Semenjak Allah SWT menciptakan Alam semesta dan seluruh jagat tanda, Tidak ada manusia atau Mahluk diantara kita yang sempurna. Idealnya semua menjadi "Ibaddurrahman - Hamba-hamba yang penyayang. Sikapnya yang lembut, baik, Bijaksana dan Rendah hati. Tetapi, kadang kala diantara kita ada yang terperosok ke dalam keburukan. Seperti, Mata kadang salah tatap, bahkan ada yang melakukan dosa-dosa yang besar.
Namun, Kita Selalu di berikan kesempatan oleh Allah untuk kembali. Maka, sebagaiaman yang tertuang dalam Q.S. Al Furqon ; 70, Allah menyatakan, " Illa man taba wa amana wa amila amalan sholihang Fa Ula Ika yubaddilullohu sayyi atihim hasanat wa kanallahu ghoforur rahiimaa - kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan ; maka kejahatan mereka di ganti oleh Allah dengan Kebaikan. Allah maha pengampun dan Maha Penyayang". Artinya, orang-orang yang pernah salah itu bisa kembali menjadi sholeh.
Lihatlah, bagaimana bahasa Al Qur'an itu sangat indah sekali. Sebab, kemuliaan manusia itu adalah hamba yang salah, terletak pada keinginan kuatnya untuk selalu berusaha menjadi sholeh.
Itulah sebabnya, ada satu ayat dalam Al-Qur'an, yang menurut Imam Ibnu Abbas yang paling memberikan Harapan kepada Kita, "Qul yaa ibadhi yalladzina asy rafu ala anfusihim laa taknatu min rahmatillah innallahu yagfuru dzunuba jami'an - wahai hamba-hambaku, yang telah melampaui batas dalam kedurhakaan, jangan putus asa dari Rahmat Allah. Sebab, Allah mengampuni seluruh dosa-dosa".
Allah Tahu, keinginan kita, yang Ingin sukses dan bahagia. Makanya, Ada orang yang sukses di pekerjaan. tetapi, nestapa di kehidupan rumah tangganya. Suksesnya ia dapatkan, Bahagaianya tidak. Ada orang yang bahagia di kehidupan rumah tangganya. Tetapi, pekerjaan tidak sukses-sukses. Kita mengharap keduanya, maka keduanya di sebut dengan Falah.
Allah Maha Tahu, perihal keinginan kita untuk sukses dan bahagia. Sekalipun semua ukuran itu bisa relatif. Misalnya, Suksesnya Bilal dan suksesnya Utsman tidak sama. Sama dengan Suksenya Utsman dengan Ali tidak sama. Tetapi, semua merasakan kesuksesan dan kebahagiaan.
Ustman bahagia dan sukses, sebagai seorang pebisnis. Ali sukses dan bahagia sebagai seorang cedekiawan. Keduanya sukses dan bahagia dengan segmen kehidupan yang berbeda-beda. Sayidina Ali barokahnya di ilmu dan bahagia kehidupan rumah tangganya. Bilal Bin Rabbah pun demikian, sukses dan bahagia.
Bilal sepeninggal Nabi, di tawarkan menjadi Hakim agung. Tetapi, dia menolak. Bilal adalah seorang Muadzin. Dia menjadi seorang muadzin, karena melihat semua potensi yang tersedia telah di ambil. Mau jadi cendekiawan, ada Sayidina Ali. Mau jadi Hartawan, ada Ustman dan Abdurrahman bin auf. Mau Jadi Pejabat, ada Abu bakar dan Umar. Mau jadi seorang Diplomat, ada Amru Bin Ash dan Muawiyah. Yang tersisa Cuman satu, yaitu tenaga. Maka, dia memilih jalur sebagai seorang Muadzin. Hal inilah juga yang akan melahirkan Fiqih Marbot.
Bilal adzan, Begitu selesai. Nabi Komen, " Aku mendengar terompah kaki Bilal di taman Surga". Bilal, saat mendegar hal itu, Lansung menyambut. Jika sudah dengan adzan, terompah kakiku terdengar di taman surga. Untuk apa lagi mencari Harta seperti Ustman.
Di titik itulah, kita kerap kali salah dalam hidup. Padahal itulah Visi utama kita hidup. Sebagaimana bilal yang menolak di berikan jabatan, karena takut kehilangan potensi surga yang sudah ada jaminannya. Bukan tidak mau mengambil, tetapi ia sudah mengambil dengan Passion yang berbeda.
Artinya, apapun profesi kita, kita mesti bangga. Sebab, tidak harus merasa rendah di bandingkan orang lain. Dunia ini hanya sebatas pandang kita saja. Yang membedakan status kita adalah kebiasaan kita saja. Sebab, di hadapan Allah itu yang di pandang, hanya Taqwanya. Artinya memilih taqwa itu bisa banyak menunya.
Menjadi, Muadzin, Allahmadulillah. Menjadi, imam, Alhamdulillah. Menjadi Insinyur, alhamdulillah. Menjadi, politisi, Alhamdulillah. Toh, ketika pulang ke alam barzah, gelar semua sama, yaitu Almarhum.
Kita kadang terjebak, bahwa melihat awan yang berlafadzkan Allah dan ranting pohon yang meliuk membentuk tulisan Allah adalah mukzijat yang nyata. Padahal awan dan ranting pohon yang biasa saja juga adalah mukzijat.
Kita ini sedemikian angkuh, karena menghitung nikmat yang besar.
Dulu, ada seorang wali datang ke rumah temannya yang telah menjadi raja. Wali tersebut datang, karena dia tidak memiliki uang dan hendak meminta uang pada temannya. Setelah wali tersebut datang di kediaman sang Raja, karena Raja tersebut adalah seorang yang sholeh. Si wali mendengar temanya yang raja tersebut sedang berdoa ; Ya, Allah saya minta ini dan itu. Mendegar hal itu, si wali tersebut lansung pulang, lalu ia di tanya mengapa engkau pulang?. Ternyata kawan saya yang raja itu sama juga dengan saya, masih minta-minta seperti saya.
Tidak berselang waktu begitu lama. Raja tersebut bertemu dengan kawannya yang Wali tersebut. Raja bertanya, mengapa engkau menyepelakan saya, padahal saya ini adalah raja. punya apa saja, seperti kekayaan, keturanan Bangsawan, dsb. Tetapi, kata kawannya yang wali tersebut, "Kamu miskin sekali dengan kerajaan seluas ini". Mengapa bisa?, tanya sang raja. Lalu, Wali tersebut bertanya, "Andaikkan kamu berada di padang pasir dan Kamu sedang Kehausan, jika kamu tidak minum segelas air saja, maka kamu akan mati. Apakah kamu akan membeli segelas air dengan semua kerajaan kamu?. Jawab sang Raja, "Oh iya jelas. Apapun akan saya lakukan untuk mendapatkan segelas air tersebut".
Wali tersebut melanjutkan lagi penuturannya, "La taf roh bi mulkin la yu syawi syarbata ma'in - Kamu jangan bangga dengan kerajaan yang nilainya itu tidak sebanding dengan segalas air".
Akhirnya, Raja tersebut berpikir, saya tidak jadi raja bisa hidup. Tetapi, kalau saya Tidak minum air, saya bisa mati. Artinya lebih penting satu gelas air, ketimbang Kerajaannya yang luas. Dari situ, lama kelamaan, Sang Raja menganggap kerajaannya itu biasa saja, karena ternyata tidak lebih penting dari segelas air.
Artinya apa, bahwa orang menjadi raja itu biasa, menjadi presiden, menjadi Pengusaha itu biasa. Karena orang terbiasa berpikir Hakikatul izzah itu adalah ia yang benar-benar dekat dengan Allah -Taqarrub ilallahu.
Kalau cerita diatas kita konversi pada kehidupan kita yang paling dekat (bisa di gunakan contoh lain) ; akankah kita lebih memilih punya Mobil atau memilih punya Celana, ataukah punya Mobil, tapi tidak punya Celana. Tentu, kita lebih memilih punya celana, ketimbang Punya Mobil.
Ihwal itulah, sehingga Ulama-ulama dulu punya rumus yang sangat sederhana sekali dalam Hidup. Salah satunya adalah apakah " Al istigna hakikatul istigna?", yaitu Al istigna Anissya'i la bihi - apakah Pemenuhan kebutuhan yang sebenarnya adalah kita berusaha sebanyak mungkin untuk menghindari pemenuhan kebutuhan yang sekunder - sesuatu yang tidak penting.
Faktanya kita tidak demikian. justru kita memenuhi semuanya yang kita inginkan, bukan yang kita butuhkan. Seperti, Kalau kita lapar. Kebutuhan kita adalah makan Makanan yang ada - Tersaji ataukah harus makan makanan yang enak?. Tentu jawabannya adalah makan makanan yang ada, asal Halal dan sehat. Tetapi, tidak sedikit dari kita, justru mengikuti keinginan - Nafsu kita. Sehingga, saat makan, yah harus Makan enak, teman makannya harus spesial, lalu makannya di warung yang favorit. Bukankah hal ini suatu kebodohan, sebab untuk makan saja, kita butuh defenisi - batasan yang terlalu banyak. Padahal, tidak sedikit dari semua itu kerap membuat kita kecewa : Bisa jadi saat kita berjalan ke warung yang di tuju, warungnya telah tutup atau kita ke warungnya dapat macet di jalan. Kan Ribet. Padahal, saat kita puasa dan tiba jam berbuka, semua makanan menjadi enak. Mengapa demikian?. Karena, kita lapar.
Makanya, Abul Qosim Al Junaidi ketika ditanya, "ma idza mutho'am - Lauk makanan itu apa"?. Jawaban lucu, yaitu "al ju' - Lapar". Karena kalau kita lapar, semuanya enak. Hal ini sudah mulai hilang. Sebab, kita menyebut makan enak itu saat Makan Sate, makan Coto, makan konro, makan seafod, dsb. Akhirnya untuk menikmati nikmatnya Allah, kita menjadi orang yang ribet.
Padahal, Hidup itu tidak usah di bikin sulit dan susah. Sepanjang tidak maksiat, bisa menjadi pribadi yang menyenangkan dan bermanfaat bagi banyak orang, serta tidak mengusik hidup orang lain. Itu sudah cukup. Tetapi, kadang kala kita memandang pilihan hidup orang yang melompat dari kebanyakan orang sebagai keanehan. Sebagaimana anekdot Nasiruddin Hodja.
suatu ketika Nasiruddin Hodja datang ke Suatu Pesta dengan berjalan kaki, berpakaian dan celana yang lusuh. Compang campinglah istilahnya. Shohibul bait dan orang-orang tidak ada satupun yang menyapa dan hanya membiarkannya begitu saja. Akhirnya Nasiruddin Hodja Pulang ke rumahnya, mengganti pakaiannya dengan menggunakan Jas, kemeja, sepatu dan naik kendaraan mewah. Shohibul bait - Tuan rumah dan orang-orang yang tadi mengabaikannya, akhirnya memberi Hormat padanya dan mempersilahkannya masuk.
Begitu Nasiruddin di sodorkan minuman, ia mengambil dan memasukkan ke dalam saku Kemejanya, sambil berucap, "kemeja kamu harus minum yang banyak karena kamu yang di hormati, bukan saya". Makanan pun begitu, dia masukkan ke dalam saku celana, jas dan kendaraannya, "kamu harus makan yang banyak, karena mereka tidak melihat saya, mereka melihat kamu". Orang satu pesta yang melihat tindakan Nasiruddin Hodja Istighfar semua. Karena ternyata mereka salah. Akhirnya, Nashiruddin Hodja Berpidato, Saya Ini orang yang sama. Hanya karena berbeda pakaian, mendapat penghormatan yang berbeda. Maka dari itu, yang berhak dapat makanan adalah Jaz, Celanan, kemeja dan kendaraan saya. Bukan saya.
