Beberapa waktu lalu, merebak Isu People power. hal itu, dianggap makar. People power itu mimbarnya adalah jalanan. sedangkan, Kudeta arenanya adalah Kerahasiaan, kebusukan dan kelicikan. Lihat saja liciknya " Azisi" mengkudeta "Moorsi" yang dipilih secara demokratis oleh rakyat Mesir.
Jika kita tenang dalam membaca sejarah, justru kejadian people power banyak mengagalkan kudeta. seperti, yang terjadi di Turki tahun 2016.
People power itu tidak melulu rakyat berhadapan-hadapan dengan pemerintah. bisa lebih luas dari itu. Itulah sebabnya, revolusi prancis tahun 1789 M dianggap sebagai People Power.
People power itu adalah agenda Rakyat yang sangat Konsitusional. Mereka berkumpul, lalu melakukan perlawanan dan memiliki keinginan yang seragam, yaitu perubahan sesuai konsitusi. Sedangkan, Kudeta justru melanggar hukum, bahkan kudeta militer tidak segan-segan menumpahkan darah dan memakan korban.
Alas pijak people power adalah Rakyat. sedangkan, Kudeta adalah pada para segelintir Figur dengan Posisi steategis di dalam kekuasaan. Jadi, jika rezim ini mengatakan people power adalah gerakan makar. maka, sangatlah jelas bahwa rezim ini sangat krisis pengetahuan sejarah dan Hukum.
Saya justu melihat ada Fasisme yang merayap, secara perlahan mendekati pemerintahan bangsa ini. Sebab, Paranoid terhadap rakyat adalah perilaku Hitler dengan Fasisnya. Sebagaimana yang saya sampaikkan diatas.
Belum selesai dengan itu, merebak juga soal pembatasan ruang-ruang Informasi kepada Rakyat. Padahal, Hak atas informasi diatur dalam Pasal 19 Declarations of Human rights dan Internasional Of convenant on civil and political rights. Dalam UU No 14 Tahun 2014 tentang keterbukaan Informasi publik, juga mewajibkan publik berhak mengakses informasi apapun.
Dengan membatasi publik mengakses informasi dari badan informasi apapun, termasuk dari Citizen Jurnalisme. maka, sesuai dengan declarations of human rights, yang dilakukan oleh Mengkopulhukam Wiranto, beberapa waktu lalu, merupakan pelanggaran HAM.
Di sebuah negara demokrasi terbesar ketiga didunia, pemerintah menutup frekuensi informasi dan memaksa publik menerima mentah-mentah informasi yang dibikin negara (pemerintah).
Mestinya, pada saat Pandemi. Negara, tidak boleh membatasi akses informasi publik. Agar rakyat tidak panik. berikanlah informasi yang sebenarnya, disertai langkah-langkah yang antisipatif. Bukan sebaliknya, sebab Negara bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang memang menjadi hak publik untuk tahu.
Bagaimana rakyat mau antisipatif, jika, penyelenggara tidak jujur. Rakyat sudah terlanjur mencium bau kentut dimana-mana. Tetapi tidak diberitahu siapa yang kentut, dimana?, berapa orang?. Inilah yang justru menimbulkan kepanikan yang berlipat-lipat. Sebaiknya jujur saja, ajak rakyat gotong royong melawan wabah. Karena pada informasi yang benarlah, rakyat dapat belajar. Hak atas informasi adalah hak warga negara. Ia tak boleh dirampas oleh siapapun, juga oleh figur publik.
Memberikan informasi justru mengabarkan hal-hal yang benar sesuai fakta, bukan justru mengaburkan fakta-fakta lapangan. Apalagi dengan alasan yang tidak masuk akal.
Dimasa-masa sulit ini, pemimpin tidak boleh berbelit-belit alias Planga plongo. Apalagi mempersulit warga negara. berikanlah informasi yang sebenarnya, tunjukan kehadiran di tengah rasa resah publik, agar solidaritas publik bangkit serentak. Kita bisa keluar dari zona ini, asal rakyat jangan di biarkan kerja sendiri. kita harus kerja sama-sama.
Setali tiga uang dengan Pelabelan Gerakan Makar. Yang paling santer di lekatkan pada kita yang menyampaikkan argumentasi berbeda, belakangan ini adalah Radikalisme. Seolah negara telah kehilangan kosa kata, sehingga semua yang berbeda dengan narasi yang dibangun negara adalah radikal. Apalagi yang menyatakan argumen berbeda tersebut adalah ummat islam.
Radikalisme itu suatu infiltrasi semiotik politik konspirasi. Yang Di gunakan untuk memberangus revivalisme Islam.
Jika dipaksa-gunakan tanpa filter dan di sasarkan pada kelompok tertentu saja. Justru, akan membentuk kekerasaan baru. Kekerasan semiotik, namanya. Bahkan, bila terlalu sering diucapkan atau dihegemoni oleh negara. Maka, negara telah melakukan kekerasan simbolik yang dimaksud. Sebagaimana, watak negara yang represif.
Saya melihat, banyak instrumen negara itu cuman latah. Mereka memanfaatkan negara menghegemoni simbol dan semiotik Dan itu lebih jahat dari Fasis dan Radikalisme.
Misalnya, Radikalisme dalam klaim pemahaman Pancasila. justru, menjadi patologi baru dalam kehidupan berbangsa.
kacaunya lagi, penafsiran terhadap Pancasila. semakin mengkanalisasi masyarakat dalam lokus-lokus sosial yang amat sektarian Dan negara seakan melakukan pembiaran terhadap Kehancuran nilai demikian. justru, dianggap normalisasi ideologi Pancasila. (Berkaitan dengan ini, Insya Allah saya Tulis dibagian tersendiri).
Misalnya, penolakan tentang RUU Omnibus Law, yang juga beberapa waktu lalu menjadi head line. "Revrisond Baswir" mendefenisikan Neoliberalisasi adalah penjongosan negara oleh para pemodal. Neolib ingin mengubah negara menjadi budak kepetingan pemodal.
Secara Konsepsi, Neolib itu sebenarnya Positif, lahir di jerman, oleh aliran Freiberg, sebagai kritik atas Konsep Liberalisme klasik. Neolib menolak pasar bebas dan menekankan konsep humanistik. "Wilhelm Ropke" bahkan menyebut liberalisme itu adalah kejahatan sosial peradaban.
Jika ada kesalapaham soal Neolib. maka, ada pula kesalapahaman soal Neo-Marxis. Pelopornya adalah "Asghar Ali Eingineering"(Penulis buku Islam dan pembebasan). Katanya, janganlah terlalu mengikuti Marxisme ortodoks yang mengesampingkan agama. Perlu mengembangkan metodelogi Religi-kultural dan ekonomi yang menyeluruh, berakar pada etos masyarakat setempat. Nah, kita ini apa akarnya?. Pancasila?.
Menariknya adalah pendapat sejarawan "On Hok Ham", ia bertutur Pancasila itu bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru. Jika kita sepakat dengan pendapat ini. maka, akan semakin kacau, bukan?.
Sekarang, arah omnibus law ini kemana?. Mengafirmasi atau menegasikan pancasila?. Ini mesti didialektikan dan diskusikan di kampus-kampus atau lebih bagus di kantong-kantong aktivis.
Kaum borjuis itu, sejarahnya lahir dari reruntuhan masyarakat Feodal. tumbuh dewasa memberontak terhadap feodalisme. bangkit menjadi kelas penguasa yang baru. Tetapi, pada saat yang sama, kelas borjuis ini justru menciptakan kelas yang menjadi penggali kuburnya sendiri, yakni kelas buruh. Negara harus berhati-hati. Sebab, ketidakadilan soal pengupahan akan berdampak serius pada stabilitas negara.
Salah satunya ialah Soal Aturan upah Perjam yang masuk RUU Cilaka, bahwa Upah buruh dibayar perjam, ini jelas kebodohan Negara, alias defesit Akal sehat. "Mark Cuban", milyader AS bertutur, "Jika seseorang dibayar berdasarkan kerja yang mereka lakukan setiap hari. maka, mereka akan selalu tertinggal dan kesenjangan pendapatan akan terus melebar". sedangkan, Kita malah mau menghisap. padahal, ada Keadilan sosial, di Sila ke 5 pancasila.
Sampailah kita, pada sebuah Konklusi, bahwa sejarah panjang manusia tetaplah sejarah perjuangan Kelas. Jika dalam sistem perbudakan: ada kelas pemilik budak dan budak. Dalam Sistem Feodalisme : ada Tuan pemilik tanah dan ada Petani. Dalam Sistem Kapitalisme : ada borjuis atau Pemilik alat produksi dan ada buruh.
jika dilihat sprit presiden Jokowi, terhadap Omnibus Law ini. Ia menampung ketigannya.
Dulu, rezim Fasis Italia juga melakukan propaganda secara besar-besaran. agar, Rakyat umum bersatu dan patuh terhadap apa yang keluar dari mulut Mussolini.
Untuk meloloskam agendanya, 1935 dibentuk kementerian khusus propaganda dengan tujuan khusus, untuk menyampaikan kebenaran Fasisme dan menolak semua informasi yang datang dari musuh.
Hampir persis apa yang dilakukan Presiden Jokowi terhadap RUU Omnibus Law. dia perintahkan BIN, Polisi dan kementerian terkait berperan mendekati dan meredam protes masyarakat atas Soal ini. Publik, mestinya Curiga apa agenda besar dibalik RUU ini?. Sampai-sampai ketua DPR pun, tidak tahu menahu siapa penyusun Naskah akademiknya. Jangan sampai Harun Masiku, penyusunnya?.
Pemerintah dalam poin-poin propaganda yang disampaikkan pada publik, dapat disimpulkan bahwa RUU Omnibus law adalah RUU "Cilaka" yang ingin menyederhakan aturan agar investasi lebih mudah. Padahal jika kita membacanya dengan Cermat, RUU Omnibus Law sedang memindahkan kewenangan Legislasi dari DPR ketangan Presiden. Ini perampokan demokrasi.
Nah, inilah yang saya maksud bahwa kekuasaan ini telah benar-benar Defisit akal sehat. Tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa Fungsi kontrol. Tetapi, kita dianggap makar dan Radikal.
Jika ada kebodohan. lalu, ia nampak serupa kebaikan, karena banyak mendapat tepuk tangan pembelaan. Tidak serta merta mengubah kebaikan. ia, tetaplah sebuah kebodohan. Tidak usah tersinggung. sebab, saya tidak menunjuk jari.
Implikasi dari kekuasaan yang baik ialah kebaikkan itu tampak kasat mata. tidak perlu bertepuk tangan dibelakang pantat kebodohan. Sebaliknya, apabila kekuasaan itu merusak. ia, pun akan nampak kasat mata sebagai kebaikkan karena kekuasaan memiliki Instrumen untuk membela dirinya. Disitulah pentingnya oposisi (Kelompok Pendobrak).
Jika kita sudah beranggapan kritik atau oposisi adalah upaya makar dan radikalisasi. itu Fatal, dan memantik bencana. Dan pertanda baik, bagi kekuasaan yang timpang.
Dalam sistem presidensial, menggaji seorang anggota DPR dan DPD sama dengan membayar pengkritik (oposisi), untuk mengontrol pemerintahan. Ituah sebabnya, dibeberapa negara yang menerapkan sistem Parlementer. partai non pemerintahnya, dibiayai lebih dari partai pemerintah (Rulling party), namanya
Karena, jika semakin kuat kritikan oposisi. maka, semakin baik kerja partai pemerintahan. Orang yang mengkritik pemerintahan pahalanya jauh lebih besar. Sebab, ia mencintai tanpa menerima serta merta Dan ia tergantung pada yang dicintainya: peka atau bebal.
Dulu, dizaman Yunani. ada seorang raja, yang dianggap bijaksana. karena, setiap malam Si Raja Mengundang Rakyatnya untuk tidur diranjang Emasnya.
Malamnya, si Raja mengintip dan melihat. Jika tubuh rakyatnya lebih panjang dari Ranjangnya. maka, Kaki Rakyatnya akan dipotong. Jika kaki Rakyatnya, lebih pendek dari ranjangnya. maka, kaki rakyatnya akan ditarik, Agar Pas dengan panjang Ranjang raja. Jadi, Raja itu melayani Publik. Tetapi, dengan ukurannya sendiri. Kebenaran semacan itu adalah gejala awal otoritarianisme.
Apakah kita ingin bangsa ini bertumbuh ke arah itu?.
Jika tidak, maka Gairah pemasungan Nalar Kritis. jangan, diumpan dengan kemewahan demokrasi dengan pengendalian negara. Maka, Menyumbanglah pada demokrasi. dengan cara, menghormati perbedaan. Itu sudah lebih dari cukup.
(3)
*Pustaka Hayat
*Pejalan Sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran

.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar