Seluruh pemikiran di dalam islam, fondasi utamanya Adalah Al-Qur'an dan hadist. Makanya tidak boleh, ada pemikiran di dalam Islam yang tidak berbasis kepada Al Qur'an dan hadist. Ihwal itulah, sehingga sejumlah tafsir terhadap Al Qur'an dan Hadist terus di lakukan.
Pada zaman Rosulullah SAW, Ia sendiri di sebut sebagai, "Marju tasyriq wahdah - sebagai rujukan hukum satu-satunya". Artinya jika ada persoalan menyangkut tafsir terhadap Qur'an, para sahabat tidak perlu bertanya kepada yang lain. cukup bertanya kepada Rosulullah SAW, sebagai manusia yang di beri mandat oleh Allah, untuk menjelaskan makna-makna Yang terdapat di dalam Al-Qur'an.
Mengapa Al-Qur'an perlu di jelaskan?. Karena tidak semua hal di jelaskan secara rinci di dalam Al-Qur'an. Misalnya, di dalam Al Qur'an kita di perintahkan untuk mendirikan sholat, Allah berfirman, "Aqimusholata wa atuz zakata wa atimul hajja wal umratal lillah - dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan sempurnakan haji dan umroh". Tetapi, bagaimana cara kita menunaikan sholat dan Haji?. Apa saja yang wajib di keluarkan zakatnya?. Tidak di jelaskan secara rinci di dalam Al-Qur'an. Maka, hal-hal yang demikian di jelaskan di dalam hadist. Hadist berfungsi sebagai tafsir terhadap Al-Qur'an atau mubayyin - penjelas.
Tetapi, setelah Wafatnya Rosulullah SAW, Al-Qur'an bergerak sendiri. Tanpa di dampingi oleh Nabi sebagai Mufassir resminya dan kita tidak bisa bertanya lagi kepada Nabi Muhammad SAW untuk menfasirkan Al-Qur'an. Maka dari itu muncullah tafsir sahabat, Tafsir Tabi'in, Tafsir tabi' tabi'in sampai dengan sekarang.
Jarak kita semakin jauh dengan Nabi Muhammad SAW. maka kita membutuhkan sebuah metodelogi untuk menfasirkan Al-Qur'an dan as-sunnah. Karena Al-Qur'an berbahasa Arab, maka kita harus tahu bahasa Arab. Tetapi, bahasa Arab saja tidak cukup, kita harus tahu asbabun Nuzul - sebab turunya Al-qur'an. Sedangkan, kalau menyangkut hadist, kita harus tahu sebab di Ucapkannya hadist tersebut - Asbabul Wurud.
Secara Umum, Ummat Islam Harus mengerti, jika Al-Qur'an itu di Uraikkan. Kurang lebih ada empat kategori. Pertama, Al Qur'an mengandung Sejarah dan Kisah (Tarikh). Kedua, Al-Qur'an mengandung Aqidah dan Akhlak. Berkenaan dengan ayat yang Menyangkut Aqidah dan Akhlak, para ulama mendiskusikan dan menfasirkan dengan ayat-ayat tersebut. Makanya ketika kita baca sejarah, kita mengenal beberapa aliran dan kelompok teologis di dalam islam, seperti Mu'tazilah, Asy'ariyah, Mur'jiah, Khawarij, dsb. Ketiga, Al-Qur'an mengandung Hukum. Ayat-ayat hukum di dalam al-Qur'an sesungguhnya hanya sedikit, ada yang menyebut sekitar 500 ayat dan ada yang menyebut hanya sekitar 200 ayat saja.
kelak para ulama menafsirkan ayat-ayat Hukum di dalam Al-Qur'an, maka lahirlah ilmu yang di sebut dengan Fiqih. Tetapi, cara untuk menafsirkan Ayat-ayat Hukum di dalam Al-Qur'an, ada metodeloginya yaitu Ushul Fiqih. Jadi, Fiqih adalah produknya, sedangkan Ushul fiqih adalah Metodelogi untuk menfasirkan Ayat-Ayat Hukum di dalam Qur'an dan hadist. Semantara, Tafsir para Ulama terhadap Ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur'an, melahirkan Mazhab-Mazhab. Mazhab yang bertahan sampai sekarang di dalam lingkungan Sunni, ada 4 mazhab.
Kita harus memahami, bahwa Al-Qur'an yang kita miliki adalah satu. Hadist yang kita miliki, maksimal tersebar di dalam 6 kitab Hadist. Tetapi, penafsiran para Ulama terhadap Al Qur'an yang satu dan hadist yang tersebar di 6 kitab hadist, ternyata tidak tunggal. Terjadi Perbedaan pandangan dalam menelaah Al-Qur'an dan Hadist.
Apa yang menyebabkan sehingga terjadi perbedaan pandangan?.
Pertama, perbedaan di dalam menggunakan dalil. Satu dalil atau ayat yang sama, ketika di pahami dengan dalil atau ayat yang berbeda, maka akan melahirkan produk hukum yang berbeda. Misalnya, satu menggunakan dalil mashlahat, yang satu menggunakan dalil qiyas. Maka pasti produk hukumnya berbeda. Kedua, perbedaan pendapat itu bisa terjadi, karena perbedaan di dalam memahami dalil atau ayat. Mengapa?. Karena di dalam Al-Qur'an, ada ayat yang tergolong sebagai ayat yang ambigu. Maksudnya, ada ayat atau diksi di dalam al-qur'an tergolong sebagai ayat yang Mustarok (kata atau ayat yang memiliki makna lebih dari satu). Kata atau ayat yang memiki makna lebih dari satu, berpotensi melahirkan produk pemikiran yang berbeda. Karena itulah, kita tidak perlu merasa gelisah dengan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Baik perbedaan pendapat di kalangan ulama tafsir, ulama fiqih ataupun ulama kalam. Asalkan perbedaan pendapat tersebut, tidak menyentuh pokok-pokok ajaran agama.
Misalnya, Ulama bersepakat bahwa sholat itu wajib. Tidak ada perselisihan soal itu. Mau dia Mazhab Maliki, Hambali, syafi'i dan Hanafi. Tidak ada lagi perdebatan disitu. Tetapi, sekalipun di sepakati sholat itu wajib, bagaimana tata cara Sholat itu di laksanakan, di situlah potensi di perselisihkan. Misalnya, mazhab Hanafi menyatakan membaca fatihah di dalam sholat itu tidak wajib dan bisa di ganti dengan ayat yang lain. Karena, mazhab hanafi mengacu kepada keumuman ayat di dalam Al Qur'an. Allah berfirman, "faqro u ma tayassaro minal qur'an - bacalah olehmu yang paling mudah di dalam qur'an". Mungkin bukan Fatihah yang paling mudah, bisa jadi Al ikhlas, bisa jadi Al kafirun. Tetapi, mazhab syafi'i menyatakan, membaca fatihah itu adalah "Ruknun min arkani shola - menjadi rukun sholat". Ihwal itulah, menurut mazhab syafi'i, orang yang sholat tetapi tidak membaca Fatihah, di nyatakan sholatnya tidak sah.
Kita ketahui bersama Nabi Muhammad SAW bersabda, "la sholata liman la yaqro bi fatihal kitab - tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca fatihah". Tidak membaca ummul qur'an di dalam sholatnya. Inilah yang menjadi acuan dari mazhab syafi'i. Tetapi, kata mazhab Hanafi, hadist tersebut termasuk hadist ahad, dalalahnya juga dzonni. Sementara mazhab hanafi menyatakan, Lafadz "am" di dalam al-Qur'an - Faqro u ma tayassyaro minal qur'an dan dalalahnya lafadz "am" di dalam Al-Qur'an adalah qod'i.
Artinya, ada potensi berbeda di dalam memahami dalil. Kita bersepakat bahwa sholat itu wajib. Tetapi, apakah fatihah itu adalah rukun sholat, bisa di perselisihkan oleh para ulama. Hal ini penting untuk saya utarakan, bahwa perbedaan pendapat di kalangan para ulama itu lazim, dengan di dasarkan pada qur'an dan hadist, asalkan menggunakan metode yang bisa di pertanggung jawabkan.
