Pemikiran Umum yang berkembang, Islam itu bermula, ketika Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi atau pertama kali Wahyu di Turunkan padanya. Sementara dalam Hadist Shohih Bukhori, Rosulullah SAW mengatakan bahwa : " antara aku (Muhammad) dan Nabi-Nabi sebelumnku, ibarat membangun sebuah bangunan kemudian di hiasinya lebih baik. Hingga terwujudlah sebuah bangunan. Lalu, orang-orang melihat bangunan tersebut dan berkata akan lebih baik jika batu bata yang kurang pada tembok-tembok bangunan bisa di tutupi. Lalu, Rosulullah menjawab ; akulah yang akan menutupi bagian batu bata yang bolong-bolong itu, sebagai Nabi Penutup (Khotomul Ammbiya)".
Dari hadist tersebut menunjukkan kepada kita, bahwa Islam tidak berawal dari masa Diangkatnya Rosulullah SAW, Sebagai seorang Nabi. bahkan Ada Ustadz yang agaknya kurang berhati-hati mengatakan bahwa Orang Tua Nabi Tidak beragama Islam, karena mendasarkan argumentasinya, bahwa Islam bermula ketika Nabi Diangkat menjadi Rosulullah SAW. Benarkah demikian?.
Tanya jawab ini, pertama-tama harus dalam rangka penuh tawadhu, kerendahan, rasa syukur dan memohon hidayah kepada Allah. Mengakui ketidaktahuan kita sebagai manusia. Sehingga, ketika pun ada pengetahuan yang lahir dari dialektika kita sehari-hari, itu bersifat relatif. Sebab, yang mutlak benar adalah Allah SWT, Rosulullah SAW dan Para Nabi.
Mengenai Islam kapan lahir, tidak bisa di salahkan, jika ada yang berpersepsi atau mengIdentifikasi, bahwa Islam ada, ketika di mulai dengan ; Iqro atau di mulai dari wahyu pertama yang di terima Rosulullah di gua hira. Karena memang itu tahap pembelajarannya. Akan tetapi, ada resikonya. Jika kita menganggap islam itu di mulai saat Rosulullah menerima wahyu pertama, yaitu iqro.
Resiko Pertamanya adalah gelar Al-aminnya Rosulullah, sejak usia 25 tahun, tidak punya legitimasi islam?. Padahal Kesempurnaan Kemanusiaan Rosulullah, sehingga ia menjadi sarjana kehidupan dengan nilai Kumlaude, yang gelarnya adalah Al-amin, dengan empat sifatnya yang luar biasa itu adalah Islam.
Nah, Hal itulah yang menunjukkan bahwa Islam Inheren dengan Rosulullah. Maksudnya Rosulullah itulah Islam ?.
Saya menginterpretasikan hal itu, bahwa di ujung pemahaman kita tentang "iqro", sebenarnya bunyinya adalah "iqro Muhammad", bukan Muhammad di suruh iqro. Sebab, sejak awal Muhammad telah iqro (sejak di bedah dadanya, sudah iqro). Lalu, beliau membaca (Iqro) dirinya, membaca manusia, Membaca alam semesta, Membaca Allah, Membaca malaikat, jin, dsb, dan beliau lulus dengan Nilai Cumlaude dengan gelar Al-Amin.
Iqro Muhammad itu, kita membaca hidup dan meniru Rosulullah, sebenarnya sudah islam kita. Kalau secara kualitatif dan kultural, Tinggal masalah Syar'i dan ibadah mahdo, dan semua rangkaian ibadah lainnya dijalankan.
Jika hendak menjawab pertanyaan diatas, yang otentik dari saya. Tetapi, jangan dianggap salah dan benar dulu. Sebab, kita belajar bersama-sama.
Iqro itu adalah awal dari akhir kesempurnaam islam. Puncak dari kesempurnaan islam ialah "Al yauma akmaltu lakum dinakum waa akmamtu alaikum nikmati waa raditu billahi lakum islama dina", ini puncaknya Islam sebagai nilai.
kalau puncaknya Islam adalah "Al yauma akmaltu lakum dinakum". Apakah Islam berawal, ketika perintah "Iqro" diturunkan kepada Rosulullah?. Sebab, jika awalnya iqro. maka, gelar Al-aminnya Rosulullah Deligitimid, belum berlaku. Lantas, bagaimana dengan Nabi-Nabi sebelumnya?. Bagaimana dengan Orang Tua Nabi?. sebab, kita tidak bisa menyebutkan bahwa Nabi Isa, Nabi Musa, Nabi Yusuf, Nabi Sulaiman, dan Nabi-Nabi semuanya itu, tidak sedang menjanlakan islam. Itu pertanyaan Historisnya?.
Dengan begitu, menjadi tidak mungkin, awal mula Islam, di awali dengan Iqro. Menurut hemat saya, jauh sebelum perintah iqro digua hira, Islam sudah berlansung.
Jika di tanya lagi, katakanlah Islam atau apapun dalam kehidupan ini, kita pahami dengan terminologi ; qolm (kata, teks, literasi), Ilmu (Sistem), wujud (aplikasi atau manifestasi).
Kalau pertanyaannya kita konsentrasikan pada yang pertama, yaitu Qolm - kalam (kata) atau literasi pertama Islam, bukan Iqro yang pertama, berdasarkan jawaban saya diatas. karena, iqro itu awal dari kesempurnaan. Jika demikian, kapan islam itu muncul?.
Apakah Islam Muncul Sejak ; "Waa allama adamal asma a kulla ha tsumma arodahum alal malaikatu faqola ambi uni bi asma i ha u laa i ing kuntum sodikin". Apakah Islam di mulai, ketika Allah mengajarkan adam mengenal nama benda-benda atau kapan?.
Saya sampai kepada sebuah cara berpikir bahwa Allah, dengan segala sifatnya yang agung dan luar biasa itu, apakah mungkin menciptakan sesuatu yang bukan Islam?. Kalau menurut saya, semua ciptaan Allah adalah Islam. Sebab, Islam itu mestinya kita Pahami : sebagai metabolisme, dan organisme, atau sistem nilai. apapun yang menyangkut keberlansungan hidup, entah itu jazad, roh, atau diantara jazad dan roh. Itulah Islam.
Begitu Allah, bilang "Kun". maka, mulai berlansunglah Islam. Bukan Kun (jadilah maka terjadi), bukan Kun fa kana. tetapi, "Kun Faa yakun" (present continous tense). jadi, dia sedang berlansung. Artinya, jangan sampai 6 hari dalam ukuran waktu menurut Allah, dalam menciptakan segala sesuatu itu barangkali sekarang adalah hari keenam atau mungkin hari kelima, kita tidak tahu juga. tidak harus keenam, baru ada kita (Manusia). Wallahu a'lam, kita tidak usah berdebat soal itu. Nanti kita tanya Allah saja atau paling tidak, kita tanya Rosulullah.
Begitu Allah bilang "Kun", itulah Awal keberlansungan Islam. Nanti baru kita cari, islam ini kata benda, identitas, nilai, subjek, masdar, untuk keberlasungan sesuatu atau apa?. Nanti baru kita bisa identifikasi bahwa Islam ini sudah menjadi identitas, kelompok, sekte, geng, dan komunitas. Padahal, Islam meletakkan semua itu pada level yang paling bawah.
Untuk itu, sebelum kita meneruskan. Saya ataupun kita semua, sama-sama mencari di dalam diri kita, syukur-syukur jika kita mengadaptasikan aplikasi atau software yang akan kita bicarakan. Ibarat, komputer, kita harus punya aplikasi supaya semua data bisa terakses sesempurna mungkin. Sebab, kalau tidak atau aplikasi kita berbeda. maka, kita akan berdebat lagi tentang sesuatu yang memang berbeda.
Misalnya, saya di foto dengan Hp tahun 2009, dengan saya di foto dengan Hp tahun 2020, sama objeknya, sama hasilnya. Tetapi, kualitasnya berbeda (Pixel dan resolusi gambarnya beda). Oleh karena itu, supaya kita tidak berdebat dalam kebodohan tentang objek itu. Maka, kita harus cari tahu dulu tentang kemungkinan berapa banyak metodelogi yang di pakai untuk mengurai hal ini.
kita ini, kerap kali diskusi bahkan berujung debat tentang islam, tentang dunia, tentang apapun. Tidak pernah ingat, bahwa yang satu dan yang lainnya menggunakan metodelogi yang berbeda. Maka, kita temukan variasi pengalaman, pengetahuan tentang islam, qur'an dan apapun itu berbeda.
Maksudnya saya ialah kita harus punya kesadaran untuk mencari metedologi tersebut. Agar, saat kita membincangkan islam, jurang perbedaannya tidak terlalu menganga. Juga, Jika kita mau bicara Islam. Ia harus merupakan alat yang menjawab semua masalah. Harus bisa melihat indonesia hari ini secara islam ; ini ada apa, kenapa bisa bertengkar terus?. Ini ada apa, kenapa bisa ada rekayasa terus, mobilisasi terus, subversif, kelicikan-kelicikan di belakang layar. nah, kita harus punya terminologi atau sistem ilmu dari Al-qur'an dan islam, untuk bisa lebih jernih memahami itu.
Kalau Al-Qur'an dan islam, tidak kita gunakan sebagai fungsi, untuk menilai, melihat dan mengidentifikasi apa yang terjadi di negara kita, di kampung kita, di keluarga kita. Lantas untuk apa islam?.
Saya tidak ingin berpendapat dengan landasan menyalahkan pendapat orang lain. Saya tidak ingin mengatakan bahwa pemahaman, tafsir, tadabbur yang sudah berlansung 14 abad itu salah. Saya tidak ingin berangkat dengan landasan psikologi sentimen.
Kalau Islam itu di mulai dari Iqro berarti, Nabi Isa, Nabi Idris, Nabi Ibrahim, Nabi Musa belum islam dong, apalagi Nabi Adam, yang punya jam terbang lebih lama. Bahkan dia yang merintis, mengalami penderitaan, bagaimana anaknya di bunuh oleh anaknya yang lain. Dia belum punya solusi, dia tidak bisa baca ayat dan firman-firman, sebagaimana kita sekarang. Tetapi, hal itu tidak bisa kita gunakan sebagai variabel untuk mengatakan bahwa Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad bukan Muslim. Bukan orang yang tidak menjalankan islam.
Semua Nabi Dan Rosul yang lain, tidak mungkin, kita mengatakan tidak menjalankan keislaman.
Sekarang, Islam kita pahami sebagai apa?. Oke, kita tidak bisa menafikan bahwa Islam telah menjadi identitas. Misalnya begini, Allah tidak pernah berfirman : "Yaa Ayyuhalladzina aslamu". tetapi, Allah Berfirman ; "Yaa ayyuhalladzina amanu". Nah, sekarang ini kita terpecah-pecah pemahaman kita tentang orang-orang yang beriman. Sekarang kita berpendapat, bahwa yang seiman adalah yang sesama orang islam. Sebenarnya yang di maksud "Yaa ayyuhalladzina amanu" itu kita islam saja atau kepada seluruh manusia yang percaya kepada Allah. Bahwa jenis kepercayaan atau pengetahuan yang membimbing kepercayaannya yang berbeda-beda untuk sampai kepada Allah, itu kan urusan Allah.
Begitu dia percaya kepada Allah, maka di berhak untuk terlibat di dalam Yaa ayyuhalladzina amanu. Begitu logikanya. Allah memanggil dengan Sebutan Wahai orang-orang beriman. Berarti kita harus rapat lagi, bahsaul masail, majelis tarjih lagi. Karena, Wahai orang-orang yang beriman, itu kita saja atau semua orang. Sebab, ada gradasinya ; Ada orang percaya Allah, tapi tidak percaya bahwa Allah bikin agama. Ada orang percaya agama, tetapi tidak percaya bahwa Allah berikan kita Nabi. Ada orang percaya Allah, tetapi tidak percaya bahwa Allah menyuruh kita sholat. Ada berbagai macam jenisnya.
Lalu, dengan dasar itu kita mau marah. sementara Allah sendiri berfirman : "Faa man sya fal mu'min faa man sya fal yakfur (kalau kalian beriman, berimanlah. Kalau kalian kafir maka kafirlah)". Tetapi, tanggung resikonya masing-masing. Dari sudut itu saja, kita memang harus memulai kembali pemahaman kita tentang Alif Ba Ta (pehaman kita tentang islam).
Kita Naikkan ; masa Injil itu bukan pemahaman Islam, masa Taurat dan zabur bukan pemahaman islam?. Jadi, Allah bikin kitab bermacam-macam, lalu yang di terima cuman satu. Loh, ini kan agak sukar di terima akal.
Bukankah Rosulullah sendiri yang bertutur bahwa evolusi terjadi, Sejak dari Nabi Adam, Lalu ulul asmi, seumpama bangunan. Karena ada yang kurang, maka di tamballah oleh Rosulullah. Ibarat sebuah bangunan, Kubahnya Mungkin yang kurang. Atau kalau dalam model masjid Demak, Tiang Terakhir dari Masjid tersebut, dianggap sebagai Sunan Kalijaga.
Dalam teori Perbandingan agama ; Ada Sabuk kelapa, ada air kelapa, ada Isi kelapa, dan ada kelapa. Itu satu, bukan empat. Sekarang, ada agama sabuk kelapa bertengkar dengan agama air kelapa, bermusuhan dengan agama isi kelapa dan sangat benci dengan agama kelapa. Sementara agama kelapa ini juga terpecah-pecah, dan yang memecahnya bukan dirinya sendiri. tetapi dari luar juga ikut memecahnya ; ada syiah, ada Sunni, ada LDII, Ada jahula, ada Isis, ada Islam jama'ah, ada Ikhwanul muslimin, ada MTA, ada Nahdatul muhammadiyin, ada muhammadiyin nahdatul, ada macama-macam dan di tambah lagi sama orang lain. Dan kita percaya bahwa di kelapa itu ada kelapa liberal, ada kelapa moderat, ada kelapa radikal.
Seolah-olah manusia tidak bisa hidup jika tidak radikal. Padahal ada hal-hal tertentu yang kita harus Radikal, Nikah misalnya (bayangkan diantara 1000 wanita, kita cuman pilih satu, begitu pun sebaliknya). Kita Radikal pada diri kita, bahwa kita hanya setia pada satu orang, tidak boleh dua. Jadi, kita percaya bahwa ada Islam Radikal?. Heheheh, tidak adalah. Yang ada adalah perilakunya.
Kembali ke pertanyaan awal, Islam Itu apa?. Begitu Allah bilang Kun (jadi), faa yakun (maka terjadilah). Bukan kun Fa kana. Mengapa, kalau Ku faa kana berarti sudah terjadi, sedangkan kun Faa ya kun, akan berlansung terus menerus. Saat Allah berfirman ; "Inna amruhu arodha Syai' an ayya kula lahu kun faya kun", berarti prosesnya berlansung terus menerus, ber-era-era, berabad-abad. Sementara Allah menyebutnya 6 masa, hal itu menunjukkan bahwa barangkali hari ini adalah satu titik, atau sejengkal waktu dari 6 masa dalam perhitungan Allah.
Berarti Islam itu sebuah mesin, sebuah keberlansungan, sesuatu yang mengalir. Kita kembali ke beberapa soal diatas ; Allah kan Permanen, Pasti dan baka. Sedangkan manusia itu relatif, nisbi, temporer dan Fana'. Lalu, kita belajar di abad 20, ada Istilah dinamis dan statis. Statis kerap kali berkonotasi Negatif, sehingga hal itu menunjukkan bahwa kita tidak boleh statis, kita harus dinamis, kita harus creatif dan bergerak. Lalu, kita mau beranggapan bahwa Allah itu statis, karena manusia itu dinamis. Itu lain soal dan lain konteks atau Illatnya berbeda.
Kita juga sering tidak mengurusi perbedaan, ini metodelogi. Misalnya, mahasiswa tidak lulus-lulus, kita bilang konsisten atau ìstiqomah, kan tidak cocok. Jadi, kita kerap kali menjabak diri di dalam terma-terma, istilah-istilah, literasi-literasi yang kita tersinggung sendiri. Kalau dari sudut itu, kita ini sedang memakan riba. Orang yang makan riba itu ibarat orang mabuk atau kapal yang sedang oleng-oleng. Sebab, segala sesuatu serba salah. Tidak ada kebaikan yang bisa kita laksanakan menjadi kebaikan.
Riba itu bukan hanya soal urusan uang atau benda. Riba itu, seharusnya 100 tapi menjadi 110. Artinya, begitu kita kehilangan presisi, kehilangan gravitasi, tidak setia pada ketepatan, tidak setia pada kepastian. maka, kita telah memakan riba, berdasarkan matematikanya Allah.
Kita sekarang mengalami hal itu. Kita bilang ingin mendirikan negara dan pancasila sebagai dasar Ketuhanan sebagai sila pertama. Berarti hal itu sumber primer. Tetapi, kita tidak pernah memprimerkan Allah di dalam pertimbangan - pertimbangan kenegaraan. Tidak pernah ada sidang kabinet, sidang paripurna, yang tanya kepada Allah, bagaimana sih pendidikan itu, bagaimana sih tambang itu?. Seolah-olah tambang itu milik negara kita, padahal itu milik Allah, untuk semua generasi.
Jadi, pada dasarnya kita ini memakan riba ; ada riba politik, riba ilmu, riba pemikiran, riba bermacam-macam. Jadi, riba bukan hanya urusan bank. Jadi, sebelum ada bank, riba tidak ada. Kan ngaco.
Riba itu adalah kita kehilangan presisi. Allah menyebutnya "waa la takunu kalladzi na nasullah faa an sahum an fu sahum Ula ika hum fasikun". jadi, kita ini melakukan kefasikan secara massal, nasional dan internasional.
Sehingga kita kehilangan pengetahuan dengan Tuhan, karena kita memang tidak pernah bergaul dengan benar, bahkan kita meremehkan rukun iman. Termasuk Ummat islam sendiri, pandangan utamanya bukan Qur'an, itu juga riba. Jadi, saya bicara seperti ini, apakah saya harus menjadi ahli tafsir, harus expert begitu. Ataukah ini pembicaraan setiap orang, yang punya hak terhadap al-Qur'an dan punya kedekatan terhadap Qur'an.
Misalnya, Saya pakai termanya orang-orang suriname ; saya jangan islam, islam itu suci, saya kotor, saya pemabok, saya pezinah. Jangan sampai saya masuk islam karena saya sangat menghormati islam. Bagaimana dengan Premis itu?.
Kalau kita tidak pintar mengapresiasi, kita akan kewalahan menilai metodelogi orang suriname itu. Padahal dia sangat menjunjung Islam dan merendahkan dirinya. ketimbang kita pakai semua simbolisme islam, dan merasa suci. tetapi, melakukan kepalsuan dan kemunafikan.
Terakhir, sambil membaca. Kita juga terus menerus memperkembang biakkan cara membaca, landasan membaca, sudut membaca.
Kalau kita, orang indonesia tidak belajar membaca kembali. Maka, tidak lama lagi kita akan mengalami "alladzina na nashullaha faa an sahum anfusahum", karena mereka tidak belajar kepada Allah, maka mereka juga tidak bisa mempelajari diri mereka sendiri. "Ula ika humul fasikun", Maka, kemudian kita menjadi orang-orang yang "Khosyi un".
"Laa yas tawi ashabul nari waa ashabul jannah ti humul faa idzun", Allah kemudian membagi orang yang rugi dan orang yang beruntung. Sekarang orang mencari keuntungan habis-habisan, mereka pikir itu keuntungan. Padahal parameter untung rugi adalah keselamatan kita di hadapan Allah. Jadi, untuk apa kita untung karena berkuasa, karena kaya. Tetapi, Allah murka terhadap kita, anak kita, cucu kita, dst.
***
Kalau kita mempelajari Islam, atau Mengurai diksi Islam dalam Nahusyaroh sampai Gramernya. Maka, sudah pasti Islam itu bukan kata benda. Tetapi, dia masdar. Atau sesuatu yang berlansung dan sedang bekerja. Atau dalam istilah saya, sesuatu yang mengalir dan bergetar.
Kalau kita baca kamus, Diksi "Sin lam Mim" itu ada 16 fundamen (ada salim, Salluma, aslama, salam, sallimna, dsb). Jadi, kata Islam itu ada lingkungan makna atau semesta nilai yang melingkupinya. Sehingga, saya tidak marah jika islam menjadi Kata benda, lalu di aplikasikan menjadi Identitas, kemudian menjadi Islam KTP. Lalu, menjadi kelompok, dan kelompok tertentu bertengkar dengan kelompok lain. Tetapi, Tolong di simulasikan menjadi kata benda, seperti yang kita alami di bangsa ini.
Padahal Diksi Islam berasal dari kata aslama, yuslimu, salaman atau liberation. Cuman, jika di gunakan diksi liberations sudah menjadi kata benda lagi. Jadi, kita ini terancam oleh pelanggaran riba terhadap hakikat hidup. Hidup ini bergerak, mengalir. Jika sudah menggunakan kata benda, maka dia menjadi mandek dan material-Jazadi. Dan kita akan menjadi penganut matrealisme, dan itulah yang tengah berlansung sekarang.
Kalau Allah menciptakan Islam, itu secara otomatis berlansung dan sempurna, berdasarkan kehendak Allah. Manusia di ciptakan berjarak dengan Alam, maka muncullah Intelektualitas, ontologis dan Kreatifitas. kita ini Kata Allah, hanya di perintahkan untuk berpikir akan tanda-tanda kekuasaan Allah pada silih bergantinya malam, berputarnya bumi, dsb.
Artinya, jika kita ingin mencapai sesuatu yang sejati dan benar-benar sampai kepada Allah. Maka, kita harus meniru metabolisme dan Organisme tersebut.
Misalnya, Allah kerap menggambarkan sesuatu yang baik itu selalu simbolnya adalah pohon ; " waa ma dholu kalimatin kasyajarotin thoyyibatin". Intinya pohon itu adalah model dari semua bangunan atau aristektur. Nah, pohon itu jadi banyak sehingga menjadi kebun. Kebun itu bahasa arabnya adalah "Jannah". kita menerjemahkannya menjadi Surga. Lantas, kita lupa bahwa itu adalah Jannah.
Dari sini kita merefleksikan kembali, bahwa yang di ajarkan kepada kita dahulu ialah buku manual tentang islam yang prgamatis. Karena, manusia tidak mau berpikir, enggan menghayati alam semesta. Sehingga (kira-kira begini), agar mudah memahami Islam, Allah berikan saja buku manual ; yang rukun imannya ada 6 dan rukun islamnya ada 5. Sehingga yang sampai pada kita hanya buku resep. Itu pun kita tidak mau pikirkan?.
Misalnya begini, anda marah jika ada orang menambahkan Syahadatnya. Jika kita bersyahadat dalam sholat, tidak boleh di tambahi. Tetapi, jika kita bersyahadat di dalam kesadaran keseharian kita, harus di tambah dan di lengkapi; aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada apapun selain ciptaan Allah. Aku bersaksi bahwa pohon-pohon, gunung-gunung, lautan adalah hak miliknya Allah, sehingga kita harus berhati-hati dalam bersentuhan dan mempergaulinya. Aku bersaksi bahwa aliran darah di sekujur tubuhku adalah kasih sayang Allah kepadaku ; " Asyahadu anna nafsi lil lah". Bisa seribu syahadat kita. Tetapi, akan menjadi salah jika kita ucapkan dalam sholat.
Artinya syahadat itu dinamis?. Syahadat menjadi statis, itu hanya terdapat dalam sholat, tidak boleh di tambah dan di kurangi. Sebab, ketentuan hukum secara administratifnya sudah baku. Ia akan menjadi dinamis ketika dalam kesadaran kita. masa kita mengakui Allah, tetapi mengabaikan peran Allah. Masa kita tidak mengapresiasi ciptaan Allah. Masa kita memuji betapa indahnya, yang Allah hamparkan didepan mata kita. Jadi, kita harus melengkapi syahadat kita dalam kesadaran.
Islam itu memang cukup administratif ; Baca syahadat, sholat, puasa, zakat dan naik Haji bagi yang mampu. Inilah yang sampai ke kita, sehingga kita berpikir bahwa Islam itu soal sholat 5 waktu, puasa, dsb. Pemahaman ghoyah dan wasilahnya terbalik.
Oke, memang salah satu inti ajaran Islam itu Sholat. Tetapi, sholat itu bukan hasilnya. Karena, sholat itu adalah alat untuk mencapai kebaikan. "Innasholata tatann haa iwal fahsya wal mungkar". Sholat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Jadi, sholat itu adalah alat untuk kita bisa terbebas dari fahsya dan mungkar. Sholat itu wasilah, bukan ghoyah. Sholat itu inputnya, bukan outputnya.
Hanya karena kita mengenal Islam, hanya soal sholat dalam rukun islam, sehingga kita menganggap sholat itu sebagai parameter. Jadi, seorang dikatakan muslim yang baik, jika dia rajin sholat, saya tidak mengatakan itu salah. Cuman tidak boleh berhenti di sholat saja, karena sholat itu indikator awalnya. Kita harus cek dan memverifikasinya ; apakah hasilnya setelah dia sholat, dia tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta bentuk-bentuk kemungkaran lainnya.
Termasuk dengan rukun iman, yang tidak pernah di omongkan dan menjadi kesadaran sehari-hari kita. Misal, Qodha dan Qodhar itu apa dan contohnya dalam kehidupan kita sehari-hari?. Kan hal itu tidak pernah ada dalam pendidikan agama di bangsa ini.
Qodha dan qodhar itu kapan kita ngantuk, tidur dan kapan kita bangun. Kita butuh uang, sudah usaha cari. Tiba-tiba ada teman yang bantu, itu juga qodha dan qodhar. Detak jantung kita ini juga qodha dan qodhar ; kita tetiba sakit, dokter tidak mengerti kenapa bisa kanker. Dokter memperkirakan, bahwa kanker itu karena ini dan itu. Lalu, kemudian di anulir kembali setelah ada pengetahuannya yang berubah atau ada yang baru.
Padahal, ada terminologi seperti ini ; Islam, Kristen, Yahudi, budha, hindu, konghu chu dan aliran kebatinan. Sebenarnya, jika kita hendak berpikir kualitatif, khuluqiyah, ahklaqiyah, hununiyah. Maka, terminologi diatas itu keliru, yang ada adalah ; Muslimun, Kafirun, munafikun, fasikun, musyrikun, dzolimun, dll. Karena, kekufuran adalah segala perbuatan yang mengingankari adanya kebenaran Allah. Dan itu sangat mungkin juga di lakukan oleh orang islam. Jadi, tidak ada identitas kafir. Yang kafir adalah perilakunya.
Seumpama pengandaiannya bengini : Penting mana perilaku kita atau identitas kita?. Nah, jika Islam menjadi identitas. Saya tidak menyalahkan, cuman berbahaya suatu saat. Bisa baku hantam kita. Sebab, ketika orang bicara Mahatma Gandhi, di kira Budha. Bicara Imam Ali, di tuduh Syi'ah. Bicara, Rais syukur di kira Nalar Pinggiran. Makanya, nalar pinggiran kita pertahankan sebagaimana Islam, bahwa Nalar Pinggiran tidak boleh menjadi kata benda, insitusi, dan identitas. Tidak ada Nalar Pinggiran pun, tidak apa-apa. Karena yang boleh ada itu Hanya Allah, dzat yang mencintai kita. Kita tidak ada pun tidak ada masalah juga kok.
Jadi, konstelasinya tidak seperti yang kerap di sebut orang-orang, Islam KTP. Hanya ada ; Muslim, kafirun ; orang yang melanggar ketentuan Allah, entah dia muslim atau tidak. Fasikun ; orang yang lupa diri, karena lupa Tuhan. Dzolimun adalah orang yang mentang-mentang, seenaknya sendiri. Rakyatnya di musuhi terus atau memusuhi orang yang membayarnya. Sedangkan Munafiqun itu juga sering di sebut musuh dalam selimut, sesuatu yang ada dalam diri kita atau bersama dengan kita. Itu masih lebih baik dari pada ciri orang munafiq yang seperti pisau di pinggang kita, kemanapun kita pergi dia ada terus.
Itulah sebabnya, mengurusi orang munafiq itu seribu kali lebih susah, ketimbang mengurusi orang kafir. karena, kalau orang kafir, apalagi di zaman Nabi Nuh, kita bisa cepat mengintenfikasinya yaitu orang yang tidak percaya sama Allah dan Nabi Nuh. maka, ia tidak naik kapal.
Jika kita di suruh Allah untuk buat kapal, Lalu terjadi banjir. Kira-kira yang naik kapal kita, itu siapa?. Pasti semua akan naik kapal, kalau sudah jelas bahwa banjir akan datang. kita tidak bisa mengindentifikasi siapa yang kafir. Mungkin, dia mengaku-ngaku saja beriman. Apalagi sekarang kita tau, banyak yang mendadak beriman.
Jadi Ini zaman, jika tidak di tolong oleh Allah. Maka, tidak bisa dia mengatasi dirinya sendiri. Oleh karena itu, yang kita sumbangkan ini merupakan pembelajaran dari Alif Ba ta. Agar Islam tidak menjadi alat kesombongan diri kita, di dalam pengetahuan kita. Dia boleh mencair, dia boleh berganti. Asalkan yang menggantinya adalah hidayah dari Allah SWT.
saya berdoa, siapapun yang membaca Tulisan ini. Semoga akan di daftar oleh Allah agar mendapat Hidayah dan menjadi pelaku Rahmatal lil alamin, sesudah segala macam kekacauan di negeri kita ini, yang oleh Allah di bikin berlalu dan Allah telah merintis datangnya generasi baru yang mencintai Allah dan Allah mencintanya.
Kembali ke soal Kun Fayakun tadi, sebagai awal dari Islam. Karena yang Allah gelar terlebih dahulu adalah Alam semesta. Kalau boleh kita simpulkan secara de facto, bahwa alam itu "assabikul awwalun" (termasuk yang paling awal dalam islam), dan hal itu berlansung dan tergelar sampai sekarang. Sementara manusia, baru kemudian, Itu pun di bikin oleh Allah berjarak dengan Alam. Saya membayangkan, ketika manusia berislam, mestinya dia juga punya hubungan terhadap alam ; apakah itu belajar, apakah itu memahami dan yang lebih penting lagi, bagaimana Allah mengatur alam juga menjadi pelajaran. Sebab kalau kita tidak belajar ke pada Alam, bisa salah juga kita menyikapi alam.
Sebagai contoh ; Allah menciptakan Alam, termasuk kemudian Allah menciptakan binatang. Dan Allah sendiri yang memberikan jaminan, bahwa tidak ada satupun binatang melata kecuali Allah telah tetapkan rezekinya. Sementara manusia, belum tentu memiliki tingkat keyakinan seperti binatang melata itu. Artinya, jika saja kita punya pemahaman keislaman seperti alam dan binatang. Maka, keislaman kita juga mestinya lebih baik. Dan yakin bahwa rezeki kita telah dijamin oleh Allah, sehingga kita Tidak perlu korupsi, kolusi dsb?.
2 tahun belakangan ini, kerap saya katakan bahwa Semua Ilmu pengetahuan yang di pelajari manusia itu harusnya Taat kepada kehendak Allah. Fisika tidak bisa di pakai untuk arsitektur dan bangunan, jika ia tidak taat kepada ketentuan Allah. Kita menyebutnya sunnatullah, Tinggal kita teruskan, itu yang disebut Islam.
Misal, tidak mungkin listrik ini menyala jika tidak kompatibel dengan kehendak Allah mengenai cahaya. Atau bangunan, Mesti kompatibel dengan Kehendak Allah. Hanya saja, Setelah bangunan itu selesai, di bangun dengan ketaatan kepada Allah. Isi bangunannya yang mulai tidak taat pada Allah. Itu urusan manusia.
Manusia, tidak mesti di bandingkan dengan Binatang. Sebab, binatang tidak butuh Ilmu, iman, keyakinan.
Yang kita sebut sunnah atau yang selama ini kerap kita sebut sunnatullah ; bahwa matahari di kelilingi bumi. Bumi di kelilingi rembulan, Dsb.
Saya ingin mengatakan bahwa Islam itu adalah cara Allah menyelamatkan Mahluknya. Dan jangan tidak taat pada islam. Karena Allah itu seperti, memancarkan cahaya dari tangannya. Tetapi, cahaya itu tidak garis lurus, melainkan melinkar kembali kepadanya. Seumpama Inna lillahi Waa Inna Ilaihi Rojiun, itu namanya tauhid.
Kalau kita ingat, Allah itu memancarkan cahaya yang bentuknya melingkar ; dari dia, menuju dia. Itulah yang di sebut NUR Muhammad. Allah bahagia memancarkan cahayanya, bahkan Allah mengatakan ; Allah adalah cahaya. Artinya cahaya itu bukan dari luar dzatnya. Dari dirinya sendiri, menjadi Nur yang di puji olehNya. Kemudian barulah ada transformasi (menjadi planet, tata surya, galaksi dan semua entitas alam semesta). Itu semua adalah Islam. Mengapa?. Karena, Islam itu ialah semua yang di pancarkan oleh Allah, yang hakikatnya akan kembali kepada dirinya.
Nah, jika mengacu pada konteks ini, maka kita Ingat Rosulullah. Sehingga melahirkan 3 Lokus bahasan ;
Pertama, kalau 12 Rabiul awal itu adalah Maulid Muhammad Bin Abdullah. Muhammad yang di tugasi secara biologis, dengan usia yang di berikan, hanya 63 tahun. Itu adalah maulid Muhammad, Bukan Maulid Nabi.
Kedua, Maulid Nabi, yaitu Maulid Kenabiaan, yaitu bersamaan dengan Nuzul Qur'an. Jadi, Mulai besok, jika bikin malam nuzulul qur'an. Maka, rangkaiakan dengan Maulid Nabi. Karena, itulah awal dari Kenabiaan Muhammad, meskipun bukan awal dari Islam. Karena Islam itu adalah apa saja yang di ciptakan Allah, sejak Kun adalah Islam. Masa Allah menciptakan sesuatu yang tidak Islam, masa Allah menciptakan sesuatu yang tidak selamat untuk sampai kepada Dirinya.
Maka, "Inna dina Indallahil Islam" adalah cara kita untuk tunduk agar di terima kembali oleh Allah dengan melakukan Islam. Tunduk itu artinya kita bisa menyatu dengan Allah, adalah Islam. Islam adalah suatu pekerjaan, program, sistem untuk tunduk kepada Allah.
Ketiga, Ada Juga Maulid Nur Muhammad. Dan Itu bisa kapan saja, sebab kita tidak tau kapan hal itu terjadi. Sebab, saat itu terjadi belum ada hari, bulan, tahun, ruang dan waktu. Sehingga, sejatinya kita kalau bisa, sesering mungkin merayakan Maulidun Nur. Merayakan kembali rasa syukur, bahwa Allah menciptakan Cahaya Allah ; "Allahu nurussamawati Wal Ard". Lalu, di gambarkan ; "Mastalu nurihi kaa misskatin fi haa misbah, Al Misbahu fiha dzujaja, adzu jaja tu kaa anna ha kaw kabun dhurriyu yu kaw kabun min zajaratin mubarokah Wala syarkiya wala ghorbiyah". Tidak timur, barat, utara, selatan, atas, bawah. Kalau kita benar-benar masuk kedalam cinta Allah. Maka, kita tidak akan menemukan sekat-sekat identitas. Jika kita masuk kedalam semua itu. maka, kita akan memancarkan cahaya, meskipun kita tidak pernah memancarkannya. Lampu kita akan menyala, meskipun kita tidak pernah menyulutnya dengan api.
Manusia pada dasarnya berjuang Secara Kualitatif menuju Nurun ala Nurun. Bukan kita makan cahaya, tetapi kita bagian dari cahaya Allah. Terus kalau bukan bagian dari cahaya Allah, apa?. Makanya tidak apa-apa, orang menghormati Bendera Merah putih. Karena itu bagian dari cinta kita kepada tanah yang di berikan Allah. Bukan mengganti Allah dengan bendera.
Jadi Kawan tadi bertanya, mengapa kita tidak belajar pada alam?.
Memang orang modern itu aneh. Misalnya begini, dia berhenti pada Hukum alam. Dia membunuh pikirannya bahwa yang bikin alam, harus ada subjeknya. Padahal tinggal selangkah saja, tapi dia tidak mau. Gravitasi, relativitas dan Rotasi itu hukum alam. Kalau orang Islam, mestinya selain percaya bahwa itu bukan hanya hukum alam. tetapi, itu Islam (ciptaan Allah). Begitu kun Berlansunglah Islam.
Maka, yang penting adalah pergerakan Ahkaqul karimah kita. Cinta kita kepada semua manusia dan alam itulah Islam. Perkara surga dan tidak, kan bukan kita yang memberikan raport. Pokoknya kita selalu beritikad baik terus dan menyelematkan orang. Makanya, kepada orang kafir, kita tidak boleh bersikap keras. Tetapi, bersikap tidak tega. Kenapa ada manusia kafir, kepada ada orang tersesat?. Ayo, sini saya kasih tau jalannya, bukan di marahi.
Rumusnya sederhana, kalau kita di dunia modern, ada istilah organisme dan organisasi. Kalau oraginisme itu, Allah sudah kasih contoh ; Heii, begini ni contoh Organisasi yang baik. Hanya karena dia otomatis, makanya kita taunya Matahari terbit saat fajar. Meluruh saat malam.
Senagai tambahan, ada satu hal yang saya ingat tentang metodologi, Cak Nur pernah bertutur bahwa al-qur'an itu substansi. maka, kita harus memahaminya dengan metodologi dari barat. Saya tidak mengatakan tidak sependapat, justru saya menemukannya terbalik. Saya menemukan Al-Qur' sebagai supra metodologi. Justru qur'an yang membuat saya lebih memahami manusia, binatang, dan semua galaksi tanda di semesta ini, memahami semua dialektika kehidupan ini, bahkan saya memahami kenapa laron hidupnya beberapa puluh menit saja. Saya tidak perlu menyeledikinya, saya cukup pakai qur'an, karena Qur'an punya sifat informasi yang berbeda dengan selain qur'an. Qur'an tidak hanya memberitahu, tetapi juga punya hidayah. Punya lorong yang menghubungkan cinta kita kepada Allah.
Ilmuan, penyair, seniman itu Rohaniwan. Tetapi, kerap kali di tolak. Karena, yang di sebut rohaniwan adalah pdt, pastor, Kiai, Ustad. Bagaimana bisa demikian?. Bukankah semua yang berurusan dengan Ilmu adalah ronahaniwan, Allah kan softwarenya. Apalagi Seniman, yang dia ungkapkan kan bahasa Jiwanya, Bahasa hatinya, gejolak-gejolak dari perasaanmu, itu rohaniwaan.
Kenapa seniman modern, berabad-abad, tidak pernah berdiri sebagai orang yang sadar bahwa Ia adalah Rohaniwan?. Makanya, mereka mandek, mengalami stagnasi, tidak bisa terus, tidak bisa terbang. Akibatnya, banyak yang berakhir di pasar (laku dan tidak laku).
*RST
*NALAR PINGGIRAN