Betapa naifnya kita sebagai manusia, ternyata penghormatan kita masih tertuju pada sesuatu yang sangat artifisial - Tampak.
Di titik itulah, kita kerap dapati Para Pengampu jalan sunyi atau Sufi adalah orang yang biasa menertawakan dunia dan tidak sedikit yang menganggap mereka adalah orang gila. Sama seperti kita, yang kadang kala susah memilah dan membedakan mana kebutuhan sekunder dan mana kebutuhan primer. Kita malu kalau tidak punya Mobil atau motor, misalnya. Padahal, kita masih punya kaki. Apakah kita mau punya mobil atau motor, tapi tidak punya kaki. Tentu tidak.
**
Prestasi tertinggi kita dalam hidup ini sebenarnya apa, sehingga membuat kita begitu ribet?. Karena, kita terlalu berlebihan dan mengingkan banyak hal, yang sebenarnya tidak di perlukan dan tidak terlalu penting. Sayyidina Umar Mengetengahkan hal ini dalam pidato pertamanya saat menjadi Khalifah, "Prestasi tertinggi saya, bukan saat menjadi Khalifah. Tapi, saat kecil, saya bisa makan. jika tidak, saya mati".
Misalnya, jika kita mengikuti keinginan - Nafsu, mungkin kita ingin punya mobil mewah, istri cantik, rumah mewah dan fasilitas kemewahan apa saja. Tetapi, hal itu membuat kita tersiksa, karena kita harus menyediakan segala daya dan upaya untuk memenuhinya. Sementara, Hidup ini kata ulama dahulu, "untuk menjadi berkecukupan, usahakan banyak hal yang tidak kita butuhkan. Sebab, semakin banyak hal yang kita butuhkan, maka kita akan semakin tergantung pada sesuatu itu".
Ihwal itulah, Imam Syafi'i menuturkan dalam Maqolahnya, cerita ini sangat mahsyur, beliau berkata, " Fainnal ghina' anissya'i laa bihi - kalau kamu tidak ingin bergantung pada sesuatu, maka hindari sesuatu itu". Artinya, kita Jangan memaksakan sesuatu untuk memenuhinya. Tetapi, sebisa mungkin untuk menghindarinya. Makanya, yang benar-benar Arif dan bijaksana sebagaimana yang saya utarakan diatas adalah "al istigna anissya'i "- sesuatu yang tidak mendesak, jangan di jadikan sebagai kebutuhan primer.
Gagasan-gagasan tentang motif hidup para ulama kita dahulu ini sudah tercerabut, bahkan nyaris hilang bagi setiap kita yang kerap memukul diri sebagai Muslim sejati. Bayangkan, untuk menyebut kebahagian saja, semua fasilitas kemewahan niscaya di bentangkan di situ. Akhirnya, untuk mensyukuri Nikmat Allah yang ia hamparkan secara gratis, kita tidak punya cukup waktu. Padahal untuk menikmati nikmatnya Allah, sederhana sekali ; Bangun pagi, masih bisa menghirup Oksigen secara Gratis. Posisi lubang hidung kita masih menghadap ke bawah, pendengaran dan penglihatan masih normal, alat pencernaan kita masih berfungsi dengan baik, melihat saudara-saudara kita masih sehat dan Hidup, dsb merupakan sesuatu yang seharusnya membuat hati kita senang. Makanya, Imam yang mengarang Kitab Hikam, punya resep agar kita senang dalam hidup " li ya qillah ma taf rohu bihi - Usahakan sedikit sekali yang membuat kita senang. Maka, akan sedikit sekali yang membuat kita susah".
