Ada Dialog interaktif antara Ludwich Feurbach dan Ansel Feurbach, seorang bapak dan anak. Feurbach adalah seorang ilmuan yang sangat luar biasa di bidang ilmu pengetahuan.
Suatu ketika, ia bertanya kepada anaknya, "wahai anakKu, bagaimana caramu menghadapi perubahan moderinitas di masa yang akan datang?". Jawab sang anak, "modal yang saya miliki adalah kemampuan Intelektual dan ilmu pengetahuan. Saya memiliki skil dan keterampilan yang luar biasa. Variabel - variabel inilah menjadi Faktor, sehingga saya bisa eksis dan bertahan, ketika menghadapi hegemoni perubahan moderinitas di masa yang akan datang".
Mendengarkan jawaban sang anak, Feurbach mengatakan, " wahai anakKu, sesungguhnya ilmu pengetahuan, intelektualitas, Skil, kompetensi, kekayaan, jabatan dan kekuasaan, serta seluruh kemahsyuranMu tidak akan mempengaruhi apapun di masa yang akan datang, jika anda tidak memiliki kecenderungan untuk menghadirkan Tuhan - Allah di dalam diriMu, sebagai lokus untuk menstimulasi seluruh aktivitasMu dalam menghadapi Dialektika zaman.
Dari dialog ini kita bisa mengambil pelajaran, bahwa di samping Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bisa mengakibatkan kita melupakan basis spiritual kita - menghadirkan suara Tuhan.
Sungguh banyak orang yang pintar dan cerdas. Tetapi, tidak sedikit dari mereka Justru gagal menghadirkan kesholehan Sosial, sekaligus kesholehan Spiritualnya di tengah - tengah kehidupan bermasyarakat.
Suatu waktu di tahun 1968, di Universitas Toronto Kanada. Ketika rektor memanggil seorang wisudawan yang memiliki Indeks prestasi 4.0 untuk naik ke panggung menerima apresiasi dan penghormatan atas pencapaiannya selama kuliah. Ia menerima Ijazah, tetapi seketika ia merobek Ijazahnya di hadapan ribuan peserta wisuda dan seluruh civitas akademika.
Ketika ia turun, banyak wartawan yang bertanya, wahai sarjana, mengapa engkau merobek Ijazahmu di hadapan begitu banyak orang. Padahal, Ijazahmu adalah sebuah bentuk apresisasi atas kecerdasan dan intelektualitasmu di kampus ini.
Apa jawaban wisudawan tersebut, "betul, kampus ini telah menjadikannya saya sebagai orang yang jenius, orang yang cerdas dan memiliki skil dan kemampuan. Tetapi, kampus ini gagal menjadikan saya sebagai orang yang beradab".
Dari dialog ini saya teringat dengan Ungkapan Ali Syari'ati yang menyatakan bahwa di era modern itu ada dua tantangan yang paling berat, yaitu betapa semakin terpinggirnya peran - peran sosial Keagamaan dan kedua adalah semakin menghegemoninya nilai - nilai matrealistik dalam kehidupan manusia.
Hari ini ada begitu banyak orang cerdas dan pintar di lahirkan universitas - universitas. Tetapi, justru semakin meminggirkan Adab dan Nilai spiritualistas. Dalam kajian Ian Marsel mengatakan, Kecerdasan intelektual itu hanya 20 %, kecerdasan emosional itu hanya 30 %. Tetapi, kecerdasan spiritual itu 50 %.
Betapa hari ini kita menyaksikan, banyak orang cerdas dan pintar. Tetapi, enggan menghadirkan Tuhan dalam setiap aktivitasnya. Dalam sebuah hadist nabi di sebutkan, "jika semakin bertambah pengetahuanmu, tetapi tidak membuat anda semakin dekat denganNya. Maka sesungguhnya engkau sangat jauh dari Hidayah Allah.
Salah satu bentuk apresiasi Allah terhadap orang - orang yang beriman dan Berilmu itu termaktub dalam Q.S. 3 : 190 - 191, " inna fi kholqissamawati wal ardh wah tila fi layli wan nahari layatil li ulil albab, alladzina yazkurunallahu qiyaman wa qu ' udaw wa ala junu bihim yatafakkarun fi kholqis samawati wal ardh - sesungguhnya dalam proses penciptaan langit dan bumi, siang dan malam terdapat tanda - tanda bagi orang yabg berpikir.