Tetapi, ada beberapa hal yang tidak di sebutkan secara rinci di dalam Al-qur'an atau al Qur'an hanya memberikan kerangka etik moralnya. Seperti, etika di dalam mengatur sebuah pemerintahan, di dalam persoalan politik. Tidak ada ayat di dalam al-qur'an, bahkan hadist pun tidak kita temukan, apakah pemerintahan yang islami itu adalah pemerintahan yang monarki (Kerajaan), Republik atau demokrasi ; legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Al-Qur'an hanya menegaskan, apapun jabatan dan kekuasaan kita, entah itu berada di dalam tupoksi eksekutif, legislatif ataupun yudikatif ; "fa idza hakamtum baina naas antah kumu bil adli - kita harus mengambil sebuah kebijakan yang dasarnya adalah keadilan". Jadi semua dasar kebijakan kekuasaan dan jabatan adalah keadilan, sebagaimana sering di ucapkan para khotib di akhir khutbahnya, " Innallahu ya"murukum antu addul amanati la ahliha - perintah untuk menegakkan amanah".
Lantas, bagaimana dengan sistem pemerintahan di zaman Nabi Muhammad SAW, ada pertanyaan yang sangat menarik berkaitan dengan hal itu, "hal kana ta' sisun nabi bi dhaulatin sia-sia Juz'an min risalatihi amla - apakah tindakan dan perilaku politik Nabi di madinah menjadi risalah kenabian atau tidak?". Kalau sistem dan perilaku Nabi di madinah menjadi risalah, maka perilaku dan sistem tersebut akan mengikat semua ummat Islam. Faktanya sekarang seluruh pemerintahan di dunia Islam berbeda-beda. Karena mayoritas Ummat islam, tidak memandang sistem pemerintahan Rosulullah SAW menjadi bahagian dari Risalah kenabian.
Ke empat adalah Tasawuf. Sekalipun kata Tasawuf kalau kita cari di dalam Al-Qur'an dan hadist tidak kita temukan. Karena yang terdapat di dalm Al-Qur'an itu hanya, Tazkiyatun nafs - menyucikan jiwa. Jadi, basis utama dari Tasawuf juga adalah Al qur'an, tujuannya untuk menyucikan jiwa. Lantas dari mana sebenarnya Tawasuf ini?. Dari perilaku para sahabat. Saat Rosul wafat, ada para sahabat yang berkonsentrasi mengatur pemerintahan. Tapi, ada juga sahabat yang berkonsentrasi mendekatkan diri kepada Allah, yang di sebut dengan Ahlu Sufwah - Orang-orang yang berada di pinggiran masjid nabawi, sibuk melaksakan sholat. Barulah nanti tradisi seperti ini di lanjutkan oleh Ulama selanjutnya di era Tabi'in, tabi' tabi'in. Makanya kita kenal ulama seperti Hasan Al Bashri, Assirri Syaqoti, Harist Al Muhazibi, Dzunnun Al Mishri, Junaid Al Baghdadi, Syaikh Abdul Qodir Jailani, Abil Hasan Adz zazili, Bahahuddin An Naqsabandi, dsb.
Oleh karena itu, Al qur'an yang kita miliki satu, hadistnya tertuang di dalam 6 kitab hadist juga bersumber dari satu. Tetapi, melahirkan jenis-jenis Ilmu yang beragam. jika dasar utamanya adalah Al qur'an dan hadiist. Nah, inilah yang harus di pahami teman-teman yang mengambil jurusan pendiddikan agama islam.
Misalnya di rumpun ilmu tafsir. Ada ayat yang sama, tetapi ketika di pahami oleh orang yang berbeda, melahirkan corak tafsir yang berbeda. Makanya, ada Tafsir Ilmi - Tafsir yang didasarkan pada temuan-temuan ilmu pengetahuan modern. Seperti, apakah bumi ini datar atau Bulat?. Karena di dalam Al-Qur'an ada ayat yang berbunyi, " Walladzi ja'ala lakumul ardho fi rosya - Allah yang menciptakan bumi kepada kalian, seakan-akan terhampar". Ada ayat Juga di dalam Al-Qur'an yang menyebutkan, " Dahulunya langit bumi itu satu, tetapi di pisahkan". Hal inilah yang kemudian di kenal dalam ilmu pengetahuan modern sebagai Teori Big Bang - dentuman besar. Tafsir ini, Tokohnya sering di sebut adalah Thantawi Jauhari atau Tafsir Jauhir.
Ada juga Tafsir "adabi Ijtima'i - Menafsirkan Al-Qur'an sesuai dengan konteks sosial - antropologis, dari ketika ayat itu di turunkan dan bagaimana ayat tersebut di terapkan. Tokoh yang biasa di kenal sebagai Penafsir Adabi Ijtima'i adalah Al wasid di tulis oleh Muhammad Said Thantawi atau Fi dhilalil qur'an di tulis oleh Said Qutub.
Ada juga Tafsir Fiqih, Menafsirkan ayat-ayat Hukum di dalam Al qur'an, sehingga corak ayatnya sangat legal formalistik. Misalnya, seperti Al Jahsas, Ibnu Arobi, Ilki al harosyi memiliki kitab Tafsir berjudul Ahkamul qur'an.
Ada juga Tafsir qur'an Balaghi - Menafsirkan al qur'an dari sudut Kesustraan. Keindahan diksi dari al-Qur'anul karim. Makanya kita kenal Tokoh tafsir, Adz zamsari, kitabnya berjudul Tafsir Al Kassyaf. Kemu'jizatan al qur'an bisa di lihat dari ketinggian kesustraan al qur'an.
Di dalam perkembangan modern, sebahagian ulama mengembangkan sebuah jenis penafsiran yang memperhatikan sebuah penafsiran yang memperhatikan aspek kesetaraan, kemanusiaan - Lelaki dan perempuan. Bagaimana al qur'an berbicara tentang relasi anak dan orang tua. Berbicara mengenai suami dan istri. Sebagaimana pernyataan Ibnul Qoyyim Al jausyiah di dalam kitab Iglamul muakkin, Jika Al Qur'an itu di peras isinya hanya empat, " annas syariata ma abnaha wa asyasyuhata alal hikam wa masholil ibadhi ma asyi wal ma'adhi wa lil adhlun qulluha wa rohmatun qulluha wa hikmatun qulluha wa sholih qulluha. Fa qullu mas alatin kharajat anil adli jur wa anil mashlaha ilal mafsyadah wa anil rohmati ilal dhidha wa anil hikmati ilal abats fa laisa missyariah wa ingquhilad fiha bi ta'wil fa syariatullahi hiya adhullahi baina ibadhi wa dhilluhu fil ardhi - isi dari Al Qur'an, pertama adalah keadilan (Keadilan di bidang Hukum, politik, ekonomi). Kedua adalah Rohmah - kebijaksanaan. Ketiga adalah Hikmah. Keempat adalah kemaslahatan". Kata izzuddin Ibnu abdhi salam (Ulama Fiqih dari Mazhab Syafi'i), "innama taqalif qulluha roji'atun mashilihil ibad fidduniya wa uhrohun - seluruh isi kandungan Al qur'an itu adalah Kemaslahatan, kalau bukan kemaslahatan di dunia, maka kemaslahatan di akhirat".
Sholat misalnya itu mengandung maslahat. Sekalipun tidak semua orang bisa mendapatkan kemaslahatannya di dunia dari ibadah sholat. Tapi, kelak di akhirat ibadah sholat mengandung kemaslahatan. Zakat, misalnya Sangat mengandung kemaslahatan Duniawi, "kaila yaqulatan bainal aulia'i mingkum - Bisa kita bayangkan kalau tidak ada perintah untuk berzakat, maka harta harta hanya akan melingkar-lingkar di kalnagan orang kaya saja akhirnya kekayaan menjadi bertumpuk. Tetapi, zakat itu berbeda dengan pajak. Karena objek zakat dan pajak itu beda. Kalau saya punya rumah atau kendaraan, itu tidak menjadi objek zakat, tapi menjadi objek pajak. Ada ide-ide belakangan yang menyebutkan, bagaimana kalau pajak itu yang di jadikan sebagai zakat.
Akhirnya pikiran ulama-ulama terdahulu, belakangan di kontekstualisasikan. Seperti, Imam Syafi'i ketika merumuskan sebuah fiqih, Imam Abu Jafar At-Thabari merumuskan tafsirnya itu berbeda konteks zamannya. Sekarang banyak kita kenal tafsir modern (Fiqih, tassawuf). Bahkan teologi yang pada Mulanya hanya di orientasikan mengenai Allah, belakangan Teologi di pakai untuk mengadvokasi kepada kelompok yang tertindas, seperti Teologi pembebasannya Hasan Hanafi.
