Mengenai Saya

Sabtu, 18 Desember 2021

AL ILMU YURISHUL AHWAL ; CIRI ULAMA - ALIM

MENIMBA PADA SAMUDERA ILMU


Ada cerita, tentang seseorang yang begitu baik dengan tetangganya. Seorang ulama hebat, punya tentangga seorang anak muda badui.

Ahmad adalah Seorang Ulama, di panggil ke rumah seorang Anak muda badui ; "Yah, Ahmad tolong ke rumah saya dulu". Setelah Ahmad datang ke rumah Si Anak Muda tersebut mengatakan, silahkan pulang. sebab, saya sudah tidak membutuhkan kamu. Imam Ahmad akhirnya pulang, dengan santai.

Begitu Imam Ahmad pulang. Beberapa menit kemudian Pemuda itu kembali memanggil ; "Ya Ahmad silahkan ke rumah, saya butuh kamu". Imam Ahmad Datang lagi. Begitu dia datang, pemuda tersebut kembali mengatakan, silahkan pulang, saya sudah tidak butuh kamu.

Begitu terus sampai 3 kali dan Imam Ahmad terus datang dengan senang Hati, sebab terlihat dari parasnya yang ceria dan tersenyum. 

Lama kelamaan, Pemuda tersebut heran, bingung dan Bertanya ; "Yah, ahmad mengapa anda tidak tersinggung. bukankah kelakuanku itu menyakitkan?". Tidak, kata Imam Ahmad. Pemuda tersebut bertanya lagi, "bukankah saya menyebalkan?". Tidak, kata imam Ahmad.

"Kenapa?", kata pemuda tersebut. Jawab Imam Ahmad," saya ini di perintah Allah untuk berbuat baik terhadap tetangga. Sehingga, ketika disuruh datang, yah saya datang. Di suruh pulang, yah saya pulang. Alhamdulillah, bisa melaksanakan perintah Allah. Saya datang dan pulang itu tidak ada hubungannya dengan kamu.

Vocal poin yang kita bisa tarik dari sepenggal kisah tersebut adalah Imam Ahmad, tidak hanya seorang mukmin. Ia adalah seorang Mukmin yang Muhklis. Sebab, Ia melakukan segala sesuatu, karena perintah Allah, bukan karena yang Lainnya. Ia Tidak bisa di dikte oleh sekelilingnya, tidak terpasung oleh siapapun, Karena hubungannya lansung kepada Allah. Demikianlah Para ulama sesungguhnya, sebagaimana para Wali dan seseorang sedang berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Mereka memandang Allah begitu Indah dan jelas. 

Ketika Nabi Ibrahim di perintahkan oleh Allah untuk menyampaikkan tentang kewajiban Haji, "Waa adzim Finnassi bi Hajjiatuka arrijalan - Saya bisa Apa, suara saya terbatas, Ya Allah". Kata Allah, Sampaikan saja, nanti Aku yang mengurusnya. Akhirnya, seluruh dunia mendengarkan apa yang disampaikkan oleh Nabi Ibrahim dan yang di takdirkan Haji, bisa berHaji. 

Hal inilah yang membuat saya Berpersepsi bahwa Kenabian itu mesti di Maklumatkan - di beritahukan. Dalam Hadist Qudsi Allah mengatakan, "Kuntu Kan zam man fii han faa a'ro'tu an ro' fa fa kholaqtuh khalqoh ya' rifu - sesungguhnya saya tidak membutuhkan Mahkluk, cuman Mahluk mesti kenal saya sehingga saya Menciptakan Mahluk". 

Ulama sendiri merupakan pewaris Nabi. Merekalah yang kemudian melanjutkan penyampaian risalah-risalah yang di sampaikkan Para Nabi.  Artinya, kita mesti meneguhkan Komitmen hati untuk ikhlas membumikan ajaran Allah. Sehingga, kita tidak perlu berpikir bahwa apa yang kita lakukan ini bisa jadi viral dan terkenal. Karena, keinginan dan komitmen hati kita, ingin memperkenalkan hukum Allah, bukan untuk kita di kenal. Agar, orang tahu dan memahami dengan jelas ajaran Allah. Sebab, Kebenaran di mulai, dari di perkenalkan, "Yu dziruhu Aladdini Kulli". 

"Iyyam sasskum qorhun faqod masal qoma qorhuma mistlu - kalau kamu terluka, orang- orang yang tidak benar juga terluka demi ketidakbenarannya. Masa kita demi kebenaran tidak berani.

Ketika sahabat Nabi perang, zaman itu pasti benar, karena yang di bela adalah Nabi. Enaknya di zaman Nabi, jelas Yang di bela adalah benar dan musuh jelas salahnya. Sehingga dulu, jelas kita bisa tegas. Kalau sekarang, kita mesti tegas bagaimana, sebab yang di bela belum tentu benar dan musuh belum tentu salah.

Makanya suatu ketika dalam perang, banyak sahabat yang mengalami luka-luka. Lalu, mereka mengadu pada Nabi, gegara membela dan mengikuti Nabi. Para sahabat tersebut, mengira Keluhannya di apresisasi oleh Allah, ternyata Allah tidak mengapresiasinya. justru Allah menurunkan Ayat, " in takunu ta'lamuna fa innahum ya'lamuna kama ta'lamuna fatarjuna minallah ma larjun - kalau kamu sakit karena perang. Orang kafir juga mengalami hal yang sama. Demi kekafirannya saja, mereka berani. Sedangkan kamu punya nilai lebih, yaitu berharap kepada Allah, yang mereka tidak punya".

Misalnya, pencuri ayam, keluar malam-malam, hanya dapat ayam. Tidak takut kedinginan atau tidak takut di keroyok massa. Padahal untuk sesuatu yang salah. Sedangkan kita, mau Sholat Tahajjud saja atau melakukan kebaikan, masih takut kedinginan dan mempertimbangkannya secara matematis. Di titik itulah, mengapa Hizabnya orang sholeh kelak akan di sejajarkan dengan orang Dzolim. Lalu, di bandingkan. 

Ihwal itulah kita harus berani medegungkan kebenaran Allah, bahwa Allah adalah Dzat yang paling penting. Sebahagian ulama mendaku, "Illa liya' budun illa liya' ri funi - supaya mereka kenal Allah". Karena itulah, sehingga saya tidak terpengaruh, apakah orang menerima apa yang saya sampaikkan atau tidak. Agak lucu juga, jika kita sedang berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Lalu, kita di dikte oleh Mahkluk, di pasung oleh lingkungan atau terpenjara oleh apapun saja selain Allah. Jika mau menyampaikan. yah, sampaikkan saja. 

Ada seorang Ulama, ketika terkenal banyak yang datang padanya, ia kemudian menangis. Lalu, di tanyalah oleh sepupunya, Kenapa engkau menangis?. Jawab ulama ini, saya ini Sholeh untuk diri saya sendiri, saya berbuat baik untuk diri saya sendiri. Lantas, mengapa orang-orang begitu menghormati saya. Jangan-jangan ini adalah cikal bakal untuk berpaling dari mengingat Allah kepada Mengingat Mahluk. 

Imam Al Ghazali memberikan contoh Di Ihya Ulumuddin tentang menjadi orang terkenal dan Tidak terkenal, beliau menyampaikkan, " jika ingin menjadi Orang yang Ikhlas maka sebaiknya orang itu tidak terkenal". Untuk hal itu kita sepakat, barangkali jika ia terkenal akan selalu di paksa publik untuk Jaga Image atau apalah namanya. 

Tetapi, ketika pertanyaannya di balik, apakah kita rela, jika yang terkenal adalah orang tidak benar. Sementara orang yang benar tidak terkenal. Lalu, masyarakat tahunya yang tidak benar. Kalau pertanyaannya di balik seperti itu bagaimana?. Politisi yang baik tidak terkenal, sedangkan politisi yang tidak baik tapi terkenal?. 

Kata Al Ghazali, Jika kamu ingin ibadah kamu selamat. Maka, kamu jangan terkenal. Tetapi, resikonya adalah jika kebaikan tidak terkenal maka kebaikan tidak di kenali. Kalau tidak di kenali, maka masyarakat cuman punya contoh yang tidak baik. Karena yang baik tidak terkenal. 

Misalnya, amal yang baik harus selalu di rahasiakan. Nabi mengatakan kamu sholat yang benar?. Caranya Bagaimana wahai Nabi?. Lalu, Nabi menjawab, hal itu rahasia. Bagaimana, kalau begitu.

Makanya, Nabi mengatakan "shollu kama roiyatuminu usalli - Kamu sholat meniru saya sholat". Artinya, Nabi sholat sembunyi atau sholat di perlihatkan?. Tentu Di perlihatkan. Begitu juga dengan kebaikan atau apapun. Sebab, orang tahu bahwa itu Rumah sakit karena, ada tulisan rumah sakit, orang tahu itu dokter gigi, karena ada tulisan Dokter gigi. Jangan sampai, gegara tidak ada tulisan, orang mau beli bahan bangunan, justru dia datang ke dokter gigi Dan sebaliknya, orang mau periksa gigi, dia datang tokoh bangunan. 

Makanya, ulama sering memaklumatkan dirinya sebagai penyampai risalah. Ihwal itulah Al Gzhazali mengatakan, Bahwa Allah memerintahkan kepada para Nabi jika berbuat kebaikan selalu di munculkan, agar bisa di tiru. Sebagaimana yang saya sampaikkan diatas, Nabi menyuruh sholat yang benar. Tapi, sholatnya di sembunyikan. Maka, kita tidak akan tahu sholat yang benar itu seperti apa

Kata Al Ghazali, lebih Baik mana, amal yang di pertontonkan atau tidak di pertontonkan?. Sepanjang orang tersebut bisa menjaga diri dari riya dan Nafsu, maka kebaikan harus di pertontonkan. Sebab, jangan sampai yang tidak baiklah yang di pertontonkan.  

Selain itu, ulama dulu, jika mau mati senangnya bukan main. Mereka bahwkan kerap mendaku, "Sudah lama saya ini tidak maksiat, sepertinya tidak maksiat paling efektif adalah Mati. Tidak apa-apa Ya Allah, kalau memang harus mati, ya Mati saja". Santai sekali Ulama dahulu. Sebab, mereka melihat kematian, sebagai akhir dari segala keburukan atau potensi keburukan. Apapun kondisi kita saat ini, Yang bisa menghentikan Keburukan atau potensi keburukan Adalah Kematian. Jika demikian, apakah kematian itu menyenangkan atau menyusahkan?. Pasti kita tidak berani menjawabnya, karena kita terjebak Potensi duaniwi. Padahal, secara Ilmu, mati itu tidak se-mengerikan yang kita bayangkan. Sebab, kematian adalah akhir dari segala keburukan.  

Nabi mengajarkan Kalimat yang begitu menakjubkan, " Allahumma ahyini ma kanatil hayatu dziyadatan fi kulli khoiron li wa tawaffani ma kanatil wafatu rohatan mi kulli sarrin - Ya Allah, jika saya ini hidup, anggap saja hidup ini sebagai modal bagi saya menambah segala kebaikan. Jika, suatu saat saya mati, anggap saja sebagai akhir dari segala keburukan saya". 

Dari situlah kita bisa mengambil vocal point, bahwa hidup sebagai Investasi dalam melakukan kebaikan dan amal Sholeh. Sedangkan, mati juga baik karena mengakhiri segala keburukan atau potensi keburukan. 

Ciri yang kerap kali di lekatkan pada "Aulia atau Wali" - orang yang dekat dengan Allah. pertama adalah memiliki kekramatan. Kekramatan yang di maksud kepada para Wali ialah Ilmu yang mereka miliki. Misalnya, Ketika Nabi Adam di ciptakan oleh Allah, Karena Ia berilmu sehingga menjadi asumsi paling mendasar untuk para malaikat bersujud kepadanya. Imam al-Ghozali bertutur, "Illam yakunil alim wal walid walastu adri manil wali - Jika bukan orang Alim itu dinamakan Wali, saya pun tidak tahu lagi siapa yang dinamakan Wali". 

Kedua, menjadi Penyampai, "waa ma alayka ilalla balag - Tugasmu hanya menyampaikkan". Artinya penyampian yang membuat orang simpati, Yang menjadikan orang hormat dan Yang menjadikan sifat-sifat al-jamal (sifat keindahan, Sifat Kebaikannya Allah). Tidak boleh menunjukkan sifat Tuhan yang Pemarah. 

Namun, yang terpenting dari seorang yang dekat dengan Allah ialah "La yaa funa yauka tala if - tidak kuatir dengan cela orang dan tidak peduli di puji orang". Sebagaimana Suatu ketika Sayidina Hasan di caci maki oleh orang yang tidak suka kepadanya. beliau di caci di hadapan Puteranya. tetapi beliau hanya diam. Puteranya bertanya ; wahai ayah, kenapa ayah tidak membalas caciannya, bukankah ayah tidak seperti itu. Sayyidan Hasan menjawab ; ketauilah bahwa ayahku Ali, Ibuku Fatimah dan KakekKu Muhammad tidak pernah mengajariku mencaci maki, karena itu aku tidak tahu bagaimana membalasnya. apalagi keliru di tambah ngotot.

Makanya, salah satu keistimewaan seorang Wali, seorang Intelektual (Rausyan fikr) yang Mukmin, seorang Pendakwah (Penyampai) atau seorang yang sedang berusaha dekat dan mendekatkan diri kepada Allah ialah Keihklasannya, sehingga apapun yang ia sampaikkan begitu membekas dalam benak dan rasa orang. 

Saya Teringat dengan sebuah Riwayat yang berbunyi, "Al ilim Rahimun baina ahlihi - ketahuilah ilmu itu memiliki hubungan seperti hubungan keluarga, kekerabatan diantara Para Ulama". Walaupun tidak saling kenal, tidak pernah berjumpa. Tetapi, Yang menghubungkan mereka adalah Ilmu tersebut. Sebagaimana para Nabi-Nabi terdahulu, "Kazar ruslu bani allati thoriquhum wahidati bani azzati". Begitu juga dengan Para Rosul-Rosul Allah, sekalipun mereka terlahir dari rahim yang berbeda-beda, tetapi sumber mereka adalah satu.

Suatu ketika Rosulullah SAW, pernah memuji Ulama Ummatnya, "Ulama waa ummatika ambiya i bani Israil - ketahuilah bahwa Ulama Ummatku, bagaikan Para Nabi-Nabi dari kalangan Bani Israel". Mengapa?, karena tugas dan fungsi mereka untuk menguatkan ajaran-ajaran dari Nabi-Nabi tersebut. 

Disebutkan oleh Abul Hasan As-Sadzili didalam Mimpi beliau, dimana diIsyaratkan oleh Imam Al-Haddad didalam ayniyah-Nya, Husein al habsyi didalam syara’ ayniyah dan juga disebutkan oleh para ulama Tentang mimpinya Abul Hasan As-sadzili, ketika beliau tertidur di masjidil Haram. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Mimpi seorang yang Sholeh itu "Juzu min sitta waa arbaina - merupakan 46 bagian kenabian". Mimpi bertemu Rosulullah pasti benar. tetapi mimpi ketemu Tuhan Pasti salah, karena "Laisa ka Mitsilihi syai'un". 

Didalam mimpi Abul Hasan As-Sadzili, dia seolah-olah sedang berada di Masjidil Aqso dan disitu telah berkumpul para Nabi-Nabi, Termasuk Nabi Muhammad SAW. terjadilah dialog antara Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW. Nabi Isa dan Nabi Musa Bertanya kepada Rosulullah, "innaka Kullata Fi hadisi - Engkau pernah berkata didalam ucapanmu". bahwa "ulama waa Ummatika ambiya'i bani Israil - ulama Ummatku bagaikan Rosulnya Bani Israil”. Artinya Kita adalah Rosulnya Bani Israil, yakni Nabi Isa dan Nabi Musa. 

Kata Nabi Musa dan Nabi Isa, Engkau mengatakan bahwa ulama Ummatmu bagaikan Rosul bani Israel, maka siapa gerangan ulama tersebut?. Rosulullah SAW menjawab, "Iya betul, ada orangnya". Lalu Nabi Muhammad SAW berkata, "Ayna Abu Hamid Al-Ghozali - Dimana Abu Hamid Al-Ghozali". Datanglah Abu Hamid Al-Ghozali, lalu Rosulullah Berkata, "Ini dia Orangnya". 

Nabi Musa Bertanya, dalam Mimpi As-Sadzili ini, "Mas Muk ya Imam - Siapa gerangan Namamu ya Imam". Di jawab oleh Al-Ghozali, "Ana Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Tusi Abu Hamid Al-Ghazali, nama saya. "Nabi Musa berkata lagi, "Saya tanya namamu, mengapa engkau sebut Namamu, nama Bapakmu, nama kakekmu, nama nisbatmu. Saya tidak tanya itu semua, saya cuman tanya siapa namamu?. Apakah ini merupakan bagian dari adab (Hadza minal adab), ketika engkau di tanya, engkau menjawab lebih dari apa yang ditanyakan". 