Mengapa kita susah dan terlalu ribet dalam hidup?. Selain, karena kita berlebihan dan menginginkan banyak hal. tarif - Standar hidup kita terlalu ideal. Sehingga, Kita sulit membedakan mana kebutuhan primer dan mana kebutuhan sekunder. Akibatnya, jika sesuatu yang kita idealkan - Harapkan tidak terjadi, kita mudah sekali kecewa - menyesal dan Mengeluh.
Kalau kita mau membandingkan, sebenarnya mana yang lebih pintar, apakah orang yang ribet atau orang yang tidak ribet?. Jelas lebih pintar yang tidak ribet. Nah, inilah kearifan-kearifan dari cara hidup ulama kita dahulu, yang mulai hilang hari ini. Kita gagal mendedah Pelajaran. Misalnya, diantara Gagasan Sayidina Ali yang paling terkenal, sehingga menjadikan beliau punya derajat yang luar biasa adalah, "kafani izzan anta kuna li robban wa kafani fahron an akuna laka abdhan - saya ini terhormat sekali, karena punya Tuhan, yaitu Engkau Ya Allah dan saya bangga sekali bisa menjadi hambamu".
Rumus pertamanya adalah karena yang menjadi Tuhan adalah Allah. Tuhan yang abadi, Tuhan yang pertama, Tuhan yang absolut. Bayangkan, kalau punya Tuhan seperti Fir'aun. Tuhan, yang mati, jadi tontonan lagi. Kerennya dimana coba?. Atau punya Tuhan yang asal usulnya adalah manusia, apapun hebatnya manusia itu. Pasti dia akan lapar, Yang kalau tidak makan, mungkin pingsan. Makanya ketika Allah menyindir KeTuhanan selain Dirinya, dengan kalimat sederhana, "kana ya'qulan ni thoam - Yang kalian Tuhankan itu masih makan". Beda dengan Tuhan - Allah, Tuhan yang tidak butuh makan dan minum. Tuhan yang berdiri sendiri tanpa butuh yang lain ; Al qoyyum. Tuhan yang sudah ada sebelum langit dan bumi ada ; Al awwal - sebelum ada langit dan bumi, Allah sudah ada.
Di titik itulah, saya kerap berusaha agar kita semua mendapatkan pikiran-pikirannya Imam Ghozali, imam Bukhari, Abul Qosim Al Junaidi, kejernihan-kejernihan pikiran Abu Yazid Al bustami. Kejernihan dan kecerlangan pikiran mereka, punya rumusan dan Gagasan yang spektakuler dalam menghadapi situasi yang semakin pelik dan ribet, yang jarang di dengungkan orang.
Selain itu, Mengapa kita senang pada hal-hal yang biasa saja menurut kebanyakan kita?. Karena kita menggunakan Standar maksimal dalam hidup. Andaikkan, kita menggunakan standar yang minimal, maka pasti kita tidak mudah kecewa. Rosulullah SAW juga demikian. Misalnya, Jika pagi-pagi dia bertanya pada Aisyah, "Apakah ada sarapan duhai, Khumairoh?". Aisyah menjawab, Tidak ada, Ya Rosulullah.
Apakah Rosulullah SAW menggunakan Standar Maksimal atau memaksakan keinginannya, agar Aisyah menghadirkan Sarapan untuk Rosulullah SAW. Tentu tidak, padahal hal itu sangat mungkin untuk dia lakukan. Justru, Jawaban Rosulullah sangat mengejutkan dan simpel, "Jika Tidak ada Sarapan, saya puasa saja". Bayangkan, Jawaban Rosulullah begitu rileks. Sedangkan kita, jika pagi-pagi tidak di buatkan kopi saja, akan marah-marah. Padahal mengaku mengikuti sunnah Rosul, sementara sedikit sekali kita mendekati sunnahnya.
Dalam islam, Senang saja adalah ibadah, "qul bi fadhilillah wa bi rohmati wa bi dzalika fal yaf rahu". Senang itu di perintahkan Allah. Contoh sederhananya, Kita di beri sesuatu secara Gratis, tapi masih menggerutu. Kita ini sudah memakai buminya Allah secara Gratis, Menggunakan airnya Gratis, dapat oksigen gratis. Tapi, masih menggerutu. Maka, hal itu termasuk kategori hamba yang tidak benar. Bayangkan saja, jika kita pakai oksigen harus di bayar, memakai bumi harus bayar dan memakai semua yang di ciptakan Allah dengan membayar. Sepertinya kita tidak mampu membayarnya, dan Allah hanya menyuruh kita untuk ikrar dan sujud.
Makanya, senang saja itu sudah ibadah, seperti yang di sampaikkan Imam Asy-Syuthi dalam Tafsir JalalainNya, bahwa "Ibadah yang membuat setan jengkel, sampai menaburi wajahnya dengan tanah adalah Senangnya Orang Mukmin". Karena, jika Orang Mukmin senang, maka dia tidak akan mengeluh dan menggugat Allah. Kalau dia tidak menggugat Allah, itulah ciri mukmin yang sejati.
Semua itu, hanya menjadi Konstruksi perilaku dan Cara Berpikir, jika kita menyadari betul, bahwa Ilmu itu penting. Mengapa penting?. Karena ilmu itu "Al ilmu yurishil ahwal", Ilmu yang akan membentuk perilaku dan karakter kita. artinya, Jika cakrawala ilmu kita Luas dan Makroskopis. Maka, Rasa syukur kita pun terbentuk dengan baik. Makanya saya termasuk orang yang terus mendorong pentingnya Ilmu. Bahkan kata Sofyan Shauri, saking penting ilmu, ada kata "Fa' lam annahu lailahaillahu". Di mulai kata Fa' lam dan saking pentingnya ilmu itu, setiap Nabi, status permanennya, hanya satu yaitu mengajar, "Robbana wa baats fihim rosulan min inna su alaihim ayathik (membacakan ayat-ayat Allah) sampai wa yu allimu humul kitab wal hikmah - mengajarkan kitab dan hikmah". Bahkan Allah sendiri mensifati dirinya dengan, " wa Sofa dzatal aliyah bi annahu al muallim", Allah mengajarkan, Arrohmanu allamal Qur'an.
Artinya, betapa hebatnya pengajar itu. Sebab, Allah sendiri mensifati dirinya sendiri dengan Ar-Rohmanu allamal qur'an (Allah itu Maha Rahman yang mengajarkan Qur'an). Di ayat yang lain juga Allah mensifati dirinya sebagai pengajar, "alladzi allama bil qolam".
Dulu Sayidina Umar bin khottab, ketika membuka atau memenangkan Baitul Maqdis atau Baitul Muqoddas, lalu ia di ajak orang-orang untuk syukuran atas kemenangan itu. Beliau tidak mau. Ketika di tanya, mengapa engkau tudak mau. Alasannya lansung beliau membaca Al Qur'an, " innallahu ta'ala ayyaro qouman ahzab tun toyyibatikum fi khayatikumud duniya was ta'tum bi ha - Allah itu mengkritik suatu komunitas, karena jatah nikmatnya telah di habiskan di dunia". Itulah sebabnya, Sayidina Umar menolak untuk berpesta-pesta atau syukuran. Karena takut jatah nikmatnya Habis. Kata Umar, "Astab qi Toyyibati - akan saya sisakan sisi-sisi kebaikan saya", agar tidak habis
Artinya orang-orang dahulu dengan Al qur'an menyatu, apapun yang hendak di utarakan lansung Al-Qur'an rujukannya.
Misalnya, Rosulullah pernah tidak makan 3 hari. Lalu, di tanya sama sahabat, kekuatan Rosul untuk bisa hidup dari mana jika tidak makan, beliau hanya menjawab saya makan kurma dan minum air. Begitu hari ketiga, Rosulullah di beri makan oleh sahabatnya, dengan di potongkan kambing. Rosulullah hanya makan tiga sendok nasi, kemudian ia berhenti. Padahal sahabat yang laparnya sama dengan Rosul, membayangkan Rosul akan makan sangat lahap. Ketika Rosul di tanya, ia menjawab, Hal seperti ini pun kelak akan ada hizabnya, "wa la tus alunna yauma idzin anin naim". Jadi acara makan-makan yang kerap kita bentangkan segala hal, kelak akan ada hizabnya. Nabi kemudian menangis, sehingga sahabat yang lainnya tidak meneruskan makan.
Implikasi dari Ilmu ini sangat dahsyat. Jika kita berpikir tentang nasib kita di akhirat. Akhirnya, Kita tidak mudah menyalahkan orang lain, kita tidak akan berpesta pora, kita tidak akan menghakimi orang lain. Karena kita sibuk dengan diri sendiri, tapi tidak dengan makna egois. Tetapi dengan makna bahwa Orang baik itu adalah Orang yang sibuk dengan aib dirinya, dengan kekurangan yang ada pada dirinya. Saking sibuknya dengan diri sendiri, sehingga tidak ada waktu untuk mengoreksi orang lain.
Selain itu, Ilmu itu tidak di mulai dari larangan, misalnya Tidak termasuk ahli surga orang yang suka mengadu domba atau tidak termasuk orang baik yang mencari kesalahan orang lain. Hal itu di sebut pelarangan. Sedangkan ilmu itu diatas pelarangan, yaitu kita punya kesadaran bahwa kita selamat dulu sebelum memikirkan orang lain. Itulah sebabnya ketika kita membaca Al Qur'an dan bertemu dengan ayat, "Robbana dzolamna wa in lam tagfirlana wa tarhamma lanakunanna minal khosirun". Lalu, kita lansung ingat, betapa hubungan kita dengan Allah harus di mulai dengan Ikrar terlebih dahulu. Harus merasa dzolim dan merasa salah terlebih dahulu. Jika semua orang merasa Salah di hadapan Allah, maka pasti kita tidak mudah menyalahkan orang lain.
Ayat diatas di gunakan Nabi dan redaksinya di ganti dengan makna agar setiap kita, " inni dzolamtu nafsi dzulmang kabiron katsiron". Hal mendasar dari orang yang mengaku salah adalah sudah tidak punya waktu memikirkan salahnya orang lain dan kemudian menjadikan ia semakin tawadhu. Karena itulah Nabi adalah seorang penjelas terbaik dan Allah meredaksikannya, "Wa ma tuqoddimu li anfusikum min khoirihin tajidihu indallahu - apa saja kebaikan yang sudah engkau berikan kepada Allah, sampai akhirat, pasti kamu akan temukan di akhirat".
Kesalahan paling Fatal manusia itu sebenarnya adalah aqidah, tetapi kadang-kadang kita menuntut kepada Para Ulama, utsadz dan penceramah untuk menyampaikkan ilmu yang tidak terlalu penting atau bukan aqidah. Dulu zaman sahabat juga demikian, jika ada pertanyaan yang salah. Maka Nabi membenarkan, hanya saja Nabi Terlalu Bijak, sehingga cara dia membenarkannya itu enak sekali. Kalau kita ini kan bukan Nabi, sehingga yah agak-agak Kasar lah. Karena yang wajib benar hanya Nabi, kita bukan Nabi.
Misalnya, Nabi menceritakan tentang kedahsyatan dan kengerian kiamat. Tetiba, ada Orang Badui mensomasi Nabi di tengah-tengah Khutbahnya, "Ahh Nabi ini aneh, cerita tentang dahsyatnya kiamat. tapi tidak ada tanggalnya. Mestinya, ada tanggalnya, sehingga kita bisa punya persiapan". Orang badui itu menyatakan, "Ya Rosulullah Ma ta sa'a". Nabi tidak mendengarkannya. Sebagaimana Lazimnya orang badui, karena tidak di dengarkan Oleh Nabi, maka ia mengulangi pertanyaannya terus, "Ya Rosulullah Ma Ta sa'a".
Ketika Nabi mengabaikan hal itu, ada dua kelompok sahabat yang berpendapat, yang satu menyatakan, "La Yas ma' (Nabi Tidak mendengarnya sehingga ia mengabaikannya)". Sementara kelompok sahabat yang lainnya menyatakannya, "sami'a wa kariha (Nabi sebenarnya mendengarnya, tapi dia tidak berkenaan pada pertanyaan tersebut)". Tetapi, karena dasar orang Badui, Dia kembali mengulanginya pertanyannya, " Ya Rosulullah Ma ta sa'a". Akhirnya Rosulullah menjawabnya, dengan balik bertanya, sebab cara berpikir orang ini badui adalah Ketika kiamat, harus jelas kapan waktunya, sehingga ia bisa punya Persiapan, Nabi menjawab dengan pertanyaan, "Ma a'ttalaha (kamu berani tanya kiamat, persiapan kamu apa)". Lalu, orang itu menjawab, saya sebenarnya tidak punya banyak persiapan ; Puasa dan sholat sedikit saja, ya Rosulullah. cuman saya mencintaiMu Ya Rosulullah.
Hadist ini Mahsyur dan menjadi hadist paling legenda, "Al mar'u ma' man ahabba", sebahagian menyebutnya sebagai, "anta man ah babta".
Kata semua sahabat yang berada di masjid tersebut, orang badui yang bertanya di tengah-tengah Khutbah itu menjadi orang yang paling di benci sahabat, karena menganggu Nabi yang sementara Khutbah. Sekalipun, akhirnya sahabat itu menjadi orang yang paling di cintai sahabat, karena berkah dari pertanyaanya adalah hadist itu keluar secara terbuka. Sehingga sebahagian sahabat-sahabat, "fa ma fari hu ba'dal islam farhahum bi yadhal hadist - mereka tidak pernah senang setelah masuk islam, sesenang hadist ini". Mengapa?. karena kita tidak perlu untuk terlalu sholeh (alim) sekali. Cukup mencintai orang sholeh (alim) saja sudah bisa diajak ke Surga Oleh Rosulullah SAW. Makanya, saya sering bilang, kadang-kadang menjadi orang alim itu rugi. Ruginya itu, kita harus membaca dan menghafal Al Qur'an, belajar Hadist, belajar ihya Ulumuddin, Baca Buku dan kitab apa saja. Tetapi, ada orang yang tidak menempuh semua itu dan hanya bermodal cinta kepada orang Alim dan sholeh saja sudah bisa menyamai orang Sholeh dan alim.
Suatu ketika Nabi Pernah memimpin Majelis Ilmu Di Masjid. Beberapa saat kemudian, ada tetangga lewat sambil membawa Cangkul, ia hendak pergi ke kebun. Lalu, semua sahabat menyela ; Ini sahabat tidak benar, Nabi sementara Ngaji, dia Lewat saja pergi kebun, tidak ikut mengaji?. Apa jawaban Nabi?. Justru itu bagus. Sebab, ia mengikuti Sunnah saya. Mengapa Ya Rosulullah?. Sebab, dia Pergi kerja, mencari Rezeky yang Halal. Dia kerja untuk menghidupi keluarganya dan itu juga ajaran saya.
Maka, Yang mengaji adalah ajarannya Nabi dan Yang tidak mengaji karena pergi kerja untuk menghidupi keluarga juga ajarannya Nabi.
Makassar, 21/02/2023
*Pustaka hayat
*Rst
*Nalar Pinggiran