Ali Syari'ati dalam satu karyanya yang sangat fenomenal mengapresiasi simbol Ulil albab sebagai RausyanFiqr. Apa itu Rausyanfiqr?. Dia adalah mahkluk yang tercerahkan. Ia adalah mahkluk yang memiliki kemampuan intelektual, Kemampuan Emosional dan kemampuan spiritual.
Jangan sampai kita termasuk orang yang di khawatirkan Ali Syari'ati di era modern, yaitu kita punya skil, punya kompetensi dan sangat cerdas. Tetapi, dalam waktu yang bersamaan kita mempensiunkan Tuhan, kita meminggirkan Tuhan dalm kehidupan kita.
Mengutip teori Agus T. Comte, pada tahapan Ilmu pengetahuan. Ada tahapan teologis, ada tahapan metafisik dan tahapan positivistik. Orang banyak dekat kepada Allah, karena ada kesadaraan keberagaamaan yang menelingkupi kehidupannya. Tetapi, praktek-praktek keberagamaan cenderung tidak proporsional yang menyebabkan banyak orang melupakan Allah swt. Di era positivisme Tuhan tidak punya peran apa-apa.
Dalam Q.s 3 : 190 - 191, ada 3 kriteria penting ulil albab : pertama, manusia yang cerdas itu adalah manusia yang memiliki kemampuan fikir. Kemampuan fikir itu adalah sarana dalam rangka menelusuri dan meneliti ayat-ayat allah swt.
Einstein, salah seorang penemu teori Atom. Ketika di depan dewan, saat ia akan menerima hadiah nobel dalam bidang fisika. Beliau menjelaskan, bahwa ada dua figur yang menginpirasi saya yaitu Allah dan Maria mileva (Mantam Istrinya). Tuhan dengan berbagai ayat-ayat kauniyahnya yang terhampar membuat saya dapat menemukan rahasia pencipataan menjadi sumber ilmu pemgetahuan. Sedangkan maria mileva adalah sosok yang menstinulasi saya sehingga saya di percayakan sebagai kepala laboraturium perpustakaan di jerman. Tetapi, saat di jerman itulah dia menemukan cinta yang keduanya, lalu menyingkirkan maria mileva dalam kehidupan sehari - hari. Namun, di puncak kemewahannya sebagai seorang ilmuan, eisntein mengucapkan terima kasih kepada maria mileva: "wahai maria mileva, Engkau adalah Mother Dholorosa - ibu yang di agungkan, ibu yang di sucikan. Engkau adalah sumber kasih dan sayang".
Oleh karena itu ayat - ayat kauniyah menjadi sarana untuk kita agar lebih dekat kepada Allah atau mengutip ungkapan yang lain, "diam dalam diam bukan diam yang sejati. Tetapi diam dalam gerak, barulah nampak irama spiritualitas menghiasi langit dan bumi". Menghadirkan ungkapan Tao, "diam yang bermakna adalah diam yang menghadirkan proses meditasi atau diam yang berkualitas adalah diam yang menghadirkan kesadaran hanif - bahwa Allah swt adalah satu - satunya Dzat yang wajib kita sembah.
Dalam narasi agama, barangsiapa yang tidak menghadirkan Allah sebagai satu-satunya lokus untuk menuntun dan membimbing kita ke arah kehidupan yang lebih baik. Maka menjadi benar, Ungkapan Johan Garner - sebuah bangsa yang besar tidak akan jaya, ketika ia tidak percaya pada sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang luar biasa itu adalah Tuhan. Atau mengutip Mirzeah Aliade, "Di sebelah rusuk kiri manusia - Jantung, terdapat satu struktur yang cenderung apriori kepada sesuatu yang irasional.
"Un aliman au muta alliman au musta'iman au muhibban fa la takul kahmi fa tahlik - Jadilah orang yang berilmu, orang yang mengajarkan ilmu, orang yang mendengarkan ilmu, dan orang yang mencintai Ilmu. Serta jangan sampai kita menjadi orang yang kelima, yaitu menjadi orang yang bodoh dan enggan memproyeksi perubahan di masa depan".
Boleh kita kecil, tetapi jangan sampai kita dalam tempurung. Kita harus memberikan citra dan warna kepada orang lain. "Kammin fi atin qolilatin gholabat fi atun katsiratun bi idznillah - kelompok kecil itu bisa ibarat lebah, kalau anda menganggu mereka, maka ia akan mengejarmu sampak dimanapun".
*Rst
*Nalar Pinggiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar