Mengenai Saya

Minggu, 19 Desember 2021

KONSEP UMUR DALAM PERSPEKTIF DAN PROBLEMATIKANYA



Tulisan ini, diawali dengan sebuah narasi tentang dialog interaktif antara seorang penguasa dinasti Abbasiyah dengan seorang kakek tua (kira-kira berumur 70 Tahun). Dalam dialog tersebut sang penguasa dinasti Abbasiyah bertanya kepada sang kakek.

Penguasa dinasti Abbasiyah : wahai kakek berapa umurmu sekarang?. Kakek : "Umurku sekarang baru 10 tahun". Mendengar jawaban sang kakek, penguasa dinasti Abbasiyah kelihatannya berang dan bertanya kembali. Penguasa dinasti Abbasiyah: Wahai kakek, berapa umurmu sekarang?. Kakek: "Umur saya baru 10 tahun".

Jawaban sang kakek kembali memantik kemarahan penguasa dinasti Abbasiyah. Sekali lagi saya bertanya kepadamu wahai kakek. Jika jawabanmu masih sama, maka saya tidak segan-segan untuk memenggal batang lehermu. Penguasa dinasti Abbasiyah: Berapa umurmu sekarang?. Kakek: "Menjawab, bahwa secara matematis - sunnatullah, umur saya sekarang berusia 70 tahun, namun secara normatif - spiritual, umur saya masih berusia 10 tahun. 

Artinya jika dilihat dari tingkat keinsyafan dan kesadaran kemanusiaan, saya baru memahami dan menjalankan perintah agama secara benar, baru berlangsung 10 tahun. Inilah hakikat umurku wahai sang penguasa dinasti Abbasiyah. Oleh karena itu, maafkanlah saya jika jawaban yang saya berikan terkesan mempreteli status kebesaran paduka yang mulia.

Jika memahami jawaban filosofis sang kakek, maka dapat digenelisir sebuah pesan penting bahwa umur secara artikulatif bermakna" الحياة اعمار" (proses hidup & kehidupan). Makna derivatif umur ini sejalan ungkapan Ibrahim Musthafa yang mengartikan umur sebagai " مدة الحياة" (masa lamanya hidup, jangka atau batas waktu hidup). Di sisi lain, umur juga bisa dimaknai sebagai sesuatu kadar atau ukuran yang telah ditetapkan.   Secara terminologis, umur dimakna Al-Asfahani sebagai masa membangun jasmani dalam kehidupan menuju kepada tingkat maturiti (kematangan secara psikologis).

Perbincangan tentang hakikat umur sebagai sebuah etape kehidupan tentunya memiliki beragam fenomena yang menelingkupinya. Dengan demikian, secara esensial hakikat umur yang baik menurut agama dapat ditelusuri pada sebuah hadis Rasulullah SAW, sebagaimana yang tercantum dalam Sunan at-Tirmidzi: 2417 yang berbunyi
لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسال عن عمره فيما افناه، وعن عمله فيما فعل وعن ماله من اين اكتسبه وفيما انفقه وعن جسمه فيما ابلاه

"Tidaklah beranjak telapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat, hingga ia ditanyakan tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya, tentang ilmunya, apa yang telah diramalkan, tentang hartanya dari mana ia memperolehnya, dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia gunakan".

Jika menganalisis konten hadis Rasulullah SAW, maka secara generik kata umur telah berlaku paten yakni kehidupan seseorang bersifat "taken for granted". Artinya dan tidak sekali-kali dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya. Dengan demikian, batas kehidupan seseorang di atas dunia telah berlaku pasti sesuai dengan hukum kosmis yang berlaku. 

Umur yang panjang seyogianya dapat dijadikan media untuk memperkokoh kesejatian nilai kemanusian dan tidak dibenarkan umur tersebut diinvestasikan ke jalan kefasikan dan kemunkaran. Pada perspektif ini Komaruddin Hidayat mengartikan kata umur seakar dengan kata "makmur", di mana seseorang yang diberikan umur panjang oleh Allah SWT dapat dijadikan sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan dan kemakmuran hidup. Seseorang yang tidak arif memaknai hakikat umur dan tidak memanfaatkannya untuk menggapai keberkahan Allah SWT, maka sesungguhnya dia telah menistai kualitas kehidupannya serta mendehumanisasi status kemakhlukannya ke arah kejatuhan moral.

Merespon fakta empiris yang terjadi, di mana banyak telah terjerumus dalam pilihan destruktif dan cenderung centang perenang dalam kehidupan, salah seorang pemikir Islam Murtadha' Muthahhari turut mencemaskan karakteristik manusia yang cenderung menggadaikan dan mengkomersialkan harga dirinya dengan hal-hal yang absurd dan menyesatkan. Menurut Muthahhari, merujuk pada proses penciptaan,  seyogianya manusia harus melakukan loncatan kehidupan menuju kesempurnaan nilai kemanusian serta selalu berevolusi menuju kepada kesempurnaan fitrahnya. Manusia yang telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi dengan konfigurasi fitrahnya adalah "perfect man" (manusia sempurna). Manusia sempurna adalah manusia teladan, unggul dan luhur, sehingga memiliki tingkat kesadaran moral untuk menggapai kesejatian dirinya. Manusia sempurna adalah terintegrasinya potensi spiritual dan intelektualnya dalam koherensi yang utuh dan prima.

Sinkron dengan ini Mulla Sadra, mengatakan manusia sempurna adalah paling tidak  harus melewati empat tahap perjalanan ruhani, yaitu: pertama,  Safar min al-Khalq ila al-Haq (perjalanan dari makhluk menuju Tuhan). Kedua,  safar bi al-Haq fi al-Haq (perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan), ketiga, safar min al-Haq ila al-Khalq bi al-Haq (perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan), dan keempat,  safar min al-Khalq ila al-Khalq bi al-Haq (perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan). 

Dalam kitab Al-Mi’raj karya Ibn Arabi, diceritakan bahwa tiga perjalan yang ditempuh manusia. Pertama, perjalanan dari Tuhan (away from God). Perjalanan dari Tuhan itu ada tiga macam, yaitu (1). Perjalanan sudah dekat dengan Tuhan kemudian dijatuhkan kembali. Model ini misalnya dicontohkan oleh Iblis. Begitu dekatnya dengan Tuhan, ia termasuk makhluk yang mendapat gelar muqarrabun, tetapi kemudian karena pembangkangannya, ia lantas jatuh. (2). away from Him, yang bermakna kita terhempas dari kehadirat Allah SWT. Kita sudah dekat dengan air yang bening, tetapi kemudian malu dan mundur sedikit karena rasanya malu untuk kepada Allah SWT. (3). dari away from Him, yakni perjalanan para Nabi, yang kembali dari Allah SWT, membawa misi untuk menyelamatkan manusia, sebuah perjalanan untuk sebuah misi.

Kedua, perjalanan menuju Dia. Satu perjalanan orang-orang yang bergerak menuju Allah SWT. Kita semua bergerak menuju Tuhan. Karena itu, jika ada orang meninggal dunia kita menyebutnya "inna lillahi wainna ilaihi rajiuun". Al-Quran menyebutkan "inna ilayna iyabahum, tsumma inna alayna hisabahum", Kepada Aku tempat mudik mereka semua. Dan Tuhan adalah tempat kita kembali. Dalam perjalanan kedua ini, ada tiga kelompok, (1) kelompok yang menuju Tuhan, tapi dalam perjalanannya mereka dihalang-halangi oleh tirai kegelapan dan tirai-tirai cahaya, (2) kelompok berikutnya adalah orang-orang bergerak menuju Tuhan dan dia tidak melakukan kemaksiatan lagi, dan tidak mengikuti hawa nafsunya, tetapi dia masih dihalangi oleh tirai kemusyrikan, (3) yaitu perjalanan menuju Dia yaitu orang-orang yang dalam perjalanannya sudah disibakkan tirai-tirai zulmaniyyah dan tirai nuraniyah, kemudian dia menuju panggilan-Nya. 

Ketiga, perjalanan di dalam Dia, yakni sebuah perjalanan orang-orang yang mencoba menemukan Tuhan dengan akal pikirannya melalui fakultas-fakultas rasionalnya. Juga perjalanan para awliya, dan urafa, yang mencoba mendekati Tuhan dengan dzauq-nya (melalui perasaannya). Proses perjalanan manusia dengan dimensi fitrah yang telah tersublimasi dan aktual dalam dirinya (Adam), menurut Ali Syari'ati merupakan sebuah keutamaan manusia dibandingkan dengan makhluk yang lain, termasuk juga iblis. Keutamaan dimiliki manusia, sehingga menurut Ali Syari'ati, ia dimandatir oleh Allah sebagai khalifah di atas bumi. Namun, untuk menjadi khalifah menurut Syari'ati manusia harus mencapai maqam yang ideal, yakni manusia teomorfis, yang dalam totalitas pribadinya mampu mempertahankan sisi positivitasnya setelah menundukkan potensi negativitas yang bersemayam dalam dirinya. Dalam ungkapan yang lain dikatakan manusia teomorfis adalah manusia telah merdeka dari kontradiksi antara “dua invinita”, dan berakhlak dengan akhlak Allah. Idealisasi manusia semacam ini adalah manusia yang seimbang, baik dari aspek ruhaniahnya maupun jasmaniahnya.