Demikianlah capaian-capain pemikiran, yang kalau kita baca dan perhatikan kerangkanya dari zaman Nabi, sahabat, tabi'in, tabi' tabi'in sampai sekarang. Pemikiran Islam terus mengalami pengayaan - pengayaan. Tentu sebuah keniscayaan, karena kata Nabi, " sesungguhnya Allah akan membangkitkan Agama ini di setiap 100 tahun, bagi orang yang melakukan pembaharuan terhadap pemikiran islam".
Kalau dulu kita kenal dengan Jalaluddin as syuti, izzuddin abdi salam, Al ghazali, Imam Syafi'i, Umar Ibnil azis, dst. Secara sederhana kita bisa utarakan begini, ummat Nabi Muhammad ini berhak mendapatkan warisan yang paling luhur, paling hebat, paling jernih, Yaitu Al-Qur'an dan hadist. pertanyaanya, siapa yang paling punya otoritas menjelaskan Al Qur'an dan Hadist?. Tentu Ulama. Ulama yang mana?. Adalah ulama yang kapabel, yang sudah di akui di dunia, seperti Imam Ghozali, Imam Bukhari, imam Syafi'i, dsb. Artinya jika kita tidak menggunakan gagasan mereka yang otentik dan orisinil, maka ummat ini mendapat pikiran kita, bukan pikiran dan Gagasan para Ulama-ulama.
Kitab tersebut adalah metedologi yang bisa di jadikan pegangan untuk memahami Al Qur'an secara Mudah. Seperti peristiwa-peristwa Khusus yang terdapat di dalam Al-Qur'an di Tab'wid secara Umum.
Adapun peristiwa-peristiwa Khusus yang di Kontekatualisasikan secara Umum, antara lain ;
Pertama. "Babuna fil ibad li qulli i bilad - Bab tentang seseorang itu harus bermanfaat, dimana saja dia berada". Dalil yang di gunakan oleh Syech Izzudin Abdussalam adalah "Qola Ta'ala haqiyan an isa bin maryam wa ja'alani mubarokan aynama kuntu - Saya adalah orang yang hidup dimana saja akan membawa berkah".
Ihwal itulah sehingga kita kemana dan dimana saja, etikanya satu yaitu harus memberi manfaat. Misalnya, jika ada orang yang mau menang, yah saya mengaku kalah. Jika ada orang yang ingi mengangkat saya menjadi murid. Yah, oke saya jadi murid. Tidak masalah, sebab bahagian dari kesholehan adalah bersikap tawadhu. Pasti yang tawadhu menjadi Wali, karena "man tawaddhua rofaullah". Sedangkan yang menjadi Guru, pasti jadi wali 😂.
Kedua, ada Juga Bab yang sesuai dengan konteks Indonesia. Hal itu juga yang di Bahasakan secara umum - Babus tsatti dzaroeh (bab menutup pintu pada potensi-potensi yang tidak baik. Lalu, Syech Izzudin Abdussalam, mengutip dalil, qola Ta'ala wa la tasubbuladzina yad'una min dunillahi fa yasubullahi adwam bi ghoiri ilmi".
Dulu sahabat, saking bersemangatnya berislam. Sering memaki jancok Latta, Jancok Uzza dan jancok manat. Lalu, orang-orang kafir tanya, jika Tuhan saya Jancok. Berarti Tuhan Kamu juga Jancok. Akhirnya Allah menegur, "Muhammad Ummatmu memaki Tuhan orang lain, yang jadi Korban adalah saya. Makanya, lanjutan ayatnya adalah "Fa yasubbullah adwam bi ghoiri hi". Makanya, Oleh syaech zudin Abdusalam (Yang di kenal ssbagai salah satu Sulthum Auliyah) membahasakan sangat mudah dengan mengambil judul Babus tsatti dzaroeh.
Jika kita tidak ingin Allah di maki dan Islam di sakiti, maka jangan memaki Tuhan dan agama orang lain. Sebab itu bahagian dari mencintai Islam. Jangan menganggap kita Hormat pada Agama orang itu karena kita ikrar pada agama mereka, oh tidak. Itu bahagian dari mencintai Islam.
Lalu beliau mengutip sekian hadist, "La yasubbu rojulu abahu" - sebahagian riwayat menyebutkan, " la yal anu rojulu abahu", yang artinya "Jangan sampai seseorang memaki bapaknya". Kata para sahabat, "wa kaifa yasubbu Rojul abahu - bagaimana mungkin seseorang memaki bapaknya sendiri". Rosul menjawab, Yasubbu aba rojuli fa yasubbu aba wa Yasubbu umma rojuli fa Yasubbu umma - kamu memaki bapaknya orang lain maka mereka membalas Memaki bapak kamu".
Hal ini di bahasan mudah sekali, padahal peristiwa tersebut adalah peristiwa khusus. Tetapi di babkan ke dalam peristiwa Umum sehingga kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa Al Qur'an dan hadist terus Mengawal kita sampai di Yaumil Qiyamah. Dengan begitu, kita tidak kehabisan Pembahasan untuk memaknai Al Qur'an dan Hadist, sebagaimana yang di ajarkan Sayech Izzudin Abdussalam.
Ketiga, Beliau memberikan Judul dalam satu Bab di kitabnya. Bahagian ini penting, karena kerap kali saya utarakan, yaitu , " La Yudrokul haqqul li ajalil batil - kebenaran tidak boleh di tinggalkan, hanya karena banyak kebatilan".
Uniknya bahagian ini, karena beliau menggunakan dalil, yang saya yakin seorang Ulama atau Ustadz Tersohor sekali pun tidak pernah terlintas kalau hal itu ada , " inna shofa wal marwata min sya'a irillah fa man hajjal baita wi'tamara fa la junaha alaihi ayyatowafaha bihima - Shofa dan marwah itu hakikatnya adalah termasuk syiar-syiarnya Allah. Maka siapa yang haji dan Umroh, tidak apa-apa (Allah membahasakannya Fa La Junaha) terus melakukan tawaf di situ.
Kata Syech Izuddin abdussalam, di Shofah itu berhala bernama izza dan di marwah, ada Na'ilah, juga nama berhala. Yang orang-orang Jahiliyah dulu menyembah dua berhala tersebut. Karena ada berhala, mereka merasa Risih jika ada ritual Ibadah tauhid di situ (tawaf). Kata, Allah Tidak apa-apa, teruskan saja Tawaf atau Sa'i di situ. Artinya, kebenaran tetap di perintahkan. Meskipun ada kebatilan.
Misalnya, ada orang mati karena Narkoba atau karena Khamar. Maka, kita sebagai pemuka agama - Ustadz atau Kiai Harus datang. Sebab, kalau kita tidak datang, mereka akan menciptakan tradisi baru dalam penguburan. Datangnya kita itu sebetulnya, demi melaksanakan syariat islam, dalam hal ini memperlakukan Janazahtu muslim. Meskipun, kita menyadari bahwa seseorang yang mati tersebut, karena Kebatilan.
Hal ini penting untuk di utarakan, agar kita itu jangan membatasi untuk menegakkan kebenaran, sekalipun kita Tahu di situ terjadi kebatilan. Saya berani menyatakan hal ini, karena saya sendiri melakukannya.
Keempat, Beliau memberi Judul tentang " Babu tholabu manzilah - seseorang yang terpercaya Boleh Mencari pangkat di Pemerintahan".
Dalil yang beliau utarakan, sederhana sekali. Ketika Nabi Yusuf merasa mempu mengendalikan Ekonomi - Ketahanan pangan pada zaman itu, beliau datang kepada Azis (Penguasa mesir) - Qola Ja'alni ala khoza'inil ardhi, inni hafizun alim - Jadikan saya pengelola Hasil Bumi. Sebab, saya adalah orang yang terpercaya. Makanya mengaku pintar itu boleh, asalkan pintar betul. Karena Nabi Yusuf, mengatakan Inni Hafizun alim.
Kelima, beliau memberi judul yang agak ekstrem, "babu jawadzin namima limashlahatin - mengadukan peristiwa yang buruk kepada orang lain, karena Maslahat".
