Sebelum kita Uraikkan, tentang sirkulasi politik di Indonesia. Mari kita bukan lembaran-lembaran perjalanan sejarah politik kita, tidak perlu jauh-jauh. Cukup 20 tahun terakhir. lalu, fokus pada beberapa orang tokoh.
Ada nama-nama : Amien Rais, Gusdur, Megawati, SBY, Prabowo, Yuzril Ihza Mahendra, Surya Paloh, Jokowi, Abu Rizal Bakri, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Habib Riziek Shihab, Ahok, Anies Baswedan dan seterusnya.
Lalu, lihat partai politik seperti Golkar dan Parpol-parpol yang di lahirkan oleh orang Golkar, seperti ; Hanura, Gerindra dan Nasdem. Lihat Pola PPP, PDI-P, PBB, DEMOKRAT, GERINDRA, dst.
Kemudian, lihatlah dalam berbagai Masa, kurun waktu 20 tahun terakhir. Mereka saling Bertukar posisi. saling "berkawan" lalu "lawan". Saling bersebrangan jalan. lalu, bertaut kelingking seperjuangan. membentuk koalisi, lalu bubar. Menyebrang ke koalisi lain yang awalnya tidak mau bergabung. Dulu pendukung fanatik, lalu lawan militer, kemudian berkawan lagi atas nama satu visi misi. Di tingkat Nasional berkawan sambil lantang berucap "ideologi kami sama", sedangkan di tingkat daerah, berlawanan sambil meneriakkan "ideologi kami tidak sama", membingungkan. blaa..blaa..blaa, dst.
"Tidak ada yang mustahil dalam politik. Segala sesuatu adalah permainan". Dalam politik itu biasa.
Di beberapa Tulisan saya yang menyoal soal-soal seperti ini, saya pernah mengulasnya dalam spektrum yang lebih luas. selepas berdiskusi dengan kawan-kawan dan setelah membaca Karya Khomeini dan Moh. Natsir. Perbincangan politik global yang melibatkan Tokok-Tokoh politik Islam.
Politik itu hanya diikat oleh satu kata yaitu kepentingan. Agama dan ideologi, hanya penguat dan perekatnya saja. Bila kepentingan dirasa sama. maka, semua ideologi terasa jadi karib. Beberapa kawan berkata ; " mana bisa komunisme satu biduk dengan agama atau utara dengan selatan satu biduk, bro"?.
Cukuplah eksperimen politik Soekarno menjawabnya, Nasakom, bro. Nasionalisme agama dan Komunisme disatu padukan menjadi satu paket dengan aura revolusi.
Hal itu juga bisa kita lihat, bagaimana mungkin Iran menyatu dengan Arab saudi dan AS?. Kalau sekarang, iya tidak menyatu. Tetapi Dulu, sebelum tahun 1979, Jimmy Carter, presiden AS pernah mengatakan bahwa ; "sahabat terbaik saya diTimur tengah adala Syah Reza Pahlevi (Kaisar Syahansyah Iran), Menachen Begin (PM Israel), Anwar sadat dan Arab Saudi". Bahkan kedatangan Raja Iran ke Saudi maupun AS, selalu disambut dengan "Karpet Merah".
Kepentingan yang menghadirkan semua itu. Lebih spesifiknya, bisnis. minyak, bro. Ketika keutungan tidak lagi saling menguntungkan, Iran bagi AS dan negara-negara sekutunya adalah menjadi salah satu negara "poros setan", istilah yang dikeluarkan oleh George W. Bush Jr.
Saddam Husein selama Hampir 10 tahun menjadi Harapan besar bagi AS dan sekutunya (Eropa dan Timur Tengah) untuk menghancurkan rezim Demokratis-teokratis Iran. Seluruh biaya dan sumber daya diberikan kepada Saddam Hussein. Pembunuhan Suku Kurdi dan warga syi'ah di irak dilakukan oleh Saddam Hussein, kala itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar. karena Saddam putra Tikrit ini sedang menjalankan sebuah misi besar yaitu mengembalikan kejayaan kekaisaran persia yang direbut oleh Ayahtullah Ruhullah Khomeini. Tapi, Saddam gagal. Akhirnya Saddam di musuhi, dibunuh dan dianggap pemimpin jahat. Pembenarannya, disusun belakangan, pokoknya Saddam Harus tumbang. Apalagi ditambah Saddam mulai menaikkan "daya tawarnya" ketika mencaplok kuwait dengan alasan Historis.
Dari pangkalan militer AS di Arab Saudi, Saddam di gempur oleh Bush Senior. Jendral Norman Schwarzkofp memimpin operasi yang di namakan badai gurun itu. Kuwait bebas, Saddam terkucil dari politik dunia, khususnya pergaulan antar negara di timur tengah, Saddam di tinggalkan.
Setelah Bush tidak lagi menjadi Presiden, Clinton menjadi Presiden 2 periode. Saddam Masih eksis dengan keterkucilannya. Tapi, Saddam tidak memberikan konsesi eksplorasi ladang-ladang minyak kepada negara-negara barat. Tersebabkan ini pula, Bush Junior, anak dari Bush senior, yang kedua-duanya adalah Presiden AS, negara yang merupakan sahabat Karib Saddam Hussein tahun 80-an, bernafsu menguasai irak. Maka, pembenaran di cari dan dibentuk. " Saddam Diktator bin mengalomaniak dan pembunuh Rakyat". Demikian kata Bush Junior, anak dari Bush Senior.
Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja disana, tapi juga kepentingan.
Pakem paling universal dalam politik itu terformulasi dalam kalimat " tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik, justru yang abadi adalah kepentingan". Politik kepentingan pada dasarnya mengalahkan ideologi, golongan bahkan partai itu sendiri (betapa banyak politisi yang pindah-pindah partai). Itulah sebabnya, jangan pernah membenci kawanmu karena berbeda pilihan politik.
Bila berbeda sikap dengan kewajaran. Karena yang kita perdebatkan justru bisa berbeda-beda tempat, nantinya kita akan terkejut. Ternganga, marah, kecewa dan sedih. Sementara ada pihak lain yang lebih kecewa yaitu kawanmu yang kau hujat dan kau hina karena berbeda pilihan politik.
Kita marah-marahan, tidak berteman. Bahkan Mendikotomikan kawan-kawan ; ini waras, ini gila. Ini akal sehat, yang itu agak putus tali sarafnya dua setengah lembar. Kita bersitegang urat, berdebat kusir, carut marut keluar. isi dapur rumah orang tua, dikasih keluar semua. Orang-orang yang menjadi episentrum perdebatan kita itu, bisa gonta ganti posisi. Gonta ganti kawan sambil ketawa ketiwi.
Sementara kita?. Terlanjur memutuskan persahabatan.
Sirkulasi politik itu rutin. Kadang beberapa belas purnama, tidak pernah lebih dari 5 tahun. Mereka kembali beradaptasi. Sementara "luka" yang tertoreh pada diri kita dan kawan-kawan kita, justru akan bertahta dalam waktu yang demikian lama. Mereka dapat kekuasan, kita kehilangan kawan. Persahabatn yang kita bina demikian panjang, putus dan sobek oleh mereka yang naik "di tengah jalan di hatimu" serta " Say hello" dan hanya menyapa sambil berlalu.
Mengharapkan batu permata, batu kali ditangan kau lepaskan. Kan Dompala namanya itu.
Ada nama-nama : Amien Rais, Gusdur, Megawati, SBY, Prabowo, Yuzril Ihza Mahendra, Surya Paloh, Jokowi, Abu Rizal Bakri, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Habib Riziek Shihab, Ahok, Anies Baswedan dan seterusnya.
Lalu, lihat partai politik seperti Golkar dan Parpol-parpol yang di lahirkan oleh orang Golkar, seperti ; Hanura, Gerindra dan Nasdem. Lihat Pola PPP, PDI-P, PBB, DEMOKRAT, GERINDRA, dst.
Kemudian, lihatlah dalam berbagai Masa, kurun waktu 20 tahun terakhir. Mereka saling Bertukar posisi. saling "berkawan" lalu "lawan". Saling bersebrangan jalan. lalu, bertaut kelingking seperjuangan. membentuk koalisi, lalu bubar. Menyebrang ke koalisi lain yang awalnya tidak mau bergabung. Dulu pendukung fanatik, lalu lawan militer, kemudian berkawan lagi atas nama satu visi misi. Di tingkat Nasional berkawan sambil lantang berucap "ideologi kami sama", sedangkan di tingkat daerah, berlawanan sambil meneriakkan "ideologi kami tidak sama", membingungkan. blaa..blaa..blaa, dst.
"Tidak ada yang mustahil dalam politik. Segala sesuatu adalah permainan". Dalam politik itu biasa.
Di beberapa Tulisan saya yang menyoal soal-soal seperti ini, saya pernah mengulasnya dalam spektrum yang lebih luas. selepas berdiskusi dengan kawan-kawan dan setelah membaca Karya Khomeini dan Moh. Natsir. Perbincangan politik global yang melibatkan Tokok-Tokoh politik Islam.
Politik itu hanya diikat oleh satu kata yaitu kepentingan. Agama dan ideologi, hanya penguat dan perekatnya saja. Bila kepentingan dirasa sama. maka, semua ideologi terasa jadi karib. Beberapa kawan berkata ; " mana bisa komunisme satu biduk dengan agama atau utara dengan selatan satu biduk, bro"?.
Cukuplah eksperimen politik Soekarno menjawabnya, Nasakom, bro. Nasionalisme agama dan Komunisme disatu padukan menjadi satu paket dengan aura revolusi.
Hal itu juga bisa kita lihat, bagaimana mungkin Iran menyatu dengan Arab saudi dan AS?. Kalau sekarang, iya tidak menyatu. Tetapi Dulu, sebelum tahun 1979, Jimmy Carter, presiden AS pernah mengatakan bahwa ; "sahabat terbaik saya diTimur tengah adala Syah Reza Pahlevi (Kaisar Syahansyah Iran), Menachen Begin (PM Israel), Anwar sadat dan Arab Saudi". Bahkan kedatangan Raja Iran ke Saudi maupun AS, selalu disambut dengan "Karpet Merah".
Kepentingan yang menghadirkan semua itu. Lebih spesifiknya, bisnis. minyak, bro. Ketika keutungan tidak lagi saling menguntungkan, Iran bagi AS dan negara-negara sekutunya adalah menjadi salah satu negara "poros setan", istilah yang dikeluarkan oleh George W. Bush Jr.
Saddam Husein selama Hampir 10 tahun menjadi Harapan besar bagi AS dan sekutunya (Eropa dan Timur Tengah) untuk menghancurkan rezim Demokratis-teokratis Iran. Seluruh biaya dan sumber daya diberikan kepada Saddam Hussein. Pembunuhan Suku Kurdi dan warga syi'ah di irak dilakukan oleh Saddam Hussein, kala itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar. karena Saddam putra Tikrit ini sedang menjalankan sebuah misi besar yaitu mengembalikan kejayaan kekaisaran persia yang direbut oleh Ayahtullah Ruhullah Khomeini. Tapi, Saddam gagal. Akhirnya Saddam di musuhi, dibunuh dan dianggap pemimpin jahat. Pembenarannya, disusun belakangan, pokoknya Saddam Harus tumbang. Apalagi ditambah Saddam mulai menaikkan "daya tawarnya" ketika mencaplok kuwait dengan alasan Historis.
Dari pangkalan militer AS di Arab Saudi, Saddam di gempur oleh Bush Senior. Jendral Norman Schwarzkofp memimpin operasi yang di namakan badai gurun itu. Kuwait bebas, Saddam terkucil dari politik dunia, khususnya pergaulan antar negara di timur tengah, Saddam di tinggalkan.
Setelah Bush tidak lagi menjadi Presiden, Clinton menjadi Presiden 2 periode. Saddam Masih eksis dengan keterkucilannya. Tapi, Saddam tidak memberikan konsesi eksplorasi ladang-ladang minyak kepada negara-negara barat. Tersebabkan ini pula, Bush Junior, anak dari Bush senior, yang kedua-duanya adalah Presiden AS, negara yang merupakan sahabat Karib Saddam Hussein tahun 80-an, bernafsu menguasai irak. Maka, pembenaran di cari dan dibentuk. " Saddam Diktator bin mengalomaniak dan pembunuh Rakyat". Demikian kata Bush Junior, anak dari Bush Senior.
Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja disana, tapi juga kepentingan.
Pakem paling universal dalam politik itu terformulasi dalam kalimat " tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik, justru yang abadi adalah kepentingan". Politik kepentingan pada dasarnya mengalahkan ideologi, golongan bahkan partai itu sendiri (betapa banyak politisi yang pindah-pindah partai). Itulah sebabnya, jangan pernah membenci kawanmu karena berbeda pilihan politik.
Bila berbeda sikap dengan kewajaran. Karena yang kita perdebatkan justru bisa berbeda-beda tempat, nantinya kita akan terkejut. Ternganga, marah, kecewa dan sedih. Sementara ada pihak lain yang lebih kecewa yaitu kawanmu yang kau hujat dan kau hina karena berbeda pilihan politik.
Kita marah-marahan, tidak berteman. Bahkan Mendikotomikan kawan-kawan ; ini waras, ini gila. Ini akal sehat, yang itu agak putus tali sarafnya dua setengah lembar. Kita bersitegang urat, berdebat kusir, carut marut keluar. isi dapur rumah orang tua, dikasih keluar semua. Orang-orang yang menjadi episentrum perdebatan kita itu, bisa gonta ganti posisi. Gonta ganti kawan sambil ketawa ketiwi.
Sementara kita?. Terlanjur memutuskan persahabatan.
Sirkulasi politik itu rutin. Kadang beberapa belas purnama, tidak pernah lebih dari 5 tahun. Mereka kembali beradaptasi. Sementara "luka" yang tertoreh pada diri kita dan kawan-kawan kita, justru akan bertahta dalam waktu yang demikian lama. Mereka dapat kekuasan, kita kehilangan kawan. Persahabatn yang kita bina demikian panjang, putus dan sobek oleh mereka yang naik "di tengah jalan di hatimu" serta " Say hello" dan hanya menyapa sambil berlalu.
Mengharapkan batu permata, batu kali ditangan kau lepaskan. Kan Dompala namanya itu.
**
-ISU-
Terkadang kita terkejut melihat realitas politik hari ini. Sebuah isu yang dulunya tidak muncul pada rezim sebelumnya, sekarang dimunculkan. Isu yang sekarang tidak ada, justru di rezim sebelumnya dijadikan perbincangan publik. Kadang-kadang yang menaikkan isu itu, justru kelompok yang sama.
Sebagai contoh : sekarang isu militerisme tidak begitu "seksi : sensual dan eksis", justru mendapat tempatnya pada rezim sebelumnya. HAM tidak lagi menjadi pembahasan serius, sebagaimana masa lalu. Contoh yang lain, cukup banyak untuk diketengahkan.
Kadang kita terbawa perasaan - baper istilah kami, anak muda. Terlampau fanatik terhadap sebuah isu politik, sehingga menghakimi pihak lain yang menganggap isu politik tersebut hanya sebagai dagangan politik semata dari sebuah praktek politik praktis. Sebuah praktek politik yang tak selamanya luhur. Sebuah praktek yang didalamnya ada transaksi. Sebuah praktek politik yang juga dibungkus dengan sandiwara politik. Fiksi.
Dalam kajian mengenai Indonesia, pernah ada analisis menarik dan cemerlang dari "Bennedict R.O.G. Anderson" tentang hal ini. Politik sebagai sebuah fiksi. Demikian pula dengan antropolog "Clifford Geertz" yang membicarakan negara sebagai sebuah teater dengan acuan empirik Bali pada abad ke-19. Bahkan "Earving Goffman" memperkenalkan istilah "panggung depan" dan "panggung belakang" (Dramaturgi) dalam melihat motivasi interaksi dalam dunia politik.
Pada hakikatnya, sudah cukup lama ranah politik tersebut dikiaskan sebagai sebuah panggung teater ataupun sandiwara. Bahkan bukan hanya ranah politik saja, seluruh entitas kehidupan masyarakat juga berlaku hal yang demikian.
Dalam dunia politik dan dunia teater atau sandiwara terdapat tokoh-tokoh dengan hasrat yang tidak terlalu dan tidak selalu sama. Ada pertentangan. Ada konflik. Disana juga ada dialog, peristiwa dan perilaku. Tentunya dan pasti ada alur cerita. Tawa dan tangis, suka dan duka cita silih berganti. Ada kepalsuan, kepahlawanan, pengkhiatan dan kejujuran. Bahkan ada penaklukan dan penguasaan. Ada kepatuhan dan perlawanan, dalam beragam derajat tentunya.
Tapi, sekali lagi, benarkah politik itu teater, panggung sandiwara, fiksi atau sinetron?.
Politik adalah medan adu kepentingan dan kekuasaan yang sangat praktis, who get what how and when, kata "Harold Laswell". Dan selalu ada panggung depan, ada panggung belakang. Arti kata, di depan "berdarah-darah", di panggung belakang ; eh "bertaut kelingking", sedangkan kita, Ya KITA. sudah terbawa perasaan. Menyapa pun tak mau.
"lalu anda ?".
Ya, santai aja. Apa yang bisa menjelaskan Anies Baswedan 2017 dibandingkan Anies Baswedan 2014-2016 yang lalu Atau Risma di tahun 2017 di bandingkan Risma di tahun 2021. Kliping-kliping beraurakan "tenun kebangsaannya", hingga hari ini masih saya baca. Atau Ruhut Sitompul ketika Bapak SBY jadi Presiden dan Ruhut Sitompul dikala Bapak Jokowi memimpin negeri ini.
Bagi saya, sebuah isu yang dibungkus dengan nuansa politik, maka tak kecil kemungkinan, isu tersebut berada dipanggung depan, yang terus-terusan di Framming. Padahal, ada kompromi-kompromi di panggung belakang. Setidaknya demikian kata teks :). Perjalanan waktu, memberikan contoh-contoh. Benar tidaknya, terpulang pada kita semua. Karena itu bagi saya sederhana. Silaturrahmi di atas segala-galanya. Walapun kita berbeda pendapat.
**
- ISU IJO DAN ISU PKI-
Mari kita, lacak untuk konteks Indonesia. Sependek pengetahuanku, Isu PKI tidak efektif mendiskreditkan PDI-P dari aspek politik. Khususnya, elektabilitas. kita lihat Dari 5 kali Pemilu, pasca Orde Baru, PDI-P adalah partai politik yang sering menjadi pemenang. Pemilu 1999, 2014 dan 2019. Selebihnya nomor 2. Buka saja arsip berita sejak 1999 diberbagai media massa, berkenaan dengan isu, hampir selalu sama.
Politik adalah ajang kontestasi. Tujuannya jelas, kekuasaan. Pasca Orde Baru, politik di Indonesia, kental dengan politik akomodatif. Ideologi yang menjadi basis masing-masing partai politik, biasanya akan menjadi "cocok" ketika kontestasi elektoral selesai, pembagian kekuasaan kemudian di bicarakan. Di negosiasi. Akhirul kalam, awalnya berbeda, ujungnya di paksa "sesuai", "seperjuangan". sevisi dan sejenisnya.
Kembali ke PDI-P. Partai yang dianggap dekat secara politik dengan nama besar Soekarno ini, tetap saja jadi nomor 1 atau 2, bila hanya isu ke isu itu saja yang di alamatkan padanya. Secara historis-sosiologis, isu ini akan mentah karena figur Soekarno yang di milikinya. Suka atau tidak suka demikian fakta historis genelogisnya. Ini yang tidak dimiliki partai lain. Partai ini memiliki pendukung fanatik. Secara demografis jumlahnya sangat banyak. Soliditasnya tinggi.
Nama besar Soekarno, itu kekuatannya. Perekatnya. Partai lain, tidak memiliki "nama besar". Perekat banyak di figuri pendiri. Redup pendiri, redup pulalah ia.
Oke, ada yang bilang PKI. Disisi lain, akan ada counter nama besar Soekarno yang memiliki jasa besar bagi republik ini. Apalagi, dalam konteks geopolitik maupun politik global, isu komunisme bukanlah isu seksi secara politik.
"Kedepan, para politisi-politisi kita niscaya menukar isu yang langsung menyentuh ekspektasi publik. Atau, bersatulah wahai partai politik berbasis Islam. Kalau bersatu, kans mengalahkan PDI-P, serta Golkar bisa besar.
"Tapi mungkinkah ?".
Entahlah. Sejak Pemilu 1955, keinginan seperti itu, ibarat mimpi. Entitas sosiologis historis ummat Islam Indonesia, beda dengan muslim Malaysia yang cenderung homogen. Kita sangat bervariasi - heterogen. Segmentasi sosilogid historisnya terasa kental.
"Lalu ?".
Cara lain, daripada biduk partai dan ormas "hijau" tidak pernah satu perahu. ya, ambil alih itu perahu-perahu besar. PDI-P maupun Golkar. Bila perlu "hijaukan !". Bukankah ketika di akhir kekuasaan Soeharto, melalui Habibie, Golkar dan senayan bisa "di ijo royo-royo kan?".
Selain filosofis, Platform itu penting. Dalam bisnis Barangkali, kalau dalam Politik: politik kita memakai "aji Mumpung". politiknya tergantung arah angin.
Manusia politik adalah manusia kepentingan sesaat. cara berpikirnya, Cara berpikir Lonte. Kebutuhan sesaat, kalau mau ngewek saja.
Hal ini pernyataan telanjang saya, jika politisi kita tidak menjadi bersih dan seorang yang negarawan. Kita buktikan bahwa banyak politikus saat ini yang belum menjadi negawarawan?.
kita lihat, nama pensiunan Tentara Seperti Prabawo, SBY, Wiranto dan HendroPriono, semua Jendral tetapi mengapa partainya Juga 4 : Gerindra, Demokrat, Hanura dan PKPI. Yang penguasannya adalah mantan petinggi tentara.
Lalu partai berbasis agama :PKS, PAN, PKB, PBB dan PPP. Sama agamannya. tetapi, kenapa partainya banyak. Karena, Tidak punya Platfrom yang samakah, Bukankah agamannya sama?. Juga partai para Pensiunan Tentara, yang buat partai, Sama-sama tentara, sama-sama Tamatan Tidar, sama-sama bersama -sama?. Kenapa mesti membuat partai yang berbeda. Berbeda Platfrom kah atau berbeda Egonya?.
Kemudian Partai Nasionalis seperti : PDIP, Nasdem, Golkar. Apa bedannya?. Golkar berkuasa, yah begitu juga arah kebijakannya. Ganti PDIP, begitu juga. Ganti Demokrat, Sama saja. Apa yang berbeda?. Kebijakannya sama. Jadi, memang partai-partai kita Tidak punya platform. Ikut-ikutan semua, sesuai kebutuhan dan kepentingan pada saat itu, bukan sesuatu untuk kebutuhan bangsa dan negara dalam jangka panjang.
Kita contoh Single partai Country. China punya Platform solid dan platformnya sekarang bergeser. Platformnya jelas, PKC (Partai komunis China), kalau kita mengatakan bahwa china itu komunis, kita salah. Kita termakan Hoax dan kebencian kampanye masa lalu. Kasihan itu otak. Pemahaman yang digeneralisir dan diulang-ulang terus menerus itu adalah propaganda. Dan propaganda pasti memiliki niat.
China itu adalah negara Sosialis kapitalis, ideologinya adalah One bealt One Road. Komunisme hanya salah satu "Tool", hanya salah satu sumber kendali mereka untuk masyarakat. Sementara Rakyatnya, mau bergama, mau agnostik, mau kapitalis, Mau proletarian, China tidak perduli itu.
Amerika Lain lagi, kalau partai Barack Obama, Demokrat berkuasa, kebijakan perangnya pakai "Proxy". Perangnya pinjam tangan orang, dalam Jurus Perang sun Tzu Dikenal dengan terma ; "meminjam belati lawan untuk membunuh Musuh". Kebijakannya Heavy on government, pajak tinggi. Kalau Republik berkuasa, partainya seperti Trump. Perangnya "Konfrontatif". Kebijakannya Direct War, Heavy on private, ukm pesta pora, pajak kecil. Dan UKM bisa menjadi konglomerat dengan cara Partai Republik.
Platform berpolitiknya jelas, mengelola negaranya jelas.
Kalau dindonesia, ganti presiden. tergantung pilihan orang sekitarnya. tergantung kepentingan dan kebutuhan saat itu dan tergantung maunya Oligarki, segelintir orang yang menang Pilpres. Akan sama antara partai apapun yang berkuasa. Karena, Partai dindonesia Platform partainnya tidak jangka panjang.
Platform partainya sederhana sekali yaitu bagaimana menguasai wilayah dengan menang pilkada, menguasai Legislatif. lalu, menaruh orangnya di senanyan dan DPRD. Bagaimana cara Menjadikan Presiden yang Ujungnya adalah menguasai anggaran.
Apa namanya kalau Bukan Otak Lonte?.
-- SANTRI DAN POLITIK IDENTITAS --
Ada seorang ilmuan. Antropolog terkenal. Teori yang di Kembangkan dalam tradisi ilmu sosial Indonesia, sangat berpengaruh hingga kini dalam menganalisis fakta sosial dan budaya politik di Indonesia.
"Siapa dia?", adalah CLIFFORD GEERTZ (1926-2006)
Geertz memperkenalkan konsep teoritik trikotomi ; (1) Priyayi, (2) Santri dan (3) Abangan
Dalam setiap analisis fenomena sosial budaya dan politik di Indonesia, bila ingin menggunakan teori yang di bangun Geertz tersebut, maka ketiga-tiganya harus dibawa. Harus menjadi unit analisis. Tak boleh tertinggal. Tiga dalam satu. Satu dalam tiga.
Sejak lama saya berseberangan pendapat dengan pandangan yang meletakkan politik-identitas hampir melulu di bawah sudut pandang minor. Pandangan minor terhadap wacana tentang politik-identitas ini, menurut saya, hampir serupa dengan pandangan minor para pengikut teori developmentalisme ketika mereka disodori wacana mengenai ethno-politics sebagai kritik terhadap pembangunan tiga atau empat dekade silam. Mengenai hal ini, saya kebetulan sedang membaca, serta menemukan sesuatu yang menarik di dalamnya.
Kembali ke soal politik-identitas, menurut saya isu mengenai politik-identitas tidak bisa dibicarakan tanpa ‘background’ sama sekali, seolah isu itu bisa hadir per se begitu saja membawa dirinya sendiri. Ada dua alasannya.
Pertama, semua hal yang terkait dengan politik sebenarnya selalu berkaitan dengan “identitas” - ras, kelas, agama, ideologi, dan lain-lain. Sehingga tentunya menjadi persoalan, kenapa satu isu tiba-tiba bisa disebut sebagai "politik identitas", sementara isu lainnya tidak dianggap sebagai berkaitan dengan "politik identitas"?
Sebagai contoh, kenapa munculnya tokoh Santri dalam politik Indonesia selalu dianggap membawa politik identitas, sementara kemunculan tokoh Abangan tidak dianggap sebagai politik identitas?. Padahal, baik "Santri" maupun "Abangan", in term of politics, sebenarnya sama-sama diakui merupakan bagian dari aliran.
Kedua, apa yang kini disebut sebagai "politik-identitas" biasanya menguat bukan karena persoalan politik atau identitas itu sendiri, melainkan karena persoalan ekonomi. Jika latar belakang ini dihapus, pemahaman kita mengenai gejala ini bisa pincang.
Kalau kita baca buku Amy Chua, "Political Tribes", ada satu poin menarik di sana. Pasar bebas dan demokrasi, menurut Chua, selama ini hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat dengan identitas tertentu. Chua menyebutnya sebagai minoritas - pendominasi - ekonomi (market-dominant-minority).
Di Amerika, misalnya, market - dominant - minority-nya adalah “coastal elite - Elit pesisir”, yaitu elit kulit putih yang umumnya tinggal di wilayah pantai barat dan timur, berpendidikan universitas, berpandangan kosmopolitan, dan mayoritas berafiliasi ke Partai Demokrat.
Namun identitas para aktor ini selama ini telah ditutupi oleh narasi-narasi ideologis seperti "kapitalisme", "komunisme", “otoritarianisme”, “liberal”, “konservatif”, dan sejenisnya. Label-label itu telah menutupi identitas para aktor yang terlibat di dalamnya.
Sesudah Perang Dingin, ketika narasi mengenai konflik ideologi dianggap telah berakhir, kita kemudian jadi langsung berhadapan dengan identitas-identitas para aktor tadi secara lebih jelas.
Dulu orang mempercayai Perang Vietnam sebagai pertarungan antara kapitalisme dengan komunisme. Padahal, menurut Chua, yang terjadi sebenarnya adalah pertarungan antara minoritas “kapitalis” keturunan Cina yang sangat dibenci, versus mayoritas rakyat Vietnam yang membencinya. Rakyat Vietnam secara umum sebenarnya tidak ingin melawan kapitalisme, ataupun menegakkan komunisme sebagaimana yang dituduhkan Barat, melainkan ingin membebaskan dirinya dari kelompok market-dominant-minority tadi. Model konflik serupa juga berlangsung di Afghanistan, Suriah, Irak, atau tempat-tempat lain.
Di Afghanistan, kelompok minoritas Tajik yang kaya raya telah ditumbangkan oleh Taliban, organisasi militernya kaum Pashtun, yang merupakan kelompok mayoritas. Di Suriah, minoritas Sunni yang menguasai perekonomian telah dilawan oleh mayoritas Syiah yang miskin.
Kesimpulan kecilnya adalah “tribalisme” memang bisa muncul karena perbedaan suku, atau agama, namun yang tidak bisa diabaikan, karena ini berlangsung di seluruh dunia, tribalisme terutama menguat karena perbedaan kekayaan.
Ketimpangan ekonomi, tidak terdistribusinya kekayaan negeri, serta penguasaan kekayaan oleh sekelompok minoritas-dominan, telah melahirkan sentimen perlawanan kelompok mayoritas. Ini adalah background yang tidak boleh dihapus ketika mendiskusikan isu tentang “politik-identitas”.
Intinya, saya cuman mau bilang, bahwa Santri itu, apapun ragam defenisinya, tak bisa dilepaskan dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Bicara apapun tentang sejarah Indonesia, variabel santri menjadi variabel penting untuk dibahas. Begitu berartinya santri itu.
***
SANTRI DAN ABANGAN DI PENTAS PEMILU
Meskipun trikotomi Geertz mengenai Santri, Priyayi dan Abangan pernah dikritik karena kriterianya yang tidak konsisten, namun konsep "Santri" dengan "Abangan", menurut saya, sebenarnya relevan digunakan untuk memahami bagaimana perilaku politik di Indonesia.
Dulu Wertheim pernah menyebut bahwa umat muslim Indonesia adalah mayoritas yang bermental minoritas. Berbeda dengan Wertheim yang melontarkan penilaian itu dengan nada negatif, saya justru menilai "mental minoritas" itu sepenuhnya bersifat obyektif. Artinya, jika umat muslim Indonesia merasa dirinya minoritas, hal itu memang didukung oleh kenyataan obyektif sebenarnya.
Seandainya konsep "Santri" dan "Abangan"-nya Geertz itu kita pinjam lalu diproyeksikan pada data hasil Pemilu, misalnya, dengan "Abangan" sebagai kriteria atas aliran non-Santri dan non-muslim, nampak terlihat bahwa sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2019 partai beraliran Santri memang tidak pernah menjadi pemenang dan mayoritas. Mereka selalu kalah dan menjadi minoritas di parlemen.
Siapa yang mayoritas? Abangan!
Mungkin akan segera ada yang menyanggah, bukankah kalangan Abangan itu sebagian besar adalah Santri (baca: muslim) juga?!
Di atas kertas memang begitu. Namun, secara politik tidak pernah demikian. Jangankan jauh-jauh antara Santri dengan Abangan, di antara sesama Santri saja langgam politiknya bisa sangat jauh berseberangan. Bagaimana berjaraknya politik Partai Masyumi dengan Partai NU sebelum dan sesudah Pemilu 1955 bisa jadikan cerminnya.
Jika argumen semacam ini dikemukakan oleh tokoh politik Santri, sulit dihindari kesan yang bersifat apologetik. Namun, menariknya, argumen ini dulu justru pertama kali dikemukakan oleh Nono Anwar Makarim, yang hingga kini sering dianggap tokoh sekuler. Dalam tulisannya, "Mayoritas dan Minoritas: Dari Soal Abangan Pendukung PKI-PNI sampai Santri Pendukung NU-Masyumi", Nono dengan tegas menulis bahwa "Islam tidak merupakan mayoritas di bidang politik!"
Menurut Nono, kebanyakan orang Islam sebenarnya hanya mengaku beragama Islam sebanyak empat kali saja selama hidupnya, yaitu saat (1) lahir, ketika (2) dikhitan, saat (3) menikah, dan saat (4) meninggal. Artinya, meski secara statistik jumlahnya besar, di dalam politik tidak dengan sendirinya Islam menjadi mayoritas. Nono kemudian mencontohkan Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Keduanya, tulis Nono, sama-sama muslim. Namun, dalam politik, kedua pemimpin PNI itu lebih memilih berporos dengan PKI.
Ada satu lagi kutipan menarik dari Nono. Ia menulis : "Saudara Subhan Z.E. setelah Sidang Umum MPRS berbicara tentang 'minoritas' Islam yang dipojokkan oleh semua golongan. Kasarnya Islam dikeroyok. Secara sambil lalu memang demikian kelihatannya. Kalau diteliti lebih mendalam maka suatu hal yang komis akan terlihat. Sebab yang 'memojokkan' dan 'mengeroyok' sehingga Islam menjadi minoritas adalah serentetan minoritas-minoritas lain. Kalau toh mau berbicara tentang mayoritas politik, maka terpaksa harus dikatakan bahwa ABRI dan Partai Katolik-lah yang merupakan mayoritas".
Tulisan lama Nono itu dimuat dalam buku yang disunting Rum Aly, "Simptom Politik 1965" (2007). Tulisan itu sebenarnya adalah tulisan lama. Sidang Umum MPRS yang dimaksud, sepertinya adalah SU MPRS pada masa akhir Demokrasi Terpimpin hingga awal Orde Baru. Jelasnya, sebelum Pemilu 1971. Sayang, tulisan itu dimuat kembali tanpa menyebutkan sumber asli dan tanggal publikasi pertamanya.
Posisi sebagai minoritas-politik inilah yang telah membuat golongan Santri tidak pernah bisa menjadi pemimpin nasional jika tidak menggandeng kalangan Abangan. Ini sudah dibuktikan oleh kontestasi Pilpres secara demokratis yang telah berlangsung sejak tahun 1999, baik melalui mekanisme demokrasi perwakilan di MPR, maupun melalui pemilihan langsung sejak tahun 2004. Naiknya duet Gus Dur-Megawati, misalnya, menunjukkan hal itu.
Di sisi lain, meskipun sesudah Reformasi komposisi pemimpin nasional selalu berasal dari duet Santri-Abangan (atau Abangan-Santri), seperti tercermin dari duet Megawati-Hamzah Haz, SBY-Jusuf Kalla, Jokowi-Jusuf Kalla, lalu Jokowi-Ma'ruf Amin, namun pernah ada satu periode ketika pemimpin nasional kita sama-sama dijabat oleh Abangan, yaitu pasangan SBY-Boediono. Ini menurut saya kasus menarik.
Naiknya SBY-Boediono ini telah mengukuhkan satu kesimpulan baru yang juga penting dicatat, bahwa tanpa harus berduet dengan Santri sekalipun, kalangan Abangan terbukti bisa memenangi kontestasi Pilpres. Ini yang tidak (atau belum?) bisa dilakukan oleh golongan Santri sejauh ini.
Pada Pilpres 2009, kita tahu, SBY-Boediono bisa mengalahkan Megawati-Prabowo di Jawa Tengah, yang dikenal sebagai kandang banteng. Hingga sejauh ini, belum pernah ada yang bisa mengalahkan partai banteng di kandangnya sendiri, kecuali SBY.
Racikan komposisional Abangan-Santri, atau Santri-Abangan ini, menurut saya, akan mempengaruhi pasangan-pasangan yang akan berlaga pada Pilpres 2024.
Makassar, 18/06/2022
***
AGAMA DAN POLITIK
Dalam kajian antropologi politik, peranan agama dan simbol-simbol supranatural di dalam politik memainkan arti penting. Agama pun bisa dijadikan landasan bagi struktur, landasan kepercayaan, atau sumber tradisi yang bisa dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan. Namun, pilihan paling lazim adalah menjadikan agama sebagai alat legitimasi oleh para elite yang berkuasa atau kekuatan yang mengejar kekuasaan (ini yang dikritisi para kalangan Marxian). Sejarah (berbagai agama) dan sejarah politik dari berbagai masa, menunjukkan fakta sosial ini.
”Pemakaian” ayat, dalil, atau ungkapan yang dinisbatkan pada agama tertentu sebenarnya identik dengan kemunculan kiai atau tokoh lain yang merepresentasikan agama. Kemunculan simbol-simbol tadi telah mengandung pesan, lebih dari makna yang terkandung dalam substansi yang sebenarnya. Tidak heran bila kosakata silaturahmi lebih sering digunakan ketimbang pertemuan politik.
Membebaskan panggung politik dari anasir-anasir agama tidak semudah yang dibayangkan kelompok yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Bahkan, bagi sebagian kalangan, memisahkan agama dan wilayah politik bukan saja sulit, tapi dipandang tidak perlu.
Fakta mengungkapkan, bagi sebagian pemilih di tanah air dikotomi tua – muda tidak begitu penting. Demikian juga dikotomi sipil - militer sudah melonggar. Namun dikotomi Islam - non-Islam masih dipandang sensitif dan penting dipertimbangkan sebagai variabel penting keputusan untuk memilih. Bagi sebagian kelompok, bila menerapkan sistem politik menurut kaidah agama dipandang belum mungkin, maka mengambil anasir-anasir agama untuk diformulasikan ke dalam kaidah hukum dan politik sudah dianggap cukup. Adaptasi ajaran politik pun terjadi di sepanjang garis keyakinan agama.
Pada akhirnya, keputusan untuk memilih melibatkan variabel yang kompleks. Diperlukan sentuhan personal untuk merebut dukungan. Lebih-lebih dalam situasi ekonomi yang mencekik, kandidat yang bisa memberi harapan bagi perbaikan yang dirasakanakan lebih diapresiasi.
Dunia politik makin lama makin rasional - untuk tidak menyebut - pragmatis :).
Sebagaimana seorang bapak atau ibu yang merupakan tokoh politik, mempersiapkan anak-anak mereka untuk mengikuti jejek mereka?. Bahkan mempersiapkan sedaya upaya untuk kekuasaan politik?.
Tidak salah, siapapun boleh melakukannya. Larangannya pun tak ada, demokrasi meniscayakan hal tersebut. tapi, berkenaan dengan itu saya ingat dengan "Ayahtullah Ruhullah Khomeini".
Ketika Ayahtullah Ruhullah Khomeini menjelang hari-hari terakhirnya, Ia di minta oleh elit politik Iran untuk membuat wasiat dan Testamen politik, agar sang Anak, Hojjatul Islam Ahmad Khomeini agar di plot menjadi presiden atau masuk dalam wilayah "vilayat ulul Faqih".
Khomeini berkata yang membuat semua tercengang ; " Saya berjuang bukan untuk anak saya, Ahmad Khomeini tidak saya perkenankan masuk dalam lingkarang politik, setelah saya meninggal nantinya.
Padahal dalam konteks ilmu politik, Ahmad Khomeini memiliki sumber-sumber kekuasaan yang lengkap ; sumber genetik (Anak Khomeni), serta ulama dengan pengetahuan yang luas dan menjadi manusia yang terbuang bersama ayahandannya karena melawan rezim Syah Reza Pahlevi.
"IRAN BUKAN UNTUK ANAK SAYA", demikian kira-kira pesan yang di sampaikkan Khomeini
Berkelindannya kepentingan politik yang terjadi di beberapa daerah konflik seperti di Suriah, Irak, dan Yaman, mengingatkan saya akan sejarah masa lampau. Kehadiran kelompok-kelompok yang menganggap dirinya "mujahiddin" di daerah ini, poros negara kaya Teluk dan Iran serta kehadiran Amerika Serikat serta Rusia, (juga) mengingatkan saya kepada sejarah masa lalu.
Dulu, ketika Syah Reza Pahlevi (yang istrinya luar biasa cantik itu ... Farah Diba :) ) masih memegang tampuk kekuasaan di Iran yang Syi'ah, ia dianggap sebagai kawan terbaik negara-negara Teluk. Pengaruhnya besar. Ia sahabat paling akrab Amerika di kawasan ini. Tak salah bila kemudian, Iran dipandang sebagai "perawan-cantik" di Timur Tengah. Lalu ketika Syah Reza Pahlevi dikudeta, ia dibuang, dilucuti pengaruh dan daya tawar politiknya, kekuasaan Amerika Serikat diusir hingga ke jejak-jejaknya dan digantikan oleh sistem teo-demokrasi. lihatlah, Iran (kemudian) berubah menjadi "nenek sihir yang ditakuti" oleh kawan-kawannya yang selama ini menganggapnya "perawan-cantik" Timur Tengah. Bahkan Bush (Jr) memberi gelar sebagai "poros setan" pada negara yang disayangi oleh seniornya dahulu - Jimmy Carter.
(Lalu) ..... !
Bukankah (dulu) Khalifah Abbasiyah di masa Al-Makmum merupakan sekutu paling dekat Charlemagne - Raja Frank. Kedekatan Al-Makmum yang menganggap dirinya sebagai pemimpin politik ummat Islam seluruh dunia ini dengan Charlemagne adalah untuk mengisolasikan Kekhalifahan (Islam) Andalusia yang sedang "naik daun". Pada sisi lain, Raja Bizantium yang menganggap dirinya sebagai pemegang tafsiran Kristen paling orisinil merupakan sekutu imperium/kekhalifahan Andalusia. tujuannya untuk mengisolasi Charlemagne yang juga menganggap dirinya sebagai pemimpin politik Kristiani seluruh dunia. Saling berkelindan.
*Rst
*Pejalan Sunyi
*Nalar Pinggiran



Tidak ada komentar:
Posting Komentar