Ada sejumlah tujuan yang hendak dicapai dari pernikahan ini. Pertama, sebagai cara manusia menyalurkan hasrat libidonya untuk memperoleh kenikmatan atau kepuasan seksual. Kedua, merupakan ikhtiar manusia untuk melestarikan kehidupan manusia di bumi. Pernikahan dalam arti ini mengandung fungsi prokreasi sekaligus reproduksi. Ketiga, menjadi wahana manusia menemukan tempat ketenangan dan keindahannya. Melalui perkawinan, kegelisahan dan kesusahan hati manusia mendapatkan salurannya.
Menurut Imam Ghazali menikah memiliki beberapa tujuan yaitu; pertama, memperoleh dan melangsungkan keturunan agar bumi tidak kosong dari manusia, kedua, menyalurkan dorongan seksual. Ketiga, memenuhi panggilan untuk memelihara dari kejahatan dan kerusakan. Keempat, memupuk rasa tanggung jawab dalam mengendalikan umah tangga dan membangkitkan semangat mencari rezeki halal. Dan Kelima, menciptakan masyarakat yang tentram atas dasar kasih sayang.
Artinya, menikah adalah Jalan yang di tawarkan agama untuk mencegah manusia melakukan Kemaksiatan yang bisa terjadi. Selain, menikah, Agama mengajurkan kita untuk berPuasa. Puasa di sini bermakna sebagai jalan kedua setelah menikah, Jika seseorang masih merasa belum mampu untuk menikah, maka berpuasalah sebagai amalan yang dianjurkan. Rasulullah bersabda, “Wahai para pemuda, apabila siapa di antara kalian yang telah memiliki ba’ah (kemampuan) maka menikahlah, karena menikah itu sebagai pelindung.” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Tetapi, Perlu juga di ingat bahwa puasa hanya mengendalikan Hasrat seksulitas bukan untuk memusnahkan atau menghilangkan Hasrat Seksual manusia. Sebab, Hasrat seksual manusia adalah fitrah. Sehingga jalan kedua setelah menikah adalah puasa. Sedangkan, Puasa yang disarankan, seperti puasa senin - kamis, puasa daud Dan puasa sunnah lainnya.
Secara Garis besar, agama menawarkan 3 jalan dalam menyalurkan Hasrat seks manusia, yaitu Nikah, poligami, Puasa dan Beberapa Ulama menyepakati Jalan Onani-masturbasi, sekalipun punya resiko yang berbahaya.
Mengapa agama memberi solusi?. Karena, agama melihat ada potensi kemasiatan yang bisa terjadi di situ, yaitu Zina. Zina adalah tindakan yang menyimpang dari ajaran agama dan termasuk perbuatan yang haram. Oleh karena itu, sehingga Allah mewarning Kita dalam Q.S. Al-Isra : 32, Walaa Taqrabu zinaa innahuu kaana faahisyatan wasaaaa a sabiila - "Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk".
Zina sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan. Adapun kategori Zina, terdiri dari dua kategori, Zina Muhsan dan zina Ghairu Muhsan.
Zina Muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah. Seperti seseorang yang berselingkuh, hingga berujung pada hubungan intim. Sementara, Zina Ghairu Muhsan adalah zina yang dilakukan oleh mereka yang belum menikah.
Seseorang yang balig, maka Potensi seksnya adalah Fitrah - kebutuhan dasar Manusia. Sekalipun, Terdapat ragam pendapat ulama mazhab tentang usia seseorang untuk disebut sudah balig.
Mazhab Syafii dan Hambali secara umum menyebutkan, usia balig untuk laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun. Mazhab Hanafi menerapkan batas minimal dan maksimal usia balig. Batas minimal seseorang disebut sudah balig adalah 12 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan. Sedangkan batas maksimalnya, yaitu 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan. Mazhab Maliki memberikan batasan usia balig adalah genap 17 tahun memasuki 18 tahun, atau genap 18 tahun. Dalam hal ini, mazhab tersebut tidak membedakan batas usia balig untuk laki-laki atau perempuan.
Berkenaan dengan Balig, Allah berfirman dalam Q.S an-Nur : 59, "Dan apabila anak-anakmu telah sampai ihtilam (umur balig), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka meminta izin".
Diriwayatkan juga dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, "Terangkatlah pertanggungjawaban dari tiga golongan, yaitu orang tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga ia ihtilam (bermimpi basah dan mengeluarkan mani), dan orang gila hingga ia sembuh (kembali berakal)".
Berdasarkan ayat dan riwayat tersebut, dipahami seseorang disebut sudah balig ketika ia sudah mengeluarkan mani, baik dalam keadaan sadar atau tidur (mimpi basah). Ketika seseorang sudah sampai tahap itu, maka ia bertanggungjawab untuk menjalankan syariat sebagai muslim yang seutuhnya.
Jalan pernikahan adalah salah satu solusi penyaluran Hasrat seks. Tapi, mungkin pernikahan adalah Jalan penyaluran hasrat seks, Jika pernikahan, justru di pagari oleh Ritus kebudayaan - Kondisi Sosio Antropologis Masyarakat setempat, bukan Rukun dan Syarat yang di anjurkan Agama.
Kita menyakini bahwa Nikah adalah Jalan terbaik penyaluran Libido Seks Manusia. Namun, beranikah kita menabrak atau keluar dari sterotipe Nikah dewasa ini, dengan hanya memenuhi Syarat dan Rukun yang di Kemukakan agama?.
Faktanya, Hampir bisa di Pastikan tidak ada Yang berani mendobrak kejumudan kita pada Stereotipe pernikahan dengan Pagar-pagar Tradisi yang hampir mutlak dan wajib. Seperti, Nikah di sebut Nikah, Jika ada pesta dengan Aksesoris kemewahan di gelar. Jika ada sejubel Busana mentereng di tampilkan. Jika ada makan berkelas di sajikan. Jika ada hiburan papan atas di pertontonkan.
Orang tua yang mempersulit pernikahan bagi anak-anak mereka harus bertanggung jawab kepada Allah, ketika putra dan putri mereka menempuh hubungan yang di luar tuntunan agama. Jika tidak mempermudah yang halal, secara tidak langsung telah memfasilitasi yang haram. Nabi pernah ditanya: 'Di mana Allah?.' Nabi menjawab: 'Allah bersama orang-orang yang patah hati.'
Hal semacam ini, seperti Seseorang melarang anaknya untuk berzina, tetapi dalam waktu bersamaan memberatkan anaknya untuk menikah sebagai salah satu Jalan untuk menyalurkan Libido Seksnya. Makanya Tak jarang Kita dapati Problem sosial Kawin Lari - Silariang atau Hamil di Luar Nikah - Zina.
Berkenaan dengan Nikah sebagai Jalan terbaik, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَاَ نْكِحُوا الْاَ يَا مٰى مِنْكُمْ وَا لصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَا دِكُمْ وَاِ مَآئِكُمْ ۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ وَا للّٰهُ وَا سِعٌ عَلِيْمٌ
"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahu". (QS. An-Nur 24: Ayat 32)
Diksi ayaama adalah bujang ; orang yang tidak memiliki pasangan (sah). Baik dia adalah perawan atau perjaka, maupun janda atau duda dan hal ini berlaku bagi pria atau wanita yang merdeka (bukan budak).
"Nikahkanlah juga orang-orang yang layak". Di ayat ini, Allah menyatakan anjuran bagi orang-orang Islam yang kaya atau penguasa, untuk menikahkan orang-orang yang belum menikah. Makanya, Ketika Umar Bin Abdul Azis masih menjabat sebagai Khalifah, ia mengeluarkan aturan, "boleh mengambil uang dari baitul mal untuk membiayai perjaka-perjaka yang belum kawin". Artinya, negara berkewajiban, menikahkan seseorang yang belum mampu menikah, karena faktor biaya. Biaya nikah dalam artian, Biaya akad. Bukan resepsi - Pesta.
"Dan (nikahkan) juga orang-orang sholeh (muslim) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan". Di ayat ini, Kata ibad adalah bentuk plural dari kata singular : abdhi.
"Jika mereka miskin, maka Allah akan memberi kemampuan kepada mereka". Inilah dalil bagi orang-orang yang sudah menikah, pasti di beri kecukupan oleh Allah. Sekalipun, tidak sedikit yang setelah menikah, tambah melarat. Maksudnya ayat ini adalah jika orang sudah siap menikah, dia pasti di beri kecukupan. Kecukupan dalam arti Tasawuf - berbesar hati atau apalah pemaknaan yang lainnya. Sebab, jika kecukupan dalam arti ekonomi, ya tidak sedikit yang justru melarat setelah menikah, karena ukuran kecukupannya adalah faktor ekonomi.
"Dengan menikah, Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunianNya". Jika sudah menikah, pasti lebih kecukupannya. Sebab, tidak ada ceritanya orang yang menikah tidak lebih kaya daripada perjaka .
Nah, Di ayat yang lain, Allah menyatakan, "Dan kepada orang-orang belum mampu menikah, hendaklah menahan diri. sampai Allah memberi kemampuan untuk menikah ". Belum mampu yang di maksud adalah belum mampu meghadirkan Mahar dan Nafkah. Sedangkan menahan yang di maksud adalah menahan diri dari zina. Mau tidak laku bagaimana pun, jagalah dirimu dari zina.
Nikah itu mudah, Yang membuat nikah itu susah adalah nafsu kita. Seperti berharap, dapat istri cantik, Ekonominya bagus, nasabnya baik. Padahal, kriteria yang seperti itu pun memiliki kriteria yang sepadan, dan ternyata bukan kita. Andaikkan kriterianya yang penting perempuan, maka tentu nikah itu mudah.
Berkenaan dengan itu saya teringat dengan Mullah Nasruddin. Suatu ketika Seorang bertanya pada Mulla Nasruddin. "Yaa Syeikh, apakah engkau tidak pernah berpikir untuk menikah?".
Syeikh Nashiruddin menjawab, "dulu aku ingin menikah dengan seorang wanita sempurna, untuk itu aku melewati lembah dan gurun, hingga aku tiba di damaskus. Di sana aku menemukan seorang wanita cantik nan mempesona. tapi, sayang wanita itu tiada kabar akan dunia.
Akhirnya saya melanjutkan perjalanan ke lebanon. di sana aku menemui seorang wanita yang memiliki pengetahuan akan langit yang luar biasa. namun, sayang ia tidaklah cantik dan akhirnya aku lanjut ke mesir. Di sana saya menemui seorang wanita cantik, berpendidikan, kaya raya dan hampir saja saya menikahinya".
"Lantas mengapa Engkau tak menikahinnya", Tanyanya Kembali.
Syeikh Nashiruddin kembali menjawab, "Wahai kawan, sayangnya wanita itu pun mencari pria yang sempurna dan itu bukanlah aku".
Terkadang dalam kehidupan kita mengejar kesempurnaan yang di miliki orang, sehingga kita lupa memperbaiki diri dan memantaskan diri. Padahal, Hanya Allah lah yang Mutlak sempurna. selainNya, hanya kesempurnaan yang Nisbi.
"Dalam singasan cinta datanglah padaKu dan Engkau akan menyempurna".
Tetapi, soal diatas, hanya satu dari sekian contoh kasus. Justru, yang lebih laten terjadi adalah wujud keseriusan seorang lelaki, ketika ia akan melamar seorang perempuan. Di ukur dari besaran Uang belanja Resepsi yang di berikan. Nah, Uang belanja Resepsi yang harus dibayarkan oleh calon mempelai lelaki bergantung pada kelas mempelai perempuan, sesuai dengan strata dari calon istri. Strata tersebut dipatok dari kecantikan, pendidikan, keturunan bangsawan hingga pekerjaan sang perempuan.
Artinya, yang membuat nikah menjadi ribet dan susah, karena Cara Kita beragama tidak pernah benar-benar Totalitas. Kita masih mengagungkan Tradisi, ketimbang Seruan agama. Agama itu mudah, yang membuat agama ini menjadi ribet adalah nafsu kita - Identitas Matrealistik di patok sebagai Standar.
Berkaitan dengan beberapa Tradisi dalam prosesi pernikahan, Pernah Ulama-ulama melakukan Bahtsul masa'il di Rembang (sarang), membicarakan apa hukum prosesi atau tradisi dalam sebuah pernikahan yang mencuci kaki lelaki (suami)?. Hampir 90% Kiai dan ulama memperbolehkan tradisi tersebut. Sebab, hal itu adalah adat yang tidak bertentangan dengan Syari'at. Tapi, 10% dari kiai dan ulama itu berpendapat tidak memperbolehkan. Dengan alasan, Tidak proposional dan terkesan Setia di muka umum saja (Riya) ; jika pun mau, kaki Lelaki di cuci dengan benar, mestinya di cuci setelah suami pulang dari sawah atau ladang, sebagai wujud kesetiaan. karena pasti kaki suami yang pulang dari ladang atau sawah, kotor. Kalau kakinya sudah bersih, untuk apa di cuci lagi. Kan aneh.
Selain itu, Problem kita sekarang ialah banyak mufassir yang mengartikan Qur'an, hanya dari terjemahan saja. Hal itu berbahaya sekali. Sehingga ada orang yang menikah secara mut'ah, padahal menikah secara Mut'ah itu mirip transaksi zina. (Di bawah saya Uraikkan Nikah Mut'ah). mereka berdalil, " fa masta' ta tum bi hunna fa adhul hunna ujurahum - perempuan yang sudah kamu nikmati, yang penting engkau bayar".
Terjemahan seperti ini berbahaya sekali. Padahal asbabun Nuzul ayat tersebut, "wal muhsonatum minan nisa, Khurrimat alaikum ummahatukum wa banatukum wa ahwatukum wa ammatukum wa kholatukum wa banatul akhi wa banatul ukhti - ada beberapa kategori perempuan yang haram di nikahi ;
Pertama, Perempuan yang haram di nikahi karena Nazab. Seperti, Ibu, anak (putri), saudara anak (putri), saudara perempuan bapak, saudara perempuan Ibu, keponakan dari saudara lelaki, keponakan dari saudara perempuan".
Kedua, perempuan yang di haramkan untuk kita nikahi, ialah haram karena Rodho - Dalam hukum islam, sama dengam nazab, "wa ummahatikum lathi ardto nakum wa akhawatikum minar rodho" - ibu yang pernah menyusui kita, akan menjadi Ibu kita dan saudara sepersusuan menjadi saudara kita juga".
Tiga, perempuan yang haram di nikahi, karena Musyaharoh - Besanan ; "Wa Ummaha nisa'ikum - Ibu dari Istri-istrimu". Misal, si Aco menikah dengan Becce, maka Mama becce adalah mertua Aco. Secara otomatis, mama becce haram untuk di nikahi oleh Aco.
Keempat, perempuan tersebut haram, bukan karena sebab seorang perempuan. Tetapi, karena perempuan tersebut adalah Istri orang. Hal ini di sebut dengan, "Wal Muhsonatum minan nisa". Maksudnya adalah haram menikahi perempuan yang masih milik orang lain. Lelaki yang menikahi perempuan tersebut, di istilahkan oleh Allah adalah "muhsinina Ghoiro musa fifin".
Nikah yang sah dalam Hukum fiqih islam. Misal, saya Nikah dengan Si A. Kalau hanya akad, berarti saya hanya wajib membayar mahar separuh ; Kalau saya Janji Membayar Mahar 30 juta , berarti saya hanya bayar 15 juta. Itu yang wajib bil aqdhi. Nanti wajib membayar sepenuhnya, ketika telah bil jima' - berhubungan intim.
Makanya tidak sedikit kita dapati, mahar hanya di sebutkan seperangkat alat sholat. Sebagai Mahar yang wajib, karena akad. Nanti, bawaannya setelahnya hubungan Intim. Hal itu berdasarkan Hukum Qur'an, bukan hukum saya, " wa in tholaqtumu hunna ming qobli anta mastu hunna fa nis fu hu tarktum - hanya wajib bayar setengah".
Sedangkan perempuan yang telah diajak berhubungan initm, atau telah bergaul. Kata Allah, "Fa atu hunna ujurahum - maka wajib kamu membayar sepenuhnya".
Jadi ayat diatas adalah ayat tentang perempuan yang telah di nikahi, kita harus bayar berapa?. Bayar setengah jika belum berhubungan intim dan bayar sepenuhnya jika telah berhubungan intim.
Hal ini penting saya utarakan. sebab, Problem kita sebagai orang indonesia dan juga problem semua Kiai, ulama dan Ustad. Mahar di indonesia terlalu Kecil - kadang Hanya seperangkat Alat Sholat, sementara Uang Hantarannya Ratusan juta, bahkan milyaran. Ini kekacauaan beragama.
Bayangannya Al Qur'an itu seperti ini, " jika kamu menikahi seorang perempuan, maka mahar yang kamu berikan, jangan ambil kembali". Di arab itu maharnya mahal, tinggi dan kadang tak ternilai, sehingga setelah seseorang menceraikannya istrinya, dia terbayang untuk mengambil kembali mahar yang telah di berikan. Kalau mahar di indonesia kan, cuman seperangkat alat sholat, sehingga seseorang yang menceraikan istrinya, tidak membayangkan akan mengambil kembali maharnya, sebagaimana kalimat, "fa la ta' khuzu min hu syai'a - Jangan ambil kembali". Terbayang untuk mengambil saja tidak, apalagi kalau nikahnya sudah 4-5 tahun, maharnya ; seperangkat alat sholatnya pasti sudah lusuh.
Sayyidina Umar R.a pernah menyatakan, wahai para perempuan, maharmu jangan mahal-mahal. Sebab, kasihan para lelaki". Mendengar hal itu, seorang perempuan alimah, lansung menyelisih, "laisa dzalika laka, ya amirul mukminin. Fa qod qola ta'ala wa atay tu ih dahunna kintoron - kamu hanya Amirul mukminin, tidak berhak membuat aturan terhadap pembatasan mahar. Allah saja tidak membatasi, mengapa engkau membatasi".
***
--NIKAH ITU MUDAH--
Imam syafi'i itu adalah Imam yang paling teliti masalah Nikah. Sehingga dia mengatakan, Nikah itu harus ada walinya dan walinya harus adil. Walinya di tentukan - harus bapaknya. Jika bapaknya telah wafat, maka kakeknya. Jika kakeknya juga sudah tidak ada, maka harus akhun saki. Selain itu, harus ada dua saksinya : dua saksinya itu harus adil. Pokoknya detail sekali Imam Syafi'i pada Bab Nikah.
Berbanding terbalik dengan Abu Hanifah saat membicarakan Nikah. Nikah itu, kalau perempuannya bersedia, selesai perkara. Walinya yang penting mengizinkan, selesai. Jika walinya tidak datang, asalkan memenuhi syarat, sudah bisa nikah. Bahkan, Saksinya orang fasik, juga tidak apa-apa.
Penggemar Imam Syafi'i, tentu membela imamNya. Sebab, nikah itu urusan Keturunan dan urusan tidur bersama, maka harus ihtiyat (hati-hati). Imam Syafi'i di bab Muamalah, memang tidak teliti. Tetapi, di bab Nikah, beliau sangat teliti.
Tetapi, apa sebabnya sehingga Penggemar Abu Hanifah atau pengarang kitab yang berjudul "Man Ussif An-nikah wa man Ussifah - Nikah Versus Sifah (Zina)"
Diantara Pujian orang-orang pintar terhadap keluarganya Nabi, disebut, " tarokuss sifaha fa lam yussif hum aruhu min adamin wa ila biw - diantara kelebihan keluarga Nabi sebelum ada Islam pun, sudah memiliki tradisi meninggalkan sifah (Zina)". Bahkan Abu Lahab, Abu Jahal, dan lain sebagainnya pun tidak suka terhadap sifah. Apalagi Kakek-kakeknya Nabi.
Cara berpikir orang-orang Hanafiah itu begini, jika syarat nikah itu susah, ribet dan kebanyakan, sementara orang tersebut sudah mau sekali menikah. Maka, pilihan terburuknya bisa jadi zina. Demi, Menghindari zina, dalam Kaidah Ushul Fiqih di sebut Tsaddu syariah (Pencegahan). Maka, cara berpikir orang-orang bermazhab Hanafiah adalah meringankan sesuatu yang Halal yaitu Nikah
Sama hal dengan sholat, kalau saya di tanya, sholat menggunakan sorban dan tidak menggunakan sorban, lebih baik mana?. Tentu jawaban saya, baik memakai sorban. Sholat menggunakan minyak wangi, dan tidak menggunakan minyak wangi, lebih baik mana?. Jawabannya, lebih baik pakai minyak wangi. Menggunakan siwak dan tidak sebelum sholat, lebih bagus mana?. Yah, lebih bagus menggunakan siwak.
Semua itu standar ideal. Bayangkan kalau semua ulama, mau sholat harus bersorban dulu, rida'an dulu. Tidak ada yang tidak. Maka, yang berat melaksanakan semua itu adalah Ummat. Karena Karnet Bis, satpam, pemulung, Tukang bakso, ojol, dsb, akan repot mencari sorban sebelum sholat.
Makanya Jabir Bin Abdullah termasuk sahabat Tuanya Nabi. Beliau pernah sholat di masjid, pokoknya di depan orang banyak, beliau itu punya sorban yang di letakkan di pundaknya. Tetapi, dia tidak menggunakannya, beliau hanya menggunakan sarung yang di lilitkan di lehernya.
Tidak jauh dari situ ada seorang Tabi'in, yang sholat dengan menggunakan paket komplit, sebagaimana yang saya sebutkan diatas. Setelah sholat dia tanya, wahai sahabat Rosulullah mengapa engkau sholat pakaiannya hanya seperti itu?. Kalau di bilang membawa sorban, beliau membawa sorban. Tetapi hanya di kalungkan di lehernya. Lalu, jabir berkata, "Aku melakukan ini, agar orang seperti kamu itu Tahu, bahwa syarat sah sholat itu tidak harus menggunakan aksesoris ini dan itu, seperti ini pun sudah sah".
Ihwal itulah, sehingga ulama-ulama kita memodifikasi. Agar, tukang becak, tukang bakso, ojol, polisi, tentara juga bisa Sholat, anak Punk juga bisa sholat. Akhirnya, kadang kita sholat melihat gambar Slank di baju jama'ah. Tidak apa-apa, asal sholat. Tidak perlu mencari celana cingkrang dan sorban terlebih dahulu.
Kalau kita membayangkan sholat ideal itu bagus sekali. Tetapi, kalau hal ini kita lakukan secara massal, pasti di kira ini syarat sah sholat dan kalau sudah di kira syarat sah, pasti akan berat di lakukan oleh ummat. Karena ummat itu, ada yang Satpam, ada yang karnet, ada yang ojol, ada yang ASN, dan macam-macam profesi lainnya.
Bayangkan, Seperti apa susahnya sholat itu jika semua akasesorisnya harus terpenuhi dulu. akhirnya, karung yang biasanya di isi barang-barang bekas oleh pemulung. Di isi sorban dan jubah 😂. Untuk berjaga-jaga, siapa tahu di tengah perjalanan waktu sholat masuk. Kan repot.
Nabi itu kerap membatalkan sesuatu yang penting, karena takut " Ma syaqqoh". Misalnya, Nabi bersabda siwak itu penting sebelum sholat. Tetapi, kalau di haruskan, akan menjadi berat. Maksudnya, Nabi itu berkali-kali ingin mewajibkannya. Tapi, kalau sudah menyangkut "Masyaqqoh-Nya" ummat. Maka, keinginan mewajibkan, di batalkan.
Pikiran saya sederhana, kalau sudah tidak bisa mengikuti sunnah Rosul yang ideal, jangan di tinggalkan sama sekali. Sebagaimana Kaidah Fiqih, " ma la yudroku kullu la yudro ku kullu".
Jadi, Trendnya Ulama- ulama Dari Mazhab Hanafiah membicarakan Nikah itu adalah mempermudah yang halal - Nikah, agar Yang haram - Zina tersingkirkan. Atau seperti Imam Syafi'i, masalah anak Hasil zina, masalah senggama - Hubungan intim itu repot. Di pastikan kehalalannya itu sampai 100 %, makanya cara pandang Imam Syafi'i soal nikah itu sangat ketat ; sampai walinya saja, yang jelas-jelas adalah bapaknya, tapi harus di teliti adil atau tidak.
Tetapi, Ada satu Hal Yang Di Ulas Imam Syafi'i yang menurutku Sangat Luar biasa dan sangat Jenius. Misalnya, bolehkah lelaki yang telah melawati Fase kembang Hasrat seksualnya atau tidak menikah?. "Fa qod qola Rosulullahi saw annikahu sunnati fa man roghibati sunnah fa laisa Minni - Imam Syafi'i mengetengahkan Hadist tersebut, bahwa jika seseorang tidak menikah karena membenci sunnah Nabi, maka hal itu buruk. Tetapi, jika seseorang tidak menikah karena takdirnya tidak suka nikah atau karena tidak laku. Maka, hal itu tidak jadi soal.
Lalu, imam Syafi'i di tanya, apa dalilnya?. Jawaban Imam syafi'i santai saja, " innalahu ta'ala dzakaro abdbudhan sholihan wa washofa bi annahu hasyur wa sayyidah wa hasyuraw wa nabiyan minassholihin - Allah itu menyebut sekian hamba yang sholeh dan diantara hambanya yang sholeh itu ada yang berstatus Hasyur (orang yang tidak menikah).
Artinya tidak menikah itu tidak menganggu kesholehan. Dengan catatan dia tidak menikah bukan karena dia membenci Sunnah Nabi. Maka, uzuba itu halal. Semudah itu orang memahami Qur'an. tetapi sekarang orang susah memahaminya. Apakah yang salah adalah gurunya atau muridnya?.
Berkenaan dengan itu, saya teringat dengan Sebuah kisah yang menurut saya, tidak kalah menarik. Tentang Rabi'ah Al-Adawiyah, namanya Harum di mata banyak orang. kealimannya, kerendahan dan hidup zuhudnya, seperti memunculkan magnet yang menarik di banyak kalangan, untuk mengaguminya sebagai Sufi perempuan yang tak biasa. tidak hanya masyarakat awan, ternyata kekaguman itu juga di miliki oleh para Ulama besar se-zamannya.
Tak ayal, jika ulama perempuan yang berstatus janda, lantaran sang suami wafat. Sehingga banyak ulama yang hendak melamarnya untuk menjadi pendamping hidupnya. Para ulama yang terpikat hatinya, antara lain, Hasan Al-basri, Malik Bin Dinar dan Tsabit Al-banani.
Suatu hari para ulama tersebut datang ke kediaman Rabi'ah dan mengutarakan maksud tulus untuk melamarnya, dari balik Hijab Rabi'ah berujar, "aku ingin tahu, siapa diantara kalian yang paling A'lam (alim). maka, aku akan bersedia menjadi istrinya".
"Dialah Hasan Al-basri, sahut Malik Bin Dinar dan Tsabit Al-banani". suasana persaingan merebut hati Rabi'ah, ternyata tidak menghalangi mereka untuk tetap bersikap rendah hati (tawadhu) satu sama lain.
Rabi'ah pun mengajukan persyaratan kepada Hasan Al-basri, sebagaimana orang ketika melamar, "Jika Tuan mampu menjawab 4 persyaratan saya. maka, aku bersedia menjadi istrimu".
Silahkan wahai Rabi'ah. semoga Allah memberi petunjuk dalam memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyanMu, Balas Hasan Al basri.
Rabi'ah, "menurut Tuan. Ketika aku meninggal dunia, apakah kematianku dengan membawa ketetapan Iman atau tidak?".
Hasan Al Basri, "Maaf, hal ini termasuk ghaib dan tiada yang tahu pasti kecuali Allah SWT",
Rabi'ah Al adawiyah, "ketika aku bersemayam dalam kubur. lalu malaikat mungkar dan nakir bertanya mampukah aku menjawabnya?".
Hasan Al Basri, "maaf, itu juga termasuk perkara ghaib".
Rabi'ah al adawiyah, "Ketika manusia di himpun di hari kiamat kelak, aku termasuk orang yang menerima kitab amal dengan tangan kiri atau kanan?".
Hasan al basri, "masih mengutarakan jawaban yang sama, yang menurutnya perkara ghaib".
Rabi'ah al adawiyah, "ketika manusia di panggil. aku termasuk golongan yang masuk ke surga atau neraka?".
Hasan Al basri , " masih dengan Jawaban Yang sama. Semua itu adalah perkara Ghaib Wahai Rabiah".
Setelah 4 pertanyaan yang di ajukan Rabi'ah. Hasan Al -basri meminta maaf dan mengembalikan kepastian pertanyaan itu kepada Allah. Hasan tahu bahwa Rabi'ah adalah seorang tokoh dengan ketaatan dan prestasi kerohaniaan yang luar biasa. Tapi, untuk urusan sesuatu yang terjadi kelak, Hasan Al-basri tidak mau memberi penilaiaan yang menjadi Hak periogatif Allah.
"Bagi orang yang di landa kekalutan memikirkan ke empat masalah yang ku sampaikan padamu, Duhai Hasan. mana ada kesempatan untuk berumah tangga", Tutur Rabi'ah.
Akhirnya, ketiga Ulama itu keluar dari mukim rabi'ah dengan meneteskan air mata.
Pelajaran yang bisa kita konversi dari Cerita ini, bisa beragam. Ia tergantung pada sudut pandang apa kita memandang. Menurutku, yang menarik adalah Di tengah gempuran akut yang menghempas relung paling inti dari kesadaran manusia, kisah seorang sufi perempuan ini memberikan sedikit titik terang bahwa begitu mulai dan mahalnya sebuah mahligai cinta yang di himpun dalam tali pernikahan, hingga materi dan nama besar pun tak mampu meluluhkan rabi'ah.
Lebih jauh dari sekedar menyempurnakan sebahagian Agama. ia harus berpangkal dari kualitas diri Seorang hamba. sebab itulah, Hasan keluar dari mukim Rabi'ah dengan meneteskan Air mata. Di titik itulah, Kerap ku sampaikkan di waktu-waktu yang lalu bahwa cinta itu Sejatinya menjadi piranti spritual dan jalan hakiki menuju pembebasan kemanusiaan dari belenggu nestapa sosial.
***
Dalam nikah itu ada Ijab Qabul, yaitu wali nikah menyatakan "saya nikahkan kamu dengan Fulan binti Fulan, dst. Dan kita menjawab, saya terima nikah dan Kawinnya fulan binti fulan, dengan Mahar bla..bla.". Secara Fiqih, hal itu Halal (Sah). Karena sudah ada Ijab qobul dan perempuan tersebut juga bukan Mahrom kita atau saudara sepersusuan kita sebagaimana yang saya jelaskan diatas tentang perempuan yang haram untuk di Nikahi. Tetapi, ada kemungkinan bisa menjadi Haram.
