Mengenai Saya

Kamis, 21 Desember 2023

BERTAMBAH, TETAPI TIDAK MENJADI BANYAK


Bertambah, tetapi tidak menjadi banyak. Sebab, Waktu kerap menguranginya. Di titik itulah, Kita niscaya menerimanya dengan segenap rela. Demikianlah bulan berjalan, tanpa berisik.

Tidak ada pesta perayaan. Tidak ada nyanyi-Nyanyian. Tidak ada hadiah apalagi kejutan. Selalu mensyukuri yang cukup dalam Diam, dan itu sudah berlansung sampai hari ini.

Iya, hari Ini. Pada hari ini Tuhan memberi sinyal tentang bertambahnya usia, sekaligus berkurangnya Jatah Hidup. Jatah hidup sebagai hamba, sebagai Khalifah. Syukuri alakadarnya. Karena, waktu tak akan pernah berhenti melaju. Hari - Hari pun tak pernah bisa diajak berkompromi, ia akan meninggalkan catatan kenangan yang tak mungkin hilang.

Waktu terus mengejar, membuat detak jantung tak ada jeda. Hidup tak akan pernah berhenti, begitu terus menerus hingga berakhir malakut. Sejatinya bertambahnya usia, gugur lagi selembar waktu. Itulah sebabnya, doaku begitu banyak pada lilin harapan yang menyala-nyala namun mengerucut. semoga waktu akan berhenti pada akhir yang baik.

Saya menyadari betul bahwa Tahun adalah Kumpulan bulan, begitu juga Minggu-minggu yang menjadi bulan. Minggu terdiri atas hari. Hari di hitung dari kumpulan jam. Jam merupakan kumpulan Menit, sedang menit ialah akumulasi dari detik-detik.

Detik ialah kumpulan Nafas dan detak jantung yang mengiringinya. Waktu adalah hari ini, bukan kemarin, karena ia sudah berlalu. bukan pula Esok, sebab ia belum tentu terlewati. Akan tetapi, Jika hari ini adalah kemarin bagi esok, maka sesungguhnya esok selalu ada bagi siapa saja. tak perduli esoknya, berair mata atau berbunga, tergantung bagaimana hari ini di perlakukan, apakah mengumpulkan duka atau bercocok tanam.

Kita hanyalah kumpulan hari-hari. Setiap hilang satu detik, hilang separuh waktu bermesraan dengan dunia. Olehnya, tak salah jika kita terus belajar untuk tidak terlalu Jatuh hati pada kefanaan. Sebab, Ada yang abadi, yang tentunya harus terus menerus untuk kita kejar. Sebagaimana pohon, semakin menjulang semakin rindanglah dia. Sudah selayaknya, ada yang berteduh di bawahnya. Ternyata belum ada Musafir yang ridho diajak berteduh, menjadi teman dalam menapaki perjalanan panjang menuju keabadian. 

Saya tahu, bukan hanya Usia yang bertambah, tapi Tubuh pun bertambah rebah di makan usia. Bertambah renta, seiring perjalanan awan di langit. Berdetaknya jarum jam, berubahnya senja menjadi malam.

Namun, Kita harus yakin, bahwa Nahkoda yang terpercaya tidaklah lahir dari lautan yang bersahabat?. Topan dan badai adalah peluang dalam mengasah panca indra dan menguatkan kuda-kuda.

Kebanyakan kita, mungkin kerap abai, bahwa Yang pernah jatuh adalah dia yang pernah berjalan atau bahkan berlari. Yang berjalan membuka tabir, Yang berlari membuka jalan takdir. Ia Yang berjalan adalah ia yang tahu bagaimana rute takdir bekerja. Yang berlari adalah ia di gerakkaan oleh akar-akar keyakinan yang kuat.

Jejak, jarak dan waktu, hanyalah bahagian dari proses alamiah yang telah di gariskannya menjadi jalan-jalan kehidupan. Apa yang kita inginkan belum tentu menjadi kehendaknya. Di dalamnya ada proses yang mencengangkan, kita menuju ke suatu tempat. namun, ia membuat kita berkeliling, memutar, hingga kita memahami alur taqdirnya.

Waktu adalah bilangan yang mengasyikkan, membentuk siang dan malam. Hadir lalu pulang. Para pencari kehidupan berlalu lalang di senja kehidupan, menuju jalan pulang sebentar lagi. Maka, Biarkan saja rindu ini tergelincir bersama senja. Bukan di embun pagi atau di hangatkan malam. 

Di suatu kesempatan posisi saya kadang dianggap antagonis. Itu saya rasakan dan orang-orang juga biasa merasakan perlakuan yang sama. tapi itu bukan taqdir, semua dapat berubah. bunyi jarum jam dapat merubah keadaan 180 derajat dari kondisi semula.

Kita harus tetap mempercayakan semuanya pada yang menghendaki kehidupan ini. Matahari sudah pergi, senja telah memberangkatkan diri. Demikian juga kita, akan segera pergi. sebab, Kita adalah pejalan. Pejalan Yang menapaki rute Takdir masing-masing, kita jangan mengharapkan sesuatu yang Tidak di kehendaki Tuhan. Sebab, Pola pikir kita tentu berbeda dengan pekerjaan Tuhan yang Maha sempurna.

Sungguh, manusiawi jika KesempurnaanNya, tidak mampu di pahami dengan Pemahaman Kita Yang cacat. Mengeluhlah padaNYA, sebab hal itulah jalan paling Logis untuk mengakui kelemahan kita sebagai manusia. Karena Saatnya, Tuhan Jugalah yang memberi Batas bahwa waktumu telah cukup untuk membuatmu menunggu. 

Jalan jauh berbeda dengan jalan panjang. Sebab jalan panjang, ada pada ujung perjalanan. Jalan jauh itulah keterasingan, Alienasi kata “ Ludwich Feurbach”. Jalan jauh itu kebuntuan nalar. Seperti ujar positivisme “ Agus T Comte”. Jalan jauh itu kesombongan dan kepongahan pribadi. Begitu sentilan “ Hero” F.W Nietzche. Ini jalan panjang bukan jalan jauh, Diri adalah sumbu dan pusatnya. 

Perjalanan masih panjang. Berliku, berduri dan berbatu. Terlebih ketika memasuki lorong-lorong sempit yang gelap, pengap tiada cahaya. Namun yang ku tahu Tuhan Maha Tahu. Serupa mendaki gunung. Jalur paling terjal menuju puncak adalah pintu menuju keindahan alam yang mempesona dan rembulan adalah keindahan alam yang mempesona. Nikmati saja. 

Tetapi, yakinlah bahwa Di tiap-tiap etape waktu ada pertanggung jawaban. Ada tanya atas berat beban yang di tunaikkan. Kita adalah hamba. Untuk kaki, tangan, mulut, telinga, mata bahkan gerak hati akan ada tanya besok. jejak hati selalu lebih berat bebannya dari pada raga yang lainnya. cinta dan benci adalah peninggalan yang abadi.

Ada banyak manusia yang menuju tempat pesta pemulung senja. Tapi, selalu terlambat sadar, bahwa senja akan hilang di telan malam. sebagaimana manusia.

Ketika kita mengkaji tentang kehidupan. maka, yang kita temukan ialah kematian. saat kita mengkaji kematian, maka yang kita temukan adalah kehidupan yang sesungguhnya. Artinya kita perlu prihatin terhadap hidup ini. sebab, hidup untuk mati dan mati untuk hidup yang sesungguhnya, begitu ujar Abu Al-Fatih Muhammad Asy-Syahrastani.

Bertolak dari itulah, sehingga Sudah cukup lama, saya Mengukur mata dan volume air mata. Mengubur ingin dan merubah arah mata angin. Berapa Banyak mimpi yang terpaksa ku benamkan di kedalam realitas. Padahal Semua Mimpi itu, bukan milik janji kosong, tidak pula keculasan. Ia terlahir dari rahim harapan. Tetapi, kita mesti Melangkah, walau kadang kita di perolok-olok oleh sepi.

Mengapa?. Sebab, Di titik tertentu orang harus puas dengan segala atribut. Tetapi, di suatu waktu semuanya tidak bernilai di mataNya.

Di suatu masa orang akan di sembuhkan oleh obat yang dulunya adalah racun bagi tubuhnya. Semua soal waktu. Sebab, taqdir hanya akan memihak bagi mereka yang berusaha.

Memang berat, karena Tidak ada pilihan yang mudah. Sebab jika mudah, maka hidup tak lebih dari sekedar memisahkan beras dari sisa gabah. Biarkan saja bahteramu menuju tempat matahari rebah, memang disitulah semuanya menuju. Sesuai perintah waktu

Bukankah, Tuhan telah memanjakan manusia bahkan sebelum manusia di ciptaakan. Itulah kenapa kita menjadi mahkluk manja yang mudah mengeluh. Keluh kesah menjadi makanan jiwa setiap hari. Lalu meracuni rasa syukur hingga kebahagiaan menjadi fatamorgana yang menutupi hati.

Bersyukurlah. Sebab, Lelaki Hujan, di Bulan desember adalah kata-kata yang punya aliran mazhab sendiri, mungkin ada tempat yang mau menampung kisah-kisah murung. Antara kita, sepanjang perjalanan ini. Setelah langit kehabisan mendung.

Hujan bulan desember adalah bulan berjumpa dan berkumpul. Bukan di pisah oleh jarak nelayan, yang mengistirahatkan sampannya untuk bercanda dengan kerabat di musim barat dan petani berpacu menanam, lalu berteduh menghabiskan cadangan makanannya, hingga musim panen tiba.

Lelaki Desember tumbuh, bukan sebagai kembang melati. Lelaki Desember adalah belati. Di asah oleh tumpulnya hidup. Ditajamkan oleh-oleh banyaknya berita-berita buruk.

Lelaki Desember adalah musim hujan. Menjatuhi segenap kericuhan, kemudian berdamai dengan bunga-bunga padi. Hingga ceruk nafasnya berhenti.

Suatu ketika, Seorang kawan bertanya, "Aiis Hidup itu apa?". Sebelum menjawabnya, sejenak saya terdiam, merunduk pada diri, sembari menghela nafas panjang. 

"Kawan, Hidup itu adalah cara kita Sebanyak mungkin, agar tidak bergantung pada banyak hal pada apapun saja selain Tuhan. Misalnya, antara orang yang mempertahankan eksistensinya butuh banyak hal dengan orang yang tidak butuh banyak hal untuk mempertahankan eksistensinya, mana yang Lebih pintar?. Itulah sebabnya, Orang yang banyak kebutuhannya, sesungguhnya banyak kebodohannya. Karena ia menggantungkan kebahagiannya pada banyak hal". 

Makanya Imam Syafi'i berkata, "al Istighna anis syai' la bis syai' (Kecukupan adalah berusaha sebanyak mungkin, tetapi banyak hal tidak dibutuhkan. Bukan memenuhi semua kebutuhan kita. Sebab, nafsu kita tidak ada batasnya)". Sebagaimana Guman, Al Ghazali, bahwa "Kebahagian dunia itu tak pernah luas, karena itu para pencari dunia, selalu berdesakan dan berebut satu sama lain".

Santailah Kawan, Dunia ini tetap menarik. Sebab, selalu ada bahagia yang tak bisa kita menangkan. Misal, mana yang lebih membuat kita dekat kepada Tuhan, Mempersembahkan satu-Satunya yang kita punyai dan sayangi atau memberikan sesuatu yang merupakan kelebihan karena masih punya banyak hal yang disayangi.

Berkenaan dengan itu, saya teringat dengan beberapa catatan lama, Kira-kira begini, "Kehidupan yang kita dedikasikan untuk mengejar kebahagiaan tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Semakin kita berpusat pada kebahagiaan sebagai tujuan hidup, maka semakin juga kita tidak melihat pertimbangan yang sehat untuk berbahagia", begitu gumam Viktor E. Frank, melalui teori "Logoterapi".

Sedangkan, Al-Ghazali melalui teori Kimiya al-Sa'adat" menyatakan bahwa hakikat kebahagiaan itu berada di wilayah hati, olehnya mengejar kesenangan untuk membahagiakan badan-Tubuh, maka sesungguhnya kita jauh dari hakikat kesempurnaan. Maka, menjadi benar, ungkapan Blanchflower dan Oswald, “money does not buy happiness”. Atau meminjam terminologi Will Durant, "agama tidak pernah tumbuh subur di tengah orang-orang yang memiliki banyak uang".

Orang yang banyak uang hanya memiliki itikad "Simpati", namun belum memiliki kesadaran dan membudayakan sikap "Empati". Inilah tipologi manusia modern, yang dalam ungkapan sayyid Hossein Nasr, "sedang berada di wilayah pinggiran eksistensinya, dan bergerak menjauhi pusat dirinya. Sedangkan pusat atau esensi dirinya itu bersifat spiritual".

Kondisi yang sama juga dicemaskan oleh Arnold J. Toynbee. Menurutnya, setidaknya ada dua hal yang melanda manusia modern dewasa ini, yaitu kosongnya jiwa dari nilai-nilai spiritual dan tegarnya dimensi material pada kehidupan mereka.

Padahal Hakekat dari semua ajaran spritual, entah sufistik atau irfani Ialah aktif total dalam kehidupan ini, tetapi secara sadar memilih "berjarak" dengan segala gemerlap pesona dan godaan Matrealitas. memilih menekan keinginan dan Hasrat kepemilikan yang menjadi Laku dan Sikap Manusia Moderen.

Terma tersebut, di kenal Dalam Filsafat Mistisisme Islam disebut sebagai Zuhud. Zuhud itu " bukan ketiadaan Harta, melainkan ketiadaan hubungan hati dengan Harta, Dengan Ego, dengan kepemilikan".

Selama ini, kita salah kaprah menilai kaum Sufi-Pejalan Sunyi. Sufi yang sesungguhnya bukan hanya yang bertekuk lutut di kesunyian, tetapi juga menjadi pemenang dikeramaian. Olehnya, kita perlu berhenti sejenak. Sebab, Nafas kita terhitung oleh detak detik. Sajadah lusuh itu merindukan kita, menunggu derai air mata nasuha. Tasbih kita yang hampir habis di makan rayap, Rindu kita wiridkan dalam dzikir.

Mati bisa datang kapan saja, jangan kita rawat angkara. Lelap dalam Qiyamullail yang hening, bening dan sunyi. sebelum datang waktu menghentikan tugas kita.

Terima kasih atas semua Untaian Doa dari Teman, Karib kerabat, sahabat, adik-adikku dan abang-abangku. Tidak ada yang berbeda, hanya Usia yang bertambah dan jatah Hidup semakin berkurang, insya Allah Tetap membumi, menerabas Jarak dan kebekuan. Mengapa? Karena Aku hanya Manusia Fana, DAGING dan TULANG. Bisa memar dan terluka".

Do'a seorang lelaki pinggiran yang menggandrungi jalan-jalan sunyi ;

Hidup itu harapan, ku katakana itu pada fajar yang datang menghapus malam.

Hidup itu pilihan, ku katakan itu pada senja yang datang menghapus hari.

Hidup itu pilihan harapan, ujarku pada rembulan penjaga malam.

Akhirnya, pada sunyi ku dendangkan setiap mimpi yang terpintal dalam pilihan harapan.

Duhaii, Kekasih pemilik kesunyiaan, ku ikrarkan setiap mimpi agar engkau genapi. Sebab, saya tak lagi muda. usia menderas semakin dewasa. sepi ini seperti pembunuh yang mengintip dari celah jendela pintu.


-Makassar -

- Lelaki Desember -


*Coretan Pena Nalar Pinggiran

*Rst


Tidak ada komentar:

Posting Komentar