Beliau memberi contoh yang unik sekali, sebab tidak mungkin ada Namima yang di tolerensi. Dalil yang beliau gunakan adalah "wa ja arojulum min aksol madinati yas'a, qola ya musa innal mal' a ya'tamiruna bikayal tulu kafahruz inni laka minannashin - Musa, saya ini termasuk pengawai di kerajaan fir'aun. Saya tahu bahwa rapat tadi malam memutuskan untuk menangkap dan membunuhmu. Maka, kamu secepatnya keluar dari mesir". Peristiwa ini sebenarnya agak Namima - mengadu. Tapi, demi kemaslahatan.
Di kitab Syajaratul Ma'arif setiap peristiwa Khusus di dalam Al Qur'an di jelaskan secara umum. Sehingga berkahnya setiap peristiwa tersebut, kita bisa menjadikan Al Qur'an sebagai pengawal hingga Yaumil kiamah. Tetapi, kalau semua peristiwa khusus di dalam Al-Qur'an hanya untuk konteks tertentu saja, maka seakan-akan Al qur'an itu tidak untuk kita.
Kitab ini sangat rekomended untuk kita yang gemar mengkaji Al -Qur'an dan Ingin alim. Sebab, kalau kita menggunakan metode Ushul fiqih itu agak susah. Misalnya, saya memanggil Si Fulan dan saya menyebut nama si Fulan, "kamu ke sini, karena ada tamu". Sebenarnya saya ingin Fulan atau ingin siapa saja yang datang, asal bisa melayani tamu. Fulan itu dzikrul ba'di wa irodhatil qul atau yuroshu sahsun bi aidhi hi, dan hal itu menjadi perdebatan di ilmu Ushul fiqih.
Ketika Fulan tidak ada, tetapi di situ ada Salam, Umar, dsb. Tidak datang, pasti yang memanggil tadi marah - ini anak-anak saya panggil tidak ada yang datang. Misalnya, anak-anak Jawab, kak kita kan memanggil Fulan, bukan kami. Bodohnya kalian ini, maksudku itu datang ke sini membuatkan teh untuk tamu, tidak harus Fulan. Salam dan umar juga bisa.
Artinya menyebut aktor dalam Al Qur'an atau hadist itu, Yurodhun sahsun bi aidhi hi atau itu bahagian dari dzikrun ba'dhi wa irodhodatil qul. Sehingga semua peristiwa di Al qur'an, entah itu menyebut Fir'aun, berarti mewakili orang yang dzolim dan Menyebut musa mewakili orang yang baik atau bagaimana?. Nah, di kitab Ushul fiqih, Perdebatnya panjang dan ribet sekali.
Ihwal itulah, sehingga di dalam Kitab Minhajul Mu'minin di terangkan, bahwa ada seorang wali yang takut berdosa, karena banyak perempuan cantik yang mengenakam celana pendek di dunia. Akhirnya, wali tersebut melakukan Uzla di gunung, memakan Rerumputan. Lalu, datang seorang wali yang kelasnya lebih tinggi, bertanya, Kamu di sini bikin apa?". Jawab wali tersebut, sedang Uzla. "Mengapa?". Meninggalkan dosa, jawab wali tersebut. Lantas, wali yang lebih senior menyatakan, "Taroktum ummata muhammadin fi aidil mubtadi'a - sebenarnya kamu tidak menghindari dosa, tetapi malah bertambah dosa". Karena, ketika ummat tidak kamu pimpin, artinya membiarkan orang atau kelompok lain memimpinnya, dan hal itu bisa orang ahli bid'ah, bisa orang Kafir, bisa orang yang menyesatkan.
Jadi, Uzla itu bukanlah solusi. Di situlah pentingnya pembanding.
Dalam Kassyafnya Imam Abu Hasan Ad zazili, beliau menyatakan, tidak ada kajian fiqih di dunia ini yang lebih bersinar melebihi kajiannya Syech Izuddin Abdussalam dan tidak ada kajian ilmu Hadist, melebihi kajian abdul adzim al munziri, serta tidak ada Kajian ilmu hakikat yang melebihi kajian abha al majsika.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar