Mengenai Saya

Sabtu, 30 Desember 2023

FATWA DAN NADA - NADA HARMONI TOA MASJID ISHAK SERTA GEREJA ISMAIL DI ALOR

Fatwa itu kata bahasa arab, bila di Indonesiakan artinya bisa "nasihat", "petuah", "jawaban" atau "pendapat". Kata ini biasa dilakukan oleh lembaga atau per-orangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang Mufti atau Ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.

Di atas hanya pengulangan saja, biar semua tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Setiap pergantian tahun di bulan Desember, selalu saja kata fatwa ini menjadi bulan-bulan orang. Bahkan saya dengar, ada yang dari tidur sampai tidur kembali mendebatkan soal ini. 

Apa sih urgensinya?, tentu ada bagi orang sebahagian, dan ada juga yang menganggapnya tidak penting. Tergantung dari mana ia memulai memandang.

Begini kiria-kira, MUI sekalipun banyak yang melecehkan, mempertanyakkan otoritasnya, menghina orang-orang di dalamnya, bahkan ada yang menyerukan untuk dibubarkan. Tetap saja dipandang sebahagian ummat Islam sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan petuah-petuah keagamaan. Bukan hanya itu, dalam kasus dugaan penistaan beberapa tahun kemarin, justru pihak kepolisian meminta fatwa MUI sebagai alasan utama diterima atau tidaknya pelaporan.

Saya juga masih memandang lembaga ini cukup penting untuk dipertahankan eksistensinya. Sekalipun ada poin-poin fatwa tertentu yang secara peribadi saya tidak pernah patuhi sampai hari ini, juga tidak diikuti cercaan terhadap kumpulan ulama-ulama tersebut dengan kata-kata yang tidak sejuk. Karena apa?. Karena, Meraka sudah saya anggap memenuhi kualifikasi itu (otoritas).

Fatwa bukan agama, hukum-hukum agama (Islam) juga bukan hanya fatwa. Tetapi mengeluarkan fatwa bukan pekerjaan semua orang (Islam). Ada Ilmunya, ada sandarannya, ada dalilnya, ada rujukannya dan lain-lain. pertangungjawabannya juga bukan hanya di dunia. tetapi, di Akhirat. Itulah sebabnya, integritas moral, kesalehan sosial maupun individu, ilmu pengetahuan dalam soal agama, benar-benar harus diverifikasi bagi siapapun yang mengeluarkan Fatwa.

Dalam mengeluarkan Fatwa, tidak juga semua Ulama seragam menyepakatinya Dan sudah berlangsung lama sampai hari ini, itu artinya kita masih punya pilihan-pilihan lain. Pilihan-pilihan itu bukan dipilih di atas rasa suka dan tidak sukanya kita terhadap Ulama atau lembaga tertentu, tetapi lebih pada kedalaman ilmu (agama) yang kita miliki, kesadaran atas manfaat dan mudharat dalam pilihan kita. Begitu kira-kira pandangan saya dalam memahami dan mematuhi fatwa Ulama.

setelah kita letakkan persoalan ini, mari kita bicara soal kepatuhan orang (Islam) terhadap fatwa. Saya berani katakan, tidak semua ummat Islam di Indonesia patuh dan taat terhadap "petuah" yang dikeluarkan oleh MUI (Toh, Firman Allah dan Sabda Nabi saja sering dilanggar oleh kita-kita). Cuman bukan kemudian Ulama-Ulama itu pensiun dari mengelurkan fatwa atau nasihatnya, sepanjang agama ini masih ada, ummat masih ada (sekalipun hanya 1 orang saja). Tugas Ulama adalah meluruskan dan menyelamatkan aqidah ummatnya.

Dalam konteks Fatwa soal penggunaan atribut Natal, ucapan natal dll, banyak saya lihat di media sosial yang mendebatkannya. Ketidakseragaman pendapat Ulama-pun muncul dalam soalan ini, saya ingin menarik diri dari persoalan debatebel ini untuk menceritakan sedikit tentang apa yang terjadi di lingkungan saya tumbuh, termasuk Di kampung saya. Karena cerita itu bukan basisnya teks, tapi realitas faktual yang terjadi sejak agama hadir sebagai pembeda antara Muslim dan Kristen di Alor - NTT.

Begini ceritanya, tidak sedikit keluarga besar saya dari jalur Bapak dan mama adalah pemeluk Agama Nasrani, adik sepupu kakek dari jalur Bapak beserta anaknya adalah Nasrani, ada juga adik sepupunya Bapak yang menjadi Penatua (Imam) di Gereja kecil di samping Kampung Muslim yang saya tinggali, ada juga kakek saya (saudara sepupu kakek kandung, kakek dari jalur Bapak), baru-baru berpulang keharibaan Tuhan adalah mantan Ketua Yayasan Gereja paling besar di Kalabahi (Tribuana), Alor NTT. Itu belum dari Jalur Mama saya dan Beberapa Keluarga Alor, yang telah lama sudah seperti Om dan tante saya di Landak Baru. Hampir semua hal, ayah saya harus hadir menyatakan pendapat. 

Saudara Kandung nenek, dari Jalur mama, 3 orang sekaligus saudaranya Beragama Nasrani. Semuanya bermukim di Kalabahi, beberapa tahun lalu, saya silaturahim satu persatu dan memperkenalkan nama, bahwa saya Keponakannya. 

Mereka adalah Kakak, Bapak dan Kakek secara biologis yang mesti saya hormati, hargai dan menempatkan mereka sebagaimana agama memerintahkannya. Bahkan beberapa Om dan Tante, saya. Menyelesaikan Studinya, di Makassar. Tinggal bersama Ayah dan Ibu saya. 

Mereka tidak pernah sedikitpun mendebatkan soal aqidah, apalagi meributkannya sampai seluruh dunia tahu. Tidak pernah ada diskusi lintas agama diantara kami, tidak perlu ada lembaga atau LSM yang hadir untuk mengedukasi kami tentang membangun rasa saling menghargai satu sama lain. Karena apa?, kami semua sudah menyadarinya dalam diam, apa-apa yang mesti kami lakukan dan patuhi.

Tidak pernah juga keluarga saya dipaksa harus mengucapkan selamat Natal, apalagi dipaksakan untuk harus menggunakan atribut natal (di kampung belum ada kayaknya). Pun sebaliknya. Karena kami anggap ucapan dan simbol-simbol itu tidak lebih penting dari rasa saling mengharagi satu sama lain sebagai saudara sedarah, semua kehidupan kami jalani penuh toleransi sebelum MUI didirikan sampai hari ini, bahkan sampai dunia ini kiamat.

Justru, Yang saya lihat sejak kecil, Idul Fitri dan Natalan di kampung hampir sudah tidak diletakkan pada tempat sebagaimana orang-orang kota jalani, memandang dan menikmati. Bahwa itu sudah tidak dianggap sebagai upacara keagamaan, tetapi lebih pada pesta keluarga, ruang bersilaturrahim, membagun keakraban, memperkenalkan sanak famili dan lain sebagainya. Karenanya, dalam konteks ini hampir sebahagian besar keluarga lalai dalam mematuhi fatwa MUI. Pertimbagannya adalah lebih besar manfaatnya ketimbang mudharatnya.

Lantas, setelah jalan itu diambil, orang tua kami di kampung mencaci Ulama-ulama yang mengelurkan fatwa?. Jangankan mencaci, membaca bahkan kata fatwa-pun mereka pasti belum pernah mendengarnya. Rutinitas keagamaan dijalankan dengan begitu "alakadarnya", tetapi menyimpan pesan yang sarat maknanya. Bahwa bersaudara secara biologis adalah sesuatu yang Given, tanpa pilihan, sedangkan beragama adalah pilihan sadar. Yang mestinya dijalankan dengan cara-cara sadar tanpa paksaan.

Yang Muslim menghargai yang Nasrani, Yang Nasrani menghargai yang Muslim. Jujur, ini mereka lakukan tanpa kata-kata, dalam diam mereka saling menghargai dan menghormati. Tidak juga karena anjuran siapapun (Ustad, pendeta dll) karena, ajaran untuk saling menghargai hadir sebelum Agama Formal di anut oleh masyarakat sekitar.


**

Saban pagi, denting lonceng gereja POLA -Alor, NTT, melengking, bersahut-sahutan dengan suara adzan. Di teluk Alor, denting lonceng gereja dan gema suara adzan, menjadi harmoni, memintal tiga dimensi; alam, teknologi dan justifikasi teologis dalam satu harmoni keindahan.  

Tak ada “noise,” sebagaimana kegaduhan dan purbasangka tuan dan Puan. Berabad-abad, agama, kebudayaan dan kedatangan teknologi, duduk sebangku dalam harmoni dan common sense. Tak ada soal, apalagi konflik dalam relasi sosial. Dinding teologis menjadi tipis, agama dan terlebih penganutnya, telah mengalami trans-human dan transkultural. Melampaui batas-batas agama dan batas-batas kebudayaan. Hanya tuan dan puan yang hidup dalam imajinasi bernegara yang noise dan false.

Di desa Leluhurku (Alila) - Alor - NTT, Toa masjid Ishak dan lonceng gereja Ismail, terletak saling berhadapan. Nama masjid Ishak dinamai oleh warga Nasrani dan nama gereja Ismail ; disematkan oleh saudara Muslim di desa Alila. Tak ada kegaduhan apalagi purbasangka. Agama dan kebudayaan, justru menjadi alat perekat sosial.

Tiap subuh atau jam ibadat pagi (Nasrani), suara toa dan lonceng saling beradu. Tak ada “noise.” Kebisingan, hanya terjadi dalam kekacauan imajinasi bernegara Tuan dan puan dan sejumlah patologi sosial yang ada di kepala kalian.     

Di Alor, Toa masjid, tak sekedar seruan untuk shalat. kegiatan adat, kerja bakti, kegiatan desa, semuanya diserukan dengan toa masjid. Kebangunan agama, mengalami kosmopolitanisasi pada dimensi adat dan kebudayaan. Sarana agama menjadi sarana kebudayaan, tanpa ada demarkasi ekstrem keduanya.   

Relasi agama dan negara, demikianpun relasi agama dan kebudayaan, perlu diletakkan pada perspektif yang inklusif (saling menerima). Jangan sampai, kita-kita yang mengaku beragama justru menjadi provokator. Teknokratisasi agama oleh aparat negara, justru akan semakin mengacaukan kehidupan beragama. Negara yang partikulir, tak akan sama dengan agama yang universal.

Bila berkenan Tuan dan puan, Suatu hari Ke Alor, untuk Mendengarkan nada-nada Harmoni Toa Masjid dan lonceng Gereja. Siapa tahu, setelah dari Alor dan Kembali ke kota kalian, Bisa sembuh ! 😉. 

Terakhir, Saya lebih memilih berjarak dengan saudara seiman yang bebal, yang memusuhi keluarga dan kaumku secara diam-diam, karena ingin memonopoli surga dan dunia di banding memutus kekerabatan dan menghancurkan persaudaraan yang telah di cerminkan leluhur sebelum kaumku mengenal ajaran wahyu yang diajarkan para muballig, tokoh agama dan misionaris dari negeri yang jauh.

Hal ini bukan assyobiah, tapi ini CINTA. Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha pengasih dan Penyanyang ; Salamun Yauma Wulid Ya Rohul Kudus. 

Silahkan menilai budaya orisnil kami yang telah terkonstruk sekian lama hingga hari ini, Kami tetap mengahrgai Ulama dan menempatkan mereka sebagaimana mestinya. 


*Pustaka hayat

*Rst

*Pejalan sunyi

*Nalar Pinggiran

HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL -


Dalam tradisi orang Arab, ada Istilah yang menyebutkan, "Kaama tassarofa bi muhammad bi adnan". Orang tidak tahu, siapa itu adnan?. Tetapi, karena berkahnya Rosulullah SAW, sehingga membuat orang akan mencari-cari Tahu, Adnan itu siapa?. Karena mempunyai cucu, punya Dzurriyah, yang bernama Nabi Muhammad SAW.

Secara lahiriah, keturunan Nabi Ibrahim, ada yang bernama, Yehuda bin Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim. dari jalur ini, memberitahukan kepada kita, bahwa Nabi Ibrahim adalah Yahudi, sedangkan orang Nasrani menganggap Nabi Ibrahim adalah orang Nasrani, karena sama-sama dari Yerusalem - Nazaret.

Saya Yakin orang Tidak kenal, ayah saya. Tetapi, karena saya bisa bermanfaat buat orang. Maka, orang akan melacak, siapa ayah dan Kakek Saya. Kira-kira begitu, perumpamaannya. Belakangan ini, saya cukup Menggemari dan menyenangi mengkaji, membaca dan mengikuti Kajian Tafsir. Ada satu hal yang hendak saya garis bawahi, yaitu mengapa Nabi Ibrahim disebut, “Maa kana Ibrahimu la yahudiau waa laa nasrani - Ibrahim itu bukan Yahudi dan bukan Nasrani". 

Jika saja tidak datang seorang Rosulullah SAW yang memberitahukan, bahwa Nabi Ibrahim adalah "Hanifaan Muslimin". Maka, hampir bisa di pastikan, kita tidak akan tahu bahwa Nabi Ibrahim adalah Datuknya Nabi Muhammad SAW. Namun ketika Nabi Muhammad SAW di utus menjadi Rosul dan Nabi Terakhir, ada sedikit problem, orang-orang Arab mempertanyakan Muhammad Ini Anaknya siapa, karena Dia orang Mekkah. Sementara yang Hidup di mekkah itu orang Jahiliyah. Maka, Di refleksikanlah oleh Allah bahwa engkau (Muhammad) adalah cucunya Nabi Ibrahim.

Hal itu bisa di Buktikan, bahwa Nabi Ibrahim pernah di mekkah saat meninggikan bangunan Ka'bah bersama Nabi Ismail, "Fii hii ayatum maqomum bainatum ibrahim". Selain itu, Bukti lainnya ialah Sa'i, Sebagaimana Kita Mahfum bahwa di prosesi Sa'i adalah peristiwa dimana Siti Hajar mencari air sebanyak 7 kali. Maka, terlacaklah, bahwa Nabi Muhammad menjadi Nabi itu sah, karena "Bi Dzurriyati Ibarahim". karena, Kakek Buyutnya adalah Nabi.

Di titik itulah, Maka status Nabi Ibrahim sebagai Bapak Tauhid (bapak semua agama) menjadi Paripurna. karena di Maklumatkan (di beritahukan) oleh Cucunya, Rosulullah SAW, "Millata Abikum Ibrahim". artinya, Jika saja tidak datang (ada) Nabi Muhammad SAW. maka Rujukan Nabi Ibrahim hanya pada Jalur Yahudi dan Nasrani. Kehadiran Rosulullah SAW (Islam) mempertegas, bahwa Nazab Biologis dan Teologis Nabi Ibrahim Tidak hanya Yahudi dan Nasrani.

Jika demikian kerangka Epistemiknya, apakah tidak boleh Jika Seorang Muslim mengucapkan Selamat Natal ataukah boleh?. Pertama, Secara pribadi, saya lebih memilih menghindari perdebatan ini. sebab Konsekuensi Tauhidnya ada dan hal ini juga bahagian dari sikap Hati-hati dalam beragama. Kedua, Perdebatan ini, sesungguhnya bukanlah perdebatan kita. Perdebatan ini adalah perdebatan Ulama Saudi (sekalipun Hanya minoritas). Selebihnya, Ulama-ulama di dunia membolehkan mengucapkan selamat Natal.

Memang Kita tidak akan menemukan dalil dari al-Qur’an maupun Sunnah yang secara spesifik membahas hukum ucapan selamat Natal. Polemik ini terjadi di era kontemporer, dimana ia muncul karena keinginan sebagian umat Islam yang hendak mengekspresikan sikap toleransinya dan sikap Egalitiarian kepada non-Muslim. Maka, karena ia tidak ditemukan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang secara tegas menghukuminya, kasus ini masuk dalam kategori Ijtihad.

Jumhur ulama (mayoritas ulama) dari 4 madzhab besar dalam ilmu Fiqih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) telah sepakat akan keharaman pengucapan selamat Natal. Namun, ulama-ulama kontemporer kembali mengulas hukum tersebut dikarenakan kasus ini masuk dalam kategori Ijtihad.

Perbedaan pendapat ini terjadi di kalangan ulama kontemporer, disebabkan Ijtihad mereka dalam memahami generalitas ayat atau Hadits yang terkait dengan kasus ini. Untuk memudahkan kita Menganalisa, Saya coba menyuguhkan Dasar Hukum yang bisa dijadikan sebagai legitimasi untuk mengucapkan Selamat Natal, kita bisa merujuk pada Q.S. Al mumtahana ; 8-10, seperti pada Ayat 8, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

لَا يَنْهٰٮكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَا تِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَا رِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَ تُقْسِطُوْۤا اِلَيْهِمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah 60: Ayat 8)

Secara Implisit, Pada ayat tersebut, Allah SWT menegaskan bahwa perbuatan baik (Ihsan) kepada siapa saja itu tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusir kita dari negeri kita. Sedangkan, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

Selain itu, dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA, Rosulullah SAW bersabda, “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi Muhammad SAW, kemudian ia sakit. Maka, Nabi Muhammad SAW mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’. Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata,‘Taatilah Abul Qasim (Nabi Muhammad SAW ). ’Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi Muhammad SAW, keluar seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.’” (HR. al-Bukhari no. 1356, 5657).

Pada hadits tersebut, Rasulullah SAW memberi teladan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Sehingga mengucapkan selamat Natal yang merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-muslim, walaupun bukan dalam keadaan darurat. Ucapan tersebut diperbolehkan selama tidak mengganggu Akidah kita terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Yusuf al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Sirodj, dan lain sebagainya. Selain Merujuk pada QS. Al-Mumtahanah ayat 8 Dan Hadist dari Anas Bin Malik diatas, Kita bisa merujuk pada QS. Maryam : 33, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَا لسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali."

Pada Ayat Q.S Maryam : 33, sangat jelas bagaimana Allah memberikan selamat atas kelahiran Isa Bin Maryam dan Nabi Isa Mengucapkan selamat atas kelahiran Dirinya. Selain itu, kita bisa merujuk pada Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman 586 dan Fatwa Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, KH. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. KH. Qurais Shihab, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir.

Sedangkan, Para ulama yang memilih sikap untuk mengharamkan ucapan selamat natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah SWT di dalam surat al-Furqan ; 72, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.S. al-Furqan [25]: 72).

Pada ayat tersebut, Allah SWT menjanjikan bagi orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dengan martabat yang tinggi di surga. Sedangkan, apabila seorang muslim mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Nasrani tentang hari Natal (kelahiran Yesus Kristus, salah satu Tuhannya ummat Nasrani). Konsekuensinya adalah ia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani tidak diperkenankan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum. maka dia termasuk bagian kaum tersebut". (HR. Abu Daud, no. 4031). Pada hadits tersebut, Rasulullah SAW mewanti-wanti umat Islam terhadap perbuatan "tasyabbuh" terhadap non-muslim.

Dalam kaidah Bahasa Arab, tepatnya ilmu Nahu Shorof, kata "tasyabbuh" berasal dari "wazan Tafa’ul", yang bermakna "muthawa’ah" (menurut), "takalluf" (memaksa), dan juga "tadarruj" (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga, dari wazan ini kata tasyabbuh memiliki arti perbuatan yang dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya barangkali ia merasa terpaksa atau Ikut-ikutan dengan perbuatan tersebut sampai kemudian ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.

Dengan kata lain, siapa saja menyerupai suatu kaum. maka, ia lama kelamaan akan tunduk kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan yang menyerupai orang non-muslim, sebab ia merupakan pintu menuju ketundukan kepada mereka. Sehingga, sikap tegas dengan kaidah saddud dzari’ah (menutup pintu keburukan) merupakan suatu kaidah yang tepat dalam kasus ini, agar akidah kita tidak tergoyahkan akibat ikut-ikutan mengucapkan selamat Natal sebagaimana yang dilakukan oleh umat Nasrani.

Maka, umat Islam yang mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani berarti telah melakukan "tasyabbuh" sekaligus memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat kristiani tentang kebenaran peristiwa natal. Sehingga, kasus ini masuk juga ke dalam ranah akidah yang mengkompromikan antara tauhid dengan syirik. Atas dasar inilah hukum ucapan tersebut diharamkan secara tegas.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini, diantaranya Abdullah bin Baz, Ibnu Utsaimin, Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Buya Yahya (Habib Yahya Zainul Ma’arif), Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, Adi Hidayat, dan lain sebagainya. Jadi, perkara mengucapkan selamat Natal ini bukan perkara Liberal dan tidak liberal ataukah Plural dan tidak plural. Hal ini, tergantung dari cara kita memahami dan dari versi apa kita melihatnya ; apakah kita melihatnya dari Segi aqidah atau dari segi Muammalah.

Jika kita melihatnya dari versi aqidah, kita mesti mendefenisikan, Natal itu apa?. Sebab, Dalam Perspektif muamalahnya, kita boleh mengucapkan selamat Natal asalkan mereka tidak dzolim dan mengusir kita. Sebagaimana Legitimasi Teks yang saya sebutkan diatas. Sebab, Kebanyakan kita ini, memang Aneh. Terlampau jauh memperdebatkan Hukum Mengucapkan selamat Natal. Tetapi, tidak mengetahui Natal itu apa?. 

Dalam khasanah keilmuan, Para ahli Fiqih, ahli kalam dan para Filsuf, memiliki Metodologi dalam menjeleskan sesuatu, agar sesuatu itu jelas duduk perkaranya. Metode tersebut, disebut metode Ta'rif atau defenisi. Defenisi itu penting, karena kerap kali kita panjang lebar membicarakan suatu persoalan, tetapi kita tidak membatasi terlebih dahulu persoalannya, sehingga lebih banyak argementasinya Cocologi. 

Natal itu apa?. "Natal itu berasal dari Diksi Natalies, Di serap kedalam bahasa indonesia menjadi Natal. Natal itu sama dengan Maulid atau kelahiran". Maulidnya siapa?. "Maulidnya Isa". Maulidnya Isa Bin Maryam atau Maulidnya Isa Ibdullah?.

Jika Natal yang di maksud adalah kelahiran Isa Bin Maryam. maka, sebagaimana Bab Muamalah yang saya sebutkan diatas adalah boleh mengucapkan selamat Natal. Tetapi, jika yang di maksud Natal adalah kelahiran Isa Ibdullah (anak Tuhan). Maka, di titik inilah perdebatan panjang para Ulama itu berawal.

Padahal, Jika saja kita mau mempertanyakan secara kritis, apakah jika kita mengucapkan selamat Natal, kita menjadi Orang Kristen?. Apakah ketika orang kristen mengucapkan selamat Idul fitri, mereka Jadi orang islam?. Hal itu sama dengan ketika kita Mbeee...Mbee...apakah kita akan jadi Kambing.

Sebagaimana Hadist yang kerap di nukil, sebagai bantahan, atas mereka yang mengucapkan Selamat Natal, "Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kedalam kau tersebut, " wa man tasyab ba bi kaumin fa huwa minhum".

Hadist tersebut, jangan di pahami secara teks book atau latter late. Harus di analisis secara kompleks dan kita harus menemukan titik yang paling akurat dari maksud hadist terebut. Sebab, kalau kita ngawur, Berpikir sepenggal dan seenaknya saja, maka bisa jadi boomerang buat kita, karena kita akan dapati hukum-hukum yang menjebak kita.

Mengapa, secara Aqidah menjadi perdebatan mengucapkan selamat?. Karena, ucapan selamat Natal mengandung unsur pengakuan terhadap 3 hal. pertama, Nabi Isa adalah anak Tuhan. Kedua, Nabi Isa lahir pada tanggal 25. Ketiga, Nabi Isa mati di salib. Ketiga hal ini di bantah oleh Qur'an. Pertama, Isa anak Tuhan di bantah oleh Qur'an, "laqod kafarol ladzina qolu innallahu tsalisu tsalasa - kafirlah mereka yang mengatakan isa Trinitas dan anak Tuhan. 

Kedua, Tentang Nabi Isa yang lahir tanggal 25 Desember, di bantah juga oleh Qur',an, "Ketika maryam memegang Isa, tidak ada makanan, karena terlahir di tepian kota. Allah memerintahkan untuk menggoncang pangkal batang kurma (Tusakid alaiki rutho ban janiyah), buah kurma mengkal, hanya ada pada musim panas, antara bulan juli-agustus. Ketika Isa lahir, kambing-kambing sedang di gembalakan di padang rumput. Sementara, bulan 12 rumput tidak tumbuh karena tertutup oleh salju. Maka, 25 desember bukan kelahiran Isa, tetapi hari raya merayakan dewa Mytrea (Dewa Matahari), yang di ambil oleh kaisar Konstantin.

Lalu ketiga, tentang Isa yang wafat di palang salib. Di bantah oleh Al-Qur'an, " Wa ma qotalahu wa ma Tsolabuhu wa kin tsu bi alahum - mereka tidak membunuhnya, mereka tidak menyalibnya. Melainkan ada orang yang di serupakan wajahnya dengan Isa, yaitu Yudas Iskariot".

Jadi, pada Intinya semua Pilihan berpulang pada kita masing-masing, karena kitalah yang mempertanggung jawabkan atas setiap hal yang kita ucapkan, pikirkan dan lakukan. Jika mengucapkan selamat Natal dapat menganggu Aqidah kita, tidak usah di Ucapakan. Tetapi, kita juga tidak bisa memaksakan untuk orang lain berpendapat sama dengan kita. Sebab, Semua pilihan Memiliki Legitimasi Hukum yang dapat di buktikan. 


*Rst

*Pejalan sunyi

*Nalar Pinggiran

Kamis, 21 Desember 2023

BERTAMBAH, TETAPI TIDAK MENJADI BANYAK


Bertambah, tetapi tidak menjadi banyak. Sebab, Waktu kerap menguranginya. Di titik itulah, Kita niscaya menerimanya dengan segenap rela. Demikianlah bulan berjalan, tanpa berisik.

Tidak ada pesta perayaan. Tidak ada nyanyi-Nyanyian. Tidak ada hadiah apalagi kejutan. Selalu mensyukuri yang cukup dalam Diam, dan itu sudah berlansung sampai hari ini.

Iya, hari Ini. Pada hari ini Tuhan memberi sinyal tentang bertambahnya usia, sekaligus berkurangnya Jatah Hidup. Jatah hidup sebagai hamba, sebagai Khalifah. Syukuri alakadarnya. Karena, waktu tak akan pernah berhenti melaju. Hari - Hari pun tak pernah bisa diajak berkompromi, ia akan meninggalkan catatan kenangan yang tak mungkin hilang.

Waktu terus mengejar, membuat detak jantung tak ada jeda. Hidup tak akan pernah berhenti, begitu terus menerus hingga berakhir malakut. Sejatinya bertambahnya usia, gugur lagi selembar waktu. Itulah sebabnya, doaku begitu banyak pada lilin harapan yang menyala-nyala namun mengerucut. semoga waktu akan berhenti pada akhir yang baik.

Saya menyadari betul bahwa Tahun adalah Kumpulan bulan, begitu juga Minggu-minggu yang menjadi bulan. Minggu terdiri atas hari. Hari di hitung dari kumpulan jam. Jam merupakan kumpulan Menit, sedang menit ialah akumulasi dari detik-detik.

Detik ialah kumpulan Nafas dan detak jantung yang mengiringinya. Waktu adalah hari ini, bukan kemarin, karena ia sudah berlalu. bukan pula Esok, sebab ia belum tentu terlewati. Akan tetapi, Jika hari ini adalah kemarin bagi esok, maka sesungguhnya esok selalu ada bagi siapa saja. tak perduli esoknya, berair mata atau berbunga, tergantung bagaimana hari ini di perlakukan, apakah mengumpulkan duka atau bercocok tanam.

Kita hanyalah kumpulan hari-hari. Setiap hilang satu detik, hilang separuh waktu bermesraan dengan dunia. Olehnya, tak salah jika kita terus belajar untuk tidak terlalu Jatuh hati pada kefanaan. Sebab, Ada yang abadi, yang tentunya harus terus menerus untuk kita kejar. Sebagaimana pohon, semakin menjulang semakin rindanglah dia. Sudah selayaknya, ada yang berteduh di bawahnya. Ternyata belum ada Musafir yang ridho diajak berteduh, menjadi teman dalam menapaki perjalanan panjang menuju keabadian. 

Saya tahu, bukan hanya Usia yang bertambah, tapi Tubuh pun bertambah rebah di makan usia. Bertambah renta, seiring perjalanan awan di langit. Berdetaknya jarum jam, berubahnya senja menjadi malam.

Namun, Kita harus yakin, bahwa Nahkoda yang terpercaya tidaklah lahir dari lautan yang bersahabat?. Topan dan badai adalah peluang dalam mengasah panca indra dan menguatkan kuda-kuda.

Kebanyakan kita, mungkin kerap abai, bahwa Yang pernah jatuh adalah dia yang pernah berjalan atau bahkan berlari. Yang berjalan membuka tabir, Yang berlari membuka jalan takdir. Ia Yang berjalan adalah ia yang tahu bagaimana rute takdir bekerja. Yang berlari adalah ia di gerakkaan oleh akar-akar keyakinan yang kuat.

Jejak, jarak dan waktu, hanyalah bahagian dari proses alamiah yang telah di gariskannya menjadi jalan-jalan kehidupan. Apa yang kita inginkan belum tentu menjadi kehendaknya. Di dalamnya ada proses yang mencengangkan, kita menuju ke suatu tempat. namun, ia membuat kita berkeliling, memutar, hingga kita memahami alur taqdirnya.

Waktu adalah bilangan yang mengasyikkan, membentuk siang dan malam. Hadir lalu pulang. Para pencari kehidupan berlalu lalang di senja kehidupan, menuju jalan pulang sebentar lagi. Maka, Biarkan saja rindu ini tergelincir bersama senja. Bukan di embun pagi atau di hangatkan malam. 

Di suatu kesempatan posisi saya kadang dianggap antagonis. Itu saya rasakan dan orang-orang juga biasa merasakan perlakuan yang sama. tapi itu bukan taqdir, semua dapat berubah. bunyi jarum jam dapat merubah keadaan 180 derajat dari kondisi semula.

Kita harus tetap mempercayakan semuanya pada yang menghendaki kehidupan ini. Matahari sudah pergi, senja telah memberangkatkan diri. Demikian juga kita, akan segera pergi. sebab, Kita adalah pejalan. Pejalan Yang menapaki rute Takdir masing-masing, kita jangan mengharapkan sesuatu yang Tidak di kehendaki Tuhan. Sebab, Pola pikir kita tentu berbeda dengan pekerjaan Tuhan yang Maha sempurna.

Sungguh, manusiawi jika KesempurnaanNya, tidak mampu di pahami dengan Pemahaman Kita Yang cacat. Mengeluhlah padaNYA, sebab hal itulah jalan paling Logis untuk mengakui kelemahan kita sebagai manusia. Karena Saatnya, Tuhan Jugalah yang memberi Batas bahwa waktumu telah cukup untuk membuatmu menunggu. 

Jalan jauh berbeda dengan jalan panjang. Sebab jalan panjang, ada pada ujung perjalanan. Jalan jauh itulah keterasingan, Alienasi kata “ Ludwich Feurbach”. Jalan jauh itu kebuntuan nalar. Seperti ujar positivisme “ Agus T Comte”. Jalan jauh itu kesombongan dan kepongahan pribadi. Begitu sentilan “ Hero” F.W Nietzche. Ini jalan panjang bukan jalan jauh, Diri adalah sumbu dan pusatnya. 

Perjalanan masih panjang. Berliku, berduri dan berbatu. Terlebih ketika memasuki lorong-lorong sempit yang gelap, pengap tiada cahaya. Namun yang ku tahu Tuhan Maha Tahu. Serupa mendaki gunung. Jalur paling terjal menuju puncak adalah pintu menuju keindahan alam yang mempesona dan rembulan adalah keindahan alam yang mempesona. Nikmati saja. 

Tetapi, yakinlah bahwa Di tiap-tiap etape waktu ada pertanggung jawaban. Ada tanya atas berat beban yang di tunaikkan. Kita adalah hamba. Untuk kaki, tangan, mulut, telinga, mata bahkan gerak hati akan ada tanya besok. jejak hati selalu lebih berat bebannya dari pada raga yang lainnya. cinta dan benci adalah peninggalan yang abadi.

Ada banyak manusia yang menuju tempat pesta pemulung senja. Tapi, selalu terlambat sadar, bahwa senja akan hilang di telan malam. sebagaimana manusia.

Ketika kita mengkaji tentang kehidupan. maka, yang kita temukan ialah kematian. saat kita mengkaji kematian, maka yang kita temukan adalah kehidupan yang sesungguhnya. Artinya kita perlu prihatin terhadap hidup ini. sebab, hidup untuk mati dan mati untuk hidup yang sesungguhnya, begitu ujar Abu Al-Fatih Muhammad Asy-Syahrastani.

Bertolak dari itulah, sehingga Sudah cukup lama, saya Mengukur mata dan volume air mata. Mengubur ingin dan merubah arah mata angin. Berapa Banyak mimpi yang terpaksa ku benamkan di kedalam realitas. Padahal Semua Mimpi itu, bukan milik janji kosong, tidak pula keculasan. Ia terlahir dari rahim harapan. Tetapi, kita mesti Melangkah, walau kadang kita di perolok-olok oleh sepi.

Mengapa?. Sebab, Di titik tertentu orang harus puas dengan segala atribut. Tetapi, di suatu waktu semuanya tidak bernilai di mataNya.

Di suatu masa orang akan di sembuhkan oleh obat yang dulunya adalah racun bagi tubuhnya. Semua soal waktu. Sebab, taqdir hanya akan memihak bagi mereka yang berusaha.

Memang berat, karena Tidak ada pilihan yang mudah. Sebab jika mudah, maka hidup tak lebih dari sekedar memisahkan beras dari sisa gabah. Biarkan saja bahteramu menuju tempat matahari rebah, memang disitulah semuanya menuju. Sesuai perintah waktu

Bukankah, Tuhan telah memanjakan manusia bahkan sebelum manusia di ciptaakan. Itulah kenapa kita menjadi mahkluk manja yang mudah mengeluh. Keluh kesah menjadi makanan jiwa setiap hari. Lalu meracuni rasa syukur hingga kebahagiaan menjadi fatamorgana yang menutupi hati.

Bersyukurlah. Sebab, Lelaki Hujan, di Bulan desember adalah kata-kata yang punya aliran mazhab sendiri, mungkin ada tempat yang mau menampung kisah-kisah murung. Antara kita, sepanjang perjalanan ini. Setelah langit kehabisan mendung.

Hujan bulan desember adalah bulan berjumpa dan berkumpul. Bukan di pisah oleh jarak nelayan, yang mengistirahatkan sampannya untuk bercanda dengan kerabat di musim barat dan petani berpacu menanam, lalu berteduh menghabiskan cadangan makanannya, hingga musim panen tiba.

Lelaki Desember tumbuh, bukan sebagai kembang melati. Lelaki Desember adalah belati. Di asah oleh tumpulnya hidup. Ditajamkan oleh-oleh banyaknya berita-berita buruk.

Lelaki Desember adalah musim hujan. Menjatuhi segenap kericuhan, kemudian berdamai dengan bunga-bunga padi. Hingga ceruk nafasnya berhenti.

Suatu ketika, Seorang kawan bertanya, "Aiis Hidup itu apa?". Sebelum menjawabnya, sejenak saya terdiam, merunduk pada diri, sembari menghela nafas panjang. 

"Kawan, Hidup itu adalah cara kita Sebanyak mungkin, agar tidak bergantung pada banyak hal pada apapun saja selain Tuhan. Misalnya, antara orang yang mempertahankan eksistensinya butuh banyak hal dengan orang yang tidak butuh banyak hal untuk mempertahankan eksistensinya, mana yang Lebih pintar?. Itulah sebabnya, Orang yang banyak kebutuhannya, sesungguhnya banyak kebodohannya. Karena ia menggantungkan kebahagiannya pada banyak hal". 

Makanya Imam Syafi'i berkata, "al Istighna anis syai' la bis syai' (Kecukupan adalah berusaha sebanyak mungkin, tetapi banyak hal tidak dibutuhkan. Bukan memenuhi semua kebutuhan kita. Sebab, nafsu kita tidak ada batasnya)". Sebagaimana Guman, Al Ghazali, bahwa "Kebahagian dunia itu tak pernah luas, karena itu para pencari dunia, selalu berdesakan dan berebut satu sama lain".

Santailah Kawan, Dunia ini tetap menarik. Sebab, selalu ada bahagia yang tak bisa kita menangkan. Misal, mana yang lebih membuat kita dekat kepada Tuhan, Mempersembahkan satu-Satunya yang kita punyai dan sayangi atau memberikan sesuatu yang merupakan kelebihan karena masih punya banyak hal yang disayangi.

Berkenaan dengan itu, saya teringat dengan beberapa catatan lama, Kira-kira begini, "Kehidupan yang kita dedikasikan untuk mengejar kebahagiaan tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Semakin kita berpusat pada kebahagiaan sebagai tujuan hidup, maka semakin juga kita tidak melihat pertimbangan yang sehat untuk berbahagia", begitu gumam Viktor E. Frank, melalui teori "Logoterapi".

Sedangkan, Al-Ghazali melalui teori Kimiya al-Sa'adat" menyatakan bahwa hakikat kebahagiaan itu berada di wilayah hati, olehnya mengejar kesenangan untuk membahagiakan badan-Tubuh, maka sesungguhnya kita jauh dari hakikat kesempurnaan. Maka, menjadi benar, ungkapan Blanchflower dan Oswald, “money does not buy happiness”. Atau meminjam terminologi Will Durant, "agama tidak pernah tumbuh subur di tengah orang-orang yang memiliki banyak uang".

Orang yang banyak uang hanya memiliki itikad "Simpati", namun belum memiliki kesadaran dan membudayakan sikap "Empati". Inilah tipologi manusia modern, yang dalam ungkapan sayyid Hossein Nasr, "sedang berada di wilayah pinggiran eksistensinya, dan bergerak menjauhi pusat dirinya. Sedangkan pusat atau esensi dirinya itu bersifat spiritual".

Kondisi yang sama juga dicemaskan oleh Arnold J. Toynbee. Menurutnya, setidaknya ada dua hal yang melanda manusia modern dewasa ini, yaitu kosongnya jiwa dari nilai-nilai spiritual dan tegarnya dimensi material pada kehidupan mereka.

Padahal Hakekat dari semua ajaran spritual, entah sufistik atau irfani Ialah aktif total dalam kehidupan ini, tetapi secara sadar memilih "berjarak" dengan segala gemerlap pesona dan godaan Matrealitas. memilih menekan keinginan dan Hasrat kepemilikan yang menjadi Laku dan Sikap Manusia Moderen.

Terma tersebut, di kenal Dalam Filsafat Mistisisme Islam disebut sebagai Zuhud. Zuhud itu " bukan ketiadaan Harta, melainkan ketiadaan hubungan hati dengan Harta, Dengan Ego, dengan kepemilikan".

Selama ini, kita salah kaprah menilai kaum Sufi-Pejalan Sunyi. Sufi yang sesungguhnya bukan hanya yang bertekuk lutut di kesunyian, tetapi juga menjadi pemenang dikeramaian. Olehnya, kita perlu berhenti sejenak. Sebab, Nafas kita terhitung oleh detak detik. Sajadah lusuh itu merindukan kita, menunggu derai air mata nasuha. Tasbih kita yang hampir habis di makan rayap, Rindu kita wiridkan dalam dzikir.

Mati bisa datang kapan saja, jangan kita rawat angkara. Lelap dalam Qiyamullail yang hening, bening dan sunyi. sebelum datang waktu menghentikan tugas kita.

Terima kasih atas semua Untaian Doa dari Teman, Karib kerabat, sahabat, adik-adikku dan abang-abangku. Tidak ada yang berbeda, hanya Usia yang bertambah dan jatah Hidup semakin berkurang, insya Allah Tetap membumi, menerabas Jarak dan kebekuan. Mengapa? Karena Aku hanya Manusia Fana, DAGING dan TULANG. Bisa memar dan terluka".

Do'a seorang lelaki pinggiran yang menggandrungi jalan-jalan sunyi ;

Hidup itu harapan, ku katakana itu pada fajar yang datang menghapus malam.

Hidup itu pilihan, ku katakan itu pada senja yang datang menghapus hari.

Hidup itu pilihan harapan, ujarku pada rembulan penjaga malam.

Akhirnya, pada sunyi ku dendangkan setiap mimpi yang terpintal dalam pilihan harapan.

Duhaii, Kekasih pemilik kesunyiaan, ku ikrarkan setiap mimpi agar engkau genapi. Sebab, saya tak lagi muda. usia menderas semakin dewasa. sepi ini seperti pembunuh yang mengintip dari celah jendela pintu.


-Makassar -

- Lelaki Desember -


*Coretan Pena Nalar Pinggiran

*Rst