Bahagian ini, yang Sebenarnya jarang di kemukakan dalam Fiqih, yaitu "salah sangka". Seperti, awalnya kita di kira kaya, tapi ternyata bukan. Pernikahan itu bisa menjadi Haram, karena wali perempuannya setuju, karena tertipu (penampilan). Makanya, Tebar pesona dan casing yang menipu itu haram. Sebab, nabi pernah menikahkan seseorang yang di kira muda, ternyata Tua. Lantas pernikahan tersebut, di batalkan.
Ihwal itulah, jika ingin menikah. Yakinkan calon istri kita, bahwa kita adalah orang yang paling tidak punya prospek di dunia ini. Tetapi, yang Mau menikah dengan orang yang tidak punya Prospek di dunia, hanya 1 diantara 100.
Sebenarnya, Perempuan itu mahal. Tetapi, Nabi justru menekankan, jika ada seorang wanita yang menaruh dengan mahar yang paling murah, itulah yang terbaik. Murah, tetapi bukan murahan. Bahkan Allah memberikan Klu terhadap lelaki, agar mencari perempuan yang maharnya termurah.
Ada satu kisah sahabat Nabi, saya lupa siapa namanya. seorang marbot Ka'bah. Jika di identifikasi Postur sahabat tersebut, ia Berbadan bungkuk, hitam, rambutnya sedikit karena memiliki penyakit dan giginya tidak rapi. Jika seorang sahabat tidur di pinggiran ka'bah, pasti miskinnya luar biasa.
Nabi setelah selesai sholat subuh, melihat sahabat tersebut sedang duduk di pinggiran Ka'bah, di hampiri dan di tanyalah oleh Nabi, " wahai sahabatku, umurmu berapa?". Jawab sahabat tersebut, 41 tahun, Duhai Rosulullah. "Apakah engkau telah menikah?". Belum, Ya Rosulullah. "menikahlah, segera wahai sahabatku".
Saat Sahabat itu diajak nikah oleh Rosulullah dan di tanya adakah wanita yang engkau sukai. Jawab sahabat tersebut, "ada Ya Rosulullah". Kata Rosul, Siapa?. Namanya Maryam, Duhai Rosulullah.
Maryam adalah seorang kembang desa, cantiknya luar biasa dan anak seorang Saudagar kaya. Artinya sahabat Nabi tersebut, Normal. Sebab, Syahwat lelaki itu di matanya. Jika melihat perempuan cantik, pasti istiqomah 😂
Akhirnya Nabi mengajak sahabat tersebut ke rumah Maryam. Sahabat Nabi itu sudah Gusar Hatinya, takut tidak di terima. Sebab, ia miskin dan keadannya memilukan. Sangat tidak mungkin untuk di terima. Kata Nabi, sudah kamu diam, kita kerumah maryam sekarang.
Tiba di depan rumah maryam, di ketuklah rumahnya oleh Nabi ; Assalamu alaik Ya Ahlul Bait. Jawab seseorang dari dalam rumah, " Alaikkassalam, Man (siapa)?. Jawab Nabi, Ana Muhammad Ibni Abdillah. Dengan segera Tuan rumah membuka pintu rumahnya, sebab yang datang adalah Rosulullah.
Ya Rosulullah, apa gerangan sehingga engkau datang ke rumahku?. Nabi menjawab, aku ingin melamar putrimu. Sontak, bapaknya maryam senangnya bukan main. Sebab, yang melamar adalah Rosulullah. Bapaknya Maryam ini sangar, postur tubuhnya tinggi besar. Jika Nabi berperang sering berada di belakang Nabi.
Setelah mendengar maksud kedatangan Rosulullah, ayah Maryam menjawab, Iya Rosulullah saya terima lamaran Engkau, Rasulullah. Nabi kemudian menjawab lagi, Bukan untukku lamaran tersebut. Ayahnya maryam bertanya, untuk siapa lamaran tersebut?. Di panggillah sahabat Nabi untuk bertemu ayah Maryam, kata Nabi Cium tangan ayah Maryam.
Tetapi, ayah Maryam sudah mulai menarik tangannya. Karena dia tahu, bahwa sahabat Nabi tersebut adalah seorang marbot Ka'bah, yang miskin, sambil berujar, Jika dia yang engkau lamarkan, sepertinya berat untuk saya terima, Ya Rosulullah.
Sudah dengar engkau wahai sahabatku, Perempuan yang engkau minta. Ayahnya Tidak menerimamu, ayo kita pulang. Baru tiga langkah, hendak pulang. Tetiba, Maryam dari dalam rumah bertanya ; "Ayah, siapa yang datang?". Jawab Ayahnya, Rosulullah. "Ada keperluan apa?". Mau melamarmu. "Untuk siapa?". Untuk sahabatnya. Kata maryam, "Demi Allah Aku Terima, Ayah". Kenapa di terima?. "Karena yang meminangku adalah Rosulullah SAW".
Bagaimana kalau kita di datangi seorang Alim yang melamar anak kita untuk seseorang. Maka, insya Allah yang di bawa adalah orang baik. Kita jangan lihat orangnya tidak punya prospek dia dunia ini, miskin dan melarat. Olehnya, kita jangan lihat siapa orang yang akan menikahinya. Tetapi, lihat keberkahan yang akan lahir dari pernikahan kedua anak tersebut.
Bayangkan, Hasil keturunan Maryam dan Sahabat Nabi itu siapa sekarang?. Adalah marbot, Imam dan Muadzin Masjid Nabawi dan Masjidil Haram.
***
--DI SUNNAHKAN MENIKAHI ORANG YANG JAUH--
Nikah
itu di sunnahkan dengan orang lain (orang yang jauh). Misalnya, menikah dengan
sepupu dianggap Makru atau "Khilaful aula". Pentingnya menikahi orang
yang jauh (Nazabnya Jauh), agar kita menciptakan komunitas yang kuat.
Dulu,
Kisah yang Mahsyur, ketika Rosulullah SAW menikahi Juwairiyah. Juwairiyah ini
adalah Perempuan dari Bani Mustahliq. Setelah Nabi menikahi Juwairiyah, satu
kawasan Bani Mustaliq, yang dulu memusuhi Nabi, lansung mencintai Nabi. Karena
mereka besan dan Tidak pantas juga bertengkar dengan besan. Makanya,
orang-orang Bani Mustaliq memaklumatkan Rosulullah sebagai Besan mereka.
Ihwal
itulah, sehingga Seluruh sahabat yang menjadi tawanan Bani Mustaliq dan Juga
sebaliknya, sahabat yang menawan Orang-orang Bani Mustaliq, saat perang bersama-sama
melepaskan tawanan mereka. Karena, Nabi Menikahi Juwairiyah. Agak lucu juga,
jika Paman Istrinya Nabi di Tawan atau Saudara Ipar Nabi di Tawan. Akhirnya
semua tawanan di lepas, karena Rosulullah adalah besan Orang Bani Mustaliq.
Abu
Sufyan itu memusuhi Nabi, seumur hidupnya selalu menjadikan Nabi sebagai Musuh.
Anaknya Abu Sufyan, bernama Mukmina ikut hijrah ke habasyah, kebetulan saat
tinggal di Habasyah, suaminya meninggal. Karena suaminya Meninggal, maka raja
Habasyah menikahkan anak Abu Sufyan dengan Nabi. Menggunakan wali Hakim. Abu
sufyan mendengar hal itu, bahwa Nabi adalah anak Mantunya. Akhirnya Abu Sufyan
Taslim (tunduk) pads Nabi.
Berdasarkan
Kisah diatas bahwa Menjadi besan atau Menantu adalah cara yang manjur untuk
menyelesaikan Konflik.
Di
indonesia Misalnya, ada sebahagian Kiai NU tidak cocok atau setuju dengan
Muhammadiyah. Lalu, akhirnya mereka berdamai, bukan karena beradu visi. Tetapi,
karena anak Kiai NU menikah dengan orang Muhammadiyah, akhirnya mereka
berdamai. Jadi, kalau sudah besanan atau menantu, selesailah urusan. Karena
mereka telah menjadi keluarga. Makanya di sebut, "Faja alahu nasaban
wasir".
Di
titik itulah pentingnya menikahi orang yang nazabnya jauh, agar menciptakan
komunitas yang lebih kuat. Artinya, kesunnahan nikah itu bukan menikahi
keluarga sendiri. Tetapi, kalau tidak memungkinan atau terpaksa, silahkan
menikahi keluarga.
Misalnya,
kondisi Yang dianggap Terpaksa, ketika tidak ada pilihan, seperti di zaman
Nabi, bahwa Fatimah menikahi Pamannya, yaitu Sayidina Ali. Tetapi, Sayidina Ali
dan Fatimah itu bukan Sepupuan. Sebab, Kadang ada Yang protes, jika menikahi
keluarganya.
Fatimah
itu anak dari Rosulullah. Rosulullah, anak dari abdullah dan abdullah anak dari
Abdul Muthalib. Sedangkan Sayidina Ali anak dari Abu Tholib, Abu Tholib adalah
anak dari Abdul Muthalib. Artinya sayidina Ali dan Fatimah itu bukan sepupuan.
Tetapi, berstatus paman dan Keponakan. Karena Sayidinan Ali dan Nabi, yang sepupuan.
Di
titik itulah, di sunnahkan kita menikah dengan orang yang jauh.
Selain
hal itu, ada satu hal yang penting untuk saya utarakan. Sekali lagi ini sangat
penting. Dalam catatan sejarah (Qurtubi, XVI: 37), dikisahkan pada suatu
ketika, Salman al-Farisi, seorang sahabat Rasulullah SAW, yang merupakan mantan
budak dari Persia, melamar putri Abu Bakar. Lamarannya itu diterima.
Abu
Bakar menganggap apa yang dilakukannya itu, pada dasarnya mengangkangi pakem
tradisi yang selama ini berjalan dan terimplementasi secara kaku. Tapi ia
percaya dengan sahabatnya. Abu Bakar percaya dengan ajaran Islam dan kebaikan
dari sahabatnya, Nabi Muhammad SAW.
Kemudian
sahabat Rasulullah SAW yang lain, Bilal bin Rabah. mantan budak, berkulit
hitam, keluarga Umayyah, meminang putri Al-Bukair. Tapi, keluarga besar
Al-Bukair, menolak dengan tegas. Bahkan melakukan penghinaan verbal yang
menyakitkan bagi Bilal. Latar keturunan, diperkatakan.
Bilal
mengadu kepada Rasulullah SAW. Ayah Fatimah Az-Zahra ini, kemudian marah.
Kemarahan Rasulullah tersebut, terdengar oleh keluarga besar Al-Bukair.
Akhirnya, keluarga besar al bukair menerima Bilal. Apatah lagi, anak gadis
mereka yang "ditembak" mantan budak asal Habsyi ini, membuka hati
bagi Bilal dengan mengatakan kepada keluarga besarnya, "urusanku di tangan
Rasulullah". Akhirnya, Bilal bin Rabah, jadi juga menikahi anak gadis
keluarga Al-Bukair.
Kisah
di atas, mencerminkan bagaimana ajaran kesetaraan manusia menjadi perhatian
serius bagi Rasulullah SAW. Perlakuan diskriminatif tidak melulu, Soal lelaki
pada perempuan (Patriarki). Tetapi, perlakuan perempuan pada lelaki juga.
Dalam
konteks zaman sekarang, bagaimana?. Justru, perlakuan diskriminatif semakin
"Halus". sebab, mereka bersembunyi di balik kultus Budaya Mainstream
dan Populer. Feminisme adalah alat pemukulnya.
Padahal,
Rasulullah SAW mempraktekkan Gagasan Keseteraan manusia, bahkan dengan PAKSAAN.
Sebagaimana yang terlihat saat Rasulullah begitu marah, ketika keluarga
Al-Bukair menolak bahkan menghina Bilal bin Rabah.
Dua
lelaki, sahabat Rasulullah SAW tersebut (Salman dan Bilal), pada hakikatnya
menunjukkan bagaimana Islam begitu maju (sekali) dalam meletakkan kesetaraan
tersebut. Dua laki-laki yang melamar itu, bukan hanya berlainan ras (Salman
dari Persia, Bilal orang Habsyi) dengan gadis-gadis yang dilamar. Tapi lebih
dari itu semua, mereka berdua adalah mantan budak.
"Di
antara tanda-tandaNYA adalah penciptaan segala langit dan bumi dan
keanekaragaman bahasa kamu dan warna kulitmu. Dalam hal itu, terdapat
tanda-tanda bagi kalangan orang yang berilmu" - [ QS. 30: 22].
***
--KAWIN MISYAR--
Pada uraian saya yang lain. telah cukup untuk mendudukkan perkara Hasrat seks dan Nikah Normal sebagai solusi. Tetapi, Kita di perhadapkan dengan Aturan Tambahan yang justru tidak terdapat dalam agama. Ihwal itulah, ada solusi yang agak ekstrem di tawarkan bagi kita, di samping kesibukan dengan beragam kegiatan dan aktivitas. Tetapi, kita Juga dibuntuti oleh kebutuhan seksual yang Niscaya untuk di salurkan.
Selain masturbasi, Puasa, Poligami dan pernikahan normal yang terikat dengan tanggung jawab, terdapat solusi lain yang lebih praktis bagi para laki-laki maupun perempuan yang hendak menyalurkan kebutuhan seksualnya, yaitu melalui kawin Misyar.
"Dr. Ir. Muhammad Syahrur" secara eksplisit menawarkan solusi ini sebagai ganti hubungan seksual non marital, Syahrur melihat bahwa syarat-syarat sahnya perkawinan misyar adalah bukan seperti syarat-syarat perkawinan resmi pada umumnya, karena tujuannya bukanlah menjalin hubungan kekeluargaan, meneruskan keturunan dan membina keluarga. tetapi murni seksual, dan ia tidak termasuk kategori perkawinan resmi meskipun pada saat yang sama ia tidak haram. (Lihat: Muhammad Syahrur, Nahw Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, Fiqh al-Mar'ah, al-Ahali, Damaskus, 2000, cet: I, hlm. 308).
Dalam pandangan Syahrur, kawin Misyar boleh jadi menjadi solusi yang paling efektif bagi laki-laki maupun perempuan yang hendak menyalurkan hasrat seksualnya di bandingkan dengan pernikahan normal.
Dalam kawin Misyar, suami tidak dituntut untuk memberikan nafkah lahir kepada istrinya, tapi hanya diwajibkan untuk menunaikan kewajibannya dalam memberikan nafkah batin (seksual), sebagaimana perkataan Syahrur di atas, bahwa visi dari perkawinan ini adalah semata-mata hubungan seksual dengan kesukarelaan antara satu dengan yang lain, tapi dengan memenuhi semua rukun sebagaimana rukun dalam pernikahan normal yaitu: akad, ijin wali, dua orang saksi, dan mahar.
Kawin Misyar, bukanlah sesuatu yang baru, tapi merupakan fenomena yang sudah populer di kalangan masyarakat sejak dahulu. Biasanya kawin semacam ini terjadi pada istri kedua dan laki-laki yang melaksanakan kawin semacam ini sudah mempunyai istri yang lebih dulu tinggal bersama di rumahnya.
Tujuan kawin semacam ini adalah agar suami dapat bebas dari kewajiban terhadap istri keduanya untuk memberikan tempat tinggal, memberikan nafkah, memberikan hak yang sama dibanding istri yang lain (istri pertama). "Diskon" ini hanya diperoleh oleh seorang laki-laki dari seorang wanita yang sangat membutuhkan peran seorang suami dalam mengayomi dan melindunginya (meskipun dalam bidang materi sang suami tidak dapat diharapkan).
Rukun dalam perkawinan ini biasanya harus memenuhi rukun dalam pernikahan normal yaitu, ijab-kabul (akad) yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hak untuk melaksanakannya. Di samping itu, ijab dan kabul diharapkan dapat diketahui oleh khalayak ramai agar dapat dibedakan antara kawin yang dilaksanakan secara sah dan zina atau hubungan gelap.
Dalam hal pemberitahuan kepada khalayak ramai, Agama telah memberikan batasan minimum, yaitu adanya dua orang saksi dan wali (menurut pendapat imam Malik, imam Syafi'i, dan imam Ahmad). Yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah masa perkawinan tidak boleh dibatasi dengan waktu serta kedua mempelai harus mempunyai niat untuk melanggengkan pernikahan mereka.
Kemudian seorang lelaki harus membayar maskawin, baik dalam jumlah yang banyak maupun sedikit, meskipun setelah maskawin tersebut diserahkan kepada calon istrinya, boleh si istri menyerahkan kembali (tanazul) sebagian dari maskawin itu atau bahkan keseluruhannya, sesuai dengan firman Allah swt, "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi), sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (QS. an-Nisa' [4]: 4).
Adapun ketika dilaksanakannya akad nikah, seorang wanita memberikan keringanan, yaitu dengan tidak meminta hak-haknya kecuali hak bersenggama, syarat seperti ini menurut sebahagian ulama tidak diperbolehkan ketika akad berlangsung; karena dapat menghilangkan tujuan dilaksanakannya nikah dan pernikahannya pun batal. Tapi sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyyah menilai akad tersebut sah.
Bahkan syekh Taqiyuddin atau populer disebut Ibnu Taimiyyah- mempunyai pendapat tentang sahnya syarat untuk tidak memberi nafkah lahir. Ia berkata, "Seumpama seorang suami kesulitan ekonomi dan sang istri menerima hal itu, maka si istri tidak mempunyai hak untuk diberi nafkah." (Lihat: Yusuf al-Qardhawi, Fatawa Mu'ashirah, Dar al-Qalam, Kuwait, 2017, jilid. 3, hlm. 409-410).
Justifikasi Hukum Kawin Misyar
Sebelum membahas mengenai hukum kawin misyar saya ingin mendudukkan suatu permasalahan yang sangat penting. Terkadang ditemukan perkawinan menurut pandangan syariat, tetapi tidak diterima oleh masyarakat seperti kawin misyar ini.
Contoh lain, seorang perempuan kawin dengan supirnya atau pembantunya. Menurut pandangan masyarakat, perkawinan ini adalah tidak etis dan kurang layak untuk dilakukan. Mereka tidak menerima kejadian semacam ini, karena menurutnya hal semacam ini dapat menyebabkan turunnya kredibilitas dan harga diri wanita tersebut, sedangkan menurut syariat, nikah semacam ini hukumnya tetap sah dan tidak ada larangan.
Sama halnya ketika seorang laki-laki yang sudah berumur 60 tahun kawin dengan seorang wanita yang baru berusia 17 tahun atau nenek-nenek yang sudah berusia lebih dari 70 tahun kawin dengan laki-laki yang berusia 20 tahun, masyarakat kurang menerima baik perkawinan seperti ini, bahkan menolak perkawinan mereka. Akan tetap, menurut pandangan syariat, perkawinan mereka adalah sah selama syarat dan rukunnya terpenuhi.
Ada 3 Pendapat Para Ulama Menyangkut Hukum Kawin Misyar,
Muhammad Syahrur berpendapat bahwasannya Islam membolehkan seorang laki-laki menyalurkan hasrat seksualnya kepada dua tipe perempuan sebagaimana firman-Nya: "Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau ma malakat aiman merek; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al-Mu'minun [23]: 5-7).
Ayat di atas menjelaskan bahwa tipe perempuan yang boleh untuk disetubuhi ada dua: pertama adalah istri yang dinikahi melalui perkawinan normal, dan yang kedua adalah milk al-yamin, dan salah satu bentuk dari milk al-yamin adalah kawin misyar. (Lihat: Muhammad Syahrur, Nahw Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, Fiqh al-Mar'ah, al-Ahali, Damaskus, 2000, cet: I, hlm. 308).
Adapun mengenai pendapat para ulama, seperti yang telah diketahui di dalam literasi hukum mereka dalam menghadapi berbagai permasalahan baru selalu berbeda pendapat, akan tetapi Dr. Yusuf al-Qardhawi lebih condong untuk memperbolehkan model perkawinan ini (misyar).
Di akhir bulan Dzulhijjah tahun 1418 H atau akhir April tahun 1998 M, diadakan seminar seputar permasalahan zakat kontemporer. Di situ hadir lebih dari dua puluh pakar fikih dari seluruh penjuru dunia. Di sela-sela seminar, mereka berbincang-bincang mengenai persoalan kawin misyar. Sebahagian besar dari mereka mendukung dilaksanakannya kawin misyar. Namun hanya ada dua atau tiga yang menentang, meskipun tidak sampai mengharamkan nikah ini.
Ketidaksetujuan mereka terhadap dilaksanakannya praktik kawin misyar merupakan bentuk dari kekhawatiran. Menurut mereka boleh jadi kawin semacam ini akan menyebabkan kehancuran dalam masyarakat. Maka sebelum terjadi hal-lah yang tidak diinginkan, meniadakannya adalah lebih baik (afdhal).
Dapat diambil kesimpulan bahwa pada hukum kawin ini (misyar) adalah boleh (mubah), tetapi sesuatu yang mubah kalau dikhawatirkan akan menyebabkan kesusahan dan kerusakan, maka mencegahnya bisa berubah menjadi perkara yang wajib atau minimal sunnah. Dan hukumnya disesuaikan dengan kadar kesusahannya yang ditimbulkan. (Lihat: Yusuf al-Qardhawi, Fatawa Mu'ashirah, Dar al-Qalam, Kuwait, 2017, jilid. 3, hlm. 411-412).
Orang yang menentang kawin ini mengatakan: "Apabila dihalalkan kawin ini hanya sebagai solusi bagi orang-orang kaya yang terlambat melaksanakan kawin, bagaimana dengan orang-orang miskin yang tidak mampu melangsungkan pernikahan?"
Al-Qadhawi pun menjawab, "Ketidakmampuan kita dalam menangani suatu persoalan, tidak mengharuskan kita untuk tidak berbuat sama sekali, serta tidak berusaha mencari solusi berikutnya".
Kemudian ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kenapa kita tidak mencari solusi, langsung ke akarnya saja, yaitu dengan cara mempermudah dilaksanakannya perkawinan biasa/normal yang sesuai dengan syariat Islam. Dengan cara ini alasan tidak dilaksanakannya kawin karena terhalang dengan mahalnya mahar dapat diminimalisir, atau kita menetapkan keringanan pemberian mahar (pemberian dari seorang calon suami kepada calon isterinya), serta melonggarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan Allah swt. dalam memilih pasangan hidup (dari segi Agamanya, akhlaknya dan lain sebagainya).
Al-Qardhawi juga menanggapi pendapat di atas dengan ujaran, "Apa yang telah saya lakukan adalah tanggung jawab kita bersama. Saya telah berusaha lebih dari 30 tahun memahamkan masyarakat tentang permasalahan ini lewat mimbar-mimbar, makalah-makalah, masjid, televisi, dan radio. Akan tetapi, taklid yang telah tertancap pada pemahaman mereka, tidak dapat hilang begitu saja. Meskipun, misalnya, saya dapat berhasil mendapatkan jalan keluar bagi orang-orang yang sulit mendapatkan jodoh, namun masih banyak kita jumpai janda-janda (baik yang ditinggal mati suaminya ataupun yang ditalak.
Ketika mereka (wanita-wanita yang tidak bersuami) mendapati model kawin misyar adalah salah satu solusi (tentunya dengan memilih laki-laki yang betul-betul baik budi pekertinya dan mereka sudah sama-sama rela), lantas kenapa kita malah menghalangi jalan yang dihalalkan oleh syariat (dengan mengharamkannya). Padahal zaman sekarang adalah zaman di mana pintu perbuatan haram terbuka lebar-lebar?". (Lihat: Yusuf al-Qardhawi, Fatawa Mu'ashirah, Dar al-Qalam, Kuwait, 2017, jilid. 3, hlm. 413).
***
Pada dasarnya, pernikahan dalam Islam adalah sesuatu yang halal dan bahkan disunahkan. Namun, pernikahan itu sendiri memiliki syarat sah dan rukun nikah agar tidak terjerumus dalam kekeliruan dan kedzaliman dalam pernikahan.
Dalam buku berjudul "Mistik, Seks, dan Ibadah", cendekiawan yang juga pakar tafsir Alquran Prof Quraish Shihab menjelaskan, bahwa mut'ah dalam pengertian bahasa adalah kenikmatan, kesenangan dan kelezatan. Sementara nikah mut'ah didefinisikan sebagai pernikahan dengan menetapkan batas waktu tertentu, hari atau bulan yang disepakati calon suami istri. Jika batas waktu itu berakhir, maka secara otomatis perceraian terjadi.
Lantas, bagaimana pandangan Islam terkait Nikah Mut'ah ini?. Dalam sejarahnya, nikah mut'ah pernah diperbolehkan pada masa awal Islam karena situasi darurat. "DR. Ahmad Nahrawi Abdus Salam dalam buku berjudul "Ensiklopedia Imam Syafi'i" menyebutkan, bahwa nikah mu'tah kemudian dilarang dan larangan itu sudah menjadi ijma' ulama.
Dikutip dari buku berjudul "Serial Hadits Nikah 2 Cinta Terlarang" oleh Firman Arifandi, Lc., MA, Imam An Nawawi menjelaskan dalam Al Minhaj, bahwa nikah mut'ah pernah diperbolehkan dan kemudian dilarang hingga hari akhir. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Salamah bin Al Akwa' berkata, "Rasulullah saw memberi keringanan pada kami dalam masalah mut'ah wanita-wanita pada tahun Authos selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya."
Dalam hadits yang diriwayatkan At-Tirmizy, Abdullah bin Abbas ra mengatakan bahwa nikah mut'ah pernah dibolehkan di awal-awal pensyariatan. Saat itu, seseorang yang mengembara di suatu negeri tanpa memiliki pengetahuan berapa lama akan tinggal, lalu dia menikah dengan seorang wanita sekadar masa bermukim di negeri itu, istrinya itu memelihara hartanya dan mengurusinya, hingga turunnya ayat yang berbunyi: orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali kepada istrinya dan budaknya.
Nikah mut'ah pernah diperbolehkan karena masyarakat Islam saat itu masih dalam masa transisi dari zaman jahiliyah kepada Islam. Akan tetapi, Rasulullah saw kemudian melarang praktik nikah mut'ah. Hal ini juga ditegaskan dalam Fathul Bari, Ibnu hajar Al Asqalani menjelaskan, bahwa pernikahan mut'ah praktiknya seperti nikah kontrak, yang mana hukum kebolehannya sudah termansukh atau terhapus.
Dari Ar-Rabi' bin Sabrah Al-Juhani berkata, bahwa ayahnya berkata kepadanya bahwa Rasulullah saw bersabda, "Wahai manusia, dahulu aku mengizinkan kamu nikah mut'ah. Ketahuilah bahwa Allah swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat." (HR. Muslim).
Karena itulah, para ulama dari seluruh mazhab pun sepakat bahwa nikah mut'ah hukumnya haram dan memasukannya dalam jenis pernikahan yang bathil. Bahkan, pelaku nikah disamakan dengan pezina. Sahabat Nabi saw, Umar bin Khattab, menganggap nikah mut'ah sebagai sebuah kemungkaran. Selain itu, pelakunya diancam dengan hukum rajam, karena tidak ada bedanya dengan zina.
Di zaman sekarang, nikah mut'ah semakin jelas akan keharamannya. Sebab, jika ditinjau dari perspektif rukunnya, nikah mut'ah dipandang bathil karena ketiadaan saksi, wali, dan pembatasan masa nikah yang menjadikan nikah tidak sah. Kalau pun ada saksi dan wali, tidak jarang para pelakunya adalah palsu. Quraish Shihab juga mengatakan, bahwa nikah mut'ah tidak sejalan dengan tujuan perkawinan yang diharapkan Alquran. Dalam hal ini, suatu pernikahan tentunya diharapkan langgeng, sehidup dan semati, bahkan sampai hari kiamat.
Kendati demikian, ia menyebut bahwa terdapat perbedaan pandangan antara ulama Sunni dan Syiah terkait nikah mut'ah ini. Dalih bahwa Umar bin Khattab lah yang melarang nikah mut'ah dijadikan pegangan oleh ulama Syiah untuk membolehkan nikah mut'ah. Sementara ulama Sunni melarang nikah mut'ah, namun tetap membedakannya dengan perzinahan. Akan tetapi, Quraish Shihab juga menyebut tidak sedikit ulama Syiah yang tidak menganjurkan mut'ah, karena dapat merugikan kaum wanita.
Di Indonesia, Dewan Pimpinan MUI sudah mengeluarkan fatwa terkait kawin kontrak Sejak 25 Oktober 1997 silam. Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau mut'ah hukumnya haram.
***
Terakhir,
mengutip penuturan " Cak Nur", Dalam (Masyarakat religius)"; Maa
wahdah itu cenderung mengikuti Hawa Nafsu, sedang Waa rohmaa itu Adalah cinta
Ilahia. Cinta Ilahia yang di maksud adalah cinta Universal.
Di
dalam Al-Qur'an Sakinah itu merupakan kata benda. Kata kerjanya adalah Litaskunu.
Nah, di qur'an, diksi litaskunu fi dan listakunu
ilaiha, itu berbeda.
Misal,
Allah memberi siang dan memberi Malam. Supaya Kamu Listakunu fil lail ( supaya
kamu masuk ke dalam malam). hal ini sesuatu yang pasif. Sedangkan pernikahan
itu, bukan litaskunu fi. Tetapi litaskunu ilaiha.
Jadi,
Sakinah itu Tujuannya, bukan keadannya. Mestinya sakinah itu Mudah-mudahan atau
ia berisi kalimat Harapan. Sedangkan, mawahdah dan warohma, merupakan keharusan.
Karena, ia meruoakan keadaan yang pasti.
Hal
itulah yang menunjukkan pada saya, bahwa diksi yang kerap di sebutkan :
mudah-mudahan Sakinah, mawahdah dan warohmah,itu
salah. Karena, mawahdah dan warohmah adalah
alat yang di pakai untuk mencapai sakinah, dan ia harus pasti.
Tidak mungkin menggunakan diksi kemungkinan pada posisi mawahdah dan
warohmah.
Jadi,
adalah salah, jika kita bertutur Mudah-mudahan menjadi keluarga sakinah,
mawahdah dan warohmah. Sebab, hal itu bisa membuat Allah, tersinggung.
Mawahdah
itu adalah magnet atau kecenderungan atau dorongan yang ingin terus menyatu,
yang terdapat didalam hati seorang lelaki dan perempuan. Sedangkan rahmat itu,
seluruh alam semesta ini, ia universal (cinta). Mawahdah dan warohmah adalah
bekal yang kita miliki untuk mencapai sakinah.
Sakinah
itu apa?. Pada bagian ini, memang ada Kajiannya tersendiri, insya Allah lain
waktu kita Tulis.
(3)
*Pustaka Hayat
*Rst
*Pejalan Sunyi
*Nalar Pinggiran