Mengenai Saya

Sabtu, 27 November 2021

-ASSIKALABINENG -


Sebelum kita mengulas tentang Kitab Kama sutra Bugis atau Assikalabineng. Kita menjawab terlebih dahulu tentang persepsi bahwa Pembicaraan sex adalah sesuatu yang tidak tabu di masyarakat kita. 

Membicarakan sex, boleh dalam suasana santai, bisa juga serius, akan tetapi dalam banyak hal, sex itu membahagiakan. Sehingga, Jika ada yang menyatakan Sex itu jorok?. Tentu kita akan bertanya, joroknya dimana. Sebab, kita akan mendalami sex sebagai sebuah kearifan atau sebuah kebutuhan atas kebahagian. 

Jika dulu orang membicarakan sex dianggap tabu, sehingga membuat orang jauh dari pengetahuan sex itu sendiri. Itulah kenapa banyak rumah tangga bermasalah karena sexsualitas. Tetapi, di sisi lain jika ada yang memahaminya dengan baik, justru menjadi cermin rumah tangga yang baik. 

Makanya sex secara personal adalah sebuah kebahagian, sehingga kebudayaan kita mengaturanya sebagai sebuah kearifan. 

Bagaimana Sexsualitas dalam tinjauan kultur Nusantara?

Sebenarnya sexsualitas itu memiliki kearifannya sendiri. Misalnya, di Kultur Bugis punya kearifan tersendiri, sama seperti ketika kita membaca kama sutra di India. Ternyata di Bugis juga memiliki kitab Kama sutranya, yaitu Assikalabineng, Sama juga seperti di Jawa Di sebut dengan Terma Asmoro Gomo.  kama sutra bugis, bisa sadur dari manuskrip leluhur-leluhur kita dulu. 

Sebenarnya kita tidak perlu berguru terlalu jauh ke India, ke Arab atau kemanapun untuk mengetahui bagaimana sebenarnya skema kama sutra itu dalam konteks mencari kenikmatan dan kebahagian.

Dulu, Jika bicara sex, ulama kita menyebutkan, "ada proses menindih dan menghimpit". Ada superioritas dan Inferioritas. Padahal sex itu tidak sesederhana itu. Sex itu juga harus di lihat sebagai sebuah keseimbangan. Misalnya, saya laki-laki mendatangi pasangannya saya yang perempuan dengan nafsu yang 80%, maka perempuannya cukup menerima dengan 20% saja.  Agar tercipta keseimbangan. Nah, jika sama-sama 100%, maka hal itu bisa berlebihan. 

Tetapi dalam tuntunan masyarakat, sebenarnya. sex itu penyatuan 4 unsur, " tubuh dengan tubuh", jika kita bicara senggama, di sebut skin to skin  (saya menyentuh dirinya dan dia menerima sentuhan saya dengan manja). "Nyawa dengan nyawa", "nafas dengan Nafas" dan "Rahasia dengan Rahasia". 4 unsur inilah yang disebutkan oleh Masyarakat Bugis dengan terma "sulappa appa". 

Jika kita mengikuti Pembahasan ini, sebenarnya sudah ada Penelitian tentang hal ini, yang di lakukan oleh seorang Peneliti asal Unhas yang menuliskan tentang manuskrip Assikalabineng. 

"Sebenarnya apa makna assikalabeneng sebagai kearifan Bugis Makassar?".

Sexsualitas itu adalah keseimbangan. Ketika kita menganggap sex itu sebagai sebuah kesenangan, maka hal itu adalah tingkatan terendah dari sex itu sendiri. Misalnya hanya untuk melampiaskan hawa nafsu dalam konteks lahiria saja, maka hal itu bagian paling rendah dari sexsualitas. Sebab, sexsualitas itu tidak di bangun dari ketertarikan bodynya saja, dsb. Melainkan, ada hal yang di bangun sebelumnya. 

Misalnya, dalam kitab Asmoro Gomo (kama sutra Jawa), ada 6 tingkatan ;

pertama, asmara Lana. Lelaki dan perempuan saling memahami dalam konteks kepedulian. Seperti, ketika ada seorang lelaki memiliki ketertarikan khusus pada perempuan, dan lelaki tersebut memberikan kepedulian tertentu atau yang kerap disebut sebagai "Kasmaran". 

Kedua, asmara Tura ini berisi pujian-pujian yang baik. Pujian itu butuhkan untuk memasuki tahap selanjutnya. Pujiannya lebih kepada rayuan pada fisik, belum kepada nilai-niali yang puitis. Nanti pada tahap berikutnya.

Ketiga, asmara Turida, disinilah ketika seorang lelaki tertarik pada perempuan, dari cara dia ketawa, dari kerlingan matanya, bahkan dalam tahap yang lebih tinggi, ada desahan yang manja sampai di hati kita. Hal itu yang disebut dengan penyatuan nyawa dengan nyawa. 

Keempat, asmara dana. Ketika tawanya perempuan sudah menyentuh hati kita. Maka, kita bisa membalasnya dengan syair-syair puisi yang indah. Pujian yang di maksud, sudah bukan lagi pujian erotic (fisik). Jika hal ini sudah dilakukan dan perempuan, merasa sampai juga di hatinya. Maka peluang untuk memasuki tahap berikutnya besar, seperti menyentuh tangan, dia akan merasa terangsang sedikit dan dari situ dia bisa memberikan kita ruang untuk menyentuh bagian tubuhnya yang lain. 

Nah, dalam konteks sexsualitas, dari tahap inilah potensi ciuman bermula. Karena setelah kita bisa menyentuh tubuhnya dan menyesuiakan diri, hal itu disebut foreplay (pemanasan). Jadi tahapnya demikian, jika hendak mencapai kenikmatan yang sesungguhnya. makanya, sex bukan hanya sekedar kebahagian jasmani. Tetapi, kebahagian rohani. 

Dalam terminologi manuskrip, sex itu di ibaratkan sebagai Mantra yang di sampaikan. Orang tua kita dulu, punya potensi mengirimkan ransangan melalui doa atau mengirimkan pengaruh melalui mimpi ( na'pa nimpiwi makkun rainna ; perempuan itu akan bermimpi sedang melakukan persetubuhan dengan kita), tetapi dalam kontes pasangan yang sah. 

Dalam perkembangannya, kita harus melihat secara kontekstual bahwa perilaku sexsual tidak hanya cara kita mencapai kenikmatan. Sebab, tahap tertinggi dari sexsualitas, selain keseimbangan, bahwa di dalam sexsualitas terdapat kasih sayang Tuahn. Selalu ada ingatan yang sangat tegas, dalam kajian manuskrip terhadap sexsualitas, kita selalu diarahkan untuk mengingat ; " arri ngerrako takkakupammu (di saat kita lupa, hal ini biasanya jika dalam konteks hawa nafsu yang mengebu-gebu, kita bisa lupa seluruhnya. Di situ kita di ingatkan, Perlu kita me-rem hawa nafsu itu sedemikian rupa). Sebab, jika kita datang dengan energi yang terlalu besar. Bisanya, tidak berpretensi untuk membuat pasangan kita bahagia (egois). Jadi, kalau kita datang dengan nafsu yang membuncah, tanpa memperhatikan situasi pasangan kita. Maka kadang kala kita over lap. Disitulah sex dalam konteks kesenangan hanya akan berhenti di situ. Padahal sesungguhnya, setelah kesenangan, ada kenikmatan. Setelah kenikmatan, ada kebahagian dan di setiap kebahagian selalu ada kasih sayang Tuhan (Rahma). 

