Mengenai Saya

Sabtu, 27 November 2021

-IBADAH HAJI  SEBAGAI  MEDIUM  MENUJU MANUSIA SEJATI-

Memperbincang agama sebagai instrument penting dalam kehidupan manusia selalu menarik untuk dicermati. Dengan seperangkat kredo dan sistem ajarannya, agama dinilai memiliki peran signifikan mengantarkan umat manusia, yang dalam terminilogi 'Cak Nur' bertemu dengan sang dumadi dan sangka paran-nya. Sebab, Agama merupakan kelanjutan natur dan manifestasi keimanan manusia  kepada Khaliq-Nya. Menafikan keberadaan agama sebagai sistem nilai akan mengantarkan seseorang kepada kehancuran peradaban vis a vis  meminjam istilah 'Louis Lehay', manusia akan mengalami aleanasi diri yang sangat akut sehingga berpotensi melahirkan splite personality dalam kehidupan sehari-hari. 

Dalam konteks ini, agama dalam pandangan 'A. S. Hikam' dinilai sebagai fakta dan sejarah yang memiliki dimensi simbolis atau mitis dan sosiologis. Dimensi simbolis atau mitis mengandung arti bahwa agama merupakan struktur sebuah makna (meaning structure) yang berada pada ranah abstrak, terlepas dari ruang dan waktu. Melalui struktur makna seperti ini, maka mode pemahaman (mode of self-understanding) selanjutnya digagas dan diciptakan yang oleh 'Mircea Eliade' melalui berbagai  kegiatan penafsiran (hermeneutics) atas ajaran agama. 

Dalam kegiatan ini, penciptaan dan penafsiran atas simbol-simbol dan metafor yang ada kemudian dirumuskan serta diterapkan dalam tindakan aktual. Salah satu tindakan aktual dari pesan normatif ajaran agama adalah ritual ibadah haji.

Secara normatif ritual ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Ia  merupakan kelanjutan natur manusia untuk mengikuti kegiatan napak tilas  yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim As bersama keluarganya mengunjungi ka’bah di tanah suci dengan berbagai syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar memperoleh predikat al-hajj al-mabrur dengan mengharapkan ridho Allah SWT. Rutinitas yang bersifat spiritual ini, dalam pandangan 'Mahmud Syaltut' adalah salah satu bentuk penyembahan manusia sejak zaman purba, sebelum datangnya Islam. Ia berarti sebuah proses ziarah ke tempat-tempat tertentu sebagai suatu penyembahan dan pensucian pada Tuhannya. Begitulah praktek-praktek dari berbagai bangsa purba.

Keadaan ini berlanggsung terus menerus sampai Allah SWT mengutus Nabi Ibrahim dan memerintahkan membangun ka’bah untuk suatu tujuan penyatuan sistem haji manusia, di mana padanya dilakukan thawaf dan berzikir kepada Allah SWT. Melakukan ibadah haji ke tanah suci Mekkah bukanlah perjalanan untuk mencari penghidupan, bukan pula perjalanan untuk melakukan kesenangan. Perjalanan ibadah haji hanya ditujukan semata-mata karena Allah, untuk memenuhi kewajiban yang diperintah oleh-Nya. 

Salah satu bukti yang jelas tentang keterkaitan ibadah haji dengan nilai-nilai kemanusian adalah isi khutbah Nabi Muhammad SAW pada saat haji Wada’ (haji perpisahan) yang intinya menekankan: (1) persamaan, (2) keharusan memelihara jiwa, harta, dan kehormatan orang lain, (3) larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun bidang-bidang yang lain. 

Tentu saja makna kemanusian dan pengamalan nilai-nilainya tidak hanya terbatas pada persamaan nilai kemanusian. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Ia bermula dari kesadaran akan fitrah (jati diri)nya serta keharusan menyesuaiakan diri dengan tujuan kehadiran di muka bumi. 

Dengan demikian, nilai-nilai kemanusian yang terdapat dalam ritual haji seakan-akan mengantarkan seluruh anak keturunan Adam untuk menyadari akan arah yang dituju serta perjuangan untuk mencapainya. Dalam konteks ini, dimensi kemanusian akan menjadikan manusia memiliki moral serta kemampuan memimpin makhluk-makhluk lain dalam mencapai tujuan penciptaan. Kemanusian mengantarkannya untuk menyadari bahwa dia adalah makhluk dwi dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir. 

Nilai kemanusian menurut 'Ibn Khaldun' mengantarkannya untuk sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi. Makna-makna di atas dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, baik dalam acara ritual atau dalam tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban dan larangan, dan dalam bentuk nyata atau pun yang bersifat simbolik. Kesemuanya ini akan mengantarkan para jamaah haji hidup dengan pengalaman dan pengamalan kemanusian universal.

Nilai-nilai kemanusian universal dalam pelaksaan ibadah haji, dapatlah dipahami dan dihayati rangkaian-rangkaian praktek ritual ibadah haji, di mana aktivitas ini dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram.

Tidak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan menurut Al-Quran berfungsi antara lain, sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat membawa antara lain, kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikolgis kepada pemakainya. Di miqat makani, tempat ritual ibadah haji dimulai, di mana perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan, sehingga semua jamaah haji harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis yang negatif dari pakaian pun harus ditanggalkan sehingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.  

Di Miqat ini, apa pun rasa dan suku harus ditanggalkan. Menurut 'Ali Syari’ati',  lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari baik (a) serigala yang melambangkan kekejaman dan penindasan, (b) tikus yang melambangkan kelicikan, (c)  anjing yang melambangkan tipu daya, atau (d) domba yang melambangkan penghambaan. Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai manusia yang sesungguhnya.  

Mengutip ungkapan 'Jalaluddin Rakhmat', bahwa ibadah haji adalah perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah kemanusian. Kehidupan telah melemparkan kita dari kemanusian kita. Kita telah jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah. Bukankah kita menjadi khalifah Allah SWT, kita justru telah menjadi monyet, babi dan serigala. Dengan mengutip bahasa 'Jalaluddin Rumi', bahwa kita adalah seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Ketika suara keluar, yang terdengar adalah jeritan pilu dari pecahan bambu yang ingin kembali ke rumpunnya semula. Kita hanya akan hidup sebagai bambu sejati bila kita kembali ke tempat awal kita. Kita akan menjadi manusia lagi bila kita kembali kepada Allah SWT (QS. 2: 156).  

Para jamaah haji adalah kafilah seruling yang ingin kembali ke rumpun abadinya. Inilah rombongan binatang yang ingin kembali menjadi manusia. Ketika sampai di miqat, mereka harus meninggalkan segala sifat kebinatangannya. Seperti ular, mereka harus mencampakkan kulit lama agar menjalani kehidupan baru. Baju-baju kebesaran yang sering digunakan untuk mempertontonkan kepongahan, harus ditanggalkan. Lambang-lambang status yang sering dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa, harus dikuburkan dalam bumi. Sebagai gantinya, mereka memakai kain kafan, pakaian seragam yang akan dibawanya nanti ketika kembali ke kampung halaman yakni alam kubur. 

Dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku haji. Jangan sakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan serta memberinya kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaannya. Di larang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin dan berhias supaya setiap peserta haji menyadari bahwa manusia bukan materi semata-mata, bukan pula birahi, dan  bahwa hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan ruhani.

Ritual lain yang menjadi esensi ibadah haji adalah mengunjungi Ka’bah, yang dinilai sebagai sentrum dan pusat orbit kehidupan manusia sejagat.  Di sana, misalnya ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya “pangkuan Ismail”. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun ka’bah pernah berada dalam pangkuan ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak yang konon kuburannya pun berada di tempat itu. Namun demikian, budak wanita ini ditempatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberikan kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tetapi karena kedekatan kepada Allah SWT dan usahanya untuk hajar (berhijrah) dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.

Setelah selesai melakukan thawaf yang menjadikan pelakunya larut dan berbaur bersama manusia-manusia yang lain serta memberi kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah SWT, dilakukanlah sa’i. di sini muncul lagi Hajar, budak wanita bersahaja yang diperistrikan Nabi Ibrahim.

Diperagakan pengalamannya mencari air untuk putranya. Keyakinan wanita ini akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh yang terbukti jauh sebelum peristiwa pencarian air tersebut. Ketika ia bersedia ditinggal bersama anaknya di suatu lembah yang tandus. Keyakinannya yang begitu dalam tidak menjadikannya berpangku tangan dengan hanya menunggu turunnya hujan dari langit, tetapi ia berusaha mondar-mandir sebanyak 7 kali demi mencari kehidupan. Berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah dikenal dalam tradisi Islam yang disebut Sai. Menurut 'Jawad Amuli', Sai bermakna berlarilahnya manusia dari maksiat menuju ketaatan, dari pelanggaran menuju kepatuhan. 

Berlari-lari antara Shafa dan Marwah bermakna antara takut dan harapan. Aku tidak takut hanya tanpa harapan, atau tidak hanya berharap tanpa rasa takut. Demikian pergumulan batin yang dialami Siti Hajar ketika berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah.

Ketika  mendatangi Shafa, Siti Hajar berusaha membersihkan hatinya. Dan ketika ia sampai di Marwah, ia berupaya mencari kemulian. Marwah berarti mencari kemulian atau harga diri. Sementara Shafa bermakna mencari pembersihan dan kesucian jiwa. Rahasia kegiatan Sai adalah bahwa seseorang akan mencapai kesucian hati (Shafa) dan kewibawaan (Marwah). Laki-laki yang berwibawa dan pemberani tidak akan pernah tunduk di bawah kekuasaan para penguasa yang zalim. Sebagaimana yang diucapkan 'Imam Husain bin Ali' sebelum menemui ajalnya di peristiwa Padang Karbala “Aku tidak akan menyerah seperti orang yang hina dan tidak akan melarikan diri bagaikan budak”.  

Puncak dari perjalanan ibadah haji di padang Arafah, sebuah padang yang luas lagi gersang, seluruh jamaah haji wuquf sampai terbenamnya matahari. Di sanalah mereka seharusnya menemukan ma’arifah pengetahuan sejati tentang dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta di sana pula ia menyadari langkah-langkahnya selama ini. Di sana pula seharusnya ia menyadari betapa besar dan agungnya Tuhan dan kepada-Nya bersembah seluruh makhluk, sebagaimana diperagakan secara miniatur di padang Arafah tersebut. Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di padang Arafah untuk menjadi arif (sadar) dan mengetahui kebesaran dan keagungan Tuhan. 

Menurut 'Ibnu Sina',  apabila kearifan telah menghiasi diri seseorang, maka anda akan menemukan orang itu “selalu bergembira”, banyak senyum karena hatinya telah gembira sejak ia mengenal-Nya. Di mana-mana ia melihat satu saja, melihat yang Maha Suci itu. Semua makhkluk dipandangnya sama (karena memang semua sama, sama membutuhkan-Nya). Ia tidak akan mengintip-ngintip kelemahan atau mencari-cari kesalahan orang lain. Ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun. Karena jiwanya telah diliputi oleh rahmat dan kasih sayang. 

Tulisan ini berpretensi untuk memberikan kado berharga bagi para jamaah haji yang akan melaksanakan rukun Islam yang kelima. Dan ketika kembali ke tanah air mereka mampu menyebarkan berkah keberkahan kepada manusia lain di sekitarnya. Ketulusan hati mereka menusuk jantung orang-orang munafik. Air zam-zam yang mereka bawa menjadi tetes-tetes mu’jizat yang mengubah tikus yang licik menjadi manusia yang jujur. Air mata mereka keluar membersihkan anjing-anjing yang serakah menjadi manusia yang dermawan. Akhirnya, kerendahan hati mereka mampu meruntuhkan para tiran pemuja kekuasaan. Cahaya wajah yang telah disinari Ka’bah mampu mematahkan leher serigala yang pongah dan mengubahnya menjadi manusia yang penuh kearifan dan kasih sayang. 

Doa kami menyertai kalian, semoga mampu meraih predikat haji mabrur, الحج المبرور ليس له جزاء الا الجنة . 

Aamiin Ya Rabb al-‘Alaamin.


--Coretan Pena Nalar Pinggiran, Rst--


Tidak ada komentar:

Posting Komentar