--MENDARAS FEMINIS ILAHI DALAM UPAYA MERUMUSKAN TEOLOGI FEMINIS ILAHI--
Prinsipnya Filsafat Perempuan berusaha menjelaskan hakikat keberadaan manusia (khususnya perempuan), sebagaimana adanya (ontologi/teoritis) dan berusaha menjelaskan tindakan perempuan sebagaimana mestinya secara ikhtiari atau capaian akal atau pikiran (praktis/aksiologi).
Sebelum menjelaskan bagaimana Rumusan Teologi Feminis Islam dalam menjelaskan hakikat keberadaan perempuan sebagaimana adanya dan tindakan perempuan sebagaimana mestinya, terlebih dahulu saya membeberkan - memberikan pandangan-pandangan terkait eksistensi perempuan, fenomena, problematika dan bagaimana semestinya ia menjalani hidup. Sebab Prinsipnya, kita harus menggeser persoalan rumah tangga, dari isu romantisme baperan aku dan kamu, menjadi DIA sejati (penyempurnaan diri secara individu dan sosial).
Sebelum menjelaskan bagaimana Rumusan Teologi Feminis Islam dalam menjelaskan hakikat keberadaan perempuan sebagaimana adanya dan tindakan perempuan sebagaimana mestinya, terlebih dahulu saya membeberkan - memberikan pandangan-pandangan terkait eksistensi perempuan, fenomena, problematika dan bagaimana semestinya ia menjalani hidup. Sebab Prinsipnya, kita harus menggeser persoalan rumah tangga, dari isu romantisme baperan aku dan kamu, menjadi DIA sejati (penyempurnaan diri secara individu dan sosial).
Apakah perempuan itu lemah, karena potensi bawaan ataukah akar budaya kita yang Mensubordinsasi perempuan?.
Saya teringat dengan percakapan "Nyai Ontosoroh" pada Anak perempuannya yang akan menikah dengan Minke, Dalam Karya Bumi Manusia Pramoedya ananta Toer : " kamu harus belajar, agar pintar. Bapakmu yang lelaki itu, kerjannya cuman mabuk. Tapi, karena Ia lelaki. Maka, ia dihormati. (Patriarki). Sedangkan Mamamu ini, lebih pintar dari Bapakmu. tetapi, karena Mamamu perempuan tetap dihina orang lain. Maka, engkau harus lebih giat menempa Diri, sebab kita masih bergelut dizaman, dimana orang melihat kita (perempuan) bukan pada otak, tetapi pada Kewanitaan kita. (Budaya)".
Sebuah "jiwa zaman" awal abad ke 20, mungkin sebelum-sebelumnya juga demikian dan tak ada bedanya dengan sekarang, bahkan semakin membusuk otak mereka. Stagnasi pemikiran, Yang melihat perempuan bukan Pada Otak atau Akal, melainkan pada potensi bawaannya (kewanitaan). sudah melembaga lama, bahkan telah membentuk sebuah corak pemikiran dihampir semua lapisan masyarakat.
Hal itu diperkuat lagi dengan produksi pikiran keagamaan - Teologis, yang patah. memandang masa depan dengan pesimis. memandang sesuatu tidak dengan akal - Taqlid buta. Jika Konsepsi teologis ini digunakan dalam Melihat Lelaki dan Perempuan, itu berbeda. Maka, Tuhan telah mendistorsi proses penciptaannya. Sedangkan Tuhan menekankan, lelaki dan perempuan, tidak boleh dibedakan, karena akan merusak sistem Alam semesta.
Diskriminasi terhadap perempuan itu terjadi sejak ia baru saja dilahirkan. Air kencing bayi perempuan yang hanya minum Air Susu Ibunya langsung dikategorikan najis 'Mutawassithah' (tengah-tengah). Sedangkan air kencing laki-laki yang juga hanya meminum ASI yang sama dikategorikan najis 'Mukhoffafah' (ringan). Seandainya perempuan banyak dilibatkan dalam penentuan hukum Fiqih, rasanya keputusan Fiqihnya tidak begini sekali.
Selama ini sangat banyak beredar tafsir-tafsir misigonis menyangkut sosok perempuan. Perempuan kerap jadi objek hukum. Menjadikan agama sebagai tameng pembenaran atas perlakuan-perlakuan tak bersahabat pada perempuan. Sebagian besar perempuan pun murung dengan kenyataan ini, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kali ini bolehlah para perempuan ge-er dan tersenyum lebar.
Pertama, Dalam analisis gender 'Mansour Faqih', definisi perempuan harus dibedakan dari segi gender seks yang berkaitan dengan anatomi tubuh seperti rahim, payudara, alat produksi sel telur, kemampuan melahirkan, menyusui, dan berbagai hal hal lainnya yang berkaitan dengan aspek biologis yang sifatnya kodrati ( tidak bisa diubah).
makna perempuan, kedudukan serta perannya dalam sektor publik dan domestik semisal perempuan adalah mahluk perasa, lemah akal, sumber dosa atau fitnah, petugas rumah tangga (dapur, kasur, sumur), tidak mampu memimpin adalah sesuatu yang sifatnya konstruktif, bukan hal yang hakiki (inheren) pada kodrat perempuan. karena laki-laki pun ada yang perasa, lemah akal, dsb.
Sebagai sesuatu yang sifatnya konstruktif, bisa berubah (relatif), dalam arti laki-laki dan perempuan sama sama bisa mengalaminya.
Secara epistemologis, kita tentu bertanya darimanakah asal atau dasar konsepsi atau pemaknaan, dan penilaian mengenai hakikat perempuan serta perannya?.
Hal itu tidak keluar dari kosntruksi sosial-politik, budaya, teks agama, dan variabel lainnya, termasuk perempuan itu sendiri yang menimbulkannya demikian.
makna perempuan, kedudukan serta perannya dalam sektor publik dan domestik semisal perempuan adalah mahluk perasa, lemah akal, sumber dosa atau fitnah, petugas rumah tangga (dapur, kasur, sumur), tidak mampu memimpin adalah sesuatu yang sifatnya konstruktif, bukan hal yang hakiki (inheren) pada kodrat perempuan. karena laki-laki pun ada yang perasa, lemah akal, dsb.
Sebagai sesuatu yang sifatnya konstruktif, bisa berubah (relatif), dalam arti laki-laki dan perempuan sama sama bisa mengalaminya.
Secara epistemologis, kita tentu bertanya darimanakah asal atau dasar konsepsi atau pemaknaan, dan penilaian mengenai hakikat perempuan serta perannya?.
Hal itu tidak keluar dari kosntruksi sosial-politik, budaya, teks agama, dan variabel lainnya, termasuk perempuan itu sendiri yang menimbulkannya demikian.
Semisal 'Simone De Beavoir' (1908-1986), seorang feminis eksistensialis modern, mengatakan bahwa tersubjektifkannya perempuan menjadi objek (liyan/yang lain) oleh laki-laki bukan karena semata laki-laki itu sendiri yang melihat perempuan sebagai the second reality (realitas kedua). tetapi, karena perempuan itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh apa yang disebut sebagai penyakit " The Malafide" dengan tiga kategori penyakit ; 1. The Prostitute, Dimana perempuan menjadi objek tubuh atau seks bagi laki-laki. 2. The Narsis, Perempuan selalu menampilkan dirinya sebagai eksistensi fisik atau keindahan tubuh bagi laki-laki untuk terpuaskan. 3. The Mystic, hal ini berkaitan dengan kecendrungan perempuan untuk bersaing antar sesama perempuan.
Ada yang melihat persoalan malafide tersebut disebabkan oleh laki-laki, ada pula disebabkan oleh perempuan itu sendiri yang selalu menampilkan dirinya sebagai tubuh seksi, cantik, indah fisikli, sehingga laki-laki memandangnya demikian.
Artinya tidak ada nilai lain yang perempuan bisa tonjolkan pada dirinya, kecuali eksploitasi pada tubuhnya sendiri. Adapun perihal persaingan antara perempuan dengan sesama perempuan dikarenakan ingin menjadi yang terbaik bagi perempuan lainnya, termasuk dari segi gaya hidup.
Kedua, Ontologi Islam. Tentu ini butuh uraian pembahasan untuk membahasnya, dan disini saya hanya akan memaparkan relevansi ontologi "Teosofi transenden Mulla Shadra" dalam meletakkan kedudukan laki-laki dan perempuan, bahwa laki-laki dan perempuan adalah mahiyah yang bersandar pada hakikat wujud "Assholatul Wujud", sehingga kita bisa melihat perbedaan keduanya dari segi mahiyah (materi). namun dari segi eksistensinya, sama-sama eksis (setara kedudukannya setara ontologis), tidak ada superioritas eksistensi.
Eksistensilah yang mendasar bukan mahiyah. Adapun keduanya dari segi esensi, keduanya adalah satu spesies sebagai manusia dengan segala kompleksitas Kemanusiaannya.
Ketiga, Humanisme Perempuan dalam Filsafat Manusia. Manusia dalam filsafat islam adalah bersandar pada term "fitrah" (Q.S. Ar rum ; 30), berupa format kemanusiaan yang tidak berkaitan dengan jenis kelamin, melainkan kecenderungan jasmani atau bashar (makan, minum, seks, istrahat, dsb) dan kecenderungan ruhani atau insan, berupa kencendrungan pada pengetahuan, pengaturan (hasrat kuasa), kecenderungan spiritual (ibadah), kecenderungan sosial-akhlak (diadaptasi dari filsafat manusia Muthahhari dan Dr. Ali Syari'ati).
Baik laki-laki ataupun perempuan adalah subjek (bukan relasi antar subjek dan objek) yang sama-sama memiliki kehendak bebas dalam mengaktualisasikan fitrahnya (basyar dan insan) menuju alam objektif (keluarga dan masyarakat).
Dalam hal sektor domestik laki-laki (suami) dan perempuan (istri) bertanggung jawab dan semaksimal mungkin bekerjasama dalam penyediaan makanan, minuman, termasuk masalah istrahat, terutama dalam hal pengurusan anak. Bagaimana tidak di bebankan pada satu pihak saja.
Keempat, Feminis dalam struktur Kosmologi " The Tao Of Islam karya Sachiko Murata. Materi ini juga kita ringkas dan yang ingin mendalaminya bisa membuka buku tersebut atau mengikuti kajian kajian kosmologi Ustadz Shafwan.
Laki-laki dan perempuan dari segi psikis adalah sama-sama feminim (Kualitas jiwa) berupa kecenderungan esensial jiwa pada kesempurnaan (kebenaran, kebaikan, keadilan), ketaatan pada nilai-nilai sempurna tersebut disebut dengan feminim positif, adapun sebaliknya disebut feminim negatif. Ada lima kategori feminitas yang di maksudkan Sachiko, salah satunya adalah kemampuan menerima taklif "memikul beban atau tanggung jawab, "baik yang bersumber dari ilahiah maupun nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Dalam konteks teologi islam, kita semua "Baik laki-laki maupun perempuan" adalah Feminim (hamba) dan Allah SWT adalah maskulin sejatinya (Tuan yang mengatur, memerintah, dsb) melalui jalan syariat, sehingga syariat disini adalah satu bentuk perkawinan makrokosmos antara manusia dengan Allah SWT melalui alam objektif (jalan syariat), dan setiap perkawinan Menurut Sachiko Murata, mengutip Ibnu arabi, akan melahirkan sesuatu, jika tidak, di katakan mandul. Semisal, sholat adalah satu bentuk perkawinan hamba dengan khaliq, yang akan melahirkan anak-anak akhlak (sifat mulia), berupa keterjagahan dari sifat keji dan mungkar "Innassholata Tanha Anil Fahsai wal Mungkar".
Dengannya kita mengatakan, laki-laki dan perempuan dari segi teologis, adalah sama-sama hamba (feminim) yang bergantung pada Allah SWT, sehingga antara laki-laki dan perempuan tidak ada dominasi kekuasaan, laki-laki menghamba pada perempuan, atau sebaliknya perempuan menghamba pada laki-laki (relasi eksploitasi).
Kelima, Kepemimpinan Gender. Kepemimpinan dalam konteks khalifah memang dari segi teks dan historisitasnya menjadikan adam sebagai subjek penyandang kepemimpinan. Namun kepemimpinan adam bukan karena gender jenis kelamin laki-lakinya, tentu Allah SWT tidak menjadikan jenis kelamin sebagai kriteria kepemimpinan, tetapi berkaitan dengan kualitas Feminim (kemampuan menerima taklif) dan juga kualitas intelektual. Bicara tentang intelektual, landasannya adalah basis epistemologi, berupa indra, akal dan hati sebagai instrumen pengetahuan, dan ketiga faktor utama. pengkondisian pengetahuan tersebut sama sekali tidak berjenis kelamin, sehingga konteks dewasa ini intelektual dari segi teoritisnya (pengetahuan tentang hakikat keberadaan sebagaimana adanya) dan dari segi-segi praktisnya (pengetahuan tentang tindakan manusia sebagaimana mestinya) berupa etika lingkungan, etika individu, etika rumah tangga dan etika-hukum, politik kemasyarakatan, bisa Sempurna pada laki laki dan perempuan.
Atas dasar inilah, Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Argumentasi Kesetaraan Gender) dan Prof. Dr. Jawadi Amuli (Keindahan dan Keagungan perempuan), melihat keduanya adalah Khalifah (pemimpin) dalam bidang dan perannya masing masing sesuai kapasitas diri ( kemampuan/skill dan pengetahuan)
Adapun relasi keduanya dalam konteks rumah tangga, sebagaimana Q.S. An Nisa bahwa laki-laki adalah " Qowwam" bagi perempuan perlu di rumuskan ulang pemahaman kita terhadap teks dan azbabun nuzul teks tersebut (latar belakang Sosio-Historis).
Membaca Dr. Syariati dalam teks Fatimah is Fatimah, bahwa kepemimpinan arab jahiliah identik patriarkisme, perempuan dalam konteks rumah tangga adalah budak, sehingga Allah Swt merekonstruksi kepemimpinan perbudakan tersebut menjadi kepemimpinan yang bertanggung jawab, dalam arti Qowwam bukan berarti menguasai, mengatur semerta-merta perempuan tetapi berkaitan dengan pengaturan sesuai sistem hikmah dan akhlak, sehingga Qowwam berarti mengayomi, melindungi, menjaga. Dsb.
Konten hari ini, kepemimpinan rumah tangga yang di letakkan pada laki-laki adalah taklif teologi yang kriterianya bukan disebabkan karena kelaki-lakian ( ?faktor jenis kelaminnya) tetapi bersandar pada kebijakan kebijaksaan, keadilan, dan akhlak. Sehingga jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka kepemimpinan menjadi gugur (relatif), adapun perempuan (istri) juga bisa memimpin, jika dia sesuai dengan hikmah, prinsip kebenaran, keadilan dan akhlak, sehingga bisa dikatakan, keduanya adalah sama-sama pemimpin yang harus siap menerima masukan satu sama lain, untuk kepentingan bersama dan pemimpin sejati atau mutlak adalah Allah SWT tempat keduanya bersandar.
Mengenal perempuan-perempuan dalam sejarah peradaban kemanusiaan islam sebagai patokan ilmiah, rule model kepribadian dan gerakan perempuan yang identik dengan intelektualisme, spiritualisme atau Feminim transenden. perannya dalam pendidikan, Ekonomi dan sosial politik seperti Siti Hajar perintis ajaran monoteis lewat Nabi Ibrahim, Siti Aisiyah" perintis pembebas bani Israel dari Diktator Fir'un, Siti Maryam faktor utama eksistensi Isa As, Siti Khadijah dan Fatimah Az Zahra.
Ringkasnya, mereka adalah perempuan-perempuan yang telah keluar dari penyakit the narsistis, the prostitute dan mystic, dalam arti mereka adalah perempuan yang tidak lagi hadir ke permukaan sebagai eksistensi tubuh fisik (menampakan secara narsis wajah atau penampilannya), bersaing sesama perempuan hingga saling menjatuhkan (fitnah, gosip, dll). tetapi eksistensinya hadir sebagai makhluk intelek, akhlaki, bertaqwa, pengabdi, feminim positif, maskulin positif (kritisisme ketidakadilan), kontribusi generasi manusia, dan aktifitas ekonomi politik untuk tegaknya universalisme nilai-nilai kemanusiaan (agama) dalam konteks rumah tangga (domestik), maupun publik (sosial-politik).
Kesimpulan umumnya adalah feminis ilahi konteks kosmologi islam adalah kualitas jiwa (ada pada laki-laki, maupun perempuan), yang terdiri dari lima kategori. salah satunya kategori kemampuan menerima taklif (tanggung jawab). Dalam praktisnya feminis ilahi adalah jiwa yang mampu berjalan selaras dengan kehendak Tuhan di alam plural.
Terakhir, untuk menutup sesi bagian pertsma ini " Tidak ada cinta hakiki dalam relasi gender suami dan istri, yang ada adalah relasi sosial-politik profetik".
Artinya, kita melihat kekurangan pada sesama, fitrah kita menghendaki kesempurnaan yang hanya dapat disandarkan pada Allah swt. sehingga aku dan dia hanyalah sarana dan media kerjasama dalam mewujudkan cinta kepada Allah Swt (cinta hakiki). Allah Swt telah melatakkan batas hak dan tanggung jawab, yang di sempurnakan pada akhlak kenabian, sehingga aku ke kamu (suami ke istri atau sebaliknya) adalah bagian dari perjalanan teoritis menuju Allah Swt.
Ada yang melihat persoalan malafide tersebut disebabkan oleh laki-laki, ada pula disebabkan oleh perempuan itu sendiri yang selalu menampilkan dirinya sebagai tubuh seksi, cantik, indah fisikli, sehingga laki-laki memandangnya demikian.
Artinya tidak ada nilai lain yang perempuan bisa tonjolkan pada dirinya, kecuali eksploitasi pada tubuhnya sendiri. Adapun perihal persaingan antara perempuan dengan sesama perempuan dikarenakan ingin menjadi yang terbaik bagi perempuan lainnya, termasuk dari segi gaya hidup.
Kedua, Ontologi Islam. Tentu ini butuh uraian pembahasan untuk membahasnya, dan disini saya hanya akan memaparkan relevansi ontologi "Teosofi transenden Mulla Shadra" dalam meletakkan kedudukan laki-laki dan perempuan, bahwa laki-laki dan perempuan adalah mahiyah yang bersandar pada hakikat wujud "Assholatul Wujud", sehingga kita bisa melihat perbedaan keduanya dari segi mahiyah (materi). namun dari segi eksistensinya, sama-sama eksis (setara kedudukannya setara ontologis), tidak ada superioritas eksistensi.
Eksistensilah yang mendasar bukan mahiyah. Adapun keduanya dari segi esensi, keduanya adalah satu spesies sebagai manusia dengan segala kompleksitas Kemanusiaannya.
Ketiga, Humanisme Perempuan dalam Filsafat Manusia. Manusia dalam filsafat islam adalah bersandar pada term "fitrah" (Q.S. Ar rum ; 30), berupa format kemanusiaan yang tidak berkaitan dengan jenis kelamin, melainkan kecenderungan jasmani atau bashar (makan, minum, seks, istrahat, dsb) dan kecenderungan ruhani atau insan, berupa kencendrungan pada pengetahuan, pengaturan (hasrat kuasa), kecenderungan spiritual (ibadah), kecenderungan sosial-akhlak (diadaptasi dari filsafat manusia Muthahhari dan Dr. Ali Syari'ati).
Baik laki-laki ataupun perempuan adalah subjek (bukan relasi antar subjek dan objek) yang sama-sama memiliki kehendak bebas dalam mengaktualisasikan fitrahnya (basyar dan insan) menuju alam objektif (keluarga dan masyarakat).
Dalam hal sektor domestik laki-laki (suami) dan perempuan (istri) bertanggung jawab dan semaksimal mungkin bekerjasama dalam penyediaan makanan, minuman, termasuk masalah istrahat, terutama dalam hal pengurusan anak. Bagaimana tidak di bebankan pada satu pihak saja.
Keempat, Feminis dalam struktur Kosmologi " The Tao Of Islam karya Sachiko Murata. Materi ini juga kita ringkas dan yang ingin mendalaminya bisa membuka buku tersebut atau mengikuti kajian kajian kosmologi Ustadz Shafwan.
Laki-laki dan perempuan dari segi psikis adalah sama-sama feminim (Kualitas jiwa) berupa kecenderungan esensial jiwa pada kesempurnaan (kebenaran, kebaikan, keadilan), ketaatan pada nilai-nilai sempurna tersebut disebut dengan feminim positif, adapun sebaliknya disebut feminim negatif. Ada lima kategori feminitas yang di maksudkan Sachiko, salah satunya adalah kemampuan menerima taklif "memikul beban atau tanggung jawab, "baik yang bersumber dari ilahiah maupun nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Dalam konteks teologi islam, kita semua "Baik laki-laki maupun perempuan" adalah Feminim (hamba) dan Allah SWT adalah maskulin sejatinya (Tuan yang mengatur, memerintah, dsb) melalui jalan syariat, sehingga syariat disini adalah satu bentuk perkawinan makrokosmos antara manusia dengan Allah SWT melalui alam objektif (jalan syariat), dan setiap perkawinan Menurut Sachiko Murata, mengutip Ibnu arabi, akan melahirkan sesuatu, jika tidak, di katakan mandul. Semisal, sholat adalah satu bentuk perkawinan hamba dengan khaliq, yang akan melahirkan anak-anak akhlak (sifat mulia), berupa keterjagahan dari sifat keji dan mungkar "Innassholata Tanha Anil Fahsai wal Mungkar".
Dengannya kita mengatakan, laki-laki dan perempuan dari segi teologis, adalah sama-sama hamba (feminim) yang bergantung pada Allah SWT, sehingga antara laki-laki dan perempuan tidak ada dominasi kekuasaan, laki-laki menghamba pada perempuan, atau sebaliknya perempuan menghamba pada laki-laki (relasi eksploitasi).
Kelima, Kepemimpinan Gender. Kepemimpinan dalam konteks khalifah memang dari segi teks dan historisitasnya menjadikan adam sebagai subjek penyandang kepemimpinan. Namun kepemimpinan adam bukan karena gender jenis kelamin laki-lakinya, tentu Allah SWT tidak menjadikan jenis kelamin sebagai kriteria kepemimpinan, tetapi berkaitan dengan kualitas Feminim (kemampuan menerima taklif) dan juga kualitas intelektual. Bicara tentang intelektual, landasannya adalah basis epistemologi, berupa indra, akal dan hati sebagai instrumen pengetahuan, dan ketiga faktor utama. pengkondisian pengetahuan tersebut sama sekali tidak berjenis kelamin, sehingga konteks dewasa ini intelektual dari segi teoritisnya (pengetahuan tentang hakikat keberadaan sebagaimana adanya) dan dari segi-segi praktisnya (pengetahuan tentang tindakan manusia sebagaimana mestinya) berupa etika lingkungan, etika individu, etika rumah tangga dan etika-hukum, politik kemasyarakatan, bisa Sempurna pada laki laki dan perempuan.
Atas dasar inilah, Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Argumentasi Kesetaraan Gender) dan Prof. Dr. Jawadi Amuli (Keindahan dan Keagungan perempuan), melihat keduanya adalah Khalifah (pemimpin) dalam bidang dan perannya masing masing sesuai kapasitas diri ( kemampuan/skill dan pengetahuan)
Adapun relasi keduanya dalam konteks rumah tangga, sebagaimana Q.S. An Nisa bahwa laki-laki adalah " Qowwam" bagi perempuan perlu di rumuskan ulang pemahaman kita terhadap teks dan azbabun nuzul teks tersebut (latar belakang Sosio-Historis).
Membaca Dr. Syariati dalam teks Fatimah is Fatimah, bahwa kepemimpinan arab jahiliah identik patriarkisme, perempuan dalam konteks rumah tangga adalah budak, sehingga Allah Swt merekonstruksi kepemimpinan perbudakan tersebut menjadi kepemimpinan yang bertanggung jawab, dalam arti Qowwam bukan berarti menguasai, mengatur semerta-merta perempuan tetapi berkaitan dengan pengaturan sesuai sistem hikmah dan akhlak, sehingga Qowwam berarti mengayomi, melindungi, menjaga. Dsb.
Konten hari ini, kepemimpinan rumah tangga yang di letakkan pada laki-laki adalah taklif teologi yang kriterianya bukan disebabkan karena kelaki-lakian ( ?faktor jenis kelaminnya) tetapi bersandar pada kebijakan kebijaksaan, keadilan, dan akhlak. Sehingga jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka kepemimpinan menjadi gugur (relatif), adapun perempuan (istri) juga bisa memimpin, jika dia sesuai dengan hikmah, prinsip kebenaran, keadilan dan akhlak, sehingga bisa dikatakan, keduanya adalah sama-sama pemimpin yang harus siap menerima masukan satu sama lain, untuk kepentingan bersama dan pemimpin sejati atau mutlak adalah Allah SWT tempat keduanya bersandar.
Mengenal perempuan-perempuan dalam sejarah peradaban kemanusiaan islam sebagai patokan ilmiah, rule model kepribadian dan gerakan perempuan yang identik dengan intelektualisme, spiritualisme atau Feminim transenden. perannya dalam pendidikan, Ekonomi dan sosial politik seperti Siti Hajar perintis ajaran monoteis lewat Nabi Ibrahim, Siti Aisiyah" perintis pembebas bani Israel dari Diktator Fir'un, Siti Maryam faktor utama eksistensi Isa As, Siti Khadijah dan Fatimah Az Zahra.
Ringkasnya, mereka adalah perempuan-perempuan yang telah keluar dari penyakit the narsistis, the prostitute dan mystic, dalam arti mereka adalah perempuan yang tidak lagi hadir ke permukaan sebagai eksistensi tubuh fisik (menampakan secara narsis wajah atau penampilannya), bersaing sesama perempuan hingga saling menjatuhkan (fitnah, gosip, dll). tetapi eksistensinya hadir sebagai makhluk intelek, akhlaki, bertaqwa, pengabdi, feminim positif, maskulin positif (kritisisme ketidakadilan), kontribusi generasi manusia, dan aktifitas ekonomi politik untuk tegaknya universalisme nilai-nilai kemanusiaan (agama) dalam konteks rumah tangga (domestik), maupun publik (sosial-politik).
Kesimpulan umumnya adalah feminis ilahi konteks kosmologi islam adalah kualitas jiwa (ada pada laki-laki, maupun perempuan), yang terdiri dari lima kategori. salah satunya kategori kemampuan menerima taklif (tanggung jawab). Dalam praktisnya feminis ilahi adalah jiwa yang mampu berjalan selaras dengan kehendak Tuhan di alam plural.
Terakhir, untuk menutup sesi bagian pertsma ini " Tidak ada cinta hakiki dalam relasi gender suami dan istri, yang ada adalah relasi sosial-politik profetik".
Artinya, kita melihat kekurangan pada sesama, fitrah kita menghendaki kesempurnaan yang hanya dapat disandarkan pada Allah swt. sehingga aku dan dia hanyalah sarana dan media kerjasama dalam mewujudkan cinta kepada Allah Swt (cinta hakiki). Allah Swt telah melatakkan batas hak dan tanggung jawab, yang di sempurnakan pada akhlak kenabian, sehingga aku ke kamu (suami ke istri atau sebaliknya) adalah bagian dari perjalanan teoritis menuju Allah Swt.
Maka, sesungguhnya inilah moral yang kuat dalam relasi gender (konteks keluarga), sehingga kebaikan yang kita letakkan terhadap pasangan, bukan untuk mencari simpati dan balasan. tetapi, sebagai sarana mendekat kepada Allah Swt dalam segala gradasinya.
**
Beberapa perdebatan yang kerap Kita saksikan, tentang cantik dan tidaknya paras seorang wanita. Di akibatkan karena penyakit yang saya maksudkan diatas, The Narsis. Perempuan yang acap kali menampilkan dirinya, karena fisik atau tubuh. Nah, mata kita, selalu tertumpu pada bagian yang sangat artifisial. Padahal, hal tersebut, hanyalah bagian terkecil dari akumulasi seluruh kecantikannya.
Tentu, kita bisa bertanya lebih kritis, Sejak kapan cantik itu identik dengan kulit putih, berdagu terbelah, berbadan lansing atau bertubuh motok, rambut terurai, berlesung pipi, dsb?. Sama dengan Memakai jilbab itu tujuannya menutupi aurat ataukah menutupi rambut?.
Bukankah Aurat itu sesuatu yang bisa membuat lawan jenis menjadi tertarik, begitu tutur "Buya Syakur". Jika memakai jilbab membuat jadi menarik itu Justru bertentangan dengan tujuan menutupi aurat. Kecuali berjilbab itu tujuannya untuk menutupi rambut, bukan aurat. Olehnya, Berhentilah Bersolek. Stop Memamerkan kensensualan lengak-lenggok, Sudahi memperlihatkan kegenitan, Janganlah menunjukkan kemolekan. Hijab- Tutuplah dengan benar. Jika tak ingin Jiwa Zaman ini melihatmu, karena Engkau Wanita, bukan karena engkau punya Otak.
Di negeri tirai bambu - Tiongkok, salah satu Standar kecantikan perempuan, terletak pada rona kulitnya. Perempuan cantik itu berkulit putih. Berkulit cerah. Seperti adagium Tiongkok Klasik " yi bai zhe san chou" (perempuan berkulit putih mampu menyembunyikan 7 kesalahannya)".
Tujuh kesalahan itu apa saja, tidak penting. sebab, saya juga tidak tau. Tapi, substansinya adalah perempuan yang berkulit putih mendapatkan kelebihan, mampu menghilangkan kesalahan (sosialnya) secara otomatis. Tidak hanya satu, tujuh sekaligus. Hal ini menempatkan bagaimana perempuan berkulit putih begitu menentukan bagi orang asia, khususnya Tiongkok.
Sedangkan perempuan di dunia barat?, persepsi yang terbentuk adalah kulit cokelat merupakan simbol gaya hidup sehat. Gaya hidup yang spartan. Karena itu banyak perempuan di dunia barat yang terobsesi dengan "Tanning". Mereka berjemur agar kulit mereka menjadi (agak) kecoklatan. Sedangkan, kita di indonesia, terbalik. Dipaksa putih karena standar kecantikan di buat oleh Iklan Industri kosmetik. Akibatnya menjadi Ballang (belang-belang).
Tidak ingatkah kita, bahwa Kecantikan fisik itu malapetaka. Sebab, cikal bakal terjadi perang Troya ialah memperebutkan Helena. Perang antara kerajaan prambanan dan Majahpahit adalah merebutakan Diah Pitaloka. Romeo tak akan pernah berani meneguk racun, Jika bukan karean Juliet. Dan qois tak pernah di labeli Majnun, kalau bukan karena Laila.
Tertawan pada kecantikan itu juga lumrah Sebagai lelaki. sebab, kita bukan malaikat yang tak memiliki hasrat. Tetapi, menjadikan kecantikan Fisik sebagai variabel utama, justru bisa mendatangkan malapetaka. Kata Nizar Qabbani, "Para lelaki itu mensifati Perempuan sebagai mahluk yang bengkok. Dengan kebengkokan pinggulnya justru para lelaki itu bertumbangan".
Cantik itu kualitas jiwa (Inmaterial), bukan pada Fisik (Material). Cantik itu kebenaran, "Innallahu jamilun Wa yuhibbul jamal. Kenapa?, Karena Perempuan adalah mahkluk yang luar biasa, ada rahim dalam tubuhnya sebagai pusat kasih. Ada cinta dihatinya sebagai jalan bakti. Ada nalar dipikirannya sebagai sarana diksi. Maka, Jagalah perempuan yang tidak dilahirkan ibumu. Agar, Allah menjaga perempuan yang dilahirkan ibumu.
Karena kecantikan itu Kualitas Jiwa, maka kerap kita dapati Sebagian perempuan itu seperti pasukan khusus yang lebih sering menggunakan sandi atau kode. Sebagian perempuan susah mengeluarkan isi hatinya dalam rupa aksara. Akhirnya banyak perempuan memilih menjadi makhluk super, sehingga kerap berkata "aku tidak apa-apa". Padahal sedang tidak baik-baik saja. Meski sesungguhnya ia tahu bahwa berbicara lebih mendewasakan dibandingkan bahasa sandi atau kode, apalagi diam. Sebab, tak banyak lelaki yang bisa menafsirkan Bahasa Diam.
Perempuan itu sekumpulan tanda-tanda koma, juga tanda-tanda tanya. Yang Membuat lelaki menghabiskan sepanjang hidupnya, hanya untuk memecahkan misteri dari sebuah tanda-tanda, Begitu tutur Nizar Qobbani. Maka, Tak ayal Jika Prof Quraish shihab, dalam Bukunya Yang berjudul "Perempuan", berguman : Butuh 1 lelaki untuk mencintai Perempuan, tetapi 1000 lelaki tak cukup untuk memahami Perempuan.
Satu hal juga, Perempuan itu punya tabiat pencemburu. Maka, ada baiknya jangan menceritakan kelebihan perempuan lain di hadapannya, meskipun hanya sekedar gurauan. Selain itu, Jangan pernah berbohong kepada perempuan, karena mereka memiliki kemampuan luar biasa untuk menemukan kebenaran Dan kemampuan yang lebih besar itu adalah berpura-pura tidak menemukannya. Menagap?, Karena mereka (Perempuan) itu bukan copy paste dari rembulan. Tetapi, Ialah rembulan yang sesungguhnya. Seperti kata Rumi bahwa " Sinar rembulan akan tetap ada, selama kau tak hindari malam". Maka, kita tak akan pernah menjumpai pagi jika kita takut melewati malam. Sebab Ketakutan itu adalah penjara hidup.
Ada terma, yang kerap di gunakan orang, kira-kira begini, "Dibelakang lelaki yang hebat, ada seorang perempuan. Jika dibelakangnya ditambah tiga perempuan lagi, maka kehebatan lelaki akan bertambah.?.
Bagaimana caranya, SATU-kan yang EMPAT?. Haruskah itu ke EMPAT di-SATU-kan dulu?. Atau kita ke-SATU dulu?. Atau SATU rasa empat?. Atau dialah SATU satunya yang SATU. Sebagaimana tujuan ayat poligami katanya menuju monogami ; "Fa in Khiftum alla ta'dilu fawa hidatan".
Saya teringat dengan sebuah dialog, antara seorang Lelaki dengan seorang Syaikh. Lelaki bertanya pada Syaikh, "Mengapa perempuan lain tampak lebih indah dipandang mata, ketimbang istriku sendiri, Syaikh?".
Syaikh menjawab, "Masalah sesungguhnya bukan terletak pada istrimu, tapi terletak pada hati rakusmu dan mata keranjangmu. Mata manusia tidak akan pernah puas, kecuali jika sudah tertutup tanah kuburan". Itulah sebabnya Nabi Bersabda, "Andaikan anak Adam itu memiliki lembah penuh berisi emas pasti ia akan menginginkan lembah kedua, dan tidak akan ada yang bisa memenuhi mulutnya kecuali tanah".
Lalu Syekh itu bertanya: "Apa engkau ingin istrimu kembali seperti dulu, menjadi wanita terindah di dunia ini?". "Iya Syekh," jawab lelaki itu dengan perasaan tak menentu.
Syekh itu kembali menuturkan, "Pejamkanlah matamu dari hal-hal yang haram. Ketahuilah, orang yang merasa cukup dengan suatu yang halal, maka dia akan diberi kenikmatan yang sempurna di dalam barang halal tersebut".
Berkenaan dengan itu, Setelah saya baca jurnal hebat dieranya. Yang Mengulas tentang MEMBONGKAR MITOS PEREMPUAN. Tapi, saya tidak menemukan ulasan perempuan dalam era industri dan faktor-faktor yang menghubungkannya. Apalagi era disrupsi. Penguasaan terhadap alat-produksi dan pasar, adalah bagian dari faktor hegemoni dan dikotomi. Feminisme moderen, ada dalam hubungan dialektik dimaksud.
Lebih maju ke sini, era disrupsi, dimana Penguasaan terhadap alat produksi makin sumir, seiring cepatnya ekonomi bergerak ke arah yang lebih intangible atau artifisial. Kondisi demikian, mengkonstruksi relasi dan pranata sosial berdasarkan penguasaan alat produksi, menjadi penguasaan data yang artifisial.
Akses terhadap data dan penguasaan "big data", kini menjadi titik sentrum baru ekonomi dan konstruksi pranata masyarakat serta relasi sosial. Era disrupsi, menempatkan perempuan pada tantangan mutakhir. Tantangan baru feminisme dalam kultur global yang artifisial. Orang-orang seperti Sheryl Sandberg, Wang Laichun, Melissa Ma dll, adalah perempuan bertenaga dalam era pasar digital dengan kemampuan survived di atas rata-rata.
Konstruksi sosial tentang gender dan feminisme berbeda sama sekali. Dari faktor-faktor yang sifatnya tangible menjadi intangible. Hegemoni dan dikotomi berbasis gender telah terdisrupsi. Menemukan pola baru yang lebih menarik untuk ditelaah.
Makanya, PER-AN kehilangan EMPU-Nya (terperangkap oleh iklan industri kosmetik. Maka sudah tidak otentik disebut PER-EMPU-AN. Padahal sepatutnya perempuan menjadi Puan atas dirinya.
Dimana perempuan yang bedaknya adalah debu jalanan, cantiknya terlontar lewat dentuman suara kebenaran yang menggema.
Dimana..?.
Saya ingin mengunderline sebuah Konstruksi yabg belakangan kita alamai, yakni Ketika engkau mencegah anak perempuanmu keluar rumah agar tidak ada yang melecehkannya. maka, engkau telah (merasa) melindungi satu anak gadis. Akan tetapi, jika engkau mendidik seorang anak laki-laki. Maka engkau telah melindungi banyak anak gadis. Padahal, Kita (laki-laki) tak akan mungkin melebihi kehormatan seorang perempuan. Jika kita berikan padanya rasa aman padanya. maka, ia akan menjadi tanah air bagi kita.
-Perempuan adalah Ibu yang Tersenyum di hadapan maut-
***
Rupanya ada yang salah paham soal kenabian perempuan, ketika saya mengikuti kajian dalam pengajian Kitab Fathul Mu'in bulan Ramadan 2020.Pertama, mereka menyangka bahwa itu pendapat saya. Kedua, mereka menduga yang pro nabi perempuan itu tak punya argumentasi qur'an.
Saya akan coba jelaskan. sejak dulu bahkan hingga sekarang sebenarnya para ulama sudah memperselisihkan tentang ada dan tidak adanya nabi perempuan. Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan cukup singkat pro-kontra itu dalam Kitab Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari (Juz 6, hlm. 529-530).
Pertama, ulama yang menerima kenabian perempuan di antaranya adalah al-Imam Abu al Hasan al-Asy'ari, Ibnu Hazm, dan al-Qurthubi. Al-Imam Abu Hasan al-Asy'ari berpendapat; ada banyak nabi dari kalangan perempuan. Khawatir menimbulkan spekulasi liar, Ibnu Hazm segera membatasi nabi perempuan hanya pada 6 orang, yaitu; Siti Hawa, Sarah, Hajar, Ibunda Nabi Musa, Siti Asiyah dan Siti Maryam. Batasan menurut beliau, bahwa orang yang didatangi malaikat dari Allah, dengan membawa hukum: perintah, larangan, atau maklumat, maka dia nabi. Tetapi, al-Qurthubi hanya mengakui kenabian Siti Maryam. Ia menolak kenabian Sarah dan Hajar.
Diantara ayat yang menjadi landasan mereka adalah
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Kami wahyukan kepada ibu Musa; “Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari Para rasul. (QS. Al-Qashsas: 7).
Allah mengutus malaikat Jibril untuk menemui Maryam,
فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا . قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَنِ مِنْكَ إِنْ كُنْتَ تَقِيًّا. قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا
Lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata: “Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa”. Jibril berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci”. (QS. Maryam: 17 – 19).
Kemudian, dalil dari hadis adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كمل من الرجال كثير، ولم يكمل من النساء إلا مريم ابنة عمران، وآسية امرأة فرعون
”Lelaki yang sempurna itu banyak. Namun tidak ada wanita yang sempurna, selain Maryam bintu Imran, dan Asiyah istri Firaun.” (HR. Bukhari 3411 dan Muslim 2431).
Kedua, jumhur ulama, yang menurut Qadhi Iyadh-menolak kenabian perempuan. Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar mengutip konsensus yang menyatakan bahwa Siti Maryam bukan nabi. Penolakan yang sama diajukan ulama lain. Al-Hasan misalnya berkata bahwa tak ada nabi perempuan sebagaimana tak ada nabi dari komunitas jin. Pertanyaannya, mengapa para ulama berbeda pendapat?. Tak ada jawaban lain kecuali bahwa mereka berbeda dalam menafsirkan firman Allah.
Misalnya ada ayat Qur'an yang mengisahkan wahyu-komunikasi langsung Allah dengan sejumlah perempuan seperti Siti Maryam dan Ibunda Nabi Musa Dan menurut ulama pertama, orang yang mendapat wahyu adalah nabi, tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Namun, sebagian ulama membantah narasi itu. Menurut mereka, yang menyatakan nabi itu hanya dari kalangan laki-laki adalah Qur'an sendiri. Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى
”Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu, kecuali dari kalangan lelaki yang Kami wahyukan kepada mereka, di kalangan penduduk negeri” (QS. Yusuf: 109).
Seperti yang kita tahu, tujuan Allah mengutus nabi dan rasul adalah sebagai juru dakwah, mengajak manusia ke jalan yang benar. Tugas ini menuntut mereka - para nabi dan rasul - untuk banyak bergaul dengan masyarakat. Jika tidak mungkin ada rasul di kalangan wanita, karena gerak pergaulan mereka terbatas, maka juga tidak mungkin ada nabi di kalangan wanita, karena tugas nabi kurang lebih sama dengan rasul.
Tetapi, Argumen itu segera disanggah yang lain. Bahwa yang diekplisitkan Al- Qur'an itu soal kerasulan yang dimonopoli laki-laki. Beda dengan kerasulan, maka tak menutup kemungkinan ada nabi perempuan. (فالرسالة للرجال أما االنبوة فلا يشملها النص القرأنى).
Itulah perbedaan pendapat para ulama tentang nabi perempuan. Perbedaan pendapat seperti itu sahih apalagi ia muncul dari genius-genius raksasa seperti al-Asy'ari, al-Hasan, al-Qurthubi, Imam Nawawi, Ibnu Hazm, dan lain-lain.
Saya hanya menyampaikan keragaman pandangan para ulama tentang kenabian perempuan. Selebihnya, tentu saya kembalikan ke posisi akademis dan pilihan ideologis masing-masing.
* Coretan Nalar Pinggiran
* Pejalan Sunyi
* RST



Tidak ada komentar:
Posting Komentar