Mengenai Saya

Rabu, 20 Juli 2022

SEPEDA DAN BERHALA MILINEUM

 

Ada Issu tentang, Sepeda akan di kenakan pajak. Yah, begitulah Jika Sesuatu tidak diperuntukkan bukan pada Nilai Gunannya?. 

Tradisi bersepeda di Indonesia, sebenarnya bukan hal baru, sudah berlansung lama, ditandai sejak zaman kolonial. Namun, saat itu hanya kalangan tertentu yang mampu membeli sepeda, sebab sepeda dianggap sebagai barang mewah dan menjadi simbol kekayaan seseorang dikala itu. 

Pasca Indonesia merdeka, semakin banyak orang yang menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi darat yang murah dan menyehatkan (olahraga).  Simpel saja, karena bersepeda mudah dan murah. Tanpa menentukan jenis sepeda yang dikenakan. Akhirnya Berbagai jenis sepeda pun muncul, seperti sepeda kumbang, sepeda jengki, sepeda unta dan sepeda ontel. 

Kini, tujuan bersepeda mulai bergeser, nilai gunannya di lacuri. Bersepeda tidak lagi sebagai sarana transportasi, tetapi sebagai style yang membentuk gaya hidup, terutama masyarakat kota. Dari gaya Hidup tersebut lahirlah berbagai komunitas-komunitas sepeda, yang membentuk kelas-Kelas sosial dimasyarakat.

Yah, Dulu sepeda asal jalan. Kini sepeda memberi tanda siapa yang berjalan. 

Hal itu mengingatkan kita pada diskusi yang telah Usang bahwa budaya Konsumerisme yang kian mengakar sampai di titik nadir masyarakat akar rumput, sungguh sangat memprihatinkan. Tugas kita hanya mengingatkan. 

Kira-kira Konsumerisme muncul sejak terjadinya revolusi industri di Inggris pada awal abad ke-19, Tolong Ingatkan saya jika Keliru.

Dalam revolusi industri digunakanlah teknologi baru sebagai proses produksi. Yang tadinya proses produksi memakan waktu lama, bisa lebih cepat dan menghasilkan produk dalam jumlah yang sangat banyak. Untuk menjual produk yang banyak, produsen memaksa masyarakat untuk membeli dengan menjadikan produk tersebut sebagai gaya hidup. 

Ketika menjadi sebuah gaya hidup maka produk akan cepat laku di pasar. Hal ini dikarenakan masyarakat kita membeli bukan lagi karena "butuh, tetapi karena ingin". 

Revolusi industri ini memunculkan apa yang disebut oleh Marx sebagai kapitalisme, yang membelah masyarkat menjadi dua kelas, yaitu kaum pemilik modal dan kaum buruh. Kapitalisme bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Oleh sebab itu, produsen sebisa mungkin memproduksi barang dalam jumlah banyak. Mereka tidak lagi menjual produk untuk sekadar memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi menjual produk untuk dijadikan lifestyle-Gaya Hidup. 

Namun "Baudrillard", seorang tokoh postmodern Prancis mengkritik pemikiran Marx yang bertutur bahwa suatu barang memiliki dua nilai, yaitu nilai guna dan nilai tukar. Ia menyatakan bahwa suatu barang juga mempunyai nilai simbolik. 

Kebanyakan kita mengkonsumsi suatu barang bukan karena nilai guna dari barang tersebut atau karena nilai tukarnya, tetapi untuk mendapatkan simbol. Maksudnya, barang menjadi simbol status sosial. Seseorang bisa mendapatkan prestise dari barang yang ia konsumsi. Mengutip Igauan Yasraf Amir Piliang bahwa "fenomena yang menonjol dalam masyarakat Indonesia dewasa ini yang menyertai kemajuan ekonomi adalah berkembangnya gaya hidup sebagai fungsi dari diferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi". Misalnya, orang yang menggunakan merek sepeda Brompton akan merasa kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang menggunakan merek sepeda kumbang atau mustang. Itu fakta, jangan Bohong?. 

Kita lebih memilih untuk mengunyah simbol dibandingkan dengan kegunaan dari suatu barang, inilah yang disebut Baudrillard sebagai "masyarakat konsumer". 

Kita tidak hanya mengonsumsi objek, tetapi juga makna sosial yang ada di balik objek tersebut. Dalam masyarakat ini, simbol bisa mengubah suatu barang yang fungsinya sama menjadi berbeda. Simbol juga bisa membuat seseorang melakukan pengorbanan yang besar untuk sebuah konsumsi yang fungsinya tidak terlalu berarti. Hal ini terjadi karena logika konsumsi yang mereka lakukan bukan lagi karena kebutuhan, tetapi karena hasrat-Syahwat-Keinginan-Nafsu. 

Kawan, Saya hampir 9 Tahun bersepada, bahkan saat SMP punya Komunitas sepeda di landak Baru. Hampir setiap Malam mingu melipir disetiap lekuk kota Makassar dan Singgah dipelataran Jalan-Jalan Protokol, menonton Atraksi sepeda karib kerabat. Dulu Dirumah, saya tidak kewalahan Mencari sepeda karena hampir semua jenis sepeda ada, sekitar 7-8 sepeda, karena sepeda digunakan sebagai sarana Untuk mengantar Koran Harian Pedoman Rakyat (loper). 

Kini, sepeda-Sepeda itu sudah tidak ada, habis di timbang sebagai besi tua.

NB ; Di Publikasika Pada Tanggal 5 Agustus 2020 Di Akun Kompasiana RST


*Pustaka Hayat
*Rst
*Pejalan sunyi
*Nalar Pinggiran

Rabu, 13 Juli 2022

AKANKAH NASIB RU'YAT DAN HIZAB SERUPA DENGAN GEREJA KATOLIK - SAYA HANYA BERTANYA ; DIALEKTIKA


Hizab dan Ru'yat itu metode, bukan bagian dari paket ibadahnya. Masalahnya apa?. Tidak ada masalahnya. Hanya saja, kita niscaya mendalami betul maksud Hadist yang di jadikan dasar Hukum "inna ummatun ummiyyatun, la naktubu wa la nahsubu. Al-Syahru hakadza wa hakadza wa asyara biyadihi". Barulah kemudian Tsumu li Ru'yati. 

Nah, jika Ru'yat atau Hizab di pahami sebagai ibadah, maka Menjadi Ummi pun adalah Ibadah. Karena hadistnya satu kesatuan. Menjadi Ummi itu Mustahil, sebab di banyak hadist kita di arahkan menjadi Ummat yang pintar dengan menggunakan kemampuan Intelektualitas kita. 

Hal ini bukan juga sebuah sandaran Final untuk menolak Pijakan lainnya, tidaklah demikian cara kita memahaminya. Sebab, hal ini hanya perbedaan cara pandang saja. Maka saya secara pribadi melihat, bahwa yang paling ideal di era Nabi adalah praktek Ru'yat. Tetapi, dalam konteks sekarang, untuk memudahkan, seperti halnya Sholat. Maka, metode Hizab, akurasinya lebih tepat.

"Copernicus" tidak menghiraukan yang menolak gagasan barunya mengenai alam semesta. Yaitu bahwa Matahari adalah pusat alam semesta, sedang Bumi dan planet-planet lain beredar mengelilinginya. Gagasan Copernicus itu kemudian dibuktikan oleh Galileo Galilei.

Tahun 1609 tersiar kabar ada orang Belanda berhasil membuat teropong (teleskop). Pembesarannya baru sekitar dua atau tiga kali. Galileo tertarik dengan perkakas itu dan terus melakukan eksperimen. Pada akhir tahun itu, dia berhasil melakukan pembesaran hingga 20 kali. Dengan teropong itulah dia membuktikan teori geosentris (Bumi adalah pusat alam semesta) dari Aristoteles adalah keliru. Dia menyatakan bahwa Matahari adalah pusat semesta. Bumi, bulan dan planet lain beredar mengelilingi Matahari. Galileo diadili oleh Gereja. Dihukum dengan hukuman tahanan rumah, dilarang menyiarkan pikirannya yang bid'ah dan meninggal sebagai saintis dalam status tahanan rumah.

Menurut Stephen Hawking, Galileo adalah penyumbang terbesar bagi dunia sains modern. Dia menerobos gagasan geosentris (Bumi adalah pusat alam semesta) dari Aristoteles. Konfliknya dengan Gereja Katolik Roma adalah contoh awal konflik antara otoritas agama dengan kebebasan berpikir (terutama dalam sains) pada masyarakat Barat. Itulah pertama kali sekularisme terjadi. Agama dan sains berjalan di relnya masing-masing. Berpisah dan tidak saling berdialog.

Baru pada tahun 1992, setelah 350 tahun Galileo meninggal, Paus Yohanes Paulus II menyatakan secara resmi bahwa keputusan penghukuman Galileo adalah salah, dan dalam pidato 21 Desember 2008 Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa Gereja Katolik Roma merehabilitasi nama Galileo sebagai ilmuwan. Begitulah Gereja Katolik setelah abad-abad yang silam - menolak sains. 

Sekitar 1000 tahun setelah masa Aristoteles, atau 1000 tahun sebelum masa Galileo, di Arab Saudi, untuk keperluan menetapkan 1 Ramadan untuk berpuasa, Nabi Muhammad saw. membimbing kaum muslimin dengan sabdanya, "Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah menyambut bulan baru," (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim).

Sebagaimana yang saya sampaikkan diatas, bahwa Pada masa Nabi, beliau menggunakan rukyatul hilal, melihat penampakan bulan sabit dilakukan dengan mata telanjang, pada saat matahari terbenam (magrib). Sekarang mata telanjang dibantu dengan alat optik, teleskop dan peralatan yang canggih. misalnya, memperhitungkan sudut azimut dan elongasi benda-benda langit itu. Dikatakan pula bahwa jarak ideal mata telanjang bisa melihat hilal adalah tujuh derajat. Jika kurang dari itu, maka diperlukan alat bantu teleskop. Penggunaan alat ini pun batasnya pada sudut tiga derajat. Kurang dari itu, hilal tidak akan terlihat karena terlalu dekat dengan matahari. Itulah kelemahan Ru'yat.

Metode Hisab yang memakai ilmu matematis dan astronomis, tidak terganggu dengan kelemahan metode Ru'yat. Hisab lebih akurat, pasti, dan canggih untuk menetapkan penampakan hilal. Sesuai dengan sifat sains, yakni semakin akurat, pasti, dan canggih, saya yakin metode Ru'yat tidak akan pernah mengungguli metode Hisab. Ru'yat hanya bertahan karena rasa plong saja beragama kalau melihat dengan mata kepala, meskipun akan berakibat melahirkan lebaran kembar, seperti sekarang. Sehingga ada kelakar bahwa "kini waktu sungguh sangat cepat, kemarin kita lebaran, hari ini kita lebaran lagi".

Setelah berlalu 1400 tahun Ru'yat dengan mata telanjang berlalu, dan melewati abad-abad Ru'yat dibantu oleh sains seperti teleskop dan lain-lain, kenapa tidak sepenuhnya bergeser kepada sains untuk dipakai di dalam memudahkan agama dan ibadahnya dilakukan. Gereja Katolik butuh waktu 350 tahun untuk mengakui kekeliruannya terhadap Galileo sebagai wakil sains. Apakah Ru'yat masih butuh zaman yang lebih panjang lagi untuk tetap tertinggal oleh Hisab, karena enggan menerima kebenaran sains guna membantu agama? Saya hanya bertanya!

Makanya saya secara Pribadi, melaksanakan Idul Adha Tadi pagi 10 Dzulhijjah, besoknya Baru saya Lebaran. Sedangkan Ayah, ibu dan beberapa Adik-adik, insya Allah melaksanakan idul adha dan Lebaran Besok, yang juga sama-sama tanggal 10 Dzulhijjah. 

Artinya, indonesia mengalami dua kali 10 Dzulhijjah. Tidak jadi soal, Sebab Yang Esensial adalah Idul Adha. Sedangkan Lebaran boleh Kapan saja, bahkan boleh tidak berlebaran sama sekali. Sebab, Yang telah di tentukan waktunya adalah BerIdul Adha, yaitu 10 Dzulhijjah. Sama dengan Tidak semua Yang Berlebaran itu pasti berIdul Adha. Tetapi, yang Beridul Adha boleh berlebaran dan boleh tidak berlebaran. Seperti saya Hari Ini Idul Adha, besoknya Baru Makan Daging 😄.

Terakhir, Berhentilah menggiring opini publik bahwa Yang BerIdul adha tadi adalah Kelompok yang anti pemerintah - Tidak Taat Pada Amir - Pemimpin. Menurut saya, Ini narasi yang berbahaya sekali. Toh, penetapan 10 Dzulhijjah tadi pun berpijak pada dasar hukum yang sangat Santifik, kuat, tepat dan akurat. 

- Mohon Maaf Lahir dan Batin Ya Guys 😉🤭-

#Rst
#NalarPinggiran

POLITIK ITU SUNYI II ; CATATAN POLITIK IDENTITAS 

Sebelum kita Uraikkan, tentang sirkulasi politik di Indonesia. Mari kita bukan lembaran-lembaran perjalanan sejarah politik kita, tidak perlu jauh-jauh. Cukup 20 tahun terakhir. lalu, fokus pada beberapa orang tokoh.

Ada nama-nama : Amien Rais, Gusdur, Megawati, SBY, Prabowo, Yuzril Ihza Mahendra, Surya Paloh, Jokowi, Abu Rizal Bakri, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Habib Riziek Shihab, Ahok, Anies Baswedan dan seterusnya.

Lalu, lihat partai politik seperti Golkar dan Parpol-parpol yang di lahirkan oleh orang Golkar, seperti ; Hanura, Gerindra dan Nasdem. Lihat Pola PPP, PDI-P, PBB, DEMOKRAT, GERINDRA, dst.

Kemudian, lihatlah dalam berbagai Masa, kurun waktu 20 tahun terakhir. Mereka saling Bertukar posisi. saling "berkawan" lalu "lawan". Saling bersebrangan jalan. lalu, bertaut kelingking seperjuangan. membentuk koalisi, lalu bubar. Menyebrang ke koalisi lain yang awalnya tidak mau bergabung. Dulu pendukung fanatik, lalu lawan militer, kemudian berkawan lagi atas nama satu visi misi. Di tingkat Nasional berkawan sambil lantang berucap "ideologi kami sama", sedangkan di tingkat daerah, berlawanan sambil meneriakkan "ideologi kami tidak sama", membingungkan. blaa..blaa..blaa, dst.

"Tidak ada yang mustahil dalam politik. Segala sesuatu adalah permainan". Dalam politik itu biasa.

Di beberapa Tulisan saya yang menyoal soal-soal seperti ini, saya pernah mengulasnya dalam spektrum yang lebih luas. selepas berdiskusi dengan kawan-kawan dan setelah membaca Karya Khomeini dan Moh. Natsir. Perbincangan politik global yang melibatkan Tokok-Tokoh politik Islam.

Politik itu hanya diikat oleh satu kata yaitu kepentingan. Agama dan ideologi, hanya penguat dan perekatnya saja. Bila kepentingan dirasa sama. maka, semua ideologi terasa jadi karib. Beberapa kawan berkata ; " mana bisa komunisme satu biduk dengan agama atau utara dengan selatan satu biduk, bro"?.

Cukuplah eksperimen politik Soekarno menjawabnya, Nasakom, bro. Nasionalisme agama dan Komunisme disatu padukan menjadi satu paket dengan aura revolusi.

Hal itu juga bisa kita lihat, bagaimana mungkin Iran menyatu dengan Arab saudi dan AS?. Kalau sekarang, iya tidak menyatu. Tetapi Dulu, sebelum tahun 1979, Jimmy Carter, presiden AS pernah mengatakan bahwa ; "sahabat terbaik saya diTimur tengah adala Syah Reza Pahlevi (Kaisar Syahansyah Iran), Menachen Begin (PM Israel), Anwar sadat dan Arab Saudi". Bahkan kedatangan Raja Iran ke Saudi maupun AS, selalu disambut dengan "Karpet Merah".

Kepentingan yang menghadirkan semua itu. Lebih spesifiknya, bisnis. minyak, bro. Ketika keutungan tidak lagi saling menguntungkan, Iran bagi AS dan negara-negara sekutunya adalah menjadi salah satu negara "poros setan", istilah yang dikeluarkan oleh George W. Bush Jr.

Saddam Husein selama Hampir 10 tahun menjadi Harapan besar bagi AS dan sekutunya (Eropa dan Timur Tengah) untuk menghancurkan rezim Demokratis-teokratis Iran. Seluruh biaya dan sumber daya diberikan kepada Saddam Hussein. Pembunuhan Suku Kurdi dan warga syi'ah di irak dilakukan oleh Saddam Hussein, kala itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar. karena Saddam putra Tikrit ini sedang menjalankan sebuah misi besar yaitu mengembalikan kejayaan kekaisaran persia yang direbut oleh Ayahtullah Ruhullah Khomeini. Tapi, Saddam gagal. Akhirnya Saddam di musuhi, dibunuh dan dianggap pemimpin jahat. Pembenarannya, disusun belakangan, pokoknya Saddam Harus tumbang. Apalagi ditambah Saddam mulai menaikkan "daya tawarnya" ketika mencaplok kuwait dengan alasan Historis.

Dari pangkalan militer AS di Arab Saudi, Saddam di gempur oleh Bush Senior. Jendral Norman Schwarzkofp memimpin operasi yang di namakan badai gurun itu. Kuwait bebas, Saddam terkucil dari politik dunia, khususnya pergaulan antar negara di timur tengah, Saddam di tinggalkan.

Setelah Bush tidak lagi menjadi Presiden, Clinton menjadi Presiden 2 periode. Saddam Masih eksis dengan keterkucilannya. Tapi, Saddam tidak memberikan konsesi eksplorasi ladang-ladang minyak kepada negara-negara barat. Tersebabkan ini pula, Bush Junior, anak dari Bush senior, yang kedua-duanya adalah Presiden AS, negara yang merupakan sahabat Karib Saddam Hussein tahun 80-an, bernafsu menguasai irak. Maka, pembenaran di cari dan dibentuk. " Saddam Diktator bin mengalomaniak dan pembunuh Rakyat". Demikian kata Bush Junior, anak dari Bush Senior.

Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja disana, tapi juga kepentingan.

Pakem paling universal dalam politik itu terformulasi dalam kalimat " tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik, justru yang abadi adalah kepentingan". Politik kepentingan pada dasarnya mengalahkan ideologi, golongan bahkan partai itu sendiri (betapa banyak politisi yang pindah-pindah partai). Itulah sebabnya, jangan pernah membenci kawanmu karena berbeda pilihan politik. 

Bila berbeda sikap dengan kewajaran. Karena yang kita perdebatkan justru bisa berbeda-beda tempat, nantinya kita akan terkejut. Ternganga, marah, kecewa dan sedih. Sementara ada pihak lain yang lebih kecewa yaitu kawanmu yang kau hujat dan kau hina karena berbeda pilihan politik.

Kita marah-marahan, tidak berteman. Bahkan Mendikotomikan kawan-kawan ; ini waras, ini gila. Ini akal sehat, yang itu agak putus tali sarafnya dua setengah lembar. Kita bersitegang urat, berdebat kusir, carut marut keluar. isi dapur rumah orang tua, dikasih keluar semua. Orang-orang yang menjadi episentrum perdebatan kita itu, bisa gonta ganti posisi. Gonta ganti kawan sambil ketawa ketiwi.

Sementara kita?. Terlanjur memutuskan persahabatan.

Sirkulasi politik itu rutin. Kadang beberapa belas purnama, tidak pernah lebih dari 5 tahun. Mereka kembali beradaptasi. Sementara "luka" yang tertoreh pada diri kita dan kawan-kawan kita, justru akan bertahta dalam waktu yang demikian lama. Mereka dapat kekuasan, kita kehilangan kawan. Persahabatn yang kita bina demikian panjang, putus dan sobek oleh mereka yang naik "di tengah jalan di hatimu" serta " Say hello" dan hanya menyapa sambil berlalu.

Mengharapkan batu permata, batu kali ditangan kau lepaskan. Kan Dompala namanya itu.

**

-ISU-


Terkadang kita terkejut melihat realitas politik hari ini. Sebuah isu yang dulunya tidak muncul pada rezim sebelumnya, sekarang dimunculkan. Isu yang sekarang tidak ada, justru di rezim sebelumnya dijadikan perbincangan publik. Kadang-kadang yang menaikkan isu itu, justru kelompok yang sama.

Sebagai contoh : sekarang isu militerisme tidak begitu "seksi : sensual dan eksis", justru mendapat tempatnya pada rezim sebelumnya. HAM tidak lagi menjadi pembahasan serius, sebagaimana masa lalu. Contoh yang lain, cukup banyak untuk diketengahkan.

Kadang kita terbawa perasaan - baper istilah kami, anak muda. Terlampau fanatik terhadap sebuah isu politik, sehingga menghakimi pihak lain yang menganggap isu politik tersebut hanya sebagai dagangan politik semata dari sebuah praktek politik praktis. Sebuah praktek politik yang tak selamanya luhur. Sebuah praktek yang didalamnya ada transaksi. Sebuah praktek politik yang juga dibungkus dengan sandiwara politik. Fiksi.

Dalam kajian mengenai Indonesia, pernah ada analisis menarik dan cemerlang dari "Bennedict R.O.G. Anderson" tentang hal ini. Politik sebagai sebuah fiksi. Demikian pula dengan antropolog "Clifford Geertz" yang membicarakan negara sebagai sebuah teater dengan acuan empirik Bali pada abad ke-19. Bahkan "Earving Goffman" memperkenalkan istilah "panggung depan" dan "panggung belakang" (Dramaturgi) dalam melihat motivasi interaksi dalam dunia politik.

Pada hakikatnya, sudah cukup lama ranah politik tersebut dikiaskan sebagai sebuah panggung teater ataupun sandiwara. Bahkan bukan hanya ranah politik saja, seluruh entitas kehidupan masyarakat juga berlaku hal yang demikian.

Dalam dunia politik dan dunia teater atau sandiwara terdapat tokoh-tokoh dengan hasrat yang tidak terlalu dan tidak selalu sama. Ada pertentangan. Ada konflik. Disana juga ada dialog, peristiwa dan perilaku. Tentunya dan pasti ada alur cerita. Tawa dan tangis, suka dan duka cita silih berganti. Ada kepalsuan, kepahlawanan, pengkhiatan dan kejujuran. Bahkan ada penaklukan dan penguasaan. Ada kepatuhan dan perlawanan, dalam beragam derajat tentunya.

Tapi, sekali lagi, benarkah politik itu teater, panggung sandiwara, fiksi atau sinetron?.

Politik adalah medan adu kepentingan dan kekuasaan yang sangat praktis, who get what how and when, kata "Harold Laswell". Dan selalu ada panggung depan, ada panggung belakang. Arti kata, di depan "berdarah-darah", di panggung belakang ; eh "bertaut kelingking", sedangkan kita, Ya KITA. sudah terbawa perasaan. Menyapa pun tak mau.

"lalu anda ?".

Ya, santai aja.  Apa yang bisa menjelaskan Anies Baswedan 2017 dibandingkan Anies Baswedan 2014-2016 yang lalu Atau Risma di tahun 2017 di bandingkan Risma di tahun 2021. Kliping-kliping beraurakan "tenun kebangsaannya", hingga hari ini masih saya baca. Atau Ruhut Sitompul ketika Bapak SBY jadi Presiden dan Ruhut Sitompul dikala Bapak Jokowi memimpin negeri ini.

Bagi saya, sebuah isu yang dibungkus dengan nuansa politik, maka tak kecil kemungkinan, isu tersebut berada dipanggung depan, yang terus-terusan di Framming. Padahal, ada kompromi-kompromi di panggung belakang. Setidaknya demikian kata teks :). Perjalanan waktu, memberikan contoh-contoh. 
Benar tidaknya, terpulang pada kita semua. Karena itu bagi saya sederhana. Silaturrahmi di atas segala-galanya. Walapun kita berbeda pendapat. 

**

- ISU IJO DAN ISU PKI-

Mari kita, lacak untuk konteks Indonesia. Sependek pengetahuanku, Isu PKI tidak efektif mendiskreditkan PDI-P dari aspek politik. Khususnya, elektabilitas. kita lihat Dari 5 kali Pemilu, pasca Orde Baru, PDI-P adalah partai politik yang sering menjadi pemenang. Pemilu 1999, 2014 dan 2019. Selebihnya nomor 2. Buka saja arsip berita sejak 1999 diberbagai media massa, berkenaan dengan isu, hampir selalu sama.

Politik adalah ajang kontestasi. Tujuannya jelas, kekuasaan. Pasca Orde Baru, politik di Indonesia, kental dengan politik akomodatif. Ideologi yang menjadi basis masing-masing partai politik, biasanya akan menjadi "cocok" ketika kontestasi elektoral selesai, pembagian kekuasaan kemudian di bicarakan. Di negosiasi. Akhirul kalam, awalnya berbeda, ujungnya di paksa "sesuai", "seperjuangan". sevisi dan sejenisnya.

Kembali ke PDI-P. Partai yang dianggap dekat secara politik dengan nama besar Soekarno ini, tetap saja jadi nomor 1 atau 2, bila hanya isu ke isu itu saja yang di alamatkan padanya. Secara historis-sosiologis, isu ini akan mentah karena figur Soekarno yang di milikinya. Suka atau tidak suka demikian fakta historis genelogisnya. Ini yang tidak dimiliki partai lain. Partai ini memiliki pendukung fanatik. Secara demografis jumlahnya sangat banyak. Soliditasnya tinggi.

Nama besar Soekarno, itu kekuatannya. Perekatnya. Partai lain, tidak memiliki "nama besar". Perekat banyak di figuri pendiri. Redup pendiri, redup pulalah ia.

Oke, ada yang bilang PKI. Disisi lain, akan ada counter nama besar Soekarno yang memiliki jasa besar bagi republik ini. Apalagi, dalam konteks geopolitik maupun politik global, isu komunisme bukanlah isu seksi secara politik.

"Kedepan, para politisi-politisi kita niscaya menukar isu yang langsung menyentuh ekspektasi publik. Atau, bersatulah wahai partai politik berbasis Islam. Kalau bersatu, kans mengalahkan PDI-P, serta Golkar bisa besar.

"Tapi mungkinkah ?".

Entahlah. Sejak Pemilu 1955, keinginan seperti itu, ibarat mimpi. Entitas sosiologis historis ummat Islam Indonesia, beda dengan muslim Malaysia yang cenderung homogen. Kita sangat bervariasi - heterogen. Segmentasi sosilogid historisnya terasa kental.

"Lalu ?".

Cara lain, daripada biduk partai dan ormas "hijau" tidak pernah satu perahu. ya, ambil alih itu perahu-perahu besar. PDI-P maupun Golkar. Bila perlu "hijaukan !". Bukankah ketika di akhir kekuasaan Soeharto, melalui Habibie, Golkar dan senayan bisa "di ijo royo-royo kan?".

Selain filosofis, Platform itu penting. Dalam bisnis Barangkali, kalau dalam Politik: politik kita memakai "aji Mumpung". politiknya tergantung arah angin.

Manusia politik adalah manusia kepentingan sesaat. cara berpikirnya, Cara berpikir Lonte. Kebutuhan sesaat, kalau mau ngewek saja.

Hal ini pernyataan telanjang saya, jika politisi kita tidak menjadi bersih dan seorang yang negarawan. Kita buktikan bahwa banyak politikus saat ini yang belum menjadi negawarawan?.

kita lihat, nama pensiunan Tentara Seperti Prabawo, SBY, Wiranto dan HendroPriono, semua Jendral tetapi mengapa partainya Juga 4 : Gerindra, Demokrat, Hanura dan PKPI. Yang penguasannya adalah mantan petinggi tentara.

Lalu partai berbasis agama :PKS, PAN, PKB, PBB dan PPP. Sama agamannya. tetapi, kenapa partainya banyak. Karena, Tidak punya Platfrom yang samakah, Bukankah agamannya sama?. Juga partai para Pensiunan Tentara, yang buat partai, Sama-sama tentara, sama-sama Tamatan Tidar, sama-sama bersama -sama?. Kenapa mesti membuat partai yang berbeda. Berbeda Platfrom kah atau berbeda Egonya?.

Kemudian Partai Nasionalis seperti : PDIP, Nasdem, Golkar. Apa bedannya?. Golkar berkuasa, yah begitu juga arah kebijakannya. Ganti PDIP, begitu juga. Ganti Demokrat, Sama saja. Apa yang berbeda?. Kebijakannya sama. Jadi, memang partai-partai kita Tidak punya platform. Ikut-ikutan semua, sesuai kebutuhan dan kepentingan pada saat itu, bukan sesuatu untuk kebutuhan bangsa dan negara dalam jangka panjang.

Kita contoh Single partai Country. China punya Platform solid dan platformnya sekarang bergeser. Platformnya jelas, PKC (Partai komunis China), kalau kita mengatakan bahwa china itu komunis, kita salah. Kita termakan Hoax dan kebencian kampanye masa lalu. Kasihan itu otak. Pemahaman yang digeneralisir dan diulang-ulang terus menerus itu adalah propaganda. Dan propaganda pasti memiliki niat.

China itu adalah negara Sosialis kapitalis, ideologinya adalah One bealt One Road. Komunisme hanya salah satu "Tool", hanya salah satu sumber kendali mereka untuk masyarakat. Sementara Rakyatnya, mau bergama, mau agnostik, mau kapitalis, Mau proletarian, China tidak perduli itu.

Amerika Lain lagi, kalau partai Barack Obama, Demokrat berkuasa, kebijakan perangnya pakai "Proxy". Perangnya pinjam tangan orang, dalam Jurus Perang sun Tzu Dikenal dengan terma ; "meminjam belati lawan untuk membunuh Musuh". Kebijakannya Heavy on government, pajak tinggi. Kalau Republik berkuasa, partainya seperti Trump. Perangnya "Konfrontatif". Kebijakannya Direct War, Heavy on private, ukm pesta pora, pajak kecil. Dan UKM bisa menjadi konglomerat dengan cara Partai Republik.

Platform berpolitiknya jelas, mengelola negaranya jelas.

Kalau dindonesia, ganti presiden. tergantung pilihan orang sekitarnya. tergantung kepentingan dan kebutuhan saat itu dan tergantung maunya Oligarki, segelintir orang yang menang Pilpres. Akan sama antara partai apapun yang berkuasa. Karena, Partai dindonesia Platform partainnya tidak jangka panjang.

Platform partainya sederhana sekali yaitu bagaimana menguasai wilayah dengan menang pilkada, menguasai Legislatif. lalu, menaruh orangnya di senanyan dan DPRD. Bagaimana cara Menjadikan Presiden yang Ujungnya adalah menguasai anggaran.

Apa namanya kalau Bukan Otak Lonte?.



-- SANTRI DAN POLITIK IDENTITAS --


Ada seorang ilmuan. Antropolog terkenal. Teori yang di Kembangkan dalam tradisi ilmu sosial Indonesia, sangat berpengaruh hingga kini dalam menganalisis fakta sosial dan budaya politik di Indonesia. 

"Siapa dia?", adalah CLIFFORD GEERTZ (1926-2006)

Geertz memperkenalkan konsep teoritik trikotomi ; (1) Priyayi, (2) Santri dan (3) Abangan

Dalam setiap analisis fenomena sosial budaya dan politik di Indonesia, bila ingin menggunakan teori yang di bangun Geertz tersebut, maka ketiga-tiganya harus dibawa. Harus menjadi unit analisis. Tak boleh tertinggal. Tiga dalam satu. Satu dalam tiga. 

Sejak lama saya berseberangan pendapat dengan pandangan yang meletakkan politik-identitas hampir melulu di bawah sudut pandang minor. Pandangan minor terhadap wacana tentang politik-identitas ini, menurut saya, hampir serupa dengan pandangan minor para pengikut teori developmentalisme ketika mereka disodori wacana mengenai ethno-politics sebagai kritik terhadap pembangunan tiga atau empat dekade silam. Mengenai hal ini, saya kebetulan sedang membaca, serta menemukan sesuatu yang menarik di dalamnya. 

Kembali ke soal politik-identitas, menurut saya isu mengenai politik-identitas tidak bisa dibicarakan tanpa ‘background’ sama sekali, seolah isu itu bisa hadir per se begitu saja membawa dirinya sendiri. Ada dua alasannya. 

Pertama, semua hal yang terkait dengan politik sebenarnya selalu berkaitan dengan “identitas” - ras, kelas, agama, ideologi, dan lain-lain. Sehingga tentunya menjadi persoalan, kenapa satu isu tiba-tiba bisa disebut sebagai "politik identitas", sementara isu lainnya tidak dianggap sebagai berkaitan dengan "politik identitas"? 

Sebagai contoh, kenapa munculnya tokoh Santri dalam politik Indonesia selalu dianggap membawa politik identitas, sementara kemunculan tokoh Abangan tidak dianggap sebagai politik identitas?. Padahal, baik "Santri" maupun "Abangan", in term of politics, sebenarnya sama-sama diakui merupakan bagian dari aliran. 

Kedua, apa yang kini disebut sebagai "politik-identitas" biasanya menguat bukan karena persoalan politik atau identitas itu sendiri, melainkan karena persoalan ekonomi. Jika latar belakang ini dihapus, pemahaman kita mengenai gejala ini bisa pincang. 

Kalau kita baca buku Amy Chua, "Political Tribes", ada satu poin menarik di sana. Pasar bebas dan demokrasi, menurut Chua, selama ini hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat dengan identitas tertentu. Chua menyebutnya sebagai minoritas - pendominasi - ekonomi (market-dominant-minority). 

Di Amerika, misalnya, market - dominant - minority-nya adalah “coastal elite - Elit pesisir”, yaitu elit kulit putih yang umumnya tinggal di wilayah pantai barat dan timur, berpendidikan universitas, berpandangan kosmopolitan, dan mayoritas berafiliasi ke Partai Demokrat. 

Namun identitas para aktor ini selama ini telah ditutupi oleh narasi-narasi ideologis seperti "kapitalisme", "komunisme", “otoritarianisme”, “liberal”, “konservatif”, dan sejenisnya. Label-label itu telah menutupi identitas para aktor yang terlibat di dalamnya. 

Sesudah Perang Dingin, ketika narasi mengenai konflik ideologi dianggap telah berakhir, kita kemudian jadi langsung berhadapan dengan identitas-identitas para aktor tadi secara lebih jelas. 

Dulu orang mempercayai Perang Vietnam sebagai pertarungan antara kapitalisme dengan komunisme. Padahal, menurut Chua, yang terjadi sebenarnya adalah pertarungan antara minoritas “kapitalis” keturunan Cina yang sangat dibenci, versus mayoritas rakyat Vietnam yang membencinya. Rakyat Vietnam secara umum sebenarnya tidak ingin melawan kapitalisme, ataupun menegakkan komunisme sebagaimana yang dituduhkan Barat, melainkan ingin membebaskan dirinya dari kelompok market-dominant-minority tadi. Model konflik serupa juga berlangsung di Afghanistan, Suriah, Irak, atau tempat-tempat lain. 

Di Afghanistan, kelompok minoritas Tajik yang kaya raya telah ditumbangkan oleh Taliban, organisasi militernya kaum Pashtun, yang merupakan kelompok mayoritas. Di Suriah, minoritas Sunni yang menguasai perekonomian telah dilawan oleh mayoritas Syiah yang miskin. 

Kesimpulan kecilnya adalah “tribalisme” memang bisa muncul karena perbedaan suku, atau agama, namun yang tidak bisa diabaikan, karena ini berlangsung di seluruh dunia, tribalisme terutama menguat karena perbedaan kekayaan. 

Ketimpangan ekonomi, tidak terdistribusinya kekayaan negeri, serta penguasaan kekayaan oleh sekelompok minoritas-dominan, telah melahirkan sentimen perlawanan kelompok mayoritas. Ini adalah background yang tidak boleh dihapus ketika mendiskusikan isu tentang “politik-identitas”.

Intinya, saya cuman mau bilang, bahwa Santri itu, apapun ragam defenisinya, tak bisa dilepaskan dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Bicara apapun tentang sejarah Indonesia, variabel santri menjadi variabel penting untuk dibahas. Begitu berartinya santri itu. 



***

SANTRI DAN ABANGAN DI PENTAS PEMILU 

Meskipun trikotomi Geertz mengenai Santri, Priyayi dan Abangan pernah dikritik karena kriterianya yang tidak konsisten, namun konsep "Santri" dengan "Abangan", menurut saya, sebenarnya relevan digunakan untuk memahami bagaimana perilaku politik di Indonesia. 

Dulu Wertheim pernah menyebut bahwa umat muslim Indonesia adalah mayoritas yang bermental minoritas. Berbeda dengan Wertheim yang melontarkan penilaian itu dengan nada negatif, saya justru menilai "mental minoritas" itu sepenuhnya bersifat obyektif. Artinya, jika umat muslim Indonesia merasa dirinya minoritas, hal itu memang didukung oleh kenyataan obyektif sebenarnya. 

Seandainya konsep "Santri" dan "Abangan"-nya Geertz itu kita pinjam lalu diproyeksikan pada data hasil Pemilu, misalnya, dengan "Abangan" sebagai kriteria atas aliran non-Santri dan non-muslim, nampak terlihat bahwa sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2019 partai beraliran Santri memang tidak pernah menjadi pemenang dan mayoritas. Mereka selalu kalah dan menjadi minoritas di parlemen. 

Siapa yang mayoritas? Abangan! 

Mungkin akan segera ada yang menyanggah, bukankah kalangan Abangan itu sebagian besar adalah Santri (baca: muslim) juga?! 

Di atas kertas memang begitu. Namun, secara politik tidak pernah demikian. Jangankan jauh-jauh antara Santri dengan Abangan, di antara sesama Santri saja langgam politiknya bisa sangat jauh berseberangan. Bagaimana berjaraknya politik Partai Masyumi dengan Partai NU sebelum dan sesudah Pemilu 1955 bisa jadikan cerminnya. 

Jika argumen semacam ini dikemukakan oleh tokoh politik Santri, sulit dihindari kesan yang bersifat apologetik. Namun, menariknya, argumen ini dulu justru pertama kali dikemukakan oleh Nono Anwar Makarim, yang hingga kini sering dianggap tokoh sekuler. Dalam tulisannya, "Mayoritas dan Minoritas: Dari Soal Abangan Pendukung PKI-PNI sampai Santri Pendukung NU-Masyumi", Nono dengan tegas menulis bahwa "Islam tidak merupakan mayoritas di bidang politik!" 

Menurut Nono, kebanyakan orang Islam sebenarnya hanya mengaku beragama Islam sebanyak empat kali saja selama hidupnya, yaitu saat (1) lahir, ketika (2) dikhitan, saat (3) menikah, dan saat (4) meninggal. Artinya, meski secara statistik jumlahnya besar, di dalam politik tidak dengan sendirinya Islam menjadi mayoritas. Nono kemudian mencontohkan Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Keduanya, tulis Nono, sama-sama muslim. Namun, dalam politik, kedua pemimpin PNI itu lebih memilih berporos dengan PKI.   

Ada satu lagi kutipan menarik dari Nono. Ia menulis : "Saudara Subhan Z.E. setelah Sidang Umum MPRS berbicara tentang 'minoritas' Islam yang dipojokkan oleh semua golongan. Kasarnya Islam dikeroyok. Secara sambil lalu memang demikian kelihatannya. Kalau diteliti lebih mendalam maka suatu hal yang komis akan terlihat. Sebab yang 'memojokkan' dan 'mengeroyok' sehingga Islam menjadi minoritas adalah serentetan minoritas-minoritas lain. Kalau toh mau berbicara tentang mayoritas politik, maka terpaksa harus dikatakan bahwa ABRI dan Partai Katolik-lah yang merupakan mayoritas".

Tulisan lama Nono itu dimuat dalam buku yang disunting Rum Aly, "Simptom Politik 1965" (2007). Tulisan itu sebenarnya adalah tulisan lama. Sidang Umum MPRS yang dimaksud, sepertinya adalah SU MPRS pada masa akhir Demokrasi Terpimpin hingga awal Orde Baru. Jelasnya, sebelum Pemilu 1971. Sayang, tulisan itu dimuat kembali tanpa menyebutkan sumber asli dan tanggal publikasi pertamanya. 

Posisi sebagai minoritas-politik inilah yang telah membuat golongan Santri tidak pernah bisa menjadi pemimpin nasional jika tidak menggandeng kalangan Abangan. Ini sudah dibuktikan oleh kontestasi Pilpres secara demokratis yang telah berlangsung sejak tahun 1999, baik melalui mekanisme demokrasi perwakilan di MPR, maupun melalui pemilihan langsung sejak tahun 2004. Naiknya duet Gus Dur-Megawati, misalnya, menunjukkan hal itu. 

Di sisi lain, meskipun sesudah Reformasi komposisi pemimpin nasional selalu berasal dari duet Santri-Abangan (atau Abangan-Santri), seperti tercermin dari duet Megawati-Hamzah Haz, SBY-Jusuf Kalla, Jokowi-Jusuf Kalla, lalu Jokowi-Ma'ruf Amin, namun pernah ada satu periode ketika pemimpin nasional kita sama-sama dijabat oleh Abangan, yaitu pasangan SBY-Boediono. Ini menurut saya kasus menarik. 

Naiknya SBY-Boediono ini telah mengukuhkan satu kesimpulan baru yang juga penting dicatat, bahwa tanpa harus berduet dengan Santri sekalipun, kalangan Abangan terbukti bisa memenangi kontestasi Pilpres. Ini yang tidak (atau belum?) bisa dilakukan oleh golongan Santri sejauh ini. 

Pada Pilpres 2009, kita tahu, SBY-Boediono bisa mengalahkan Megawati-Prabowo di Jawa Tengah, yang dikenal sebagai kandang banteng. Hingga sejauh ini, belum pernah ada yang bisa mengalahkan partai banteng di kandangnya sendiri, kecuali SBY. 

Racikan komposisional Abangan-Santri, atau Santri-Abangan ini, menurut saya, akan mempengaruhi pasangan-pasangan yang akan berlaga pada Pilpres 2024.


Makassar, 18/06/2022



***

AGAMA DAN POLITIK

Dalam kajian antropologi politik, peranan agama dan simbol-simbol supranatural di dalam politik memainkan arti penting. Agama pun bisa dijadikan landasan bagi struktur, landasan kepercayaan, atau sumber tradisi yang bisa dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan. Namun, pilihan paling lazim adalah menjadikan agama sebagai alat legitimasi oleh para elite yang berkuasa atau kekuatan yang mengejar kekuasaan (ini yang dikritisi para kalangan Marxian). Sejarah (berbagai agama) dan sejarah politik dari berbagai masa, menunjukkan fakta sosial ini.

”Pemakaian” ayat, dalil, atau ungkapan yang dinisbatkan pada agama tertentu sebenarnya identik dengan kemunculan kiai atau tokoh lain yang merepresentasikan agama. Kemunculan simbol-simbol tadi telah mengandung pesan, lebih dari makna yang terkandung dalam substansi yang sebenarnya. Tidak heran bila kosakata silaturahmi lebih sering digunakan ketimbang pertemuan politik.

Membebaskan panggung politik dari anasir-anasir agama tidak semudah yang dibayangkan kelompok yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Bahkan, bagi sebagian kalangan, memisahkan agama dan wilayah politik bukan saja sulit, tapi dipandang tidak perlu. 

Fakta mengungkapkan, bagi sebagian pemilih di tanah air dikotomi tua – muda tidak begitu penting. Demikian juga dikotomi sipil - militer sudah melonggar. Namun dikotomi Islam - non-Islam masih dipandang sensitif dan penting dipertimbangkan sebagai variabel penting keputusan untuk memilih. Bagi sebagian kelompok, bila menerapkan sistem politik menurut kaidah agama dipandang belum mungkin, maka mengambil anasir-anasir agama untuk diformulasikan ke dalam kaidah hukum dan politik sudah dianggap cukup. Adaptasi ajaran politik pun terjadi di sepanjang garis keyakinan agama.

Pada akhirnya, keputusan untuk memilih melibatkan variabel yang kompleks. Diperlukan sentuhan personal untuk merebut dukungan. Lebih-lebih dalam situasi ekonomi yang mencekik, kandidat yang bisa memberi harapan bagi perbaikan yang dirasakanakan lebih diapresiasi.

Dunia politik makin lama makin rasional - untuk tidak menyebut - pragmatis :).