Itulah sebabnya, di setiap permulaan nelakukan senggama, selalu di sebutkan untuk memberi salam kepada pemilik pintu Rahma (Assalamualaikum Ya Babur Rahma).

Jadi susungguhnya sex dalam konteks kearifan Bugis Makassar, bukanlah sesuatu yang jorok. Melainkan sesuatu yang sangat religius. Karena selain mengendalikan diri, di situ juga terdapat doa ; " Yahruju min baini Sulbi wa ttara'ib". Dari konteks inilah, sehingga ada tafsir yang berkembangan dalam masyarakat Bugis, bahwa sexsualitas tidak hanya sekedar alal lahmun Ilal lahmun (memasukkan daging kedalam daging). Tetapi, lebih kepada bagaimana kita memperlakukan pasangan kita dengan bijaksana.

makanya, kenapa sering sekali diulang-ulangi dala manuskrip, bahwa jika kamu mendatangi pasanganmu, pastikan bahwa dia juga ikut berbahagia. Bukan hanya 1, 2, 3 Hore. Tetapi, dalam banyak hal kita perlu memasukkan unsur-unsur keseimbangan disitu. 

"Apakah teks Assikalabineang membahas sampai soal-soal teknis?".

Justru kitab tersebut sangat teknis. Jika diatas saya menyebutkan, tentang foreplay, dalam kitab tersebut kita dituntun, apa yang di sentuh pada malam pertama terbitnya bulan. Misalnya, 1 Syawal atau 1 sya'ban, dsb itu dianggap sebagai malam pertama terbitnya bulan. Nah, saat malam pertama terbitnya bulan, titik rangsangan perempuan itu berada pada telapak kaki kanannya. Hal itu yang terus di eksplore dan hanya sampai 15 hari dalam sebulan, karena perputaran bulan, hanya sampai di purnama. 

Jika saya baca dari variasi titik ransang, semuanya berada di sebelah kanan (dari bawah ke atas) : hari pertama, di telapak kaki sebelah kanannya. Hari kedua, di betis sebelah kanannya. Hari ketiga, paha kanannya. Hari ke empat, dada kanannya. Dan seterusnya, dengan perlakukan yang berbeda. 

Tetapi, yang penting adalah ada sentuhan-sentuhan tertentu yang harus kita lakukan, yang kalau kita sentuh tidak membuat bulu kuduk perempuan itu tidak layu. (Hal ini biasanya harus berguru dulu) 

"Apakah Assikalabineng dalam kultur bugis, masih eksis?".

Sebenarnya, posisi pewarisanya dalam kultur masyarakat Bugis, ada pada saat  (seharusnya), sebelum menikah, sering kita di pingit. Pingitan tersebut "ancaman" untuk calon pengantin tidak boleh kemana-mana (sinrapo-raponna : jika keluar sebelum pesta, biasanya kita di beritahu bahwa kamu akan celaka). Padahal sebenarnya, dalam histori pingitan, di saat-saat itulah, ilmu kama sutra di turunkan. 

Jika kita tau terma " indo botting", anehnya sekarang indo botting lebih banyak mengurusi soal make up, dekorasi, pelaminan, atau hal yang terlalu artifisal, dsb. Padahal indo botting itu, dialah yang seharusnya menurunkan ilmu assikalabineng kepada calon pengantin dan memastikan kepada calon pengantin tersebut, siap mengarungi bahtera rumah tangga (dalam terma Bugis makassar, kita disuruh kelilingi dapur 7 kali). Karena saat orang di pingit, orang sesungguhnya diajari ilmu assikalabineng. 

Hakikat sesungguhnya Indo botting itu tidak terlalu mengurusi hal teknis pernikahan. Tetapi mengurusi hal prinsipil pernikahan, yaitu Indo botting harus memastikan, bahwa calon pengantin dapat mencapai kebahagian melalui proses-proses kesenangan, kenikmatan, sentuhan, dst. Hal itu di wariskan sebegitu rupa. Bahkan, hanya antara calon pengantin lelaki dan indo bottingnya. Perempuan seharusnya juga memiliki indo bottingnya sendiri, Karena titik rangsang lelaki juga ada. 

Di manuskrip assikalabineng pun di bahas. misal, bagaimana caranya menghidupkan kayu yang sudah luyu. Jadi, bahasanya sangat sastrawi. Padahal hal itu di asosiasikan pada alat kelamin lelaki dan perempuan. Sebab, disitu posisinya adalah hasrat, bukan dengan obat-obatan, seperti yang di maksud Dr. Boyke, Di situlah di ambil alih sakralitas dan religiusitas ilmu tersebut, di serahkan kepada seksolog. Sementara kita melihatnya, tidak hitam putih. Sebab, di situ ada perlakuan atau sistem penerimaan. 

Bahkan dalam ilmu ini disebutkan, bahwa ilmu ini adalah Mala'bi ; karena peristiwa ini sesuatu yang luar biasa, maka sudah seharusnya di perlakukan dengan sesuatu yang lebih luar biasa pula. 

Hal itu berkelindan dengan prosesnya, sedangkan banyak diantara kita mengartikan assikalabineng itu hanya peristiwa diatas ranjang. Padahal sesungguhnya sex itu bisa di mulai dimana saja. Ada sebuah buku, yang berjudul " Sex di mulai dari dapur" : di situ dijelaskan posisi lelaki dan perempuan sangat seimbang (bukan Bersenggama didapur). Tetapi, seorang lelaki, juga bisa mengambil peran domestik seorang perempuan, tanpa merusak maskulinitasnya. Jika seorang lelaki bisa melakukan hal ini, sesungguhnya dia seksi Dimata istrinya. 

Jadi, jika hal ini terus lakukan, saya pikir anjuran-anjuran untuk saling memuliakan bisa di gaungkan. Karena ada tujuan dari assikalabineng ini. Orang-orang yang mengetahui, memahami dan mempraktekkan dengan benar, di sebut " ata man rapi" (orang-orang yang memiliki pengetahuan tinggi) atau orang yang sudah selesai dengan dirinya atau orang yang sudah bisa memanusiakan pasangannya. 

Ada literatur Arab atau kama sutra Arab, menjelaskan bahwa Fatimah pernah protes kepada Ali, karena dia dianggap tidak di kirimi apa yang Allah titipkan kepada Nabi Muhammad, yang Ali tidak bisa menerapkannya diatas ranjang . Tetapi, cara Fatimah menegur Ali, itu dengan elegan, tidak vulgar ; "Baginda, Anda belum menyampaikan apa yang dititipkan Tuhan kepada suaminya untuk istrinya". Artinya, boleh jadi Fatimah pada konteks itu, tidak mendapatkan kepuasan seksual. Karena pada akhirnya, Fatimah mengajak Ali, untuk berguru kepada Nabi Muhammad. Karena porsi itulah yang ingin di sampaikan. Sehingga Ali kemudian berguru kepada Nabi dalam konteks keberpasangan atau seksulitas. 

Terakhir, di hubungan seksualitas, biasanya ada doa-doa yang dihaturkan. Biasanya di manuskrip, pasangan yang memiliki idealitas atau di jadikan Patron, bisa kita pelajari dari kehidupan rumah tangga Fatimah dan Ali. 

Manusia itu bukan hanya mahkluk sosial. Tetapi, dia juga mahkluk seksual. 



***


Pada bagian atas, sudah saya uraikkan sedikit, tentang sex yang di mulai di dapur, dalam artian mengapa tidak lelaki (suami) melakukan pekerjaan domestik (dapur), tanpa harus mengurangi maskulinitasnya. Tentu hal ini, sangat menarik, apalagi jika kita relasikan dalam perspektif gender atau bagaimana relasi gender (suami dan Istri) dalam Assikalabineng?

Relasi antara lelaki dan perempuan, pada ulasan pertama. Sebenarnya tidak sedang mendudukkan lelaki dan perempuan dalam bias gender. Sex di mulai dari dapur, hanya sebuah terma yang menghendaki antara laki-laki dan perempuan yang memiliki kecenderungan peran yang seimbang. Jadi, apapun namanya. Baik itu dalam hubungan ranjang (seksesual), maupun di domestik (di dapur). Kita tidak mengatakan bahwa peran terbaik di dapur adalah perempuan. Sebab, lelaki juga bisa melakukan hal tersebut. Bukan soal maskulinitas dan feminitas semata. Tetapi, dia adalah cara terbaik untuk memulai aktivitas sex, dalam konteks menindih dan menghimpit. 

Kalau sudah ada Keserasian di dapur. Bisa mengerjakan semuanya bersama-sama dan tidak terdapat relasi kuasa. Artinya, ketika di bawah ke ranjang, maka relasi kuasa pun tidak berlaku. Jadi, posisinya sama-sama subjek. Objeknya adalah kenikmatan yang hendak di raih bersama (dalam koridor kasih sayang Tuhan). 

Diatas ranjang, tidak ada objek dan subjek. Maka, relasinya adalah setara. Keseteraaan yang di maksud, sebagaimana yang di ulas pada bagian sebelumnya ; " ketika lelaki atau perempuan mendatanginya dengan energi atau hasrat yang membuncah, 80 atau 60 %. maka pasangan kita juga harus memiliki keinginan atau antusias yang menyesuaikannya.

Tetapi, hal ini bukanlah sebuah beban. Sebab, aktivitas seksual tidak melulu soal konektivitas kelamin lelaki dan perempuan. Sebab di situ ada pikiran yang bermain. Ketika ada aktivitas seksual ; alal lahmu Ilal lahmun (masuknya daging kedalam daging). Sementara pikiran kita tidak terfokus atau tidak berada dalam romatisme tersebut. Maka, sama saja kita melakukan kedzoliman terhadap pasangan kita. Sebenarnya hal ini, bahagian dari etika, karena itu potensi kita untuk berfantasi terhadap sesuatu dalam aktivitas seksual itu ada.

Misalnya, kita punya pengalaman Dengan video-video viral yang beberapa detik itu. Lalu, dalam aktivitas seksual tetiba dalam sekejap terngiang-ngiang, maka potensi kita untuk berfantasi ada. Nah, kenapa kontrol pikiran di butuhkan, karena kita harus fokus satu sama lain. Itulah yang disebutkan, bahwa kita sama- sama subjek. Jadi, jika kita sudah mengkondisikan diri, bahwa ada pujian di sampaikan kepada pasangan kita, ada cara dia menerima dengan baik, ada doa yang kita panjatkan sama-sama, ada keinginan untuk saling memberi dan menerima. Di situlah esensi pikiran dan perbuatan dan gerakan tangan harus saling bersinergi. 

Di kitab Assikalabineng, mengatur yang sifatnya aturan teknis sampai pada doa-doa sebelum memulai. semua itu adalah bahagia dari kontrol pikiran. selain itu, di Kitab Assikalabineng selalu memberi batasan, bahwa sesuatu yang di buka dengan baik, di lakukan dengan baik maka ditutup dengan baik pula. Jadi aktivitas tersebut, harus satu garis lurus. 

Saya kerap berdiskusi dengan kawan-kawan soal ini, bahwa potensi seksual kadang berhenti, pada saat ejakulasi, pada saat pasangan kita sudah orgasme. Padahal seksual tidak berhenti di titik kunci orgasme. Karena tidak semua perempuan bisa organsme. Tetapi, ada hal yang dapat dilakukan, untuk bisa membuat dia merasakan kenikmatan dan kebahagian atau dalam konteks Assikalabineng di sebut " minyyak na bunganna si bollo e ", di situlah sesungguhnya puncak kenikmatan sebagai manifestasi dari proses seksual. 

" Minyyak na si Bollo e" adalah orgasme. Jika orang orgasme itu, lelaki biasanya keluar sperma dan perempuan itu ada gestur menggeliat yang begitu nikmat rasanya. Kerap kali, jika kita lihat lebih jauh, disitulah ada rintihan atau erangan yang sangat dahsyat keluar. Tetapi, tidak hanya sampai disitu sebenarnya, ketika lelaki sudah ejakulasi dan perempuan sudah orgasme ataupun kita sudah saling merasakan puncak kenikmatan, lalu kita saling memunggungi. 

Misalnya, bagaimana nikmat merokok, setelah makan. Disebutkan dalam kitab Assikalabineng, bahwa setelah kamu melakukannya, kamu jangan buru-buru berhenti saling menyanyangi (na rekko pura ko aja mu Tappa si Boko i : jika sudah melakukannya, jangan saling memunggungi)". Biasanya kan demikian, sebab banyak energi yang keluar, bahkan dalam tingkat insentitas tertentu kita sama-sama berkeringat. Akhirnya kita sudah selesai, sudah. 

Padahal sebenarnya, kenikmatan sesungguhnya adalah kenikmatan after sex, ada istilah sigared after sex, ini semacam analogi bagaimana kita tetap berada dalam suasan saling menyanyangi meskipun sudah ejakulasi dan orgasme. 

Banyak diantara kita, karena mungkin sudah terlalu capek, sehingga  potensi untuk melakukan aktivitas lain tidak pernah di lakukan. Padahal puncak kenikmatannya pasca orgasme, jika dapat diolah dengan baik, disitulah kasih sayang satu sama lain bisa di eksplore dengan baik. Bisa mengembalikan energi yang kembali lagi. Seperti seorang yang sudah makan, lalu merokok. Bahkan ada kenikmatan yang jauh dari nikmat makan itu sendiri. 

Kalau kita bisa merangkul dan saling menyanyangi, bahkan meminjamkan bahu kita dan bercerita tentang banyak hal atau saling mengeksplore kekuatan dan kelebihannya. Bisa juga sesekali di tanya, " Yang kamu suka itu pada posisi mana". Di situlah adalah bagian kita menginternalisasi pasangan kita lewat sex. Supaya nanti, the second round, ketika itu di lakukan.  Biasanya, banyak orang hanya selesai di ronde pertama, lalu tiduran atau bersih-bersih atau sama-sama sibuk dengan urusannya sendiri. 

Padahal jika kita melakukan aktivitas di awal, ketika foreplay dan segala macam. Pasca sex, kita boleh saling bertukar pikiran, saling refleksi satu sama lain. Refleksi tidak harus soal gaya dan posisi sex. Tetapi, refleksi soal kehidupan rumah tangga dan itulah suasana paling romatis menurut saya. Karena, jika kita mampu mengontrol kondisi kita, yang sudah sedemikian capek dan lelah, energi di tingkatan pusaran saraf kita sudah banyak di keluarkan. Tetapi, kita masih tetap bisa mengambil kepala pasangan kita dan menyandarkan di bahu. Lalu, di elus-elus rambutnya dan bercerita tentang banyak hal. Saya membayangkan romantisme yang sangat hebat, seperti ketika kita sedang bermesraan di bawah langit yang banyak sekali bintangnya atau melihat bulan yang sedang purnama. 

" Kata kunci seksual menurut Assikalabineng adalah Keseimbangan. Mulai dari pra sampai Pasca. Nah, di tengahnya adalah prosesnya. Bagaimanakah Assikalabineng mewujudkan keseimbangan tersebut?"

Keseimbangan dalam wujud praktis Atau teknis di lapangan. Di dalam naskah, sebenarnya di sebutkan secara runut. 

" Na rekko mua jelloken ni kallanmu , bau ni riolo ingetna makkun Rai na, mu pa siduppa i ingetna na ingetmu, timunna na timummu". Artinya ; "ketika kamu sudah menghunus pedangmu, pertama-tama kamu harus mencium hidungnya Perempuanmu, mulutmu dengan mulutnya".

jangan lansung membayangkan hal itu adalah peristiwa ciuman yang sangat dahsyat. Sebab, pada konteks tersebut yang di maksud adalah penyatuan, sebagaimana yang telah di sampaikan di bagian awal, bahwa ada proses penyatuan nafas dengan nafas, tubuh dengan tubuh, jiwa dengan jiwa dan rahasia dan rahasia. Sehingga posisi itulah yang di lakukan.

Bolehkah kita bermain-main antara hidung kita dan hidung pasangan kita?. Boleh, saling mengeleng-gelengkan hidung, karena hal itu bahagian dari kemanjaan. Tetapi, tetap di lakukan dengan pelan-pelan dan bijaksana. Sebab, terkadang kita kalau sudah membuncah hasrat, kerap kita lupa diri. Kenapa kita selalu di ingatkan jangan lupa diri, sebagaimana pada bahasan sebelumnya. Karena di situ ada upaya untuk pengendalian diri ; " Mu tajenggi essu na nyawana mu Iso i nyawana (tunggu sampai keluar nafasnya, engkau satukan dengan nafasmu)".

Titik ini harus di perhatikan dengan sangat teknis, menurut beberapa orang tua kita di Bone, Prof Syarifuddin, beliau menghendaki penyatuan nafas dalam hal, ada irama yang sama dalam tarikan nafas yang satu dan pasangan kita. Itu yang bisa membuat kita tahan lama. Sebab, jika nafas tidak beraturan (ngos-ngosan), artinya tidak seritme. Maka, posisinya tidak seimbang atau sejalan. 

Lalu, masuk ke tahap ; " Mu pangganga i timunna na timmum mu , mu pasi lepe i ujung liLa mu na ujung lilamu - bukalah mulutnya dan mulutmu bersamaan perlahan-lahan, ujung lidahmu dan ujung lidahnya saling menerjang satu sama lain". 

Vulgar tapi perlu di identifikasi posisi ini dimana. Ketika hidung tadi sudah bersentuhan, nafas sudah saling menyatu, mulut kita dan mulut sudah seirama, dalam konteks ciuman. Tidak harus selalu di lakukan dengan energi yang besar atau tergesa-gesa. Pelan-pelan, kadang lebih di sukai, disitulah pentingnya komunikasi. 

Lalu,  " majeppu mappe neddi ni ritu na Saba pammasena puang Alla ta'ala (diperoleh kenikmatan itu atas izin dari Tuhan melalui Rahmatnya)". Di sinilah posisi yang di maksud kasih sayang Tuhan. Rahmat Tuhan selalu di gulirkan, bahkan dalam wilayah seksual sekalipun.

Berkenaan dengan ini, saya teringat dengan Tafsir seksual atas Q.S.Al Kautsar. Kerap kali di arahkan pada ayat tentang kurban. Tetapi, pada prinsipnya, ada tafsir lokal yang di munculkan masyarakat Bugis, yang selalu di identikkan dengan proses penyatuan appa sulapa, dalam konteks seksualitas, " Inna a'thoinna kal Kautsar (sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak)". Nikmat dalam tafsir lokal tersebut, di maksud sebagai kenikmatan seksual. Ada banyak kenikmatan, yang salah satunya adalah seksual, yang merupakan pemberian Tuhan. 

" Fa sholli Li robbika wan har Inna saya Nia akahu wal abthar (maka dirikanlah sholat karena Tuhan dan berkurbanlah)". Kurban dalam tafsir biasanya adalah berkurban sebagaimana biasanya. Tetapi, berkurban dalam konteks seksualitas adalah mengendalikan diri dan sesungguhnya orang yang membenci kamu adalah dia yang terputus dari Rahmat Tuhan)". 

Coba kita telaah beberapa pembahasan sebelumnya, tentang  " ari ngerrako ni wattu takkalupammu (senantiasa kita mengendalikan pikiran pada saat kamu sedang lupa)". Sebab, kenikmatan adalah sumber kelupaan dan kadang membuat kita terlena. Tapi, di situlah kita selalu di arahkan untuk berkurban. 

Mengapa kehidupan rumah tangga, ada yang gagal karena persoalan ranjang?. Karena ada nikmat yang terputus yang tidak di sampaikan kepada pasangannya. Kita tidak memberikan kepuasan tersebut dengan bijaksana. Kita hanya memikirkan diri kita sendiri, seperti kalau kita sudah ejakulasi. Maka, tidak ada urusan dengan pasangan kita. Padahal sebenarnya kita harus menjalin komunikasi dan kesimbangan, di situlah yang di maksud, " Inna sya' ni ni aqakahu wal abthar.

Sebab, dalam konteks yang lain, sumur kal Kautsar yang terdapat di surga adalah sesuatu yang harus kita antarkan kepada pasangan kita dalam aktivitas seksual. Di dalam naskah di sebutkan bahwa " na rekko Mappi ne dinni ma kunrai mu engka ni Messu wae na bungge kal kautsar fasholli lili robbika wan har Inna sya' ni akahu wal Abh ta, apa majeppu ia na matti RI akhirat riaseng minyyak na bunganna na si Bollo e (apabila perempuan sudah terangsang dan berada dalam kenikmatan tertentu, akan keluar air sumur Al-Kautsar)". 

Ada istilah squit atau lubrikasi, semacam cairan. Menjadi pertanda, bahwa perempuan sedang dalam kondisi nikmat-nikmatnya dan siap. Artinya ada kepasrahan, siap memberi kasih sayang dan siap menerima kasih sayang. Itulah yang di maksud dengan "minyyak si bollo e", di dalam naskah di sebutkan sebagai, " padacengi wi rampena ini nawamu tajengi riolo pammasena puang Alla ta'ala apa engka ni Matu RI Lala cule Messu i rasa rahing asenna (Dalam permainanmu atau penetrasi yang kita lakukan, itulah yang disebut kasih sayang Tuhan. Ketika kita berhasil menyatukan pikiranmu dengan pikirannya, kelaminmu dengan kelaminnya. satu garis lurus keseimbangan dan satu nafas)". 

Terkesan sangat teoritik, tetapi perlu di pikirkan. artikulasinya bagaimana, sebab di naskah di arahkan dengan sangat teknis. Karena ketika perempuan sudah terangsang, sebab kita telah berhasil mengirimkan kasih sayang Tuhan. Maka, di situlah keberkahan itj muncul.  Keberkahan ini, kerap kali di lekatkan dengan Sayidina Ali dan Fatimah. Di sebutkam di dalam Naskah, " Makune tu cule-cule ma ali fatimah ma rajai barakkana na senga ula na fatimah ri lakkai'na". Na Senga itu, Dia akan merindukan sentuhan pasangannya. Artinya secara Teori perkawinan ketika kita berhasil memberi kebahagian utuh. Maka, kita akan di rindukan, walau berpisah beberapa saat saja. 

Sebenarnya, sex bukan hanya pelajaran teknis berhubungan sex. Tetapi, lebih dari itu adalah kita diajarkan untuk mengendalikan pikiran, pengendalian diri. Sehingga wajar, seseorang dalam mencapainnya, disebut "Ata manrapi". Karena secara Teoritis, kita bisa melakukannya. Tetapi, praktiknya (sedang berhadapan dengan yang di mata), kadang kala kita lupa diri.

Jadi, sesungguhnya Pelajaran moral dari Assikalabineng itu tidak hanya memposisikan seksualitas itu sebagai hubungan intercouse (mempertemukan dua kelamin). Tetapi, lebih dari itu merupakan gambaran keseluruhan hidup dan gambaran bagaimana menjadi manusia seutuhnya. Karena, ada pengendalian pikiran dan diri di moment tersebut. 

Seks dalam Terminologi Bugis, disebut "Gaukkeng Mala'bbi" ; Perbuatan Yang Akhlaqi. Atau Perbuatan yang niscaya di dudukkan di singasana yang terhormat. Karena, kehidupan Sosial dan Kehidupan Ranjang kita, sangat berkesinambungan. Hal itu juga yang membedakan, seks di dalam pernikahan dan Di luar pernikahan. Sebab, seks di dalam pernikahan, ada tuntunan moral yang hendak di bangun. 

Seks di dalam Assikalabineng, hanya ada Dua pasal ; Seks ada di dalam pernikahan dan Seks hanya ada di dalam pernikahan. 

Pada ulasan Assikalabineng yang pertama, Sempat di uraikkan beberapa hal tentang titik Rangsangan saat Malam pertama memasuki Bulan. 

Di beberapa Naskah di jelaskan, bahwa titik Rangsangan kerap kali di kontekskan pada terbitnya Bulan. Bulan yang di maksud adalah kalender Bulan Bugis, yang mengacu pada Kalender Hijriyah. Sekalipun belum di temukan korelasinya secara Ilmiah atau korelasi sainyifiknya. Tetapi, orang tua kita dulu, tentu membaca kita kama sutra yang lainnya. 

Misalnya di Kitab Kama Sutra Bugis (Assikalabineng). Pada Malam pertama Terbitnya bulan, Titik Rangsang Pasangan (perempuan), terletak di Telapak Kaki Kanannya. Malam kedua, titik Rangsangannya, di betis Kanannya. Malam ketiga, Terletak di lutut kanannnya. Malam ke empat, Terletak di paha Kanannnya. Malam ke lima, Terletak di Lengan kanannya. Malam ke enam, Terletak di Ketiak kanannya. Malam ke tujuh, terletak di payudara Kanannya. Malam ke delapan, terletak di payudara kirinya. Malam kesembilan, terletak di leher tengahnya di bawah Jakunnya kalau pada Lelaki. Malam kesepuluh, terletak di bibirnya. Malam kesebelas, terletak mata kanannya. Malam keduabelas, terletak diantara Matanya. Malam, ketigabelas di dahinya (keningnya). Malam keempat belas, terletak di Ulu hatinya (diantara dada dan pusar). Malam ke limabelas, terletak di seluruh tububnya. 

Sedangkan malam ke enambelas, kembali ke malam pertama dan seterusnya. 

Tetapi, perlakuan tersebut tidak tunggal. Seperti malam pertama misalnya, titik rangsangannya terletak di telapak kaki kanannya. Perintahnya adalah "gele-gele temaserrui itu", (gelitik-gelitik manja). Posisinya adalah kita bisa bermain di situ untuk membuka hasratnya saja. Tidak melulu disitu saja yang diserang. Artinya ada hal yang niscaya kita perhatikan dengan baik.di posisi mana, ketika kita menyentuh perempuan dan dia nyaman, begitupun sebaliknya. 

Sebagaimana di bahasan sebelumnya, ada masa dimana lelaki tidak bergairah. Maka, perempuanlah yang membangkitkan gairah tersebut dan memang ada juga titik rangsangan lelaki. Hanya saja secara Teknis tidak seperti perempuan. Titik rangsangan lelaki, lebih kepada Komunikasi. Agar tidak hanya lelaki saja yang di tuntut untuk mengeksplore tubuh perempuan. Tetapi, perempuan juga harus tau, di titik mana lelakinya itu merasa terangsang, merasa dia tidak tahan itu niscaya di eksplorasi. Itulah sebabnya antara Pikiran dan badan, harus seiring sejalan. 

Secara eksplisit, titik rangsang Lelaki yang di sentuh perempuan, di naskah Kama sutra Bugus, di jelaskan sangat singkat. Pada baguan mana dari kelamin lelakinyang harus di sentuh ; terletak di bagian bawah, bekas sunnat pada batang penis. Dengan cara " temma serroe (elus-elus manja)". 

Sekalipun sebenanrnya, yang paling tah dimana titik rangsangnya adalah yang bersangkutan. Misalnya, saya lelaki, saya tau diposisi mana saya terangsang jika di sentuh, di posisi mana jika di sentuh, saya menggelinjang. Begitu juga dengan perempuan, dia harua bisa mengeksplore dirinya. 

Saya bukan orang yang mengajurkan untuk melakukan hal-hal self seks. Tetapi kita perlu mengksplorasi diri kita, di titik mana kita meras nyaman dan itu perlu kita komunukasikan dengan pasangan kita. Kenapa itu penting?. Sebab, ketika hasrat tidak dalam kondisi puncak. Semua itu bisa di bangun dengan mengatur dengan baik. Makanya komunikasi adalah titik kunci menjadi faktor keseimbangan sesungguhnya. 

Tetapi, yang perku di garis bawahi, bahwa komunikasi di lakukan di luar aktifitas ranjang, sebelum dan sesudah. Jangan sesekali melakukan komunikasi, pada saat sedang melakukan penetrasi. Contoh, yang paling sering menggagalkan orgasme adalah "Bagaimana sayang. Sudah sampaikah kamu atau belum?". Percakapan seperti ini, kerap kali membuyarkan pikiran pasangan kita. Sebab, barangkali pasangan kita sedang Lupa diri. Tetapi, kita tetiba bertanya hal yang tidak penting semacam itu. Maka, kita harus memulai dari Nol lagi. Sementara tingkat kita untuk melakukan penetrasi berbeda antara satu dan yang lain.  

Kita tidak tau pasti, secara seksolog apakah hal itu di jelaskan atau tidak. Tetapi, di dalam Naskah Assikalabineng ada hal yang selalu menjadi panduan. Dimana kita, memperbanyak gerakan, dalam konteks senggama dan memperbanyak doa serta Tidak usah banyak berkata-kata. 

Vocal pointnya adalah relasi seksual, tidak melulu soal relasi kepuasaan birahi antar pasangan. Tetapi, bagaimana kita tetap menjadi Hamba, karena ada ubtaian doa yabg di haturkan dan tetap menjadi manusia dengan memperlakukan pasangan kita sebagai manusia, memuliakan dan Memnghormatinya.


-Coretan Pena Nalar Pinggiran, Rst-

-IBADAH HAJI  SEBAGAI  MEDIUM  MENUJU MANUSIA SEJATI-

Memperbincang agama sebagai instrument penting dalam kehidupan manusia selalu menarik untuk dicermati. Dengan seperangkat kredo dan sistem ajarannya, agama dinilai memiliki peran signifikan mengantarkan umat manusia, yang dalam terminilogi 'Cak Nur' bertemu dengan sang dumadi dan sangka paran-nya. Sebab, Agama merupakan kelanjutan natur dan manifestasi keimanan manusia  kepada Khaliq-Nya. Menafikan keberadaan agama sebagai sistem nilai akan mengantarkan seseorang kepada kehancuran peradaban vis a vis  meminjam istilah 'Louis Lehay', manusia akan mengalami aleanasi diri yang sangat akut sehingga berpotensi melahirkan splite personality dalam kehidupan sehari-hari. 

Dalam konteks ini, agama dalam pandangan 'A. S. Hikam' dinilai sebagai fakta dan sejarah yang memiliki dimensi simbolis atau mitis dan sosiologis. Dimensi simbolis atau mitis mengandung arti bahwa agama merupakan struktur sebuah makna (meaning structure) yang berada pada ranah abstrak, terlepas dari ruang dan waktu. Melalui struktur makna seperti ini, maka mode pemahaman (mode of self-understanding) selanjutnya digagas dan diciptakan yang oleh 'Mircea Eliade' melalui berbagai  kegiatan penafsiran (hermeneutics) atas ajaran agama. 

Dalam kegiatan ini, penciptaan dan penafsiran atas simbol-simbol dan metafor yang ada kemudian dirumuskan serta diterapkan dalam tindakan aktual. Salah satu tindakan aktual dari pesan normatif ajaran agama adalah ritual ibadah haji.

Secara normatif ritual ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Ia  merupakan kelanjutan natur manusia untuk mengikuti kegiatan napak tilas  yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim As bersama keluarganya mengunjungi ka’bah di tanah suci dengan berbagai syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar memperoleh predikat al-hajj al-mabrur dengan mengharapkan ridho Allah SWT. Rutinitas yang bersifat spiritual ini, dalam pandangan 'Mahmud Syaltut' adalah salah satu bentuk penyembahan manusia sejak zaman purba, sebelum datangnya Islam. Ia berarti sebuah proses ziarah ke tempat-tempat tertentu sebagai suatu penyembahan dan pensucian pada Tuhannya. Begitulah praktek-praktek dari berbagai bangsa purba.

Keadaan ini berlanggsung terus menerus sampai Allah SWT mengutus Nabi Ibrahim dan memerintahkan membangun ka’bah untuk suatu tujuan penyatuan sistem haji manusia, di mana padanya dilakukan thawaf dan berzikir kepada Allah SWT. Melakukan ibadah haji ke tanah suci Mekkah bukanlah perjalanan untuk mencari penghidupan, bukan pula perjalanan untuk melakukan kesenangan. Perjalanan ibadah haji hanya ditujukan semata-mata karena Allah, untuk memenuhi kewajiban yang diperintah oleh-Nya. 

Salah satu bukti yang jelas tentang keterkaitan ibadah haji dengan nilai-nilai kemanusian adalah isi khutbah Nabi Muhammad SAW pada saat haji Wada’ (haji perpisahan) yang intinya menekankan: (1) persamaan, (2) keharusan memelihara jiwa, harta, dan kehormatan orang lain, (3) larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun bidang-bidang yang lain. 

Tentu saja makna kemanusian dan pengamalan nilai-nilainya tidak hanya terbatas pada persamaan nilai kemanusian. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Ia bermula dari kesadaran akan fitrah (jati diri)nya serta keharusan menyesuaiakan diri dengan tujuan kehadiran di muka bumi. 

Dengan demikian, nilai-nilai kemanusian yang terdapat dalam ritual haji seakan-akan mengantarkan seluruh anak keturunan Adam untuk menyadari akan arah yang dituju serta perjuangan untuk mencapainya. Dalam konteks ini, dimensi kemanusian akan menjadikan manusia memiliki moral serta kemampuan memimpin makhluk-makhluk lain dalam mencapai tujuan penciptaan. Kemanusian mengantarkannya untuk menyadari bahwa dia adalah makhluk dwi dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir. 

Nilai kemanusian menurut 'Ibn Khaldun' mengantarkannya untuk sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi. Makna-makna di atas dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, baik dalam acara ritual atau dalam tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban dan larangan, dan dalam bentuk nyata atau pun yang bersifat simbolik. Kesemuanya ini akan mengantarkan para jamaah haji hidup dengan pengalaman dan pengamalan kemanusian universal.

Nilai-nilai kemanusian universal dalam pelaksaan ibadah haji, dapatlah dipahami dan dihayati rangkaian-rangkaian praktek ritual ibadah haji, di mana aktivitas ini dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram.

Tidak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan menurut Al-Quran berfungsi antara lain, sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat membawa antara lain, kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikolgis kepada pemakainya. Di miqat makani, tempat ritual ibadah haji dimulai, di mana perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan, sehingga semua jamaah haji harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis yang negatif dari pakaian pun harus ditanggalkan sehingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.  

Di Miqat ini, apa pun rasa dan suku harus ditanggalkan. Menurut 'Ali Syari’ati',  lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari baik (a) serigala yang melambangkan kekejaman dan penindasan, (b) tikus yang melambangkan kelicikan, (c)  anjing yang melambangkan tipu daya, atau (d) domba yang melambangkan penghambaan. Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai manusia yang sesungguhnya.  

Mengutip ungkapan 'Jalaluddin Rakhmat', bahwa ibadah haji adalah perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah kemanusian. Kehidupan telah melemparkan kita dari kemanusian kita. Kita telah jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah. Bukankah kita menjadi khalifah Allah SWT, kita justru telah menjadi monyet, babi dan serigala. Dengan mengutip bahasa 'Jalaluddin Rumi', bahwa kita adalah seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Ketika suara keluar, yang terdengar adalah jeritan pilu dari pecahan bambu yang ingin kembali ke rumpunnya semula. Kita hanya akan hidup sebagai bambu sejati bila kita kembali ke tempat awal kita. Kita akan menjadi manusia lagi bila kita kembali kepada Allah SWT (QS. 2: 156).  

Para jamaah haji adalah kafilah seruling yang ingin kembali ke rumpun abadinya. Inilah rombongan binatang yang ingin kembali menjadi manusia. Ketika sampai di miqat, mereka harus meninggalkan segala sifat kebinatangannya. Seperti ular, mereka harus mencampakkan kulit lama agar menjalani kehidupan baru. Baju-baju kebesaran yang sering digunakan untuk mempertontonkan kepongahan, harus ditanggalkan. Lambang-lambang status yang sering dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa, harus dikuburkan dalam bumi. Sebagai gantinya, mereka memakai kain kafan, pakaian seragam yang akan dibawanya nanti ketika kembali ke kampung halaman yakni alam kubur. 

Dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku haji. Jangan sakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan serta memberinya kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaannya. Di larang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin dan berhias supaya setiap peserta haji menyadari bahwa manusia bukan materi semata-mata, bukan pula birahi, dan  bahwa hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan ruhani.

Ritual lain yang menjadi esensi ibadah haji adalah mengunjungi Ka’bah, yang dinilai sebagai sentrum dan pusat orbit kehidupan manusia sejagat.  Di sana, misalnya ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya “pangkuan Ismail”. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun ka’bah pernah berada dalam pangkuan ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak yang konon kuburannya pun berada di tempat itu. Namun demikian, budak wanita ini ditempatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberikan kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tetapi karena kedekatan kepada Allah SWT dan usahanya untuk hajar (berhijrah) dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.

Setelah selesai melakukan thawaf yang menjadikan pelakunya larut dan berbaur bersama manusia-manusia yang lain serta memberi kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah SWT, dilakukanlah sa’i. di sini muncul lagi Hajar, budak wanita bersahaja yang diperistrikan Nabi Ibrahim.

Diperagakan pengalamannya mencari air untuk putranya. Keyakinan wanita ini akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh yang terbukti jauh sebelum peristiwa pencarian air tersebut. Ketika ia bersedia ditinggal bersama anaknya di suatu lembah yang tandus. Keyakinannya yang begitu dalam tidak menjadikannya berpangku tangan dengan hanya menunggu turunnya hujan dari langit, tetapi ia berusaha mondar-mandir sebanyak 7 kali demi mencari kehidupan. Berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah dikenal dalam tradisi Islam yang disebut Sai. Menurut 'Jawad Amuli', Sai bermakna berlarilahnya manusia dari maksiat menuju ketaatan, dari pelanggaran menuju kepatuhan. 

Berlari-lari antara Shafa dan Marwah bermakna antara takut dan harapan. Aku tidak takut hanya tanpa harapan, atau tidak hanya berharap tanpa rasa takut. Demikian pergumulan batin yang dialami Siti Hajar ketika berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah.

Ketika  mendatangi Shafa, Siti Hajar berusaha membersihkan hatinya. Dan ketika ia sampai di Marwah, ia berupaya mencari kemulian. Marwah berarti mencari kemulian atau harga diri. Sementara Shafa bermakna mencari pembersihan dan kesucian jiwa. Rahasia kegiatan Sai adalah bahwa seseorang akan mencapai kesucian hati (Shafa) dan kewibawaan (Marwah). Laki-laki yang berwibawa dan pemberani tidak akan pernah tunduk di bawah kekuasaan para penguasa yang zalim. Sebagaimana yang diucapkan 'Imam Husain bin Ali' sebelum menemui ajalnya di peristiwa Padang Karbala “Aku tidak akan menyerah seperti orang yang hina dan tidak akan melarikan diri bagaikan budak”.  

Puncak dari perjalanan ibadah haji di padang Arafah, sebuah padang yang luas lagi gersang, seluruh jamaah haji wuquf sampai terbenamnya matahari. Di sanalah mereka seharusnya menemukan ma’arifah pengetahuan sejati tentang dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta di sana pula ia menyadari langkah-langkahnya selama ini. Di sana pula seharusnya ia menyadari betapa besar dan agungnya Tuhan dan kepada-Nya bersembah seluruh makhluk, sebagaimana diperagakan secara miniatur di padang Arafah tersebut. Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di padang Arafah untuk menjadi arif (sadar) dan mengetahui kebesaran dan keagungan Tuhan. 

Menurut 'Ibnu Sina',  apabila kearifan telah menghiasi diri seseorang, maka anda akan menemukan orang itu “selalu bergembira”, banyak senyum karena hatinya telah gembira sejak ia mengenal-Nya. Di mana-mana ia melihat satu saja, melihat yang Maha Suci itu. Semua makhkluk dipandangnya sama (karena memang semua sama, sama membutuhkan-Nya). Ia tidak akan mengintip-ngintip kelemahan atau mencari-cari kesalahan orang lain. Ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun. Karena jiwanya telah diliputi oleh rahmat dan kasih sayang. 

Tulisan ini berpretensi untuk memberikan kado berharga bagi para jamaah haji yang akan melaksanakan rukun Islam yang kelima. Dan ketika kembali ke tanah air mereka mampu menyebarkan berkah keberkahan kepada manusia lain di sekitarnya. Ketulusan hati mereka menusuk jantung orang-orang munafik. Air zam-zam yang mereka bawa menjadi tetes-tetes mu’jizat yang mengubah tikus yang licik menjadi manusia yang jujur. Air mata mereka keluar membersihkan anjing-anjing yang serakah menjadi manusia yang dermawan. Akhirnya, kerendahan hati mereka mampu meruntuhkan para tiran pemuja kekuasaan. Cahaya wajah yang telah disinari Ka’bah mampu mematahkan leher serigala yang pongah dan mengubahnya menjadi manusia yang penuh kearifan dan kasih sayang. 

Doa kami menyertai kalian, semoga mampu meraih predikat haji mabrur, الحج المبرور ليس له جزاء الا الجنة . 

Aamiin Ya Rabb al-‘Alaamin.


--Coretan Pena Nalar Pinggiran, Rst--


MEKKAH DAN MADINAH PADAMU

"Musuh utama pelaku Agama bukanlah Iblis, Setan, Dajjal, Ya’juj dan Ma’juj atau siapapun, melebihi ancaman-ancaman permusuhan dan penghancuran yang berasal dari dalam diri mereka sendiri".

Musuh utama manusia bukan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia. Alam, tanah, lautan, gunung, hutan, angin, hewan adalah sahabat-sahabat manusia, yang tunduk kepada kemauan manusia. Manusia sendirilah yang membuat alam bermanfaat baginya atau menjadi bencana bagi kehidupannya.

Musuh utama manusia adalah dirinya sendiri. Keserakahan mentalnya, kebebalan rohaninya serta kesempitan akalnya.

Musuh utama kaum beragama bukan pemeluk Agama yang lain. Sudah jelas mereka memang selalu saling bermusuhan satu sama lain, saling menipu, saling menyesatkan, menjebak, menjaring muslihat, menjegal dan menghancurkan, menteror-terorkan satu sama lain, secara terang-terangan maupun diam-diam.

Tetapi, yang utama menjadi penghancur kaum beragama adalah kesempitan akalnya sendiri di dalam memperlakukan Agama. Kesempitan berpikir itu berjodoh pula dengan keserakahan terhadap kehidupan.

Musuh utama pelaku Agama bukanlah Iblis, Setan, Dajjal, Ya’juj Ma’juj atau siapapun, melebihi ancaman-ancaman permusuhan dan penghancuran yang berasal dari dalam diri mereka sendiri. Semua yang di luar dirinya tentu saja sangat potensial dan nyata sebagai musuh. Tetapi, bukan musuh utama selain dirinya sendiri.

Para pelaku Agama dikuasai iman. Di dalam darah mereka mengalir iman. Seluruh jiwa dan raga mereka bergelimang iman. Hari-hari dan malam-malam mereka dipenuhi iman. Tidak ada satu lubang pori-pori hidup mereka yang tak dihuni oleh iman.

Tidak ada peluang bagi Setan untuk menyentuh mereka. Tidak ada kemungkinan bagi Iblis untuk merasuki mereka. Kalau Ya’juj Ma’juj menyerbu mereka, tinggal mereka tumbuhkan dan bangkitkan dua tanduk Dzulqornain.

Jika Dajjal bisa menggilas seluruh dunia tapi tidak kuat menyentuh Mekah dan Madinah, setiap pelaku iman tinggal mendirikan Mekah dan membangun Madinah di dalam jiwa mereka, di rumah mereka, dalam keluarga mereka, masyarakat, bangsa dan Negara mereka.

Secara dunia, materi dan teritorial, Mekah danMadinah terletak nun jauh diseberang benua. Tetapi secara akhirat, rohani dan nilai, Mekah dan Madinah tersedia di bangun di dalam diri kita.

Madinah dan Mekah adalah tajalli, penjelmaan simbolik nilai Sang Maha Rahman dan Sang Maha Rahim, yang menggerakkan kaki, tangan dan seluruh jasad kita. Memberi kita informasi dari mana kira berasal-usul dan ke mana satu-satunya tujuan yang tidak bisa Dan tidak harus kita tempuh dalam perjalanan kita.

Rahman dan Rahim membangun konstruksi kesehatan raga kita. Kematangan ilmu kita. Keluasan pengetahuan kita, yang sejauh apapun kita menjangkaunya, takkan pernah bisa kita injakkan kaki pikiran maupun imajinasi kreatif di cakrawala Kita.

Rahman dan Rahim menyusun ketenteraman keluarga kita, keamanan masyarakat kita, keseimbangan organisasi kemakmuran Negeri kita. Rahman dan Rahim dengan beribu-ribu berjuta-juta berjenis-jenis asisten-Nya, staf-Nya atau pesuruh-Nya, mengawal kita di seluruh garis, lipatan atau lingkaran waktu. Di seantero bentangan ruang, yang kita jejaki dengan kaki atau kita gagas dengan pikiran kita, serta kita tembus dengan perangkat lunak rohani kita.

Iblis yang bertugas menguji kita, yang merambahi seluruh sisi ruang dan merasuki setiap butir debu, yang berlalu lalang di langit bumi dan bumi langit serta mengendap di sel-sel darah kita - tidak mencemaskan kita - karena diri kita adalah semesta ahsanu taqwim yang bermuatan Mekah dan Madinah.

Setan tidak pernah kita temukan di luar diri kita, tidak pernah kita kasih ruang untuk lahir dari kedalaman jiwa kepemimpinan kita, dari kecurangan pikiran kita, dari keserakahan mental kita, atau dari kebebalan rohani kesaksian kita. Dajjal silakan menaklukkan Bangsa kita dan semua Bangsa-bangsa yang lain di seantero Bumi. Tetapi kita tidak gelisah, takut atau apalagi panik. Sebab ia bukan tandingan kita.

Dan kita tidak diamanati oleh Tuhan pencipta Dajjal untuk melawan makhluk mengerikan itu, kecuali hanya dalam lingkup diri kita sendiri beserta keluarga kita. Apabila sebagai manusia, sebagai bagian dari suatu Bangsa atau warga dari suatu Negara: kita dikehendaki oleh Tuhan untuk disapu, digilas dan dibunuh oleh Dajjal - itu bukan kekalahan, bukan penderitaan.

Itu adalah kemuliaan di hadapan Tuhan. Sebab Mekah dan Madinah di dalam jiwa dan aliran darah kehidupan keluarga kita, tidak bisa disapu, digilas, dikalahkan atau dibunuh atau dimusnahkan oleh siapapun selain Tuhan sendiri. Sebab, di dalam Mekah dan Madinah-Nya pada jiwa kita: mati itu tidak ada.

--Coretan Pena Nalar Pinggiran, RST--