Imam Al-Ghozali bertanya kepada Nabi Muhammad, "Ujibul kalim am attaddab - saya jawab Ucapannya Nabi Musa atau bersikap adab kepada Nabi Musa". Nabi berkata, "ajuubu - Jawab". Lalu Imam Al-Ghozali menjawab, "Ya Kalimullah (Wahai Nabi Musa), ketika engkau di tanya Oleh Allah SWT, "Waa Ama Tilka Bii yaminika ya Musa (apa yang engkau pegang dengan Tangan kananmu, wahai Musa)". apa yang engkau Jawab Wahai Nabi Musa, "Yaa Asyo ya attawakkau waa alaiha waa aausyu biiha ghona mi waaliyaa fi ha ma'aribu uhro - Ini tongkatku, bersandar dengannya gembala kambing dan banyak urusan ku lakukan dengan tongkatku", Allah tidak tanya itu. Allah tanya apa yang ada ditangan kananmu, jawab tongkat saja, selesai. Mengapa engkau jawab panjang lebar, Ya Kalimullah. Al-Ghozali melanjutkan, Wahai Nabi Musa, ketika seseorang berbicara kepada seseorang yang dia cintai, ia suka berlama-lama didalam berbicara. Nabi Musa terkesima dengan jawaban yang luar biasa dari Imam Al-Ghozali. 

Nabi Muhammad bertanya, "ya Musa, ya Isa A fii ummatika uma habrun ka hadza - apakah ada dikalangan ummatmu berdua sekelas dengan Al-Ghazali". Nabi Isa dan Musa menjawab, "Tidak ada Di kalangan Ummat kami sekaliber Imam Al-Ghazali, Ya Rosulullah". 

Dulu, Kakak saya pernah berguman, Kalau mau membedakan ulama dunia dan ulama Akhirat, cirinya sederhana, "kalau ulama dunia pasti tidak suka dengan kitab-kitabnya Al-Ghazali".  Imam Abdurrahman Asseggaf berkata karena cintanya kepada Ilmu, pernah berpesan kepada murid-murid dan anak keturunannya, "siapa yang tidak mengkaji Kitab Ihya Ulumuddin, Maka ia tidak punya Rasa Malu. Siapa yang tidak membaca Muhazzab, tidak tahu pondasi-pondasi Mazhab. Siapa yang tidak membaca kitab Tanbih, bukan orang yang cerdas atau tidak bakalan menjadi cerdas, karya Shiradzi. Siapa yang tidak membaca kitab Azkar karangan Imam An Nawawi, maka itu bukan lelaki keren dan Macho". 

Kecintaan orang dulu pada ilmu, sampai ada sebuah adagium yang menyebutkan, bahwa "bila perlu jual rumah untuk membeli kitab Al azkar". Kalau kita sekarang terbalik, jual kitab beli rumah. Mengapa?, karena  “Inna hadza ilmu din fal yan dzur ahadukum amani uhudina - ilmu itu adalah agama, maka lihatlah dari mana kita mengambil sumber agama kita".

Kata Imam Hasan Al-Basri, " Adrak tu ahuuawan ghomu fil lail bii ayat wahid waal qur'an - Saya berjumpa dengan suatu kaum, ketika bangun malam mereka cuman baca satu ayat dari Al-Qur'an, mereka renungi, mereka tadabburkan satu ayat tersebut, sedang paginya terlihat bekas khusyunya. Sampai suatu ketika saya berjumpa dengan suatu kaum, semalam suntuk membaca Al-Qur'an tetapi paginya tidak berbekas. Karena tetap berbohong, tetap menipu, tetap bicara kotor, tetap memprovokasi. 

Senada dengan hal itu, kata Abdullah Al-Husein Bal Faghi dalam Syairnya, "saya kehilangan manusia-manusia pilihan, yaitu orang-orang yang seumur hidupnya tidak pernah terpisah dari Dzikir dan Kitab. Jika malam kerjaannya sujud sampai menangis-nangis, karena takut pada Allah dan sesuatu yang kelihatannya susah dan penat bagi orang lain. tetapi, bagi mereka mudah. Yang apabila kita melihat wajah mereka, mengingatkan kita pada Allah".

Siapa zaman sekarang yang ketika kita melihatnya wajahnya, mengingatkan kita pada Allah?. Siapa di zaman sekarang, yang kerjanya hanya membaca kitab dan Berdzikir?. 

Ada beberapa ulama di Indonesia, tidak mengetahui nilai mata uang. Bahkan ada juga ulama yang tidak mengetahui berapa nomor telepone rumahnya. Saking sibuknya dengan Allah.

Ada sebuha cerita dari seorang Ulama, tentang ulama yang bernama Habib Abdullah bin Umar bin Yahya yang baru menikah. ketika menikah, paman beliau sekaligus Gurunya, Habib Abdullah bin Husein bin Thohir mengantar keponakannya sampai didepan kamar pengantin, begitu pintu kamar mau di tutup, paman Sekaligus Gurunya melemparkan kitab padanya, "Abdullah ini ada kitab". 

Pagi harinya, pamannya sekaligus Gurunya bertanya, namanya orang baru menikah di malam pertama, "bagaimana semalam sudah selesai?". Istrinya Abdullah Bin Umar menjawab, "selesai apanya. Suami saya semalam begitu masuk kamar, dia melihat kitab, dia membuka dan membaca kitab, dengan harapan hanya membaca beberapa lembar. Ternyata dia membaca sampai subuh dan saya (istrinya) di tinggalkan terlentar begitu saja". Bayangkan, Pengantin baru. Di berikan Kitab saat malam pertama pengantin baru. Ternyata Kitab lebih lezat ketimbang malam pengantin. Mereka terobsesi dan tergila-gila dengan Ilmu. 

Hobi Imam Syibawaih adalah menulis buku. Di sebut sebagai Syibawaih, karena bau badanya seperti buah apel. Ia adalah Imam yang ganteng, masih muda, alim, di tambah bau tubuhnya seperti bau apel. sehingga membuat banyak perempuan yang tergila-gila padanya.

Setiap Malam Istrinya menunggu untuk di manja olehnya. Tapi, Dia justru Sibuk menulis. Kitab satu di pindahkan ke kitab satu lainnya, sampai berjilid-jilid kitab. Nama bukunya sederhana yaitu Al Kitab.

kita di indonesia, justru menamakan Injil sebagai Al Kitab. Sembrono memang Imam Syibawaih ini, karena dia bukan orang Indonesia 😂🤣. Sehingga menamakan kitabnya dengan Judul Al Kitab. 

Singkat cerita, Istrinya sudah PDKT, Merayu-Rayu. Tapi, dia tetap sibuk menulis. Padahal, Istrinya sangat cantik. Lama kelamaan istrinya berpikir, "aku di terlantarkan begini gegara kertas-kertas Tulisannya dengan Judul Al Kitab".

Suatu saat, di pagi hari. Kertas Imam Syibawaih untuk menulis habis, pergilah ia ke pasar membeli kertas. Akhirnya, Kitab di rumahnya di bakar Istrinya, "karena di dalam pikiran Istrinya, berlembar-lembar Kertas yang memalingkan dari dirinya sudah di hilangkan - di bakar".

Begitu Imam Syibawaih datang dari pasar, melihat kertas-kertas (Kitab)nya sudah tidak ada. Sang Imam menanyakan pada Istrinya, "Dimana Kitabku?". Istrinya menjawab, "sudah aku bakar. Karena, gegara kitab tersebut, kamu menelantarkanku setiap malam".

Istrinya Mengira dengan Membakar Kitab yang memalingkan Suaminya. Maka, suaminya akan memilihnya. ternyata tidak. Imam Syibawaih lebih memilih kitab ketimbang Istrinya. Akhirnya Istrinya di ceraikan Oleh Imam Syibawaih. 

Imam Syafi'i juga demikian, dia tidak berani menikahi anak orang besar dan Kaya raya, gegara banyak Minatnya. Saat Imam Syafi'i ingin menikah, standar atau Imam Syafi'i Memberi Proklamasi begini. Hal ini Bisa di tiru, tapi Syaratnya Harus Ganteng 🤣😂, karena kalau ganteng kompetitornya banyak.

Imam Syafi'i itu Ganteng, Mulia, terhormat, cerdas, Alim, zuhud, Wali Kutub dan Terkenal. Beliau mengumumkan, " siapa yang mau menjadi Istriku. syarat pertama, Harus rela tidak aku gauli. Kedua, Siap tidak aku urus, karena aku sibuk dengan mengajar. Ketiga, harus siap membuatkan makanan saat aku mendidik santri". Jadi Syaratnya hanya itu.

