Mengenai Saya

Sabtu, 30 Desember 2023

HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL -


Dalam tradisi orang Arab, ada Istilah yang menyebutkan, "Kaama tassarofa bi muhammad bi adnan". Orang tidak tahu, siapa itu adnan?. Tetapi, karena berkahnya Rosulullah SAW, sehingga membuat orang akan mencari-cari Tahu, Adnan itu siapa?. Karena mempunyai cucu, punya Dzurriyah, yang bernama Nabi Muhammad SAW.

Secara lahiriah, keturunan Nabi Ibrahim, ada yang bernama, Yehuda bin Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim. dari jalur ini, memberitahukan kepada kita, bahwa Nabi Ibrahim adalah Yahudi, sedangkan orang Nasrani menganggap Nabi Ibrahim adalah orang Nasrani, karena sama-sama dari Yerusalem - Nazaret.

Saya Yakin orang Tidak kenal, ayah saya. Tetapi, karena saya bisa bermanfaat buat orang. Maka, orang akan melacak, siapa ayah dan Kakek Saya. Kira-kira begitu, perumpamaannya. Belakangan ini, saya cukup Menggemari dan menyenangi mengkaji, membaca dan mengikuti Kajian Tafsir. Ada satu hal yang hendak saya garis bawahi, yaitu mengapa Nabi Ibrahim disebut, “Maa kana Ibrahimu la yahudiau waa laa nasrani - Ibrahim itu bukan Yahudi dan bukan Nasrani". 

Jika saja tidak datang seorang Rosulullah SAW yang memberitahukan, bahwa Nabi Ibrahim adalah "Hanifaan Muslimin". Maka, hampir bisa di pastikan, kita tidak akan tahu bahwa Nabi Ibrahim adalah Datuknya Nabi Muhammad SAW. Namun ketika Nabi Muhammad SAW di utus menjadi Rosul dan Nabi Terakhir, ada sedikit problem, orang-orang Arab mempertanyakan Muhammad Ini Anaknya siapa, karena Dia orang Mekkah. Sementara yang Hidup di mekkah itu orang Jahiliyah. Maka, Di refleksikanlah oleh Allah bahwa engkau (Muhammad) adalah cucunya Nabi Ibrahim.

Hal itu bisa di Buktikan, bahwa Nabi Ibrahim pernah di mekkah saat meninggikan bangunan Ka'bah bersama Nabi Ismail, "Fii hii ayatum maqomum bainatum ibrahim". Selain itu, Bukti lainnya ialah Sa'i, Sebagaimana Kita Mahfum bahwa di prosesi Sa'i adalah peristiwa dimana Siti Hajar mencari air sebanyak 7 kali. Maka, terlacaklah, bahwa Nabi Muhammad menjadi Nabi itu sah, karena "Bi Dzurriyati Ibarahim". karena, Kakek Buyutnya adalah Nabi.

Di titik itulah, Maka status Nabi Ibrahim sebagai Bapak Tauhid (bapak semua agama) menjadi Paripurna. karena di Maklumatkan (di beritahukan) oleh Cucunya, Rosulullah SAW, "Millata Abikum Ibrahim". artinya, Jika saja tidak datang (ada) Nabi Muhammad SAW. maka Rujukan Nabi Ibrahim hanya pada Jalur Yahudi dan Nasrani. Kehadiran Rosulullah SAW (Islam) mempertegas, bahwa Nazab Biologis dan Teologis Nabi Ibrahim Tidak hanya Yahudi dan Nasrani.

Jika demikian kerangka Epistemiknya, apakah tidak boleh Jika Seorang Muslim mengucapkan Selamat Natal ataukah boleh?. Pertama, Secara pribadi, saya lebih memilih menghindari perdebatan ini. sebab Konsekuensi Tauhidnya ada dan hal ini juga bahagian dari sikap Hati-hati dalam beragama. Kedua, Perdebatan ini, sesungguhnya bukanlah perdebatan kita. Perdebatan ini adalah perdebatan Ulama Saudi (sekalipun Hanya minoritas). Selebihnya, Ulama-ulama di dunia membolehkan mengucapkan selamat Natal.

Memang Kita tidak akan menemukan dalil dari al-Qur’an maupun Sunnah yang secara spesifik membahas hukum ucapan selamat Natal. Polemik ini terjadi di era kontemporer, dimana ia muncul karena keinginan sebagian umat Islam yang hendak mengekspresikan sikap toleransinya dan sikap Egalitiarian kepada non-Muslim. Maka, karena ia tidak ditemukan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang secara tegas menghukuminya, kasus ini masuk dalam kategori Ijtihad.

Jumhur ulama (mayoritas ulama) dari 4 madzhab besar dalam ilmu Fiqih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) telah sepakat akan keharaman pengucapan selamat Natal. Namun, ulama-ulama kontemporer kembali mengulas hukum tersebut dikarenakan kasus ini masuk dalam kategori Ijtihad.

Perbedaan pendapat ini terjadi di kalangan ulama kontemporer, disebabkan Ijtihad mereka dalam memahami generalitas ayat atau Hadits yang terkait dengan kasus ini. Untuk memudahkan kita Menganalisa, Saya coba menyuguhkan Dasar Hukum yang bisa dijadikan sebagai legitimasi untuk mengucapkan Selamat Natal, kita bisa merujuk pada Q.S. Al mumtahana ; 8-10, seperti pada Ayat 8, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

لَا يَنْهٰٮكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَا تِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَا رِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَ تُقْسِطُوْۤا اِلَيْهِمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah 60: Ayat 8)

Secara Implisit, Pada ayat tersebut, Allah SWT menegaskan bahwa perbuatan baik (Ihsan) kepada siapa saja itu tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusir kita dari negeri kita. Sedangkan, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

Selain itu, dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA, Rosulullah SAW bersabda, “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi Muhammad SAW, kemudian ia sakit. Maka, Nabi Muhammad SAW mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’. Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata,‘Taatilah Abul Qasim (Nabi Muhammad SAW ). ’Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi Muhammad SAW, keluar seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.’” (HR. al-Bukhari no. 1356, 5657).

Pada hadits tersebut, Rasulullah SAW memberi teladan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Sehingga mengucapkan selamat Natal yang merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-muslim, walaupun bukan dalam keadaan darurat. Ucapan tersebut diperbolehkan selama tidak mengganggu Akidah kita terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Yusuf al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Sirodj, dan lain sebagainya. Selain Merujuk pada QS. Al-Mumtahanah ayat 8 Dan Hadist dari Anas Bin Malik diatas, Kita bisa merujuk pada QS. Maryam : 33, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَا لسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali."

Pada Ayat Q.S Maryam : 33, sangat jelas bagaimana Allah memberikan selamat atas kelahiran Isa Bin Maryam dan Nabi Isa Mengucapkan selamat atas kelahiran Dirinya. Selain itu, kita bisa merujuk pada Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman 586 dan Fatwa Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, KH. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. KH. Qurais Shihab, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir.

Sedangkan, Para ulama yang memilih sikap untuk mengharamkan ucapan selamat natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah SWT di dalam surat al-Furqan ; 72, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.S. al-Furqan [25]: 72).

Pada ayat tersebut, Allah SWT menjanjikan bagi orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dengan martabat yang tinggi di surga. Sedangkan, apabila seorang muslim mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Nasrani tentang hari Natal (kelahiran Yesus Kristus, salah satu Tuhannya ummat Nasrani). Konsekuensinya adalah ia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani tidak diperkenankan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum. maka dia termasuk bagian kaum tersebut". (HR. Abu Daud, no. 4031). Pada hadits tersebut, Rasulullah SAW mewanti-wanti umat Islam terhadap perbuatan "tasyabbuh" terhadap non-muslim.

Dalam kaidah Bahasa Arab, tepatnya ilmu Nahu Shorof, kata "tasyabbuh" berasal dari "wazan Tafa’ul", yang bermakna "muthawa’ah" (menurut), "takalluf" (memaksa), dan juga "tadarruj" (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga, dari wazan ini kata tasyabbuh memiliki arti perbuatan yang dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya barangkali ia merasa terpaksa atau Ikut-ikutan dengan perbuatan tersebut sampai kemudian ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.

Dengan kata lain, siapa saja menyerupai suatu kaum. maka, ia lama kelamaan akan tunduk kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan yang menyerupai orang non-muslim, sebab ia merupakan pintu menuju ketundukan kepada mereka. Sehingga, sikap tegas dengan kaidah saddud dzari’ah (menutup pintu keburukan) merupakan suatu kaidah yang tepat dalam kasus ini, agar akidah kita tidak tergoyahkan akibat ikut-ikutan mengucapkan selamat Natal sebagaimana yang dilakukan oleh umat Nasrani.

Maka, umat Islam yang mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani berarti telah melakukan "tasyabbuh" sekaligus memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat kristiani tentang kebenaran peristiwa natal. Sehingga, kasus ini masuk juga ke dalam ranah akidah yang mengkompromikan antara tauhid dengan syirik. Atas dasar inilah hukum ucapan tersebut diharamkan secara tegas.

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini, diantaranya Abdullah bin Baz, Ibnu Utsaimin, Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Buya Yahya (Habib Yahya Zainul Ma’arif), Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, Adi Hidayat, dan lain sebagainya. Jadi, perkara mengucapkan selamat Natal ini bukan perkara Liberal dan tidak liberal ataukah Plural dan tidak plural. Hal ini, tergantung dari cara kita memahami dan dari versi apa kita melihatnya ; apakah kita melihatnya dari Segi aqidah atau dari segi Muammalah.

Jika kita melihatnya dari versi aqidah, kita mesti mendefenisikan, Natal itu apa?. Sebab, Dalam Perspektif muamalahnya, kita boleh mengucapkan selamat Natal asalkan mereka tidak dzolim dan mengusir kita. Sebagaimana Legitimasi Teks yang saya sebutkan diatas. Sebab, Kebanyakan kita ini, memang Aneh. Terlampau jauh memperdebatkan Hukum Mengucapkan selamat Natal. Tetapi, tidak mengetahui Natal itu apa?. 

Dalam khasanah keilmuan, Para ahli Fiqih, ahli kalam dan para Filsuf, memiliki Metodologi dalam menjeleskan sesuatu, agar sesuatu itu jelas duduk perkaranya. Metode tersebut, disebut metode Ta'rif atau defenisi. Defenisi itu penting, karena kerap kali kita panjang lebar membicarakan suatu persoalan, tetapi kita tidak membatasi terlebih dahulu persoalannya, sehingga lebih banyak argementasinya Cocologi. 

Natal itu apa?. "Natal itu berasal dari Diksi Natalies, Di serap kedalam bahasa indonesia menjadi Natal. Natal itu sama dengan Maulid atau kelahiran". Maulidnya siapa?. "Maulidnya Isa". Maulidnya Isa Bin Maryam atau Maulidnya Isa Ibdullah?.

Jika Natal yang di maksud adalah kelahiran Isa Bin Maryam. maka, sebagaimana Bab Muamalah yang saya sebutkan diatas adalah boleh mengucapkan selamat Natal. Tetapi, jika yang di maksud Natal adalah kelahiran Isa Ibdullah (anak Tuhan). Maka, di titik inilah perdebatan panjang para Ulama itu berawal.

Padahal, Jika saja kita mau mempertanyakan secara kritis, apakah jika kita mengucapkan selamat Natal, kita menjadi Orang Kristen?. Apakah ketika orang kristen mengucapkan selamat Idul fitri, mereka Jadi orang islam?. Hal itu sama dengan ketika kita Mbeee...Mbee...apakah kita akan jadi Kambing.

Sebagaimana Hadist yang kerap di nukil, sebagai bantahan, atas mereka yang mengucapkan Selamat Natal, "Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kedalam kau tersebut, " wa man tasyab ba bi kaumin fa huwa minhum".

Hadist tersebut, jangan di pahami secara teks book atau latter late. Harus di analisis secara kompleks dan kita harus menemukan titik yang paling akurat dari maksud hadist terebut. Sebab, kalau kita ngawur, Berpikir sepenggal dan seenaknya saja, maka bisa jadi boomerang buat kita, karena kita akan dapati hukum-hukum yang menjebak kita.

Mengapa, secara Aqidah menjadi perdebatan mengucapkan selamat?. Karena, ucapan selamat Natal mengandung unsur pengakuan terhadap 3 hal. pertama, Nabi Isa adalah anak Tuhan. Kedua, Nabi Isa lahir pada tanggal 25. Ketiga, Nabi Isa mati di salib. Ketiga hal ini di bantah oleh Qur'an. Pertama, Isa anak Tuhan di bantah oleh Qur'an, "laqod kafarol ladzina qolu innallahu tsalisu tsalasa - kafirlah mereka yang mengatakan isa Trinitas dan anak Tuhan. 

Kedua, Tentang Nabi Isa yang lahir tanggal 25 Desember, di bantah juga oleh Qur',an, "Ketika maryam memegang Isa, tidak ada makanan, karena terlahir di tepian kota. Allah memerintahkan untuk menggoncang pangkal batang kurma (Tusakid alaiki rutho ban janiyah), buah kurma mengkal, hanya ada pada musim panas, antara bulan juli-agustus. Ketika Isa lahir, kambing-kambing sedang di gembalakan di padang rumput. Sementara, bulan 12 rumput tidak tumbuh karena tertutup oleh salju. Maka, 25 desember bukan kelahiran Isa, tetapi hari raya merayakan dewa Mytrea (Dewa Matahari), yang di ambil oleh kaisar Konstantin.

Lalu ketiga, tentang Isa yang wafat di palang salib. Di bantah oleh Al-Qur'an, " Wa ma qotalahu wa ma Tsolabuhu wa kin tsu bi alahum - mereka tidak membunuhnya, mereka tidak menyalibnya. Melainkan ada orang yang di serupakan wajahnya dengan Isa, yaitu Yudas Iskariot".

Jadi, pada Intinya semua Pilihan berpulang pada kita masing-masing, karena kitalah yang mempertanggung jawabkan atas setiap hal yang kita ucapkan, pikirkan dan lakukan. Jika mengucapkan selamat Natal dapat menganggu Aqidah kita, tidak usah di Ucapakan. Tetapi, kita juga tidak bisa memaksakan untuk orang lain berpendapat sama dengan kita. Sebab, Semua pilihan Memiliki Legitimasi Hukum yang dapat di buktikan. 


*Rst

*Pejalan sunyi

*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar