhal nafsul muttmainnah".
Halal Bi Halal, Kata Ibnu Hisyam Al ansori, diksi "Bi" dalam Kitabnya Maudhil Labib an Kutubil Ma'arif, punya 14 Makna. Ada seorang mahasiswa Indonesia, mengambil S3 di Timur tengah, cuman menganalisa Huruf "BA" pada Q.S. Al Maidah : 6, tentang persoalan Wudhu ; Saat perintah membasuh wajah, tangan tidak menggunakan Ba. Tetapi, saat perintah mengusap kepala, Allah menggunakan kata "Ba". Kita lihat, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَا غْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَ يْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَا فِقِ وَا مْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَ رْجُلَكُمْ اِلَى الْـكَعْبَيْنِ ۗ وَاِ نْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَا طَّهَّرُوْا ۗ وَاِ نْ كُنْتُمْ مَّرْضٰۤى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَآءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَآئِطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَا مْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَ يْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗ مَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰـكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur."
Diantara fungsi Huruf Ba, ada yang di sebutkan sebagai Al Mushohabah (hubungan yang rekat - baik), bahkan di serap kedalam bahasa indonesia menjadi sahabat. karena saking lekatnya hubungan itu di sebut sebagai Fungsi kedua, Al ilshoq (kuat).
Menariknya, Halal bi Halal. Halal pertama adalah pihak pertama dan halal kedua adalah pihak kedua yang di tengahi oleh Huruf "BA" atau di satukan oleh huruf BA. Jika kita terapkan makna Ba-nya menjadi Mushohabah (hubungan yang lekat atau persahabatan) kedalam terma Halal Bi Halal. Kita bisa memposisikan diri kita pada orang pertama (halal) dan carilah orang kedua (bisa istri, Bisa anak, bisa bermasyarakat, bernegara dan berbangsa). Silahkan kita cek sendiri, adakah hubungan yang belum terurai dengan baik, sehingga seharusnya hubungan itu terjalin harmoni, Ta'arafu dan baik. Tetapi, itu semua tidak tercapai karena barangkali dalam pekerjaan-pekerjaan (qulu) ada persoalan yang boleh jadi karena perbedaan-perbedaan pandangan tertentu, menjadikan peluang-peluang harmoni tereduksi sedikit demi sedikit.
Perbedaan pandangan itu bukan untuk menyatukannya pandangan. Tetapi, bagaimana perbedaan tersebut di jadikan sebagai Misi untuk mencapai Harmoni.
Harapan kita pada kehidupan yang harmoni itu hanya akan di capai jika ada Ikhtiar. Misalnya dalam Filosofi Sa'i ; Shofa dan Marwah, Q.S. 2 ; 158. Kisah Sayidah Hajar yang Populer sampai pada kita, hanya di sebut bahwa ia mencari air untuk putranya. Tetapi, kalau kita mengambil makna terdalamnya, seperti mengapa di namakan Shofa, mengapa di namakan Marwah?. Marwah itu adalah suatu harapan tertinggi yang ingin capai, bisa juga Bermakna Suatu kehormatan tertinggi yang di raih. Maka untuk mendapatkan Marwah, kita harus melaluinya dengan Shofa. Shofa itu berasal dari kata Tasfiah (menyaring sesuatu yang kotor, sehingga yang tersisa adalah yang bersih). Keadannya di sebut dengan Shofa. Orangnya di sebut dengan Shofi. Sifatnya di sebut dengan Sufi.
Mengapa di sebut sebagai bukit Shofa?. Karena syaidah Hajar melihat kenyataan, bahwa anaknya sangat kehausan dan sangat membutuhkan air. Hal pertama yang ia lakukan adalah berpikir positif ; tidak mungkin Allah menempatkan di sini, jika semua instrumen kehidupannya tidak ada. Karena pikiran positif itulah, sehingga Setengah dari Harapan syaidah Hajar telah tercapai. Makanya dalam sejarah ia rela bolak balik Bukit Shofa dan Marwah, yang kita kenal sekarang dengan Terma Sa'i. Sa'i itu bukan lari-lari kecil. Tetapi, usaha yang serius atau sungguh-sungguh.
Sa'i dari Kata sa'a dan Yas' a. Misalnya, hari jum'at bagi lelaki, ada ibadah menunaikan Sholat Jum'at . Kesiapan kita untuk datang menunaikan jum'at, kalimat qur'annya menggunakan kalimat perintah yang se akar dengan Sa'a, Lihat Q.S. 62 ; 9, " Yaayyuhaladzina amanu Idza nudiya lisholati Mi yaumil Jum'ati Fas aw (hai orang-orang beriman, jika engkau tahu di hari jum'at ada panggilan untuk menunaikkan ibadah Jum'at. Maka bergegaslah)". "Fas aw" (bergegas) pada ayat tersebut dari kata Sa'i. Bergegas di ayat itu bermaksud menyiapkan diri kita dengan sempurna. Makanya mengapa di sunnahkan, kita untuk mandi, menggunakan pakaian Suci dan bersih. Memakai perfum dan mencari shaff yang terdepan. Hal itulah yang di maksud dengan Sa'a.
Nah, hal itu jangan hanya di tempatkan di Jum'at. Tetapi kita mesti menempatkan ke semua segmen kehidupan kita. Kita punya harapan (marwah). Ternyata hal yang di tempatkan oleh qur'an terkait dengan Halal ini ada dua hal, pertama adalah dimensi hubungan sosial kita dengan Manusia dan dimensi hubungan kita dengan Allah. Boleh jadi dengan manusia tidak ada persoalan, tetapi dengan Allah ada persoalan. Coba kita cek, apa yang belum tuntas hubungan kita dengan Allah SWT.
Dalam Hubungan Vertikal atau Transendental dimensinya di sebut sebagai Iman. Menyalahi Iman atau bergeser dari tempatnya di sebut dengan Fusuq, perbuatannya disebut ashoq, bentuknya di sebut dengan Maksiat. Jadi, maksiat itu artinya menyimpang dari kodrat yang di tetapkan. Kita di cipta dari Ujung rambut sampai Ujung Kaki. Mata di cipta untuk melihat. Tetapi, melihat dari apa yang di kehendaki Allah. Jangan sampai cara melihat kita bermasalah dengan Allah, bagi manusia mungkin tidak atau biasa saja. Tetapi, ketika Allah menciptakan mata kita, ada tujuannya. Maka turun Q.S. 24 : 30 untuk lelaki dan ayat 31 Untuk perempuan. Makanya mengapa kriteria baik dalam qur'an di susun dengan rapi, sedangkan yang tidak baik kita di perintahkan untuk memalingkan pandangan, karena haram hukumnya.
Mengapa haram?. Haram itu asal katanya bukan tidak boleh. Haram itu seakar dengan Hurma (hormat). Mengapa hukum haram itu muncul, untuk menjaga kehormatan, jangan sampai di lakukan. Jika di lakukan, maka kehormatan kita akan runtuh. Sedangkan Allah memiliki sifat kasih yang luar biasa. Sehingga, jangan sampai kehormatan kita jatuh di hadapan Allah, bahkan di hadapan manusia.
Makanya, mengapa mencuri, korupsi itu haram. Karena jangan sampai dengan anda mencuri, kehormatan anda akan runtuh. Kita yang melakukan, tapi anak dan keluarga kita yang di hujat. Makanya, banyak ayat dalam qur'an yang mengatakan kepada orang Tua, hei jika mau bertindak yang kotor, pikir-pikir dulu. Demikian juga ayat tentang Lisan Q.S. 49 ; 11-12, " Yaayyuhaladzina amanu la Yasra kaumin kaum (wahai orang-orang yang beriman, jangan saling mencela)". Itu baru dari mata sampai lisan dan ada sampai ujung kaki.
Boleh jadi harmoni tidak tecapai dalam konteks hubungan sosial, karena pelanggaran terhadap hukum-hukum transendental yang telah Allah tetapkan sebelumnya. Lisan harusnya berkata baik, ada yang kotor di tujukan kepada lawan bicara kita. Melanggar ketentuan Allah dan pada saat yang sama memecah harmoni dalam hubungan sosial.
Allah menanamkan potensi kebaikan dalam jiwa terdalam kita, yang bisa mengarahkan kita agar tetap berjalan dalam rel yang ideal. Baik hubungannya dengan Allah dan Manusia. Potensi tersebut di sebut dengan Taqwa. Q.S. 91 ; 7-10, " Wa naqsin wa ma sawwaha fa alhamaha fujuraha wa taqwaha".
Taqwa ini di sebutkan sebanyak 115 kali dalam qur'an. Lawannya adalah Fujur atau Nafsu, di sebutkan 115 kali dalam Qur'an. Intinya taqwa adalah akumulasi semua sifat-sifat baik, yang mungkin kita hadirkan dalam kehidupan dan sifat-sifat baik ini butuh stimulus. Makanya kita di uji, Dengan ujian berkehidupan, agar sifat-sifat baik itu muncul. Kumpulan semua sifat baik itu di sebut dengan Taqwa, sifat baiknya di sebut dengan Khoir. Jenisnya adalah Jujur, sabar, tawadhu, dsb. Sementara lawannya atau lebih tepatnya adalah Katalis, di sebut dengan Fujur yang terdapat pada nafsu, Q.S. 12 ; 53, " wa ma u barri'u nafsi inna nafsa la ammaratu bi su'.
****
Peradaban dan Tradisi kita, masih menganggap 1 Syawal itu adalah Hari Raya. Sehingga, kita akan senang sekali ; Idul fitri, Yess. Padahal Di Jejaring Maya, kita menyatakan ; Ramadhan Jangan tinggalkan kami. Paradoks.
Hal itu Sama dengan kita menyatakan Idul Fitri sebagai Hari Raya. Padahal, Kita tisak tahu apa Yang kita Rayakan?. Hampir semua kitaMerayakan Idul Fitri sebagai Hari Raya, karena pagi-pagi kita sudah Boleh Ngopi atau Ngeteh.
Fitri Secara Etimologis ada dua, pertama Fitri adalah Keaslian, Geniunitas, orisinalitas atau Kembali ke asal usul Kultural kita (mudik). kembalinya kita kepada diri kita yang sesungguhnya itu siapa?. Kedua, Bahasa Arabnya Sarapan adalah Aftur - Futur. Sehingga, bisa di maknai bahwa Idul fitri juga berarti kembali Makan. Jika kita melacak peradaban dan Tradisi Puasa kita selama ini, idul fitri itu bermakna atau di rayakan yang pertama atau yang kedua. Ayo Jujur?. Faktanya yang kita rayakan adalah Makna yang kedua, yaitu kembali Makan. Mestinya ketika kita Khusyu, yang kita Rayakan itu adalah ramadhan. Jadi Hari raya itu adalah sepanjang Ramadhan, jika kita bicara Rohani.
Misalnya, lebih tinggi mana kebaikan atau kegembiraan?. Atau lebih bermakna mana, lapar atau Kenyang?. Jika menggunakan logika diatas, maka seharuanya Ramadhan itulah Hari Raya. Tetapi, faktanya kan tidak demikian.
Ucapan Idul Fitri yang orisinil dari Rosulullah SAW itu. Pertama, "Taqobbalalllahu minna wa mingkun Taqobbal ya Karim". Kita bertemu, bersalaman dengan hati terbuka dan saling memaafkan agar semua kehendak baik kita di kabulkan Oleh Allah pada anda, maupun pada saya. Kedua, "Nahnu Naudzu Minal Aidin Wal Fa Idzin" .
Kalimat "Nahnu Naudzu Minal Aidin Wal Fa Idzin" aadalah Kalimat ketika bulan Ramadhan menjelang Hari Raya, saat Rosulullah SAW pulang dari perang badar, sekitar 200 meter sebelum mencapai Kota madinah. Sebagaimana kita ketahui Dahsyatnya Perang badar, kurang lebih 313 Pasukan Rosulullah SWT Menghadapi 1100 Pasukan Sekutu.
Tahap kemenangan Pasukan Muslim di Perang badar di capai, menurut saya adalah contoh bahwa kita menempuh hal yang sama. Jika kita melihat jumlah pasukan, maintanance perangnya, ketangguhan sebagai prajurit. Maka, pasukan Islam pasti kalah. Tetapi, ketika kita melihat bahwa seorang Muslim tidak hidup sendiri (tidak hidup dengan dirinya sendiri). Karena, Ia hidup dengan Allah dan Para Malaikatnya. Maka, ada Kans Untuk tidak kalah. Sebagaimana Beberapa cuplikan Pernyataan Rosulullah SAW di tengah Medan Badar, yang Ia Lontarkan kepada Prajuritnya dan Ia Sampaikkan Kepada Allah.
Kepada Prajuritnya, yang melakukan perjalanan sekitar 250 KM dari Madinah ke medan Badar, tanpa alas kaki dan prajurit-prajurit Kaum Muslim pun tidak tangguh, serta Sudah loyo karena perjalanan Panjang. Rasulullah SAW tetap menyampaikkan Pekikan kalimat optimisme kepada Pasukannya," Inna ma Tunsoruna Wa Turhamuna wa Truzakhuna bi dhuafa"ikum (kita akan di tolong, di menangkan dan di berikan Rezeki Oleh Allah. Asal motif atau syaratnya di dalam hati kita membelah orang-orang lemah, Orang tertindas)".
Berdasarkan Cuplikan riwayat diatas, Ternyata Ada rumus kemenangan di hadapan Allah, yaitu jika Niat kita berperang untuk membela orang-orang yang teraniyaya, tertindas, lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Maka Allah akan menyulap Rasionalitas Perang menjadi Keajaiban kemenangan. Sekalipun menurutku, Rosulullah SAW Nekat menyampaikkan kalimat optimisme tersebut kepada Prajuritnya, sebagai upaya mempeta Konflikkan Allah, kira-kira yang hendak Rosulullah SAW sampaikkan ; jika Allah Sayang sama Aku, Tidak mungkin Allah membuat saya Kalah.
Kemudian, Rosulullah SAW bermunajat Juga Kepada Allah. Beliau Mengaku di hadapan Allah, " Illam Taqun Alayya ghodbun fa la Ubali ; Asalkan engkau Tak Marah, kalah sekalipun saya akan Ridho". Sebab, Secara Matematis tentang Perang ini, Rosul Pasti kalah. Yang Rosul bisa andalankan sebagai variabel kemenangan hanya memilih medan pertempuran, yaitu lembah Badar. Selebihnya Rosulullah SAW Kalah di semua lini.
Ucapan yang Rosul sampaikkan kepada Allah. Tetapi, Tidak di dengarkan oleh Prajuritnya.
Maksud saya, Hidup ini tidak hanya Soal-soal regulatif-Rasionalitas. faktanya Hidup ini ternyata ada Kolusi-kolusi dengan Allah. Sebab, aslinya di setiap peperangan dengan diri kita saja, kita kalah terus. Karena ada Allah, ada alasan untuk tidak kalah dan alasan tersebut, tidak melulu soal pertimbangan Rasionalistik - Militeristik. Alasannya berkelindan pada kasih sayang, asal kita pasrah (Tawaqqal Pada Allah). Ikhlas di beri Takdir apapun, justru Allah tidak mentakdirkan hal itu.
Selain itu, ternyata ada Juga rumus untuk mendapatkan Ridho Allah, baik di dunia maupun di akhirat, yang jalannya tidak harus dengan pertimbangan Transaksi Rasionalitas - administratatif. Tetapi, transaksinya adalah Transaksi cinta, yaitu "illam Taqun Alayya ghodbhun fa la Ubali (asalkan engkau Tidak marah saja Ya Allah, saya Ikhlas dan Ridho)".
Karena menang di medan Badar itulah, Rosulullah Mengucapkan, " Nahnu Naudzu minal aidin wal Fa Idzin (kami telah Kembali menjadi orang yang beruntung)". Nah, sekarang kita harus menemukan perang badar-perang badar kita. Sebab, yang di sebut perang badar oleh Rosulullah SAW adalah kita barusan pulang dari medan pertempuran yang sangat kecil dan kita akan memasuki perang yang Paling dahsyat (Jidah Al akbar), yaitu perang melawan Hawa Nafsu. Perang melawan ketidakterbatasn kehendak kita.
Perkara Halal Bil Halal, Kita harus mendudukkan perkara ini secara Seimbang, jika idul fitir itu adalah agama. Maka, Halal bil Halal itu adalah Budaya. Sama dengan Jika sholat adalah agama, maka Sajadah, sarung, songkok yang kita kenakan adalah budaya. Jadi, berbeda antara Api dan Panas. Gula dan Manis, ombak dan airnya. Nah, kita ini di indonesia bertengkar, karena tidak bisa mengurai antar Manis dan gula, api dan panas.
Halal bil halal ini bukan ajaran agama. Tapi tidak apa-apa. Sebab, tidak semua harus merupakan ajaran agama. Asal tidak ada larangannya, boleh di lakukan, namanya ibadah Muamalah. Kalau yang di perintahkan Allah Lansung, namanya Ibadah Mahdoh. Lalu, Allah bikin Pagar (Aturan) dan kita tidak melewati pagar itu tidak apa-apa. Misalnya, Nabi Muhammad tidak pakai Hp dan Kita Pakai Hp, tidak apa-apa karena tidak ada larangannya. Jadi, Besok-besok jika kita bertemu Nabi Muhammad, Nabi Musa dan Nabi-Nabi lainnya, kita bisa menyatakan : Rosul-Rosul pasti tidak Tahu WA, Facebook Kan?.
Saya itu sangat menikmati semua Konflik di indonesia ini, karena masalahnya ini adalah masalah kesembronoan ilmu dan mereka tidak jujur terhadap apa yang mereka persoalkan. Misalnya, Soal HTI dan Ormas lainnya, ini kan soal proyek saja. Soal kapling Lahan parkir saja.
Dari Ihwal itulah, sehingga kami bersyukur ada Acara Halal Bil Halal. Sebab, Halal Bil halal ini tidak ada Di Malaysia sana, di India sana. Halal Bil Halal ini Ijitihadnya Ulama Indonesia, namanya Kiyai Wahab Hasbullah, saat di mintai Oleh Bung Karno.
Di indonesia, ada yang mulai marah, karena menganggap budaya tidak boleh di campur-campur dengan agama. Nah, ini kan kekecauan berpikir yang sudah akut. Sebab, bagaimana bisa cara kita beragama, Jika tidak dengan budaya. Sebab, kita sholat saja harus berpakaian. Pakaian itu produk budaya. Masjid tempat kita sholat itu agama. Tetapi, kipas angin, Ac, tikar, dsb itu adalah budaya. Jadi, tidak bisa beragama Tanpa budaya.
Makanya sebagai orang Indonesia, kita bersyukur ada Ijitihad Ulama yang melahirkan Halal Bil Halal, karena di amerika, saudi arabia tidak ada Halal bil halal. Mengapa?. Karena hanya Indonesia yang taraf berpikir dan peradabannya sudah sampai Pada Tahap Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jika kita mau melebar sedikit, Di Al-Qur'an itu ada dua informasi yang menjadi petunjuk kepada kita, pertama, Allah jika hendak menciptakan sesuatu, dia Tinggal bilang "Kun" (Jadi), " Inna ma amruhu idza arodha Syai'an ayya kulalahu kun Fayakun". Jadi dalam sekejapan mata, jadi ciptaan. Kedua, Allah menciptakan Alam semesta dalam 6 masa. Yang menurut para Mufassir, 1 hari dalam perhitungan Allah, sama dengan 500 ribu tahun perhitungan Manusia.
Menurut saya, poin kedua ini tidak masuk akal, masa Allah menciptakan Alam semesta sampai harus 500 Tahun. Sebab, Allah Maha Kuasa, ia Menciptakan Lansung jadi.
Saya Justru memahami bahwa 6 masa yang di maksud itu adalah manusia akan hidup dalam 6 tahap evolusi. Pertama, Allah menciptakan Cahaya (Nur Muhammad). Dari Penciptaan Nur Muhammad ini, Allah menciptakan benda (materi) dan barangkali waktunya 20 Milyar Tahun. Kedua, Allah menciptakan Benda Yang Tumbuh (Nabati-Tumbuhan). Ketiga, Allah menciptakan Benda yang tumbuh, bisa bergerak dan berpindah-pindah (Hewan). Karena dia butuh pergerakan, di buatkanlah darah, daging, urat, otot dan syaraf. Ke empat, ternyata tidak hanya sekedar bergerak, memiliki Otot, saraf, daging, darah dan berpindah-pindah, dia juga harus bisa berpikir. Maka, di ciptakanlah tahap evolusi ke empat, bernama Manusia.
Sekarang ini, Evolusi Manusia hanya sampai pada Tahap ke empat dan hanpir semua kita belum mengenal tahap evolusi kelima dan ke enam. Yang ke empat inilah manusia menjadi yang utama dan dia pikir dia yang paling hebat, serta Tuan diatas permukaan Bumi. Makanya kita temukan terma HAK ASASI MANUSIA. Ini kan Lucu. padahal setahu saya, yang punya Hak adalah yang Punya saham. Manusia ini punya saham apa atas dirinya?. Memangnya Manusia bisa menjadwal Rambutnya tidak akan memutih kala dia tua?. Manusia itu tidak punya kemampuan apa-apa atas dirinya dan orang kedokteran Tahu betul, betapa lemahnya manusia itu?.
Sama dengan sekarang Kita punya Terma Demokrasi, karena memang kita sedang berada di tahap ke eempat evolusi. Saya senang Demokrasi. Tetapi, demokrasi sekarang ini menempatkan manusia sebagai Tuan besar. Misalnya, apa pernah ada pilkada atau pemilu yang melibatkan binatang?. Apa pernah pilkada atau pemilu yang menyadari bahwa ternyata sungai punya Hak, tanah punya hak untuk tahu siapa yang menginjak dia?. Apa pernah pilkada mempertimbangkan lingkungan hidup?. Sekarang lingkungan hidup di urusi, tetapi, tetap di jadikan objek oleh manusia. Kita tidak pernah sadar bahwa Manusia itu adik dari bumi, adik dari hewan dan adik dari Tumbuhan. Junior tapi kelakuan seperti senior. Tetapi, sebagai bangsa kita bangga dengan indonesia. Sebab, indonesia sudah maju setengah langkah, karena kita Punya "Ketuhanan Yang Maha Esa". Berarti sudah ada Tuhan. Kalau di Amerika kan belum ada. Di sana manusia Tuhannya. Kalau di Indonesia, Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun itu salah.
Jika kita menggunakan Terma Esa untuk menunjukkan Tuhan. maka ada dalawa, Tatlu, apat, Lima. Sama dengan terma Eka dan Dwi. Begitupun dengan Satu, pasti ada dua. Mestinya, Ketuhanan Yang Maha Tunggal. Sebab, kalau Tunggal, tidak ada Dua, dsb. Tapi, tidak apa-apalah salah, sebab Tuhan Maklum dengan Indonesia ini.
Kita melipur sejenak, agar tidak terlalu pusing memahaminya. Misalnya, 1. gambar garuda itu laki-laki atau perempuan. Jika garuda tidak memiliki kejelasan Gender, maka perkembangannya bisa kacau. Gambar awal Garuda itu dari Sultan Abdul Hamid Pontianak. 2. Allah itu sayang sama indonesia, karena dia sayang. Maka, Amerika membom Hirosima dan Nagasaki pada tanggal 14 Agustus 1945, 3 hari kemudian indonesia merdeka. Karena Ihwal itulah, Sayap Lambang Garuda itu, sayapnya 17, ekornya 8. Sebab, tidak bisa di bayangkan jika Amerika Membom Hirosima dan Nagasaki pada Tanggal 19 Desember. Maka, Indonesia Merdeka Pada Tanggal 1 Januari. Maka, Burung garudanya hanya punya satu sayap. 3. Garuda itu bukan burung, tapi Nama Burung. Kalau burungnya itu Elang, Rajawali, cendrawasih, emprit. Namanya Elang ini Garuda, yang memberikan nama adalah Ibunya. Ibunya ini dalam posisi di jajah oleh kakaknya sendiri, kakanya ini kerjasama sama Naga, yang berjumlah 44. Sekarang sisa 9 Naga. Menjajah adeknya dengan manipulasi-manipulasi. Karena dulu, kakak dan adik ini menebak Seekor kuda yang melintasi cakrawala ; Ekor kuda itu warnanya apa?. Kakaknya mengatakan Hitam, adeknya mengatakan putih. Begitu kudanya mendekat, ternyata Ekor kudanya adalah Putih. Kakaknya panik, sebab perjanjiannya, siapa yang kalah akan jadi budak. Jika kakaknya kalah, maka kakaknya akan menjadi budak adeknya. Akhirnya si Kakak, memanipulasi, menyuruh 44 naga menyumburkan ekor kuda sehingga berubah menjadi hitam. Akibatnya adiknya menjadi Kalah, sehingga menjadi budak berpuluh-puluh tahun. Di tengah Jajahan itu, adiknya berdoa pada dewa, sehingga dewa dengan Kasih sayang memberinya anak, yang kemudian di namakan Garuda. Burung, namanya Garuda. Tugasnya Garuda adalah membebaskan Ibunya dari jajahan Kakaknya dan Naga.
Jadi, Idup Fitri itu sesungguhnya kita Merefresh, mendetoksi. Detokfikasi Levelnya berbeda-beda, ada Kefitrian profesional ; Kamu Dokter, ada Politisi, Ada seniman, ada Insiyur. Lalu, ada Kefitrian Budaya ; ada Orang Jawa, Sumatera, kalimantan, sulawesi, NTT. Ada juga Kefitrian Kemahlukan (Kuluqiyah) ; Ada Binatang, ada Tumbuhan dan Kita adalah Manusia, bukan binatang. Nah, sekarang ada KeFitrian yang lebih tinggi dan lebih dalam lagi, yaitu manusia itu Mahluk Jazad atau mahluk Rohani?. Manusia itu penduduk bumi yang ingin masuk surga atau penduduk surga yang jalan ke bumi sebentar? Ataukah jika kita hendak menggunakan Terma Ilmu Pengetahuan, apakah Manusia itu adalah Mahkluk jazad (Fisik) yang menempuh perjalanan Spiritual ataukah Manusia adalah Mahluk spiritual yang Outbound sebentar ke bumi?.
Jika konsep ini tidak jelas, maka Kurikulum apapun yang kita terapkan Pasti salah.
Nah, diatas telah saya Sampaikkan bahwa kita telah sampai pada Tahap Evolusi ke empat. Tahap evolusi Yang Kelima adalah kita tidak hidup begitu saja. Tetapi, kita di ciptakan oleh Allah. Maka, dalam perusahaan hidup kita ada Tuhan. Tuhan ini posisinya apa?. Kita menjadikannya Bos atau karyawan. Sehingga pertimbangan hidup kita bisa jelas. Jika sekarang ini, jelas Manusia ini bos, makanya Terma HAM itu tidak masuk akal. Cuman bersyukurnya karena Indonesia ini Punya Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, jika kita Mau mengabdi pada Tuhan. Maka, yang mengatur adalah Tuhan. Sebab, menjadi tidak mungkin karyawan mengatur-atur bos.
Tahap evolusi yang ke enam itulah yang di dengungkan Teman-teman HTI.
Pertama adalah Benda atau materi. Kedua, Nabati - tumbuhan. Ketiga, Hewani. Keempat, Insan (manusia). Kelima, Abdun (Abdullah- Hamba). Ke enam, (Khalifatullah-Khilafah).
Apakah saya setuju dengan Khilafah?. Yah, tidak ada cara Lain selain Khilafah di dunia ini. Opsinya hanya Khilafah. Hanya saja, khilafah yang saya pahami berbeda dengan Yang di pahami HTI dan kelompok-kelompok lainnya. Khilafah itu bukan sistem. Tetapi, Kesadaran dan sikap, bahwa kita adalah Utusan dan wakil Tuhan, maka kita niscaya berlaku persis sama yang di maui Tuhan. Khalifah itu artinya Orang yang berjalan di belakang. Jadi, kita membuntuti kemauan Tuhan dan Nabi Muhammad SAW dari belakang.
Jadi, kita harus bedakan Mana Syariat Islam dan Mana Syariat Allah. Syariat Islam, itu baru ada ketika Rosulullah SAW di utus sebagai Nabi di Mekah, makanya kita tahu ada Rukun Islam. Yang di maksud Syariat Allah itu Hukum Alam, makanya ada Gravitasi, Air mengalir dari tinggi ke rendah. Api membakar, dsb. Gedung -Gedung pencakar langit itu saja, taat sama Hukum Allah, jika dia tidak taat Pada Hukum Gravitasi, maka dia akan ambruk. Artinya gedung ini Khilafah.
***
Jalaluddin rumi dalam karyanya Fihi maha fihi ketika mengulas salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi, " man qotala faa laa ahadukum yaj tanibu wajha (jika anda berkelahi sesama muslim, maka anda harus menghindar memukul bagian wajah)". Hadist ini menjelaskan kepada kita, bahwa mengapa Rosulullah melarang kita menampar bagian wajah. Karena wajah itu adalah simbol penampakan citra ilahi dalam diri manusia.
Dalam ayat yang kerap kali kita dengar dalam Q.S. At-Tin (95) : 4-5. Ayat ini sangat simultan dengan pernyataan hadist diatas, bahwa sesungguhnya manusia pada esensinya berada pada Level "ahsani taqwim", namun karena manusia terjebak oleh tipu daya keidupan keduniaannya, maka potensi ahsani taqwim itu akan melorot atau mengalami fluktuasi dan memasuki tahap "assfala safilin".
Karena itulah Seorang Filsuf asal Prancis-Dante Aligeri ketika menjelaskan konsepsi manusia, menyatakan, bahwa ada tiga tahapan yang menandai manusia senantiasa berdialektika dalam kehidupannya.
1. Manusia berada dialam paradiso : alam kesenangan, alam kenikmatan, alam-alam yang memberikan dampak kebahagian yang bersifat absurd.
Hal inilah yang menyebabkan manusia mengalami, apa yang disebut dengan alam Inferno. Karena kesenangan dunia, kenikmatan absurd itulah manusia centang perenang melakukan tindak kejahatan. tindakan kejahatan itulah sehingga manusia menukar potensi fitrahnya dengan nilai-nilai yang jauh dari kebenaran dan kebaikan.
Untuk merestorasi kecenderungan manusia yang melakukan tindakan kejahatan yang sifatnya massif dan terstruktur, maka Ramadhan hadir untuk menyapa kita, Ramadhan hadir untuk mengedukasi kita, ramadhan hadir untuk mensugesti kita, agar berada dan masuk pada tahapan-tahapan kebaikan dan kebenaran.
Mengapa dan apa sebabnya?. Karena, Ramadhan menurut Emha Ainun Najib dalam Karya "Ketika Tuhan pun Berpuasa", mengatakan bahwa Ramadhan adalah proses kristalisasi iman, proses esensialisasi diri untuk menuju kepada Pusat kebenaran. Proses kristalisasi diri inilah yang menandakan bahwa manusia memiliki kerinduan untuk bersua dan berjumpa dengan Allah SWT.
Ada satu hal yang menarik dan harus kita perhatikan bahwa Fitrah itu senantiasa Fluktiatif, jika manusia centang perenang atau cenderung mengikuti kejahatan Hawa Nafsunya, maka Fitrah itu akan menggeliat. Itulah sebabnya Rumi pun menjelaskan bahwa ketika kita melakukan kejahatan, ketika kita melakukan tindakan keburukan. maka, Potensi ruh didalam diri kita akan mengalami proses pergeseran sosial yang menyebabkan bahwa manusia harus berada pada tahap kebenaran dan kebaikan.
Dalam Karya Imam Al-Ghazali - Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa dalam diri manusia, ada satu cermin dan cermin itu akan memperlihatkan secara faktual, akan memperlihatkan secara utuh, bagaimana totalitas kepribadian manusia. Jika manusia mengikuti nafsu keburukan dan kejahatan, maka Ruh dan jiwa akan mengalami, pemberotakan sosial. Maka, puasa yang benar, menurut Al-Qur' an adalah mengendorkan elemen jasmani dan membuka ruang dan meberikan kesempatan pada elemen ruhani. Artinya bahwa puasa yang benar itu, ketika elemen-elemen ruhani harus menandai pusat-pusat kebenaran. Elemen ruhani senantiasa berevolusi menuju dan mencapai fitrah hanif.
Maka, Halal Bil Halal senantiasa memberikan pelajaran dan ibrah kepada kita bahwa mari membuka diri, karena sesungguhnya al imanu yazidu wa yankuz (iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang). Ketika iman bertambah, artinya itu pertanda manusia telah menaiki level yang tertinggi dan ketika iman itu berkurang, artinya manusia telah melacurkan dirinya lebih buruk dari binatang.
Logika Idul Fitri senantiasa mendedah kepada kita bahwa kita harus bergerak dari titik impas menuju titik puncak, dan bukan bergerak dari titik puncak menurun ke titik impas. Ketika proses dialektika dan konfigurasi ini senantiasa terjadi, maka sesungguhnya manusia bisa berada pada level malaikat Dan dalam konteks tertentu, manusia juga bisa berada pada taraf iblis. Oleh karena itu, Abdul Munir Mulkan dalam Bukunya "Manusia Al-Qur'an" menjelaskan bahwa tingkatan iman manusia itu, sungguh sangat luar biasa, dia memiliki kualitas iman yang tidak bisa disamai oleh malaikat. Karena, malaikat senantiasa berada pada arsy kebaikan sedang potensi iman manusia tidak bisa juga disamai oleh iblis, karena iblis senantiasa berada melakukan Keburukan dan kejahatan.
Disinilah yang dimaksud Allah dalam firmannya,
اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَ حَمَلَهَا الْاِنْسَانُ ؕ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًا
"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh," (QS. Al-Ahzab: 72)
Ketika potensi tersebut tidak dimaksinalisasi maka menurut ujung ayat ini adalah manusia senantiasa berlaku bodoh dan bertindak dzolim.
Ali syari'ati dalam Bukunya "Tugas Cendekiawan Muslim" betutur, bahwa Manusia merdeka itu memiliki 3 potensi besar. Pertama, ia senantiasa berevolusi dan bertemu kepada Allah. kedua, manusia memiliki pilihan bebas. Di point kedua inilah manusia cenderung mengalami fluktuasi keimanan, fluktuasi ketaqwaannya mengalami penurunan karena pilihan bebas. sebab, Kata Allah "Faa man saa Mu'min waa man saa yakfir - Silahkan anda beriman dan silahkan anda Kafir". Ketika berada pada kondisi ini sedang manusia tidak berada pada tahap konsisten atau seimbang, maka manusia akan berada pada alam Inferno, sebagaimana yang dicetuskan oleh Dante Aligeri.
Maka Ramadhan Kali ini mengajarkan kepada kita untuk membuka diri, mari menerima dan memberi maaf orang lain. Karena di Q.S. 3 : 133-134, sebagaimana saya sampaikkan di mukaddimah diatas bahwa ada 3 tipologi Taqwa yaitu : pertama, Ia pandai bersedakah (infaq) baik dalam keadaan lapang dan sempit. Kedua, ia pandai menahan amarahnya. Dan ketiga, ia pandai memaafkan kesalahan orang Lain.
Memang memberikan maaf kepada orang lain itu adalah dimensi psikologis yang luar biasa. Sebuah dentuman psikologis, apabila kita berada pada Posisi kebenaran maka ruang untuk memberikan maaf kepada orang lain, sungguh sangat ingin kita berikan. Namun ketika kita berada pada ruang kesalahan, maka kita harus ikhlas menerima maaf orang lain. Ingatlah doa yang kerap lali kita Sampaikkan, "Robbana Dzolamma anfusana waa inlam tagfirlana waa tarhamma lanakunanna minal Khosirin", doa ini adalah doa yang dipanjatkan Nabi Adam, ketika dia diusir dari Surga, sebagaimana Qur'an menginformasikan : Allah SWT berfirman:
وَقُلْنَا يٰٓـاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَـنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا ۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ
"Dan Kami berfirman, "Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim!" (QS. Al-Baqarah: 35).
Muh. Iqbal ketika mengomentari ayat ini bertutur bahwa manusia merdeka, manusia seutuhnya bukan dia bebas dari dosa dan tanpa salah. Manusia merdeka dan utuh adalah manusia yang pernah melakukan kesalahan dan melahirkan kesadaran yang intensif dan melakukan permenungan atas segala dosa yang pernah ia lakukan. Oleh karena itu, Menurut kaca mata Muh. Iqbal dalam Konteks Q.S. 2 : 35. Bukanlah kesalahan Adam semata an Sich, tetapi merupakan bagian dari skenario yang telah ditetapkan Oleh Allah SWT .
Ketika adam disurga, aktualisasi Kemanusiaan tidak mencapai maqom yang tertinggi. Karena surga itu menurut Muh. Iqbal adalah alam primitif. Ketika alam primitif itu memberontak, maka ia akan melakukan pelanggaran yaitu memakan buah Khuldi. Maka Rene descartes bertutur, "aku berpikir maka aku ada". Sebab itulah ujung dari pemberontakan itu adalah upaya menemukan jati dirinya sebagai al insan dan al hanif.
Maka, marilah dengan senang hati, dengan hati yang lapang memberikan maaf dan memberi maaf kepada orang lain. Sebab orang yang mampu memaafkan kesalahan orang lain, pertanda bahwa Ruang hatinya telah mengalami kristalisasi nilai-nilai Taqwa. Taqwa menurut Fajroel Rahman adalah hadirnya Kapasitas diri untuk melindungi diri agar tidak melakukan dosa-dosa kolektif dan dosa-dosa sosial. Oleh karena itu, taqwa itu menuntun kita untuk mengadvokasi diri, jangan sampai kita terjebak pada dosa-dosa sosial, maupun dosa kolektif.
Disisi yang lain, taqwa juga melahirkan suatu dimensi yang sungguh sangat luar biasa. Dalam Al-Qur'an dijelaskan, " Dzuribat akayhimu muthillu alayna ma tsukifu illa bi hablim minallahu wa bihablim minannas ( akan kami timpakan sebuah kenistaan itu kepada Ummat Manusia, ketika ruang hatinya hampa dari dimensi kerinduan kepada Allah SWT dan berimplikasi pada enggannya manusia berempati sosialnya).
Padahal Menurut Fahroel Rahman, secara sitematika bahwa al-Qur'an itu berisi 100 % ajaran : 65 % Qur'an berbicara tentang Ibadah Sosial atau ibadah Eksoteris, sedangkan ibadah mahda atau esoteris berada pada 35%.
Maka marilah, dengan berHalal Bil Halal ini kita kembali kepada Posisi semula. Idul fitri sendiri menurut Quraish shihab, ada 3 perspektif, Pertama, Fitri adalah jalan agama yang benar. Kedua kembali kepada pusat kesucian manusia. Dan ketiga, adalah kembali kepada Pusat kejadian manusia. Dari 3 perpektif ini, ketika kita didadar dengan puasa, kita mampu menjadi manusia merdeka dan meraih derajat La allakum tattakum.
Maka Minal aidin wal Fa idzin adalah bukti bahwa kita telah meraih kemenangan personal ditengah kemenangan-kemenangan yang lain. Kita tingkatkan keimanan, tingkatan ketaqwaan kita. Kita hadapi apapun situasi yang mencekam dan mendera. tidak boleh mundur selangkah. Karena mati dan hidup telah menjadi hukum sunnatullah, "Kul innal mautalkadzi tafirruna malin nu fa innahum mulatikum (katakanlah sesungguhnya mati itu pasti dan tidak ada satu manusia pun lari dari kematian)".
Dengan demikian idul fitri mengajak kita untuk meng-Evolusi diri dan evaluasi diri, serta Muhasabah diri. Dengan begitulah kita mampu meraih derajat laa allakum tattakum. Imam al-Ghazali dalam bukunya "Timiyatu syahadah" (kebahagian kimiawi) menjelaskan bahwa kebahagian sejati dalam hidup ini adalah bukan kebahagian diniawi. Melainkan, kebahagian untuk bertemu dengan Allah SWT. "Faa man kana yarju li koo i robbi fa ya'mal amalan sholihah waa la yusrik bi ibadati ila robbi aha da. Waa man a' radho an dzikri hu fa innalahu fa idzatan dhonka waa nahsuru yaunal kiayama ya' ma - Maka barangsiapa yang rindu berjumpa dengan Allah maka hendaklah ia melaksanakan amalan soleh dan tidak boleh main dengan amal soleh ini, serta jangan sekali-sekali menghadirkan syirik dalam hidup kita. Maka barangsiapa berpaling dari mengingat kepada Allah SWT maka sesungguhnya kamu akan berika kepadanya kehiduoan yang sempit dan di yaumil kiamat kita akan di bangkitkan bersama orang-orang yang rugi".
Jika pedang meyabet hati, masih ada obat untuk menyembuhkannya. Jika ada lidah melukai hati, kemana obat hendak ku cari.
Sekian..!
Makassar, 15 Mei 20211
#Rst
#Pejalan Sunyi
#NalarPinggiran