Walhasil, ada seorang Perempuan sederhana, keturunan Orang baik dan Sholeh, siap di nikahi tanpa permintaan apapun. Sampai mereka sudah Tua, setiap ada santri yang mengaji di suguhi dengan Makanan. Begitu terus sampai mereka berdua wafat.

Ulama atau Orang Ahli dulu saking cintanya dengan Ilmu. Istri mereka di dapat sesuai dengan kriteria yang bisa menopang Ilmu mereka. Sekarang kita tidak. Padahal, Banyak orang alim yang selesai Hidupnya, hanya karena satu hal diatas. Misalnya, Banyak kawan saya yang Hafidz, bacaan Qur'an sangat Lancar dan bagus. Tapi hilang semua gegara ahh sudahlah. 

Makanya, banyak kita temukan, Ulama-ulama kita itu yang aktivitas kesehariannya hanya Mengaji dan Mengajar. Bahkan kadang mereka tidak tahu apakah Istrinya sudah makan atau belum. Bayangkan. (Baca Tulisan saya; Buku dan perempuan kerap sama dalam menciptakan jatuh cinta)

Menurut seorang Ulama besar bernama Muhsin bin Alwi Assegaf berkata kepada orang-orang yang punya Nazab Kesholehan, beliau mengultimatum pada mereka, "barang siapa yang gagal menjadi orang yang ahli di dalam keilmuan, jangan menjadi orang gagal dalam Mihrob (Ibadah). Tetapi, barang Siapa yang gagal dalam Ilmu dan gagal dalam Ibadah juga. maka, janganlah menjadi orang yang gagal dalam adab. tetapi, jika gagal dalam ketiga-tiganya (gagal ilmu, gagal Ibadah dan gagal adab). Maka, apa jadinya orang tersebut. 

Ada beberapa contoh, di kitab-kitab para wali, yang menuturkan bahwa Kita niscaya cerdas dan mempergunakan Logika;

Ketika Malakul maut mendatangi Nabi Ibrahim dan akan mengambil nyawanya. Nabi Ibrahim bertanya, "kamu siapa?". Malakul maut menjawab, Saya Izro'il. "Untuk apa kamu datang?". Di tugaskan Allah, untuk mencabut Nyawa anda, jawab Malaikat Izroil. Nabi Ibrahim bertanya lagi, "Apakah kamu tahu, saya ini siapa?". Kata, malakul Maut ; Ya Tahu, anda adalah kholilul rahman (kamu kekasih Allah). Lalu, kata Nabi Ibrahim, " Hal ro aytan habiban yu mi tu habibah (Mustahil kekasih membunuh yang di kasihinya, pasti anda salah)".

Karena malaikat tidak pernah belajar Logika, tidak pernah ngaji Filsafat. makanya dia tidak bisa menjawab pertanyaan Logis Nabi Ibrahim. Akhirnya Malakul Maut, kembali menghadap kepada Allah dan mengadukannya kepada Allah ; Ya Allah, KekasihMu Nabi Ibrahim, mempertanyakan "Masa kekasih membunuh yang di kasihi (Hal Ro aytan habiban yu mi tu habibah)".

kata Allah, kepada Malakul Maut, beritahu kepada Nabi Ibrahim ; " wa hal ro ayta habiban yakro hu ayyal qoha habibah (masa kekasih setiap ketemu harus di kasihi)".

Setelah mendapatkan, Arahan dari Allah. Akhirnya Izroil kembali mendatangi Nabi Ibrahim dan menjelaskan kepada Nabi Ibrahim, begini Him logikanya Kata Allah, "Wa Hal Ro ayta habiban yakro hu ayyal qo ha habibah". Setelah mendengarkan hal itu dari Malaikat Pencabut Nyawa. Nabi Ibrahim menjawab, oke tidak masalah".

Dari saripati kisah tersebut, kita mendadah Ibrah, bahwa sejatinya kita diajari suatu logika. Logika apa saja. Sehingga, normalnya hidup kita ini, Niscaya untuk cerdas.

Contoh lain misalnya, Nabi yang se zaman itu, kira-kira ada tiga. Tetapi, yang ilmunya selevel itu, hanya ada dua. Pertama, Nabi Ibrahim dan Nabi Luth, tentu tidak se level, karena Nabi Luth pernah menjadi keponakan Nabi ibrahim. Kedua Nabi Musa dan Nabi Harun, ini juga tidak level. Karena, Nabi Harun menjadi Nabi, disebabkan oleh proposal Nabi Musa (Nabi Musa yang meminta Kepada Allah agar di utus seorang Nabi yang menemani Dia), "wa ja alni wa syirom min ahliha haruna akhi, asy dad bihi adz ri, wa asy rikuhu fi amarihi".

Mengapa? Karena Nabi Musa, sebagaimana kita ketahui, dia itu "al sad" atau cetul. Sehingga Nabi Musa Butuh Juru Bicara. Artinya, Nabi Harun di utus untuk menjadi Jubirnya Nabi Musa, akibat Nabi Musa itu Cetul. Cerita ini Masyhur. Saat Nabi Musa di gendong oleh Fir'aun, di cabuti jenggot fir'aun, padahal masa itu, Nabi Musa Masih kecil. Karena itulah, fir'aun curiga dan berujar, dasar Bani Isroil. Sebab, fir'aun orang kibti (mesir). Setelah berkali-kali demikian, akhirnya fir'aun bertanya pada Aisyiah, "anak ini sudah bisa berpikir, memang dasarnya Bani Israil tidak suka orang kibti".

Untuk membuktikan hal itu, Nabi Musa, yang belia di tes oleh Fir'aun, agar memilih antara ; bara api atau apel. Sekalipun Nabi Musa yang saat itu masih belia, sudah tahu bahwa ia akan mengambil apel. Tetapi, ketika dia mengambil apel. Dia akan di bunuh oleh fir'aun. Artinya, dia bisa berpikir. Sebagaimana lazimnya Orang dewasa berpikir. Di arahkanlah Nabi Musa oleh Malaikat Jibril untuk mengambil bara api dan menelannya, sehingga lisannya menjadi cetul. Sampai sepuh, Nabi Musa tetap cetul. Makanya, ada doa Nabi Musa yang kerap di baca Para Da'i dalam berbagai kesempatan Ta'limnya, yaitu "Rabbisyrah li sadri Wa yassir li amri Wahlul 'uqdatam mil lisani Yafqahu qauli -  Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku agar mereka mengerti perkataanku". (QS Thaha ; 25-28).

Nabi Harun adalah Jubirnya Nabi Musa. tetapi kualitas ilmiahnya, Lebih cerdas Nabi Musa. Sekalipun mereka berdua se zaman, tetapi level kecerdasannya Nabi Harun masih lebih di bawah dari Nabi Musa.

Nabi yang benar-benar se-Zaman dan saling beradu Argumentasi adalah Nabi Isa dan Nabi Yahya. Umur mereka berdua seimbang, kualitas kecerdasannya pun sama. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Nabi Isa adalah "Wa yu kalillimun nasa fil mahdi wa kahdza", yang sejak bayi sudah bisa bicara dan pintar. Sedangkan, Nabi Yahya, sebagaimana kita ketahui, " Ya Yahya hu dil kitaba bi kua wa atha inul khukma shobiyah wa hanana mil ladunna wa dzaka wa kana min taqiyah ". Artinya, Nabi Isa dan Nabi Yahya sama-sama pintar dan menjadi manhaj besar dalam islam sampai sekarang. 

Pernah suatu ketika, mereka berdua saling adu argumentasi, dengan saling bertanya hal yang aneh, Nabi Isa bertanya pada Nabi Harun,  "ayna syiron nass - orang-orang Jelek atau Fasik itu dimana rumahnya". Sedangkan Nabi Yahya, menanyakan hal yang sebaliknya, "ayna khiyarun nass - orang-orang baik dimana rumahnya".

Nabi Isa bertanya lagi, mengapa engkau menanyakan rumah orang-orang sholeh?. Jawab, Nabi yahya, karena orang-orang sholeh itu tidak ribet diajak. Lalu, Nabi Yahya Balik bertanya, lantas mengapa engkau menanyakan rumah orang-orang fasik. Jawaban Nabi Isa ini menarik, " ana annabiyu bi manzila ti thobliq udawil mardho - saya ini Nabi, Nabi itu Ibarat dokter. Dimana-mana dokter itu mencari orang sakit".

Cerita Nabi Musa dan Nabi Harun, serta Nabi Isa dan Nabi Yahya diatas ini mashur, dalam kitab Thobaqhotul Asy fiha, yang di riwayatkan oleh Gurunya Imam Syafi'i. 


***

- DEFENISI ULAMA - 

Secara bahasa, Ulama Berasal dari kata kerja dasar : ' alima ( telah mengetahui), berubah menjadi kata benda pelaku : 'allimun (orang yang mengetahui - Mufrad/Singular), dan 'ulama (jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada Al-Qur'an dan Hadist. [1].

Secara Hakikat, taqwa tidak mudah dipakai untuk kategorisasi, sebab yang mengetahui tingkat ketaqwaan seseorang, hanyalah Allah. Penyebutan Taqwa disini hanya untuk memberi batasan bahwa ulama haruslah beriman kepada Allah dan secara dhohir menunjukkan tanda-tanda Ketaqwaan. Jadi, Islamolog yang tidak beriman kepada Allah tidak termasuk ulama. Untuk batasan kedua, ulama adalah mereka yang mewarisi Nabi. Ahli Tafsir Indonesia, Prof. Dr. Quraish Shihab menyatakan bahwa yang diwarisi Ulama dari Nabi adalah Ilmu dan amaliyahnya yang tertera dalam al-qur'an dan Hadist.

Dengan batasan ini, ahli-ahli lain yang tidak berhubungan dengan Al-Qur'an dan Hadist tidak termasuk dalam Kategori Ulama. Kyai Ahmad mengistilahkan kelompok ahli ini sebagai Zuama. Kata Al-Ulama dan Al-alimun berasal dari akar kata yang sama tetapi memiliki perbedaan makna yang sangat signifikan. Perbedaan makna ini dapat ditenggarai dalam Al-Qur'an, ketika Kata Al-Ulama disebutkan hanya 2 kali dan Kata Al-alimum disebutkan 5 kali sedangkan kata Al-alim disebutkan sebanyak 13 kali. [2].

Penggumaan kata Al-ulama dalam al-Qur'an selalu saja diawali dengan ajakan untuk merenung secara mendalam akan esensi dan eksistensi Tuhan serta ayat-ayatnya, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Ajakan permenungan terhadap ayat-ayat Tuhan ini adalah untuk mencari sebab akibat terhadap hal-hal yang akan terjadi sehingga dapat melahirkan teori-teori baru. Kata Al-alimum diiringi dengan usainnya suatu peristiwa dan Al-qur'an mneyuruh mereka untuk merenungi kejadian ini sebagai bahan evaluasi agar kejadian tersebut tidak terulang lagi.

Contoh pada tataran ini adalah ketika Al-Qur'an mengajak, al-alimun mengajak untuk memikirkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh ummat-ummat terdahulu disebabkan dosa yang mereka lakukan. [3]. Penyebutan kata al-alim dalam bentuk tunggal semuanya mengacu hanya kepada Allah dan tidak kepada Selainnya. Penggunaan kata ini diiringi dengam penciptaan langit dan bumi serta hal-hal yang ghaib dan nyata. Hal ini mengindikasi munculnya pengetahuan manusia berbarengan dengan muncul ciptaan-ciptaan Tuhan.

Azumardi Azra [4], membuat Kategorisasi ulama atas dasar Ilmu, secara Garis besar, sebagai berikut:

Pertama, Ulama Ahli Qur'an adalah Ulama yang menguasai ilmu Qiroat, asbabul Nuzul, Nasih mansuh, Dsb. Ulama Tafsir adalah bagian dari yang memiliki kemampuan menjelaskan maksud Qur'an.

Kedua, Ulama Al-Hadist adalah ulama yang banyak menghafal hadist, mengetahui bobot Keshahiannya, asbabul wurudnya (situasi datangnya hadist), Dsb.

Ketiga, Ulama ahli Ushuluddin adalah ulama yang ahli dalam aqidah Islam secara luas dan mendalam, baik dari segi filsafat, logika, dalil aqli dan dalil naqli.

Keempat, Ulama Ahli tasawuf adalah ulama yang menguasai pemahaman, penghayatan, dan pengalaman akhlaqul karimah, lahir dan batin serta mentedologi pencapaiannya.

Kelima, Ulama ahli fiqih adalah ulama yang memahami hukum islam, menguasai dalil-dalilnya, metedologi penyimpulannya dari Al-Qur'an dan hadist, serta mengerti pendapat dari para ahli-ahli lainnya.

Keenam, Ahli-ahli ulama yang lain ialah ahli dari berbagai bidang yang diperlukan sebagai sarana pembantu untuk dapat memahami Al-Qur'an dan hadist seperti bahasa, seperti ahli mantiq, sejarah, dsb.

Menurut kebanyakan orang, yang dimaksudkan ulama adalah orang-orang yang mumpuni dibidang agama, dalam hal ini Tafsir, tassawuf, aqidah, muamalah, dan sejenisnya bahkan ada yang menambahkan bahwa ulama adalah orang ahli dan memiliki pondok pesantren (sekaligus memiliki santri). Sedangkan ahli dibidang keilmuan yang lain, seperti : ahli bahasa, Sains, Teknik, politik, Ekonomi, yang notabenennya merupakan bidang ilmu yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk memahami Al-Qur'an dan hadist serta mendekatan diri kepada Allah, tidak disebutkan sebagai Ulama, melainkan sering desebutkan sebagai guru/Dosen. [5] yang lebih merepotkan istllah ulama yang berbeda dimasyarakat kita, seperti bebagai istilah lain , mempunyai "kelamin ganda" dan berasal tidak hanya satu sumber.

Pengertian ulama dalam Fiqih memang sangat spesifik, sehingga penggunaannya tidak boleh pada sembarang orang. Semua syaratnya jelas dan spesifik serta setujui oleh ummat islam. Paling tidak, ia menguasai Ilmu-ilmu tertentu, seperti Ilmu Al-Qur'an, Ilmu Al-Hadist, Ilmu Fiqih, Ilmu ushul Fiqih, Quwaid fiqiyah serta menguasai dalil dalil hukum baik dari Qur'an, sunnah. juga menguasai dalil, nasikh mansukh, dalil amm dan khash, dalil mujmal dan Mubayyan Dan sebagainnya. Dan kunci dari semua itu adalah penguasaan yang cukup tentang bahasa arab dan ilmu-ilmunya. Seperti masalah Nahwu, Sharaf, balaghah, bayan dan lainnya. Ditambah dengan satu lagi yaitu Ilmu mantiq dan ilmu logika ilmiah yang juga sangat penting. Juga tidak boleh dilupakan tentang pengetahuan dan wawasan dalam masalah syariah, misalnya mengetahui Fiqih-fiqih yang sudah berkembang dalam berbagai mazhab yang ada. Semua itu merupakan syarat mutlak bagi seorang ulama, agar Mampu Mengistimbath al-qur'an dan sunnah. [6].

Menurut kamus besar Bahasa indonesia, Ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. [7].

Sedangkan diArab sendiri, ulama (bentuk jamak dari kata alim) yang artinya "orang yang berilmu". Dalam hal ini menurut Imam Suprayogo[8] menegaskan bahwa selama ini pembidangan dalam agama islam, terutama seputara Tauhid, Fiqih, ahklaq, tasawuf, bahasa arab dan sejenisnya, telah berhasil melahirkan berbagai Sebutan ulama. Seperti Ulama Tafsir, ulama Fiqih, ulama hadist Tasawuf, ulama Ahklaq dan lainnya. Tetapi, tidak pernah dijumpai Ulama yang menyandang ilmu selain tersebut. Misalnya Ulama Matematika, Ulama Teknik, ulama Fisika, Ulama ekonomi, Ulama Politik dan sebagainnya. Mereka yang ahli dibidang tersebut hanya cukup disebut sebagai sarjana Matematika, Sarjana Fisika, Sarjana Politik, dan seterusnya. Para ahli dibidang ini dipandang tidak memiliki otoritas dalam ilmu keislaman sekalipun mereka beragama Islam dan juga mengembangkan ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.

Selama ini, defenisi ulama yang dikonstruk atau dipersepsikan oleh masyarakat adalah orang yang mengkaji Tafsir, Fiqih, Ahklaq, tasawuf, hadist dan sebagainnya. Berangkat dari hal ini, seharusnya ulama tidak hanya sebatas dilekatkan pada diri seseorang yang memahami Fiqih, Tasawuf, Ahklaq dan tauhid saja, melainkan orang yang mengetahui dan memahami tentang segala hal yang tekait dengan objek yang dikaji.

Jika demikian penggunaan arti ulama, maka ulama bisa dilekatkan pada berbagai orang yang mendalami ilmu tentang apa saja, termasuk misalnya Kedokteran, Ekonomi, politik, sains, Teknik dan bahkan juga seni dan budaya. Selanjutnya tidak didikotomikan lagi antara Intelek dan ulama, karena sejatinya Intelek yang ulama dan Ulama yang intelek tidak ada perbedaan. Konstruk dan persepsi yang berbeda terhadap fenomena yang sama tetapi berbeda objeknya saja ternyata terjadi dalam banyak hal. Mislanya, menggunakan istilah madrasah yang berbeda dengan sekolah, Guru dengan ustadz, Kitab dan buku, Asrama mahasiswa dengan pondok Pesantren, perpisahan dengan akhirussanah, dan lain sebagainnya.

Lalu Bagaimana dengan Ustadz?

Biasanya disematkan kepada orang yang mengajar agama. Artinya secara bebas adalah guru agama. Pada semua level. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa bahkan sampai kakek-kakek dan nenek-nenek. Namun hal itu lebih berlaku buat kita yang ada diindonesia saja, istilah ini walau konon berada dalam bahasa Arab, namun bukan asli dari bahas arab. Di Aceh sendiri, Istilah Ustadz Punya kedudukan yang sangat Tinggi. Hanya Para Doktor (S3) saja yang berhak digelari Al-Ustadz. Kira-kira memang artinya adalah profesor dibidang ilmu Agama. [9]. Jadi Istilah Ustadz ini lebih merupakan istilah yang digunakan didunia kampus di beberapa negeri Arab, ketimbang sekedar Guru agama biasa.

Sementara itu, Penceramah sebentuk Konsep yang identik dilekatkan pada Tabliqh-memang boleh siapa saja dan bicara apa saja. Dari masalah-masalah yang perlu sampai yang tidak perlu. Dengan merujuk lansung pada literatur hingga yang hanya opini saja. Bahkan acap Kali bersifat entertain-menghibur penonton- sehingga terkadang seorang penceramah, apalagi dengan kemajuan teknologi elektronik dan pertelevisian sekarang ini, cenderung berperan sebagai seorang "Penghibur". Bedanya denga para artis, Penceramah ini adalah "penghibur rohani". Biasanya ceramah mereka selain lucu, juga Komunikatif serta mengangkat Topik aktual. Sehingga yang mendengarkan betah duduk berjam-jam. Isu sisi positifnya. Sisi positif lainnya, penceramah model begini mampu merekrut massa yang lumayan banyak. Mungkin juga karena dibantu media. 

Tetapi, kekurangannya juga ada. Misalnya, Umumya mereka yang tidak tumbuh dan besar dengan Tradisi Keilmuan yang mendalam. Juga bukan jebolan perguruan tinggi islam dengan Disiplin Ilmu Syariah. Padahal point ini cukup penting, sebab yang mereka sampaikkan adalah ajaran Islam, tentunya mereka harus merujuk lansung ke sumbernya. Agar tidak terjadi keterpelesetan disana sini. Ya kedua, kelemahan Tokoh yang dibesarkan media akan cepat surut, sebagaimana waktu mulai terkenalnya. [10].

Namun lepas dari Keutaman dan kelemahannya, Para penceramah ini sudah punya banyak Jasa buat Umma dibangsa ini. Banyak orang yang tadinya kurang memahami agama, kemudian menjadi memahami. Yang tadinya kurang suka dengan Islam menjadi lebih suka. Semua itu tentu saja tidak bisa kita nafikan, Sekecil apapun peran mereka. Tentu bukanlah pada tempatnya jika mereka melakukan hal-hal yang kurang produktif, lalu kita mencemoohnya, memaki bahkan bertepuk tangan gembira melihat bintang mereka mulai pudar. Kekurang-setujuan kita dalam beberapa hal yang mereka lakukan, jangan sampai membuat kita melupakan jasa mereka selama ini. Bahkan belum tentu, jika kita sendiri yang berada pada Posisi mereka, kita akan mampu memenuhi Harapan semua orang. 

Dalam kata pengantarnya, seorang Cendekiawan Muslin Indonesia- Jalaluddin Rahmat, pernah menulis sebuah mengenai "Reduksi Makna dan Nilai seorang Ulama" karena Perubahan situasi, ia mengatakan :

" untuk konteks situasi saat sekarang ini, ulama pada hakikatnya bukan sekedar yang enak diorbitkan Media, tetapi mereka yang sekolah dengan serius ditimur tengah hingga mendapatkan Ilmu yang cukup. Lalu ketika pulang ke negeri ini, mereka bekerja dengan baik menyampaikkan kepada masyarakat. Mungkin tidak ada salahnya, jika setiap masjid berinvestasi melahirkan satu ulama. Bila kita baca sejarah Nusantara Masa Dahulunya, banyak Ulama-Ulama yang belajar ke Mekkah dengan Biayai oleh Masyarakat dikampungnya-walaupun untuk bekal keberangkatannya saja. Bahkan Tan Malaka, dalam sejarahnya pergi sekolah ke Harleem Belanda atas biaya orang Kampungnya (Orang Padam-Suliki -Bahkan Tan Malaka ketika Pulang ke indonesia masih berhutang pada orang-orang kampungnya: Penulis). [11].

Misalnya, dengan memilih Lulusan pesntren yang punya Nilai tinggi, untuk dibiayai sekolah S1 dan S2 ke Mesir, Saudi, Kuwait, Pakistan, jordania, Yaman atau Pusat-pusat Ilmu lainnya seperti Iran, bahkan bila perlu ada juga yang pergi menempa diri agama Islam ke negeri-negeri Barat, kenap tidak ?. Dengan asumsi 4 tahun lagi mereka akan selesai S-1. Itu saja jauh lebih lumayan ketimbang sekedar penceramah. Apalagi bila sudah bisa sampai S-2 atau S-3, tentu akan jauh lebih baik. Nantinya diharapkan Masjid-Masjid dipimpin oleh lulusan terbaik dan berkualitas seperti mereka. 

Mereka yang Jadi imam, mereka pula yang mengajarkan ilmu-ilmu dimasjid, dan mereka juga yang dijadikan rujukan dalam masalah agama. Orang-orang cukup dengan datang ke masjid untuk berkonsultasi masalah syariah. Dan itu bisa dilakukan setiap hari dalan tiap waktu sholat. Sebab, mereka memang dipekerjakan dan digaji oleh masjid, tentu dengan stabdar yang baik. 

Sehingga para Imam Masjid ini tidak perlu Nyambi menjadi Tukang Ojek, atau jadi Karyawan dipabrik atau diperusahaan tertentu. Waktunya bisa dimanfaatkan 24 Jam untuk Melayani Ummat dan beliau Stand by dimasjid". [12].

Terkait dengan Pernyataan Jalaludin Rahmat, salah seorang ulama Sekarang Ini Mengatakan :

" bila masyarakat datang ke masjid pada saat sekarang ini, mereka tidak menemukan Ulama tersebut, akan tetapi mereka hanya menemukan marbot. Lalu dimana ulama berada?, mereka bekerja mencari Nafkah, bila ceramah saja mereka datang ke masjid. Harusnya Ulama-ulama tersebut dibiayai oleh negara, sebagaimana yang terjadi diMalaysia. Hingga mereka bisa fokus melayani Ummat. Efeknya adalah Timbul persepsi ditengah-tengah masyarakat yang Cenderung menyederhanakan Ulama sebagai Profesi Pekerjaan ekonomis". [13].

----------

FooTnote

[1]. Yang sangat dikenal dalam hal ini adalah Innama Yakhsya min ibadihi al' ulama, Artinya "Sesungguhnya yang paling bertaqwa kepada Allah diantara HambanNya adalah ulama" (Q.S Fatir :28). Dan Hadist Rosulullah : Al' ulama Warosatul Al' Anbiya, artinya " Sesunggunbya Ulama adalah Pewaris Para Nabi". 

[2]. Lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, Bandung : Mizan, 1993, Hal. 61.  

[3]. Lihat Q.S Al-ankabut : 40-43.

[4]. Lihat Azumardi Azra, "Peran Politik Ulama Dalam Dunia Islam", Dalam Jurnal Islamika, Nomor 03/1997, hal. 11. 

[5]. Lihat Aditywarman, AD. " Peran Ulama dalam Budaya

[6]. Azumardi Azra, Op. Cit,. Hal.12.

[7]. Departemen Pendidikan Agama Islam Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta, Depdikbud RI, 1984, Hal. J.

[8]. Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam, Yogyakarta, IAIN Suka Pres, 1999, Hal. 16.

[9]. Ibid,. Hal. 74.

[10]. Untuk Kasus indonesia, sekarang ini banyak ulama-ulama yang melejit Namanya, yang Bila kita Jujur, bukan karena Moralitas dan Ketokohan apalagi Karya Keilmuan mereka. Tapi karena "Tentang market", Via Televisi. Femomena A'a Gym, Alm. Ustadz Jefri Al-Buchori (Uje), Alm. Ustadz Arifin Ilham, Ustad Maulana, Ustad Das'ad, Mama Dedeh, dan Lain-lain merupakan salah satu Contoh. Pembesaran Nama melalui Media itu memang demikian karakternya. Cepat membuat orang terkenal tapi cepat pula "dilupakannya". Yang dimaksud dengan Dilupakannya adalah bahwa media dengan Mudah menampilkan sosok baru. Dan sosok lama dengan sendirinya akan Hilang diperedaran. Kecuali pada tokoh yang dikenal memiliki karakter Kuat. Sehingga tidak lekang dilewati oleh panjangnya zaman. Kira-kira Seperti aktor Filem, ada Aktor yang bisa melewati tiga zaman, ada juga aktor yang cepat meroket namanya namun cepat pula hilang dari peredaran. 

[11]. Tentang Hal Ini, Lihat Poltzak, Tan Malaka, Terjemahan, Jakarta : Grafiti Press, 1985.

[12]. Jalaluddin Rahmat, " Ulama dan Defenisi Situasi : Reduksi Makna dan Fungsi" dalam Jajang Rokhayat, Ulama Politik dan Politisasi Ulama, Bandung : Lingkaran Pena, 2005, Hal. iii.

[13]. Bagian Ini dikutip dari Mas'ud Abidin, " Ulama dan Peran sosial", Dalam Padang Ekspress, Tanggal 27 September 2007. Walaupun bersifat Opini, bisa diambil kesimpulan bahwa Situasi sekarang Ini, telah menjadikan ulama sebagai profesi Pekerjaan Ekonomis. Dalam konteks teori Defenisi William Isaac Thomas Yang mengatakan bahwa " Relasi-Relasi dan Interekasi-Interaksi sosial Ekonomis dalam realitas sosial bisa menimbulkan persepsi yang bertolak belakang dengan Makna dasarnya". Ketidakmandirian Atau tidak independennya seorang Ulama-setidaknya Para Mayoritas Penceramah agama (Islam)-Membuat perena mereka Yang "bermartabat" pada Masa dahulunya, dipersepsikan masyarakat sebagai "lahan Profesi", yang berlaku didalamnya Hukum dagang : "Reward and Punishmant", Teori william Isaac Thomas, Bisa dilihat dalam Sumartono, Teori-Teori sosiologi-antropologi Mutakhir, Yogyakarta : UGM Press, 2005, hal. 104-116.    



***

- KITA ADALAH GENERASI ULAMA -

Ada perbedaan yang cukup signifikan antara Kiai dan Ulama, sebagaimana yang saya maksudkna diatas. Kiai adalah Isim, Ulama itu Musamma.

Kiai adalah isim, sebutan yang diberikan masyarakat terhadap seorang tokoh. Karena itu, sealim apapun seseorang, jika masyarakat tidak memanggilnya kiai, maka ia bukan kiai. Seluas apapun penguasaan Prof. Quraish Shihab di bidang tafsir al-Qur'an, beliau tetap bukan kiai karena masyarakat tidak memanggilnya kiai. Sedangkan ulama adalah musamma. Ulama bukan julukan atau pemberian masyarakat. Ulama terkait dengan keilmuan seseorang. Karena itu, orang yang memenuhi kualifikasi ulama adalah ulama, sekalipun masyarakat tidak menyebutnya ulama. Sebaliknya, orang yang baca al-Quran saja tidak bisa apalagi untuk membedakan mubtada' dan khabar, maka ia bukan ulama sekalipun televisi dan masyarakat telah menyebutnya ulama. 

Sesungguhnya pesantren-pesantren NU dan Sekolah-Sekolah Muhammadiyah itu dirancang untuk mencetak ulama bukan memproduksi kiai. Bahwa kelak sebagian dari mereka ada yang jadi kiai, maka itu bonus saja. Terlamapu banyak alumni pesantren NU dan Madrasah Muhammadiyah yang memenuhi kualifikasi ulama dan dipanggil kiai. Salah satunya adalah KH MA Sahal Mahfudz. Masyarakat memanggil beliau dengan sebutan kiai, karena itu beliau adalah kiai. Apakah Kiai Sahal seorang ulama?. Rasanya tidak ada yang meragukan keulamaan Kiai Sahal. Beliau telah menulis banyak karya, tidak hanya dalam bahasa Indonesia. Bahkan, sebagian besar karyanya adalah berbahasa Arab. 

Kiai Sahal adalah contoh anak kiai yang jadi kiai, anak ulama yang jadi ulama. Dalam kasus NU, banyak juga yang bukan anak kiai jadi kiai besar, dan bukan anak ulama jadi ulama besar. Misalnya, ayahanda KH Bisri Mustofa bernama H. Zainal Mustofa tidak dikenal sebagai seorang ulama dan tidak dipanggil kiai. Namun, sejarah mencatat, Kiai Bisri (Zainal) Mustofa yang di masa kecil bernama Mashadi itu akhirnya menjadi kiai besar dan ulama besar. 

Bahkan, putra Kiai Bisri sekaligus cucu H. Zainal Mustofa bernama KH Mustofa Bisri pernah menjadi Rais 'Aam PBNU dan cucu Kiai Bisri (cicit H Zainal Mustofa) bernama KH Yahya Cholil Staquf sekarang menjadi Ketua Umum PBNU 2022-2027.  Kalau mau ditambahkan adalah KH Afifuddin Muhajir. Beliau bukan anak seorang kiai dan juga bukan anak seorang ulama. Namun, kita tahu, Kiai Afif dipanggil kiai dan sekarang menjadi Wakil Rais 'Aam PBNU. Soal keulamaan Kiai Afif, saya kira sudah banyak orang membicarakannya. 

Walhasil, sekiranya Kiai adalah soal panggilan, maka ulama adalah soal kapasitas dan kemampuan. Kiai adalah isim (اسم) dan ulama adalah musamma (مسمى).


***

 - NU DAN MUHAMMADIYAH -

KH Hasyim (Hasyim Asy'ari) adalah pendiri NU. Pondok pesantrennya di Tebuireng, Jombang Jawa timur. Hampir semua Kyai pendiri pondok pesantren di Jawa, umumnya pernah belajar kepada KH Hasyim Asy'ari. Itulah sebabnya, Ia di beri Gelar Hadratusy Syaikh (Maha Guru).

Ada kisah menarik, waktu itu belum di dirikan Muhammadiyah Dan NU, dua ormas terbesar di indonesia.

Suatu ketika, ada Santri dari Kauman - Jogya, bernama "Basyir" mengadu menjelek-jelekkan KH. Ahmad Dahlan, di hadapan KH. Hasyim Asy'ari, gurunya. KH Ahmad Dahlan Adalah tetangga Rumah, Basyir. Yang waktu itu, KH Ahmad Dahlan baru pulang dari Mekkah dan dianggap mambuat ajaran Baru, sehingga memancing Keresahan Masyarakat di kampungnya, Kauman. 

Siapa Namanya?, Tanya KH. Hasyim. "Ahmad Dahlan", Jawab Basyir. 

Bagaimana ciri-cirnya, tanya KH. Hasyim Lagi. "Lalu, Santri Basyir menggambarkannya". Wah, Itu Kang Dahlan, Pungkas KH Hasyim.

KH. Hasyim Asy'ari Dan KH. Ahmad Dahlan adalah teman satu pondok pesantren, saat mengaji di pondok pesantren KH. Saleh Darat, di Semarang dan juga ketika mereka berdua menempuh pendidikan di Mekkah. 

"Tidak apa-apa, yang dia lakukan itu tidak salah. Kamu jangan ikut-ikutan memusuhinya", Kata KH. Hasyim.

Pada akhirnya, Basyir mendapat amanah untuk menemani perjuangan KH. Ahmad Dahlan. Tidak Hanya Basyir, tetapi Santri KH Hasyim Yang ada di Kauman, Jogya, yaitu Fahruddin juga mendapat perintah untuk menemani perjuangan KH. Ahmad Dahlan, sebagaimana Basyir.