Sebagaimana seorang bapak atau ibu yang merupakan tokoh politik, mempersiapkan anak-anak mereka untuk mengikuti jejek mereka?. Bahkan mempersiapkan sedaya upaya untuk kekuasaan politik?.

Tidak salah, siapapun boleh melakukannya. Larangannya pun tak ada, demokrasi meniscayakan hal tersebut. tapi, berkenaan dengan itu saya ingat dengan "Ayahtullah Ruhullah Khomeini".

Ketika Ayahtullah Ruhullah Khomeini menjelang hari-hari terakhirnya, Ia di minta oleh elit politik Iran untuk membuat wasiat dan Testamen politik, agar sang Anak, Hojjatul Islam Ahmad Khomeini agar di plot menjadi presiden atau masuk dalam wilayah "vilayat ulul Faqih". 

Khomeini berkata yang membuat semua tercengang ; " Saya berjuang bukan untuk anak saya, Ahmad Khomeini tidak saya perkenankan masuk dalam lingkarang politik, setelah saya meninggal nantinya.

Padahal dalam konteks ilmu politik, Ahmad Khomeini memiliki sumber-sumber kekuasaan yang lengkap ; sumber genetik (Anak Khomeni), serta ulama dengan pengetahuan yang luas dan menjadi manusia yang terbuang bersama ayahandannya karena melawan rezim Syah Reza Pahlevi.

"IRAN BUKAN UNTUK ANAK SAYA", demikian kira-kira pesan yang di sampaikkan Khomeini

Berkelindannya kepentingan politik yang terjadi di beberapa daerah konflik seperti di Suriah, Irak, dan Yaman, mengingatkan saya akan sejarah masa lampau. Kehadiran kelompok-kelompok yang menganggap dirinya "mujahiddin" di daerah ini, poros negara kaya Teluk dan Iran serta kehadiran Amerika Serikat serta Rusia, (juga) mengingatkan saya kepada sejarah masa lalu. 

Dulu, ketika Syah Reza Pahlevi (yang istrinya luar biasa cantik itu ... Farah Diba :) ) masih memegang tampuk kekuasaan di Iran yang Syi'ah, ia dianggap sebagai kawan terbaik negara-negara Teluk. Pengaruhnya besar. Ia sahabat paling akrab Amerika di kawasan ini. Tak salah bila kemudian, Iran dipandang sebagai "perawan-cantik" di Timur Tengah. Lalu ketika Syah Reza Pahlevi dikudeta, ia dibuang, dilucuti pengaruh dan daya tawar politiknya, kekuasaan Amerika Serikat diusir hingga ke jejak-jejaknya dan digantikan oleh sistem teo-demokrasi. lihatlah, Iran (kemudian) berubah menjadi "nenek sihir yang ditakuti" oleh kawan-kawannya yang selama ini menganggapnya "perawan-cantik" Timur Tengah. Bahkan Bush (Jr) memberi gelar sebagai "poros setan" pada negara yang disayangi oleh seniornya dahulu - Jimmy Carter.  

(Lalu) ..... !

Bukankah (dulu) Khalifah Abbasiyah di masa Al-Makmum merupakan sekutu paling dekat Charlemagne - Raja Frank. Kedekatan Al-Makmum yang menganggap dirinya sebagai pemimpin politik ummat Islam seluruh dunia ini dengan Charlemagne adalah untuk mengisolasikan Kekhalifahan (Islam) Andalusia yang sedang "naik daun". Pada sisi lain, Raja Bizantium yang menganggap dirinya sebagai pemegang tafsiran Kristen paling orisinil merupakan sekutu imperium/kekhalifahan Andalusia. tujuannya untuk mengisolasi Charlemagne yang juga menganggap dirinya sebagai pemimpin politik Kristiani seluruh dunia. Saling berkelindan.


*Rst
*Pejalan Sunyi
*Nalar Pinggiran




CORET ESAI ; BUKAN TULISAN


"Niat baik!" bagi Imanuel Kant, dalam ide deontologisnya menolak etika konsekuensualis yang menegas, segala perbuatan mesti mendapatkan imbalan dan guna Atau segala hal yang dituntut bermakna. Tuntutan pada kebermaknaan selalu saja merusak aliran kehidupan, dan di situ orang menjadi sangat material. Melakukan kebaikan lantaran ingin dapat kebaikan, atau demi akibat baik dari kebaikan yang dilakukannya. Etika konsekuensialis mengandaikan, orang membantu orang lain demi belaka balas budi, atau lantaran akan (telah) mendapatkan manfaat dari orang bersangkutan. Bagi Kant, itu merusak kemurnian jiwa. 

Perbuatan baik sejati ialah perbuatan baik yang "tanpa syarat". Perbuatan baik demi kebaikan itu sendiri, dan karena memang baik. Bukan demi keuntungan praktis, bahkan tidak demi semata-mata kebenaran. 

Dalam kitab "Mukaddimah"nya yang masyhur, Ibnu Khaldun mendalilkan teori siklus peradaban sejarah (ashabiyyah). Tatkala kekuasaan dan semua orang "merasa selesai" dalam hidup, segalanya dikerjakan cuma "demi aku". Kepuasan dalam ketidakperdulian. "Kepentingan aku" berkuasa atas akal sehat, memandang "yang lain" objek "si aku", Itu gejala kerusakan peradaban yang kelak mengalami ketertimbunan atau tenggalam dalam siklus sejarah. 

Ada sejumlah kaum beragama gelisah, agama akan hancur atau dihancurkan musuh. Dikemukakan fakta-fakta. Tapi fakta jadi tak orisinil dan tak objektif, lantaran fakta-fakta itu disusun atas kecurigaan, kegelisahan dan kekhawatiran subyektif akan kehancuran suatu agama Dan itu terdengar begitu mirip omong kosong!. Jika fakta-fakta dilihat objektif, ia malah terbukti terbalik dari apa yang ditakutkan tersebut. 

Realitas yang dianggap etis itu, disinggung "main-main" oleh Rene Magritte dengan lukisannya. Ia melukis sebuah pipa. Ia memberi judul lukisannya "Ini Bukan Pipa". Objek lazim pada kondisi tak lazim. Pipa yang bukan pipa!.

Melalui karya-karyanya yang provokatif, Magritte, setidaknya, menyindir anggapan, pengandaian, kepastian modern. Sejatinya, realitas (mungkin juga perbuatan-perbuatan) yang diandaikan dalam kehendak dan keinginan praktis semata adalah realitas yang bukan realitas : ketakpastian. 

Kegelisahan terhadap fakta tak berbanding lurus dengan fakta itu sendiri. Kegelisahan subjektif itu menipu, ketika diandaikan pada fakta yang objektif. 

*** 

Di balik yang tampak tak selalu sebagaimana yang tampak tersebut. Tipuan mata dan tipuan kekuasaan. Rene Francois Ghislain Magritte (1898-1967), seorang pelukis surealis Belgia, menggambar pipa rokok. Ia memberi judul lukisannya "Ini Bukan Pipa". Objek lazim pada kondisi tak lazim. Pipa, tapi yang bukan pipa!. Melalui karyanya yang provokatif, Magritte menyindir klaim, anggapan, pengandaian, dan kepastian modern. Sejatinya realitas - barangkali juga perbuatan-perbuatan, yang diandaikan kehendak dan keinginan praktis belaka pada sebidang alat atau media adalah realitas yang bukan realitas : ketakpastian. 

Kegelisahan terhadap fakta tak berbanding lurus dengan fakta itu sendiri. Kegelisahan subjektif dapat menipu ketika diandaikan pada fakta yang objektif. Andai kata pipa rokok yang dilukis Magritte pada sebidang media itu secara ajaib dapat berkomunikasi, tak pasti pipa rokok tersebut mau disebut pipa rokok. Siapakah si pemberi sebutan terhadapnya? Manusia! Bagi Magritte, itulah kemapanan yang harus dilawan dengan daya dan gerak yang berbanding terbalik. Perlawanan ditekankan pada bahasa dan wacana. Kira-kira pandangan ini cukup menarik melawan jejalan informasi yang menguasai dan memengaruhi khalayak sampai ke tingkatan bawah sadar dan ruang-ruang privatnya. Tiap saat orang dicekoki perihal betapa gawatnya wabah penyakit, hingga melakukan kewaspadaan yang tak masuk akal. Agaknya pandangan Magritte itu perlu dipertimbangkan, bukan? 

Siapa yang gila? 

Pada era digital ini, gila bukan sakit jiwa. Melainkan praktik kuasa pada wacana. Bagi Michel Foucault, sebutan “gila” tidak belaka persoalan pengalaman atau perkara medis. Melainkan gila pun terkait norma beserta bentuk diskursus atau olah-wacana tertentu. Maka gila (kegilaan) adalah diciptakan. Sebab pada setiap periode waktu dan perbedaan ruang, pengertian gila tidak sama. 

***

Bagi Jorge Luis Borges, dunia hanya ada karena ia dipersepsikan ada. Sastrawan agung Argentina itu mengagumi postulat George Berkeley, bahwa objek ada sebab dipersepsi pikiran. Dunia materi sejatinya ide-ide manusia, ia tak benar-benar nyata. Idelah yang nyata. Dunia materi tak akan pernah ada di luar kesadaran, ia mewujud tatkala ditangkap oleh persepsi-persepsi - "Esse est percipi," ujar Borges, yang dalam postulat George Berkeley disebut “being is being perceived” - Dunia material sebenarnya sama saja dengan ide-ide kita sendiri. 

Dalam cerita Borges, seorang presiden bola Abasto Junior mengatakan pada seorang komentator bola, Ron Ferrabas, bahwa Abasto akan dikalahkan dengan skor 2-1. "Jangan gunakan lagi umpan Musante ke Renovales. Ingat! Imajinasi! Sekali lagi, imajinasi!" ujarnya. Perhelatan sepakbola yang menghebohkan seluruh negeri ternyata cuma tipuan. Tak ada kesebelasan, tak ada skor, tak ada pertandingan. Stadion sudah dimusnahkan. Pertandingan bola hanya dibuat oleh tivi dan radio seperti membuat drama. Semua hanyalah kehebohan palsu dan omong kosong para komentator. Di Buenos Aires sejak 24 Juni 1937, sepakbola hanya drama, dimainkan satu orang di balik bilik, aktor berkostum yang seolah-olah pemain bola yang direkam tivi. Begitu penjelasan presiden Abasto Junior dalam Borges. 

Mengikuti cerita pendek Borges tersebut, saya bayangkan betapa kehebohan penggemar bola ternyata cuma diciptakan dengan kebohongan komentator bola radio atau drama omong kosong layar visual. Khalayak tak sadar, dalam kenyataan tak pernah terjadi apa-apa! Tentu ini hanya fiksi Borges yang unik karena komposisi "bersejarah"nya yang mashur itu. Namun hari ini, kita tak sadar sebenarnya beriman pada berita, informasi, ujaran, iklan, atau apa pun yang ditampilkan layar audio-visual. Tapi omong kosong! Sesuatu yang diada-adakan, diolah sedemikian rupa oleh seseorang atau sejumlah orang dengan kepentingan-kepentingan yang bermuara pada pembentukan persepsi publik atas suatu peristiwa atau kondisi tertentu ; penggiringan opini, atau kebohongan yang nyaris serupa kenyataan. Di dalam dunia nirkabel, konfirmasi dan penelusuran kebenaran suara dan layar tentu saja vital. Namun tak banyak yang mau mendeteksinya macam detektif. 

Kekuasaan dan pragmatisme menjaya lantaran memproduksi kebohongan yang berhasil menipu persepsi orang terhadap realitas objektif, menyusun realitas yang diandaikan, lalu dikemukakan sebagai bahan bagi pikiran. Celakanya, hukum sering terpengaruh persepsi pada realitas yang dusta. Sesungguhnya tepat di sini, saya pun sudah tertipu. 

Makassar, 21/06/2022 

Keteranga gambar :  "Bukan Pipa"
Karya : Rene Magritte






Sabtu, 09 Juli 2022

-QURBAN DAN KURBAN ; APA YANG DI QURBANKAN?. TOH, TAK ADA YANG KITA "MILIKI" -


Islam mengenal dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Keduanya bekerja sama dalam menerjemahkan konsep Tauhid sebagai satu-satunya kemungkinan tempat kembali bagi setiap manusia dan makhluk hidup lainnya. 

Terma hari raya sebenarnya penerjemahan Kultural, sehingga belum tepat betul secara epistemologis. Arti "Raya" menjadi Tegas, ketika di ucapkan sebagai "perayaan". Ia merujuk ke suatu keadaan dan perilaku riang gembira, karena suatu kemenangan yang di wujudkan dalam bentuk pesta atau bahkan hura-hura tertentu. 

Makanya, Kerap kali kita dapati Idul Fitri yang di laksanakan Masyarakat kita penuh dengan aksesoris kulturalnya. Padahal Substansi Idul fitri dan Idul adha bukanlah itu semua. Kedua-duanya adalah hari kembali. 

Sama dengan Diksi "Qurban" itu sendiri tidak sama dengan Diksi "Korban", sebagaimana yang kita kenal dalam Bahasa indonesia. Korban berkonotasi negatif, karena Ia mengandalkan "pelepasan" sesuatu dari seseorang kepada orang lain melalui peristiwa yang sebenarnya tidak di kehendaki. Seperti, Korban perang, korban pemerkosaan, korban bencana dan seterusnya yang tidak di dukung oleh Hak Nilai. 

Qurban adalah Menyampaikkan, bukan Memberikan sesuatu yang merupakan Hak "Milik", (dengan Tanda petik) kita kepada sesuatu, kepada orang, atau Kepada Tuhan, yang memang berhaq atas sesuatu itu. 

Qurban, yang selama ini ‘diterjemahkan’ menjadi korban, sebenarnya bukan hanya menjadi berbeda. Tetapi, bertentangan Dan anehnya, kita menghayal saja terhadapnya. 

Korban itu a victim. Kata dan konsep yang mirip dengan Korban itu ialah tumbal. Misalnya, Fulan dijadikan tumbal. Artinya, Fulan dikorbankan. Konotasinya negatif, fungsinya tersia-siakan, posisinya buruk. Sedangkan Qurban itu konotasinya positif, fungsinya bermanfaat, dan posisinya baik. 

Nabi Ismail di-Qurban-kan, itu berbeda bahkan bertentangan dengan Nabi Ismail di korbankan. Ismail bukan tumbal, bukan di sia-siakan, melainkan di uji cinta kasihnya kepada Allah, di uji kepatuhannya dan tanggung jawab kemakhlukannya, serta di beri peluang untuk sungguh karib kepada sumbernya. 

Tidak seorang pun mau di korbankan. Tapi setiap Muslim mendambakan qurban dan di-qurban-kan. Sebab dengan iman yang bulat, terbukti yang tersembelih adalah leher kambing. 

Jika, Pemahaman ini, Kita Naikkan level Bahasannya atau Kita Uraikkan lebih dalam ; Ketika Nabi Ibrahim menyembelih anaknya dan Ismail merelakan Nyawanya untuk di sembelih, tidaklah berarti bahwa Nabi Ibrahim meng-qurbankan anaknya dan Ismail di qurbankan Hidupnya. Yang mereka lakukan adalah keikhlasan mereka "mengembalikan kembali milik Allah kepada Allah". 

Penyerahan itu kelak di terjemahkan dalam berbagai metode peleburan, penyatuan atau bertauhid kepada, dengan, bersama dan bahkan "menjadi" Allah. Saya memberikan tanda petik pada kata Menjadi, karena pemahaman kebanyakan kita terbentuk pada biasnya belaka. 

Untuk menyederhakan Uraian "Penyerahan Miliki Allah kepada Allah", kita Melipir sejenak. Manusia tidak pernah tahu menahu mengenai kelahiran dan hakikat "adanya". Ia tak punya niat merancang, bahkan juga tak pernah berniat bahwa ia akan terlahir menjadi seorang anak manusia atau menjadi putra ibu dan bapaknya, yang kemudian oleh kebudayaan di beri nama RST ; Rais Syukur Timung, Misalnya. 

Kita, manusia tidak pernah - dalam arti sesungguhnya memiliki diri kita sendiri, serta apapun dalam kehidupan kita sendiri. Kita ada, karena ada sesuatu yang memungkinkan atau mengizinkan Kita untuk ada. Kita "memiliki" sesuatu dalam keberadaan kita, bukan karena Haq kita adalah memiliki sesuatu, melainkan karena ada sesuatu yang meminjamkan kepada kita. 

Kita bisa menggerakkan Tubuh kita, bukan sejak semula Kita merencanakan dan menentukan bahwa kita bisa berjalan dan menggerakkan badan kita, melainkan karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkan kita bisa berjalan dan menggerakkan badan kita. 

Sesuatu dengan " S" besar itulah, satu-satunya yang ada dan pasti ada. Yang sejati dan pasti sejati. Memiliki hak seratus persen untuk menagih atau meminta kembali segala miliknya. Kapanpun dan dimanapun, serta dengan cara yang bagaimanapun. Sebab, Hak Tuhan itu Gugur, jika ada manusia atau seseorang mampu menciptakan dirinya sendiri. 

Dalam pemahaman seperti itu, maka Yang di Lakukan Nabi Ibrahim dan Ismail, "hanyalah" mengembalikan Hak Allah kepada Allah. Sebab, tak ada apapun yang hilang dari penyembelihan itu, karena memang aslinya mereka tak pernah ada dan tidak memiliki apapun, Termasuk "dirinya" sendiri. 

Nah, Pangkal persoalan dalam sejarah ummat manusia adalah ketika sesudah melahirkan dan ada, setiap manusia memahami, "Barang Pinjaman" itu sebagai " barang Milik-nya". Nabi Ibrahim bisa sangat posesif terhadap Ismail, karena ia anaknya dan sangat di cintainya. Ismail juga di hinggapi "Rasa memiliki" atas dirinya sendiri, atas nyawanya, atas seluruh kehidupannya, bahkan atas sesuatu yang bisa di nikmatinya. 

Maka ketika mereka mengikhlaskan "Milik" itu diminta kembali oleh Yang Maha Empunya, ibrahim dan Ismail mencapai Taraf "Fitri" dan sukses menghayati Makna Qurban, sambil sama sekali tidak merasa "mengorbankan diri". 

Di titik pemahaman diatas, kita bisa menghimpun beberapa pertanyaan kritis. berdasarkan hak Historis apa kumpulan manusia menganggap diri dan bumi ini milik kita, sehingga lantas kita (Manusia) melahirkan sistem-sistem yang "mengatur Hak milik". Padahal, Idiom "pemilikan" itu adalah "bahasa negara" atau " bahasa hukum Formal", sementara Pinjaman adalah "bahasa agama". 

Di sinilah, bahaya besarnya, apabila agama terlalu di lekatkan hanya dalam pemahaman sosiologis seperti itu. Ketika pertengkaran tentang "pemilikan" itu berkepanjangan, maka kita menemukan kerusakan dunia dan ledakan perang demi perang, sehingga umat manusia kehilangan cakrawala untuk mengadukan penderitaannya. 

Kehidupan umat manusia dewasa ini terletak di tempat yang sudah berjarak teramat jauh dari kesejatian yang kita bisa pahami dari agama tentang kehidupan. 

Misalnya, semangat Idul Fitri dan Idul adha bertolak belakang dengan "Egosentrisme" kerakusan atau monopoli ekonomi, bahkan segala bentuk primordialisme, ekslusivitas, dan kesepihakan yang lain dalam berbagai dimensi kehidupan. 

Makanya, Ibrahim di perintahkan oleh Allah - Secara Administratif - Bukan menyembelih Ismail, melainkan untuk "menaklukkan" dan "memusnahkan kesepihakan egosentrisme rasa memiliki diri sendiri" dan rasa milik pada anaknya. Diri Ibrahim dan diri Ismail (anaknya) adalah milik Allah dan Niscaya Di kembalikan kepada Allah. 


***

Manusia selalu di rundung problem bahasa. Bahkan pun para penyair, yang biasanya berada di dalam “istana” eksklusif yang jauh dari politik dan masyarakat umum. Dewasa ini problematika budaya-bahasa dan politik-bahasa berkembang dan membengkak sedemikian rupa, sehingga sangat menyempitkan kemungkinan kekayaan komunikasi. 

Dulu penyair kontemplatif Goenawan Muhamad memberi dalil: "Musuh utama penyair adalah salah cetak". Kalau "binatang jalang" salah cetak menjadi "binatang jalan", atau "represi" menjadi "ekspresi", maka habislah semuanya. Tidak hanya penyair, semua penulispun mengalami tantangan yang sama. 

Saya bukan benar-benar seorang penyair atau penulis. tapi sering di suruh bikin kalimat-kalimat yang nanti orang menganggapnya itu adalah puisi. Dan akhir-akhir ini rasa takut saya membengkak setiap kali hendak memutuskan menggunakan suatu kosa kata atau susunan kalimat. Ketakutan saya itu karena pada dasarnya saya sangat menghormati ajaran para leluhur bahwa dalam hidup ini kita harus lebih banyak mendengarkan orang dibanding membicarakan orang. 

Allah saja sendiri sangat lebih menekankan fungsi sami’ (mendengar) di banding bashir (melihat). Jadi orang yang bicara apa saja selalu saya anggap penting, karena mereka sudah besar, sudah dewasa, sudah sangat mampu berpikir dan memutuskan segala sesuatu yang hendak di ungkapkan. Kalau saya acuhkan dan abaikan, itu kekeliruan sosial. 

Suatu saat saya bikin kalimat: "Muhammadkan hamba ya Allah", Seseorang menuduh saya sok suci. Manusia biasa yang banyak dosa kok, kenapa mau jadi Nabi. Padahal yang dimaksud “muhammadkan hamba” adalah upaya dan doa permohon, agar Allah berkenan membantu kita memakai wacana kepribadian Muhammad untuk bisa kita terapkan dalam diri kita. 

Allah sendiri bahkan kabarnya menciptakan manusia dengan formula seperti "miniatur" Dia sendiri. Itu berarti merupakan anjuran agar kelengkapan dan komprehensi-dialektis asma Allah kita jadikan acuan. Jadi, kita membina perilaku ini berdasarkan cakrawala karakter Allah sendiri. Ia rahman rahim, penuh kasih sayang. Tapi Ia juga bikin neraka, Ia juga qabidl (penahan rejeki), Ia juga syadid (penyiksa), Ia juga mutakabbir (pentakabur). namun semua watak yang dalam pandangan kita seolah negatif itu selalu berfungsi positif, karena diterapkan pada tempat dan konteksnya yang tepat. 

Mentang-mentang kita menganut ajaran kasih sayang rahman rahim, maka lantas kita menolak bikin rumah penjara, mengampuni koruptor, membatalkan pasal-pasal hukum mengenai perampokan, penindasan atau kekejaman. Lembaga Pemasyarakatan itu bukan institusi kekejaman. Nerakanya Allah adalah wujud dialektis dari kasih sayangNya juga. Cara menyayangi anak yang bersalah adalah dengan menghukumnya. 

Tapi hal-hal semacam itu tidak selalu gampang dijelaskan kepada manusia. Sehingga tatkala untuk Idul Adha saya mau bikin kalimat "Ismailkan hamba ya Rabb". saya begitu khawatir orang akan salah paham. Padahal maksud saya adalah kalau saya disembelih dalam pengalaman sejarah, saya mohon kepada Allah agar kambing yang tersembelih. 

Gelar Nabi Ismail As adalah dzabihullah. Sembelihan Allah. Saya ingin sekali menggunakannya untuk judul suatu tulisan, namun dengan perasaan was-was. Apakah Allah tukang sembelih?. Apakah Allah itu Maha Jagal?, sebagaimana dalam konteks lain saya juga takut mengumumkan idiom wallohu khoirul makirin, Allah itu Maha Pemakar?. 

Mungkin sudah ratusan kali kita mengkomunikasikan bahwa untuk urusan tertentu peradaban kita ini pra-Ibrahim. Kalau Ibrahim As. hidup sekarang dan pada suatu pagi menyembelih anaknya, para tetangga segera akan melaporkannya ke Polsek, atau mungkin langsung memukulinya sampai meninggal. Di zaman ini kita tidak memiliki perangkat ilmu pengetahuan dan tingkat legalitas hukum yang sanggup mengakomodasikan fenomena (vertikal) Ibrahim dan Ismail. 

Jangankan fenomena penyembelihan. Sedangkan kita suatu hari nongkrong di dekat kandang kambing saja orang lantas menyimpulkan kita adalah kambing. Saya berpapasan dengan angin pada suatu siang dan bicara-bicara sejenak, orang di sekitar saya langsung menyangka saya masuk angin. Orang sekarang gila label. 

Demikianlah saya senantiasa bersetia mendengarkan orang lain Dan itulah sumber pengetahuan hidup saya. Tapi susahnya, orang sering tak bisa diduga apa maunya. Pernyataan orang juga tidak selalu mencerminkan sikap dan kemauannya. Kalau seseorang bilang "Ais, kamu sekarang bukan temanku lagi", lantas saya percaya, saya terapkan hal itu, sehingga ketika bertemu di jalan saya tidak berani menegur dan tatkala dia membutuhkan pertolongan saya tidak menolong - ternyata reaksinya begini: "Kamu memang sombong! Kamu tidak berperikemanusiaan, tidak peka terhadap kebutuhan orang lain". 

Bahkan ketika saya butuh pertolongan namun tidak merasa berhak minta tolong kepadanya, ia berkomentar: "Dia memang sok kuat. Egosentris. Tidak merasa bahwa orang hidup itu saling membutuhkan. Disangkanya saya sedemikian lemahnya sehingga tidak bisa menolong dia!" 

Saya melihat itu semua adalah peristiwa cinta. Kalau kita tidak menimba, orang yang kita cintai dan mencintai kita marah: "kok tidak mau menimba ?". Kalau kemudian kita menimba, ia tuding: "Terpaksa ya menimbanya!". Lantas kita hentikan menimba, ia berkomentar lagi "Memang aslinya tidak mau menimba!". 😄🤣

Cinta itu terkadang over-sensitif. Kalau yang terlibat dalam percintaan adalah orang besar, lebih susah lagi. Kalau bersikap biasa-biasa saja, ia naik pitam: "Tidak tahu siapa saya ya! Belajar menghormati sedikit lah!", Kalau kemudian kita membungkuk menghormatinya, ia tuduh: "Menyindir ya! Saya tidak mau kau menghina dengan pura-pura menghormatiku!". Kemudian kita kembali bersikap biasa, dan ia menyerbu kita: "Dasar tak tahu diri!" 

Lama-lama saya "curiga", kayaknya doa saya dikabulkan oleh Allah. Mudah-mudahan saya adalah the tiny Ismail yang sedang disembelih.


*Pustaka Hayat
*Rst
*pejalan Sunyi
*Nalar Pinggiran