Fatwa itu kata bahasa arab, bila di Indonesiakan artinya bisa "nasihat", "petuah", "jawaban" atau "pendapat". Kata ini biasa dilakukan oleh lembaga atau per-orangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang Mufti atau Ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.
Di atas hanya pengulangan saja, biar semua tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Setiap pergantian tahun di bulan Desember, selalu saja kata fatwa ini menjadi bulan-bulan orang. Bahkan saya dengar, ada yang dari tidur sampai tidur kembali mendebatkan soal ini.
Apa sih urgensinya?, tentu ada bagi orang sebahagian, dan ada juga yang menganggapnya tidak penting. Tergantung dari mana ia memulai memandang.
Begini kiria-kira, MUI sekalipun banyak yang melecehkan, mempertanyakkan otoritasnya, menghina orang-orang di dalamnya, bahkan ada yang menyerukan untuk dibubarkan. Tetap saja dipandang sebahagian ummat Islam sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan petuah-petuah keagamaan. Bukan hanya itu, dalam kasus dugaan penistaan beberapa tahun kemarin, justru pihak kepolisian meminta fatwa MUI sebagai alasan utama diterima atau tidaknya pelaporan.
Saya juga masih memandang lembaga ini cukup penting untuk dipertahankan eksistensinya. Sekalipun ada poin-poin fatwa tertentu yang secara peribadi saya tidak pernah patuhi sampai hari ini, juga tidak diikuti cercaan terhadap kumpulan ulama-ulama tersebut dengan kata-kata yang tidak sejuk. Karena apa?. Karena, Meraka sudah saya anggap memenuhi kualifikasi itu (otoritas).
Fatwa bukan agama, hukum-hukum agama (Islam) juga bukan hanya fatwa. Tetapi mengeluarkan fatwa bukan pekerjaan semua orang (Islam). Ada Ilmunya, ada sandarannya, ada dalilnya, ada rujukannya dan lain-lain. pertangungjawabannya juga bukan hanya di dunia. tetapi, di Akhirat. Itulah sebabnya, integritas moral, kesalehan sosial maupun individu, ilmu pengetahuan dalam soal agama, benar-benar harus diverifikasi bagi siapapun yang mengeluarkan Fatwa.
Dalam mengeluarkan Fatwa, tidak juga semua Ulama seragam menyepakatinya Dan sudah berlangsung lama sampai hari ini, itu artinya kita masih punya pilihan-pilihan lain. Pilihan-pilihan itu bukan dipilih di atas rasa suka dan tidak sukanya kita terhadap Ulama atau lembaga tertentu, tetapi lebih pada kedalaman ilmu (agama) yang kita miliki, kesadaran atas manfaat dan mudharat dalam pilihan kita. Begitu kira-kira pandangan saya dalam memahami dan mematuhi fatwa Ulama.
setelah kita letakkan persoalan ini, mari kita bicara soal kepatuhan orang (Islam) terhadap fatwa. Saya berani katakan, tidak semua ummat Islam di Indonesia patuh dan taat terhadap "petuah" yang dikeluarkan oleh MUI (Toh, Firman Allah dan Sabda Nabi saja sering dilanggar oleh kita-kita). Cuman bukan kemudian Ulama-Ulama itu pensiun dari mengelurkan fatwa atau nasihatnya, sepanjang agama ini masih ada, ummat masih ada (sekalipun hanya 1 orang saja). Tugas Ulama adalah meluruskan dan menyelamatkan aqidah ummatnya.
Dalam konteks Fatwa soal penggunaan atribut Natal, ucapan natal dll, banyak saya lihat di media sosial yang mendebatkannya. Ketidakseragaman pendapat Ulama-pun muncul dalam soalan ini, saya ingin menarik diri dari persoalan debatebel ini untuk menceritakan sedikit tentang apa yang terjadi di lingkungan saya tumbuh, termasuk Di kampung saya. Karena cerita itu bukan basisnya teks, tapi realitas faktual yang terjadi sejak agama hadir sebagai pembeda antara Muslim dan Kristen di Alor - NTT.
Begini ceritanya, tidak sedikit keluarga besar saya dari jalur Bapak dan mama adalah pemeluk Agama Nasrani, adik sepupu kakek dari jalur Bapak beserta anaknya adalah Nasrani, ada juga adik sepupunya Bapak yang menjadi Penatua (Imam) di Gereja kecil di samping Kampung Muslim yang saya tinggali, ada juga kakek saya (saudara sepupu kakek kandung, kakek dari jalur Bapak), baru-baru berpulang keharibaan Tuhan adalah mantan Ketua Yayasan Gereja paling besar di Kalabahi (Tribuana), Alor NTT. Itu belum dari Jalur Mama saya dan Beberapa Keluarga Alor, yang telah lama sudah seperti Om dan tante saya di Landak Baru. Hampir semua hal, ayah saya harus hadir menyatakan pendapat.
Saudara Kandung nenek, dari Jalur mama, 3 orang sekaligus saudaranya Beragama Nasrani. Semuanya bermukim di Kalabahi, beberapa tahun lalu, saya silaturahim satu persatu dan memperkenalkan nama, bahwa saya Keponakannya.
Mereka adalah Kakak, Bapak dan Kakek secara biologis yang mesti saya hormati, hargai dan menempatkan mereka sebagaimana agama memerintahkannya. Bahkan beberapa Om dan Tante, saya. Menyelesaikan Studinya, di Makassar. Tinggal bersama Ayah dan Ibu saya.
Mereka tidak pernah sedikitpun mendebatkan soal aqidah, apalagi meributkannya sampai seluruh dunia tahu. Tidak pernah ada diskusi lintas agama diantara kami, tidak perlu ada lembaga atau LSM yang hadir untuk mengedukasi kami tentang membangun rasa saling menghargai satu sama lain. Karena apa?, kami semua sudah menyadarinya dalam diam, apa-apa yang mesti kami lakukan dan patuhi.
Tidak pernah juga keluarga saya dipaksa harus mengucapkan selamat Natal, apalagi dipaksakan untuk harus menggunakan atribut natal (di kampung belum ada kayaknya). Pun sebaliknya. Karena kami anggap ucapan dan simbol-simbol itu tidak lebih penting dari rasa saling mengharagi satu sama lain sebagai saudara sedarah, semua kehidupan kami jalani penuh toleransi sebelum MUI didirikan sampai hari ini, bahkan sampai dunia ini kiamat.
Justru, Yang saya lihat sejak kecil, Idul Fitri dan Natalan di kampung hampir sudah tidak diletakkan pada tempat sebagaimana orang-orang kota jalani, memandang dan menikmati. Bahwa itu sudah tidak dianggap sebagai upacara keagamaan, tetapi lebih pada pesta keluarga, ruang bersilaturrahim, membagun keakraban, memperkenalkan sanak famili dan lain sebagainya. Karenanya, dalam konteks ini hampir sebahagian besar keluarga lalai dalam mematuhi fatwa MUI. Pertimbagannya adalah lebih besar manfaatnya ketimbang mudharatnya.
Lantas, setelah jalan itu diambil, orang tua kami di kampung mencaci Ulama-ulama yang mengelurkan fatwa?. Jangankan mencaci, membaca bahkan kata fatwa-pun mereka pasti belum pernah mendengarnya. Rutinitas keagamaan dijalankan dengan begitu "alakadarnya", tetapi menyimpan pesan yang sarat maknanya. Bahwa bersaudara secara biologis adalah sesuatu yang Given, tanpa pilihan, sedangkan beragama adalah pilihan sadar. Yang mestinya dijalankan dengan cara-cara sadar tanpa paksaan.
Yang Muslim menghargai yang Nasrani, Yang Nasrani menghargai yang Muslim. Jujur, ini mereka lakukan tanpa kata-kata, dalam diam mereka saling menghargai dan menghormati. Tidak juga karena anjuran siapapun (Ustad, pendeta dll) karena, ajaran untuk saling menghargai hadir sebelum Agama Formal di anut oleh masyarakat sekitar.
**
Saban pagi, denting lonceng gereja POLA -Alor, NTT, melengking, bersahut-sahutan dengan suara adzan. Di teluk Alor, denting lonceng gereja dan gema suara adzan, menjadi harmoni, memintal tiga dimensi; alam, teknologi dan justifikasi teologis dalam satu harmoni keindahan.
Tak ada “noise,” sebagaimana kegaduhan dan purbasangka tuan dan Puan. Berabad-abad, agama, kebudayaan dan kedatangan teknologi, duduk sebangku dalam harmoni dan common sense. Tak ada soal, apalagi konflik dalam relasi sosial. Dinding teologis menjadi tipis, agama dan terlebih penganutnya, telah mengalami trans-human dan transkultural. Melampaui batas-batas agama dan batas-batas kebudayaan. Hanya tuan dan puan yang hidup dalam imajinasi bernegara yang noise dan false.
Di desa Leluhurku (Alila) - Alor - NTT, Toa masjid Ishak dan lonceng gereja Ismail, terletak saling berhadapan. Nama masjid Ishak dinamai oleh warga Nasrani dan nama gereja Ismail ; disematkan oleh saudara Muslim di desa Alila. Tak ada kegaduhan apalagi purbasangka. Agama dan kebudayaan, justru menjadi alat perekat sosial.
Tiap subuh atau jam ibadat pagi (Nasrani), suara toa dan lonceng saling beradu. Tak ada “noise.” Kebisingan, hanya terjadi dalam kekacauan imajinasi bernegara Tuan dan puan dan sejumlah patologi sosial yang ada di kepala kalian.
Di Alor, Toa masjid, tak sekedar seruan untuk shalat. kegiatan adat, kerja bakti, kegiatan desa, semuanya diserukan dengan toa masjid. Kebangunan agama, mengalami kosmopolitanisasi pada dimensi adat dan kebudayaan. Sarana agama menjadi sarana kebudayaan, tanpa ada demarkasi ekstrem keduanya.
Relasi agama dan negara, demikianpun relasi agama dan kebudayaan, perlu diletakkan pada perspektif yang inklusif (saling menerima). Jangan sampai, kita-kita yang mengaku beragama justru menjadi provokator. Teknokratisasi agama oleh aparat negara, justru akan semakin mengacaukan kehidupan beragama. Negara yang partikulir, tak akan sama dengan agama yang universal.
Bila berkenan Tuan dan puan, Suatu hari Ke Alor, untuk Mendengarkan nada-nada Harmoni Toa Masjid dan lonceng Gereja. Siapa tahu, setelah dari Alor dan Kembali ke kota kalian, Bisa sembuh ! 😉.
Terakhir, Saya lebih memilih berjarak dengan saudara seiman yang bebal, yang memusuhi keluarga dan kaumku secara diam-diam, karena ingin memonopoli surga dan dunia di banding memutus kekerabatan dan menghancurkan persaudaraan yang telah di cerminkan leluhur sebelum kaumku mengenal ajaran wahyu yang diajarkan para muballig, tokoh agama dan misionaris dari negeri yang jauh.
Hal ini bukan assyobiah, tapi ini CINTA. Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha pengasih dan Penyanyang ; Salamun Yauma Wulid Ya Rohul Kudus.
Silahkan menilai budaya orisnil kami yang telah terkonstruk sekian lama hingga hari ini, Kami tetap mengahrgai Ulama dan menempatkan mereka sebagaimana mestinya.
*Pustaka hayat
*Rst
*Pejalan sunyi
*Nalar Pinggiran