Pandangan ini juga mendapat dukungan dari "Hossein Nasr", bahwa manusia sebagai citra Tuhan dan memiliki kejernihan fitrah mereka adalah khalifah (wakil Tuhan) di bumi. Tuhan menciptakan manusia melalui beberapa tahapan. Pertama, manusia adalah ciptaan yang berawal dari Tuhan. kreasi hebat Tuhan ini memiliki subtansi Ilahiyah yang dalam literatur Islam tradisional dikenal dengan kekuatan ruh. Karenanya, itu menjadi alasan logis mengapa manusia memiliki potensi untuk dapat mencapai kesatuan dengan Tuhan. pencapaian derajat kesatuan dengan Tuhan, adalah dengan memancarnya Sifat-sifat Tuhan melalui tingkah lakunya, mengantarkan manusia menjadi protipe sebagai manusia sempurna. Kedua, manusia diciptakan pada tingkat kosmis di surga samawi, kemudian turun ke surga tingkat dunia dengan tetap membawa semua atribut sifat dan tidak berubah. Ketiga, manusia dilahirkan di alam fisik yang fana. Meskipun demikian, ia tetap memiliki esensi tahap perkembangan spiritual.  Dengan demikian, jika manusia tetap menjaga fitrahnya, sebagai bentuk pengetahuan eksistensi, maka manusia berpeluang menapaki tahapan berikutnya sebagai homo non proprie humanus sed superhumanus, yakni untuk menjadi manusia yang baik harus menjadi “lebih” dari manusia biasa. 

Manusia “lebih” yang ditandai dengan kejernihan fitrahnya dalam pandangan Nasr bagaikan bentangan luas yang dapat menampung berbagai bentuk dan dimensi dari setiap obyek dan realitas. Dimensi kesucian fitrah senantiasa berusaha membentengi manusia, sekaligus membimbingnya untuk menemukan esensi dirinya. Dengan demikian, fitrah menurut Nasr senantiasa sejalan dengan semangat revolusi spiritual dan pencerahan intelek dalam agama ( Islam) yang diturunkan Tuhan. Oleh karena itu, bagi Nasr, bukan sekedar hakikat bawaan, namun lebih dari itu, ia adalah pembimbing bagi manusia agar eksistensi dan esensi dirinya selalu berada dalam kesadaran yang tinggi. Atau term yang lain, manusia fitrah adalah manusia suci. 

Manusia suci  adalah manusia yang hidup dalam kesadaran terhadap realitas spiritual yang mentransdensikannya. Manusia suci adalah manusia tradisional, hidup dalam dunia yang mempunyai Asal, hidup dalam kesadaran untuk memiliki dan menyebarkan kesucian awal. Manusia suci, juga hidup dalam lingkaran pusat yang senantiasa sadar dalam berpikir dan bertindak. Manusia suci, memiliki dua karakter yakni sebagai abid dan sekaligus sebagai khalifah.

Berbagai konfigurasi proses penciptaan manusia sebagaimana terurai di atas, maka momentum pertambahan Usia dan pergantian tahun 2020 menuju 2021, banyak memperlihatkan sisi kelam vis a vis keterjatuhan moral yang amat menyedihkan. Meminjam ungkapan Carl Gustaf Jung, bahwa pergantian tahun baru di era modernitas menyisahkan berbagai persoalan pelik yakni banyak manusia mengalami kegersangan psikologis, sebagai implikasi negatif tercerabutnya akar dan basis primordialistik-spiritual. Hal senada juga dicemaskan oleh Louis Leahay, yang mengatakan bahwa era modernitas dengan berbagai varian dan problematikanya telah mengantarkan manusia pada kekosongan ruhani. 

Fakta sosial semacam ini menjadi bukti bahwa betapa banyak manusia dalam menghadapi setiap momentum pertambahan usia dan pergantian tahun masehi, mengekspresikan kegembiraan dengan hal-hal yang destruktif, seperti mabuk-mabukan, perzinahan, perjudian, dan melakukan tindakan maksiat, serta berbagai sikap patologis sosial lainnya.  Di sinilah letak anomalistiknya karakter manusia yang cenderung aktual menjelang pergantian tahun baru. Dengan demikian, seyogianya pertambahan usia dan pergantian tahun baru harus  dijadikan sebagai sarana reflektif untuk menakar dan mempertahankan  potensi positivitasnya. Namun, sayangnya patos sosial-spiritual ini sering diabaikan sehingga banyak manusia cenderung mengawetkan dan mengaktualkan potensi nasut-nya, sehingga dapat mendistorsi harga diri dan kesejatian dimensi eksistensialnya. Padahal setiap pergantian tahun meniscayakan berkurangnya umur seseorang menuju kepada akhir dari proses evolusinya.

Sehubungan dengan milad yang ke-28 tahun, saya sekeluarga mengucapkan apresiasi yang sebesar-besarnya dan setulusnya kepada para senior, yunior, karib-kerabat, handai tolan yang sempat mengucapkan doa dan pengharapan atas bertambahnya usia. Segala kemurahan dan kebaikan yang telah diberikan kepada saya, semoga menjadi investasi yang bernilai jariyah disisi Tuhan dan semoga kita semua diliputi kebahagiaan yang tiada tara di awal tahun 2021. Amin Ya Rabb al-Alamiin.



- Makassar, 19 Desember 2021 -

*Rst
*Pejalan Sunyi
*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar