Islam mengenal dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Keduanya bekerja sama dalam menerjemahkan konsep Tauhid sebagai satu-satunya kemungkinan tempat kembali bagi setiap manusia dan makhluk hidup lainnya.
Terma hari raya sebenarnya penerjemahan Kultural, sehingga belum tepat betul secara epistemologis. Arti "Raya" menjadi Tegas, ketika di ucapkan sebagai "perayaan". Ia merujuk ke suatu keadaan dan perilaku riang gembira, karena suatu kemenangan yang di wujudkan dalam bentuk pesta atau bahkan hura-hura tertentu.
Makanya, Kerap kali kita dapati Idul Fitri yang di laksanakan Masyarakat kita penuh dengan aksesoris kulturalnya. Padahal Substansi Idul fitri dan Idul adha bukanlah itu semua. Kedua-duanya adalah hari kembali.
Sama dengan Diksi "Qurban" itu sendiri tidak sama dengan Diksi "Korban", sebagaimana yang kita kenal dalam Bahasa indonesia. Korban berkonotasi negatif, karena Ia mengandalkan "pelepasan" sesuatu dari seseorang kepada orang lain melalui peristiwa yang sebenarnya tidak di kehendaki. Seperti, Korban perang, korban pemerkosaan, korban bencana dan seterusnya yang tidak di dukung oleh Hak Nilai.
Qurban adalah Menyampaikkan, bukan Memberikan sesuatu yang merupakan Hak "Milik", (dengan Tanda petik) kita kepada sesuatu, kepada orang, atau Kepada Tuhan, yang memang berhaq atas sesuatu itu.
Qurban, yang selama ini ‘diterjemahkan’ menjadi korban, sebenarnya bukan hanya menjadi berbeda. Tetapi, bertentangan Dan anehnya, kita menghayal saja terhadapnya.
Korban itu a victim. Kata dan konsep yang mirip dengan Korban itu ialah tumbal. Misalnya, Fulan dijadikan tumbal. Artinya, Fulan dikorbankan. Konotasinya negatif, fungsinya tersia-siakan, posisinya buruk. Sedangkan Qurban itu konotasinya positif, fungsinya bermanfaat, dan posisinya baik.
Nabi Ismail di-Qurban-kan, itu berbeda bahkan bertentangan dengan Nabi Ismail di korbankan. Ismail bukan tumbal, bukan di sia-siakan, melainkan di uji cinta kasihnya kepada Allah, di uji kepatuhannya dan tanggung jawab kemakhlukannya, serta di beri peluang untuk sungguh karib kepada sumbernya.
Tidak seorang pun mau di korbankan. Tapi setiap Muslim mendambakan qurban dan di-qurban-kan. Sebab dengan iman yang bulat, terbukti yang tersembelih adalah leher kambing.
Jika, Pemahaman ini, Kita Naikkan level Bahasannya atau Kita Uraikkan lebih dalam ; Ketika Nabi Ibrahim menyembelih anaknya dan Ismail merelakan Nyawanya untuk di sembelih, tidaklah berarti bahwa Nabi Ibrahim meng-qurbankan anaknya dan Ismail di qurbankan Hidupnya. Yang mereka lakukan adalah keikhlasan mereka "mengembalikan kembali milik Allah kepada Allah".
Penyerahan itu kelak di terjemahkan dalam berbagai metode peleburan, penyatuan atau bertauhid kepada, dengan, bersama dan bahkan "menjadi" Allah. Saya memberikan tanda petik pada kata Menjadi, karena pemahaman kebanyakan kita terbentuk pada biasnya belaka.
Untuk menyederhakan Uraian "Penyerahan Miliki Allah kepada Allah", kita Melipir sejenak. Manusia tidak pernah tahu menahu mengenai kelahiran dan hakikat "adanya". Ia tak punya niat merancang, bahkan juga tak pernah berniat bahwa ia akan terlahir menjadi seorang anak manusia atau menjadi putra ibu dan bapaknya, yang kemudian oleh kebudayaan di beri nama RST ; Rais Syukur Timung, Misalnya.
Kita, manusia tidak pernah - dalam arti sesungguhnya memiliki diri kita sendiri, serta apapun dalam kehidupan kita sendiri. Kita ada, karena ada sesuatu yang memungkinkan atau mengizinkan Kita untuk ada. Kita "memiliki" sesuatu dalam keberadaan kita, bukan karena Haq kita adalah memiliki sesuatu, melainkan karena ada sesuatu yang meminjamkan kepada kita.
Kita bisa menggerakkan Tubuh kita, bukan sejak semula Kita merencanakan dan menentukan bahwa kita bisa berjalan dan menggerakkan badan kita, melainkan karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkan kita bisa berjalan dan menggerakkan badan kita.
Sesuatu dengan " S" besar itulah, satu-satunya yang ada dan pasti ada. Yang sejati dan pasti sejati. Memiliki hak seratus persen untuk menagih atau meminta kembali segala miliknya. Kapanpun dan dimanapun, serta dengan cara yang bagaimanapun. Sebab, Hak Tuhan itu Gugur, jika ada manusia atau seseorang mampu menciptakan dirinya sendiri.
Dalam pemahaman seperti itu, maka Yang di Lakukan Nabi Ibrahim dan Ismail, "hanyalah" mengembalikan Hak Allah kepada Allah. Sebab, tak ada apapun yang hilang dari penyembelihan itu, karena memang aslinya mereka tak pernah ada dan tidak memiliki apapun, Termasuk "dirinya" sendiri.
Nah, Pangkal persoalan dalam sejarah ummat manusia adalah ketika sesudah melahirkan dan ada, setiap manusia memahami, "Barang Pinjaman" itu sebagai " barang Milik-nya". Nabi Ibrahim bisa sangat posesif terhadap Ismail, karena ia anaknya dan sangat di cintainya. Ismail juga di hinggapi "Rasa memiliki" atas dirinya sendiri, atas nyawanya, atas seluruh kehidupannya, bahkan atas sesuatu yang bisa di nikmatinya.
Maka ketika mereka mengikhlaskan "Milik" itu diminta kembali oleh Yang Maha Empunya, ibrahim dan Ismail mencapai Taraf "Fitri" dan sukses menghayati Makna Qurban, sambil sama sekali tidak merasa "mengorbankan diri".
Di titik pemahaman diatas, kita bisa menghimpun beberapa pertanyaan kritis. berdasarkan hak Historis apa kumpulan manusia menganggap diri dan bumi ini milik kita, sehingga lantas kita (Manusia) melahirkan sistem-sistem yang "mengatur Hak milik". Padahal, Idiom "pemilikan" itu adalah "bahasa negara" atau " bahasa hukum Formal", sementara Pinjaman adalah "bahasa agama".
Di sinilah, bahaya besarnya, apabila agama terlalu di lekatkan hanya dalam pemahaman sosiologis seperti itu. Ketika pertengkaran tentang "pemilikan" itu berkepanjangan, maka kita menemukan kerusakan dunia dan ledakan perang demi perang, sehingga umat manusia kehilangan cakrawala untuk mengadukan penderitaannya.
Kehidupan umat manusia dewasa ini terletak di tempat yang sudah berjarak teramat jauh dari kesejatian yang kita bisa pahami dari agama tentang kehidupan.
Misalnya, semangat Idul Fitri dan Idul adha bertolak belakang dengan "Egosentrisme" kerakusan atau monopoli ekonomi, bahkan segala bentuk primordialisme, ekslusivitas, dan kesepihakan yang lain dalam berbagai dimensi kehidupan.
Makanya, Ibrahim di perintahkan oleh Allah - Secara Administratif - Bukan menyembelih Ismail, melainkan untuk "menaklukkan" dan "memusnahkan kesepihakan egosentrisme rasa memiliki diri sendiri" dan rasa milik pada anaknya. Diri Ibrahim dan diri Ismail (anaknya) adalah milik Allah dan Niscaya Di kembalikan kepada Allah.
***
Manusia selalu di rundung problem bahasa. Bahkan pun para penyair, yang biasanya berada di dalam “istana” eksklusif yang jauh dari politik dan masyarakat umum. Dewasa ini problematika budaya-bahasa dan politik-bahasa berkembang dan membengkak sedemikian rupa, sehingga sangat menyempitkan kemungkinan kekayaan komunikasi.
Dulu penyair kontemplatif Goenawan Muhamad memberi dalil: "Musuh utama penyair adalah salah cetak". Kalau "binatang jalang" salah cetak menjadi "binatang jalan", atau "represi" menjadi "ekspresi", maka habislah semuanya. Tidak hanya penyair, semua penulispun mengalami tantangan yang sama.
Saya bukan benar-benar seorang penyair atau penulis. tapi sering di suruh bikin kalimat-kalimat yang nanti orang menganggapnya itu adalah puisi. Dan akhir-akhir ini rasa takut saya membengkak setiap kali hendak memutuskan menggunakan suatu kosa kata atau susunan kalimat. Ketakutan saya itu karena pada dasarnya saya sangat menghormati ajaran para leluhur bahwa dalam hidup ini kita harus lebih banyak mendengarkan orang dibanding membicarakan orang.
Allah saja sendiri sangat lebih menekankan fungsi sami’ (mendengar) di banding bashir (melihat). Jadi orang yang bicara apa saja selalu saya anggap penting, karena mereka sudah besar, sudah dewasa, sudah sangat mampu berpikir dan memutuskan segala sesuatu yang hendak di ungkapkan. Kalau saya acuhkan dan abaikan, itu kekeliruan sosial.
Suatu saat saya bikin kalimat: "Muhammadkan hamba ya Allah", Seseorang menuduh saya sok suci. Manusia biasa yang banyak dosa kok, kenapa mau jadi Nabi. Padahal yang dimaksud “muhammadkan hamba” adalah upaya dan doa permohon, agar Allah berkenan membantu kita memakai wacana kepribadian Muhammad untuk bisa kita terapkan dalam diri kita.
Allah sendiri bahkan kabarnya menciptakan manusia dengan formula seperti "miniatur" Dia sendiri. Itu berarti merupakan anjuran agar kelengkapan dan komprehensi-dialektis asma Allah kita jadikan acuan. Jadi, kita membina perilaku ini berdasarkan cakrawala karakter Allah sendiri. Ia rahman rahim, penuh kasih sayang. Tapi Ia juga bikin neraka, Ia juga qabidl (penahan rejeki), Ia juga syadid (penyiksa), Ia juga mutakabbir (pentakabur). namun semua watak yang dalam pandangan kita seolah negatif itu selalu berfungsi positif, karena diterapkan pada tempat dan konteksnya yang tepat.
Mentang-mentang kita menganut ajaran kasih sayang rahman rahim, maka lantas kita menolak bikin rumah penjara, mengampuni koruptor, membatalkan pasal-pasal hukum mengenai perampokan, penindasan atau kekejaman. Lembaga Pemasyarakatan itu bukan institusi kekejaman. Nerakanya Allah adalah wujud dialektis dari kasih sayangNya juga. Cara menyayangi anak yang bersalah adalah dengan menghukumnya.
Tapi hal-hal semacam itu tidak selalu gampang dijelaskan kepada manusia. Sehingga tatkala untuk Idul Adha saya mau bikin kalimat "Ismailkan hamba ya Rabb". saya begitu khawatir orang akan salah paham. Padahal maksud saya adalah kalau saya disembelih dalam pengalaman sejarah, saya mohon kepada Allah agar kambing yang tersembelih.
Gelar Nabi Ismail As adalah dzabihullah. Sembelihan Allah. Saya ingin sekali menggunakannya untuk judul suatu tulisan, namun dengan perasaan was-was. Apakah Allah tukang sembelih?. Apakah Allah itu Maha Jagal?, sebagaimana dalam konteks lain saya juga takut mengumumkan idiom wallohu khoirul makirin, Allah itu Maha Pemakar?.
Mungkin sudah ratusan kali kita mengkomunikasikan bahwa untuk urusan tertentu peradaban kita ini pra-Ibrahim. Kalau Ibrahim As. hidup sekarang dan pada suatu pagi menyembelih anaknya, para tetangga segera akan melaporkannya ke Polsek, atau mungkin langsung memukulinya sampai meninggal. Di zaman ini kita tidak memiliki perangkat ilmu pengetahuan dan tingkat legalitas hukum yang sanggup mengakomodasikan fenomena (vertikal) Ibrahim dan Ismail.
Jangankan fenomena penyembelihan. Sedangkan kita suatu hari nongkrong di dekat kandang kambing saja orang lantas menyimpulkan kita adalah kambing. Saya berpapasan dengan angin pada suatu siang dan bicara-bicara sejenak, orang di sekitar saya langsung menyangka saya masuk angin. Orang sekarang gila label.
Demikianlah saya senantiasa bersetia mendengarkan orang lain Dan itulah sumber pengetahuan hidup saya. Tapi susahnya, orang sering tak bisa diduga apa maunya. Pernyataan orang juga tidak selalu mencerminkan sikap dan kemauannya. Kalau seseorang bilang "Ais, kamu sekarang bukan temanku lagi", lantas saya percaya, saya terapkan hal itu, sehingga ketika bertemu di jalan saya tidak berani menegur dan tatkala dia membutuhkan pertolongan saya tidak menolong - ternyata reaksinya begini: "Kamu memang sombong! Kamu tidak berperikemanusiaan, tidak peka terhadap kebutuhan orang lain".
Bahkan ketika saya butuh pertolongan namun tidak merasa berhak minta tolong kepadanya, ia berkomentar: "Dia memang sok kuat. Egosentris. Tidak merasa bahwa orang hidup itu saling membutuhkan. Disangkanya saya sedemikian lemahnya sehingga tidak bisa menolong dia!"
Saya melihat itu semua adalah peristiwa cinta. Kalau kita tidak menimba, orang yang kita cintai dan mencintai kita marah: "kok tidak mau menimba ?". Kalau kemudian kita menimba, ia tuding: "Terpaksa ya menimbanya!". Lantas kita hentikan menimba, ia berkomentar lagi "Memang aslinya tidak mau menimba!". 😄🤣
Cinta itu terkadang over-sensitif. Kalau yang terlibat dalam percintaan adalah orang besar, lebih susah lagi. Kalau bersikap biasa-biasa saja, ia naik pitam: "Tidak tahu siapa saya ya! Belajar menghormati sedikit lah!", Kalau kemudian kita membungkuk menghormatinya, ia tuduh: "Menyindir ya! Saya tidak mau kau menghina dengan pura-pura menghormatiku!". Kemudian kita kembali bersikap biasa, dan ia menyerbu kita: "Dasar tak tahu diri!"
Lama-lama saya "curiga", kayaknya doa saya dikabulkan oleh Allah. Mudah-mudahan saya adalah the tiny Ismail yang sedang disembelih.
*Pustaka Hayat
*Rst
*pejalan Sunyi
*Nalar Pinggiran