Berselang satu Tahun kemudian, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhamnadiyah dan Salah satu sahabat paling dekatnya adalah Basyir. Yang menarik dari kedua murid, KH. Hasyim diatas, yaitu Basyir dan Fahruddin ialah mereka berdua permah menjadi orang nomor satu di Muhammadiyah. Anak dari KH. Fahruddin adalah A.R Fahruddin pernah menjabat sebagai ketua Umum di Muhammadiyah. Setelah itu di ganti oleh, Putra KH. Basyir, yaitu Ahmad Azhar Basyir, M.A.

Selain itu, KH. Basyir menitipkan anaknya Ahmad Azhar Basyir kepada Kyai NU, yaitu KH. Abdul Qodir Munawwir (Kakak Ipar Kyai Ali Ma'sum), di krapyak Jogyakarta untuk memperoleh pendidikan Al Qur'an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Bahkan Hampir bisa di katakan, bahwa Ahmad Azhar Basyir tidak pernah ketinggalan untuk membersamai pengajian KH. Ali Ma'sum di krapyak Jogya.


**

KH. Ali Ma'sum, KH. Ahmad Azhar Basyir dan Aziz.

Di suatu senja, seorang santri dari Pati, bernama Azis tiba di pesantren Krapyak setelah menempuh perjalanan beratus kilometer dari kediamannya di Utara Jawa Tengah. Ia merasa keletihan, akhirnya Aziz mencari tempat berteduh di celah sebuah pesantren untuk istirahat, sembari menunggu jeda Magrib. Maksud dan tujuan Aziz datang jauh-jauh ke krapyak adalah mengaji dan mendalami Keilmuan KH. Ali Ma'sum. 

Selepas berjamaah, Aziz bertamu ke rumah KH. Ali Ma'sum, memohon restu untuk belajar Ilmu di Pesantren Krapyak. Aziz memperkenalkan diri, bertukar kabar, hingga berkisah tentang perjalannya dari Pati sampai ke Krapyak. Bukannya lansung di terima dan di restui oleh KH. Ali Ma'sum. Justru KH. Ali Ma'sum menguji Aziz ; ia di perintah KH. Ali Ma'sum untuk meneruskan Bait Nazam Alfiah. Awalnya Aziz ketar ketir mendapat tantangan tersebut. 

"Ayo, coba lanjutkan Nazam ini", KH. Ali Ma'sun melantunkan sebait Nazam dan Aziz meneruskan. 

"Baik, sekarang di baca dari belakang", lanjut KH. Ali Ma'sum. Seperti tantangan pertama, aziz tangkas meneruskan bait-bait yang di ucapkan KH. Ali Ma'sum.

Merasa terkagum, KH. Ali Ma'sum lantas berujar ; " ya sudah, kamu ini tidak usah belajar agama ke saya. Besok pagi, setelah sholat subuh ikut saya, yah?". 

"Iya Kyai", Aziz menjawab gugup. Namun jiwa santrinya menuntun aziz untuk memilih Sami'na wa atho'na dan segera pamit untuk menyudahi perjumpaan yang begitu menggetirkan tadi. 

Sembari keluar dari rumah KH. Ali Ma'sum, aziz gusar dan terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri, "kira-kira besok pagi KH. Ali Ma'sum mau mengajak saya kemana Yah?". 

Esok harinya, Aziz diajak KH. Ali Ma'sum pergi. Mereka berdua berboncengan mengendai Vespa. KH. Ali menyetir di depan, Aziz di belakang semakin gusar, sebab pertanyaan dari semalam terus saja menggeliat di dalam pikirannya. Hingga vespa KH. Ali berhenti di depan sebuah rumah. KH. Ali turun dan masuk ke rumah, sambil mengucap salam, sembari tangannya mengetok pintu rumah. Tidak berselang lama, seorang membukan pintu, yang tampak adalah sosok orang tua gagah, bekaca mata dan berpenampilan rapih. KH. Ali lalu bersalaman, bertukar sapa dan berpelukan erat sekali, seperti bertemu sahabat yang begitu lama tak di temuinya.  Mereka bertiga duduk di ruang tamu, teh hangat dan hindangan ringan terpapar di meja. Aziz mendapati diruang tamu, buku-buku tertata dengan rapi di Rak. 

" Ini KH. Ahmad Azhar Basyir, sekarang Kamu ku titipkan di sini, belajar padanya. habiskan buku bacaannya", Pesan KH. Ali Ma'sum, pada Aziz. 

Seketika perasaan aziz menjadi kalut. Ekspektasinya yang menempuh perjalanan jauh dari pati ke krapyak untuk menimba Ilmu, pada KH. Ali Ma'sum, tetapi seperti ada takdir lain. Justru, ia di perintahkan belajar pengetahuan umum kepada Tokoh Muhammadiyah, KH. Ahmad Azhar Basyir.

Selang beberapa tahun kemudian, KH. Ali Ma'sum berniat mengambil Aziz di kediaman KH. Ahmad Azhar Basyir untuk kembali ke Krapyak. Begitu KH. Ali sampai di kediaman KH. Azhar Basyir, dia terkekeh saat mendapati Aziz sedang membaca buku di pelataran rumah KH. Ahmad Azhar Basyir. 

" wah, sekarang kamu sudah pakai calana, ziz?". Aziz diam tidak membalas, kepalanya merunduk dan tersenyum malu. Sedangkan KH. Ali, masih mengamatinya dari ujung kepala sampai ujung Kaki. Tidak berselang lama, KH. Ahmad Azhar Basyir mengenali suara tawa orang tersebut dan keluar rumah. Kembali mereka bersalaman, bertukar sapa dan berpelukan erat sekali, seperti sahabat yang begitu lama tak di temuinya. 

"begini Syir, sekarang anakku, aziz mau ku bawa kembali ke krapyak. Sekiranya sudah cukup dua tahun dia belajar di sini. Nanti, kalau terlalu lama, takutnya dia jadi Muhammadiyah". Akakakakaka...mereka berdua tertawa. Aziz tidak ikut tertawa, sebab ia merasa belum maqomnya mengikuti tawa dua ulama unggul dari NU dan Muhammadiyah itu. Masih dalam suasana tawa, KH. Ali berujar sambil telunjuknya menunjuk ke celana aziz ; lihat saja aziz, sekarang dia sudah pakai celana. Padahal sewaktu pertama kali ke sini, dia masih pakai sarung". Wkwkwkwkw...

Gelak tawa kembali membuncah di ruang tamu, sedang aziz hanya tersenyum sambil merunduk malu. 

Menurut Shohibul Hikayat, Santri Dari Pati bernama Aziz adalah Ayah dari "M. Imam Aziz" (Ketua PBNU dan Stafsus Wapres). Belakangan setelah di ketahui, bahwa KH. Ahmad Azhar Basyir, saat muda pernah di titipkan juga, pada KH. Abdul Qodir Munawwir, olehnya Ayahnya KH. Basyir untuk belajar Ilmu Al Qur'an sedangkan Ayah KH. Ahmad Azhar Aziz, pernah mengeyam pendidikan di pesantren Tebuireng membersamai Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy'ari. Tidak hanya itu, KH Ahmad Azhar Aziz, tidak pernah alfa mengikuti pengajian kitab kuning dari KH Ali Ma'sum. 

Setelah belajar di Krapyak, KH Ahmad Azhar Aziz, melanjutkan pendidikan di tremas pacitan dan lalu ke Kairo. Di Al Azhar-Kairo, KH Ahmad Azhar Basyir, berjumpa dan berkarib dengan KH Abdul Rahmad Wahid (Gus Dur). Sekembalinya dari Dari Kairo, KH Ahmad Azhar Basyir Menjadi ketua PP Muhammadiyah dan KH Abdul Rahmad Wahid Menjadi Ketua PBNU.

***

Ulama - Alim - Ahli adalah figur yang mengakar ke bawah, berurat pada Ummat. Bukan merambat dan menjalar keatas pada kekuasaan. 

Ulama adalah ia yang alim, tegas dan sederhana. Bukan yang bergelimang dalam gemerlap kemewahan dan Toleran pada kemungkaran. Lisannya adalah perisai bagi dakwah dan bukan tameng bagi kekuasaan. 

Sejatinya ulama ialah menjadi menara api ditengah kegelapan ummat dan sesekali menjadi menara air untuk menghilangkan dahaga spiritualitas ummat. Sebab, Saat seseorang mendalami agama, setan berusaha menggelincirkan dalam dua jalan: menjadikannya berlebihan atau menjadikannya mengurangi. Keduanya bisa sama-sama menjadi sebab bagi buruknya cara berislam.


*Pustaka Hayat
*Coretan Pena Nalar Pinggiran
* Rst

Tidak ada komentar:

Posting Komentar