Mengenai Saya

Rabu, 07 Juli 2021

NENEK MOYANG BANGSA NUSANTARA, GURU PELAYARAN BANGSA CHINA




Tahukah kita, bahwa Nusantara, sejak fajar peradaban terkait erat dengan satu bangsa di utara, namanya China atau Tiongkok.

Peta dunia lama terbagi atas dua sudut, timur dan barat. Timur adalah China, pusat populasi manusia dan material. Barat adalah India, pusat ide-ide budaya (agama).

Ada sekitar 20 juta manusia di China pada era dinasti Qin, abad 1 masehi. Jumlah yang menyedot minat pedagang dari segala penjuru untuk memasuki China. Judulnya "Jalur Sutra", bukan sekedar perdagangan, tetapi juga pertukaran budaya, politik, dan penyebaran agama. Hal itu Berlangsung sejak abad 2 SM hingga kolaps di abad 18 M. Sutra hanya penanda, tapi jalur Sutra tidak melulu menawarkan kain sutra, tetapi juga keramik, kaca, logam mulia, perkakas, getah damar, hingga rempah.

Membentang sejauh lebih dari 5.000 km, Jalur Sutra darat lebih dulu terkenal, kafilah-kafilah bergerak menyusuri daratan dengan titik kunci di Asia Tengah. Di sana ada bangsa yang kini sudah musnah, Bangsa Sogdiana, hidup di sekitar Kazakhstan dan Uzbekistan, mereka bangsa pedagang utama, perantara agung, yang mengajari bangsa China bagaimana cara berdagang, sekaligus memperkenalkan agama Budha pertama kali ke China. Nasib Sogdiana berakhir setelah ditaklukkan muslim.

Karena jalur Sutra darat demikian berat dan berbahaya, muncullah alternatif kedua, yaitu Jalur Sutra Laut (maritime silk road). Di sinilah nenek moyang Nusantara bersua. Membentang lebih dari 3.000 mil laut, antara China dan India, awalnya jalur ini terputus di tanah genting Kra (Thailand dan Myanmar), kemudian ditarik ke bawah, melalui Selat Malaka.

Jika di darat ada bangsa Sogdiana, maka operator utama Jalur Sutra Laut adalah nenek moyang kita, orang nusantara. Kapal-kapal awal yang bergerak ke India dari Selat Malaka. dan rute Timur, Selat Malaka hingga China, mayoritas adalah kapal nenek moyang kita. India dan China belajar berlayar dari nenek moyang kita yang tangguh.

Orang China menganggap tetangga di selatan mereka, bangsa Kunlun (ras Austronesia, nenek moyang kita) yang bertanggung jawab membuka seluruh jalur pelayaran yang memungkinkan barang dari China mencapai India melalui laut, dan mengangkut pendeta Budha China berziarah ke India. Simak pengakuan Pendeta Budha Faxian (abad 5 M) yang transit di Yehpoti (Kalimantan) pada saat berangkat dan pulang ziarah dari India.

"[Saya] menumpang di atas kapal dagang besar, yang memuat lebih dari dua ratus jiwa, dan di belakangnya ada kapal lebih kecil mengantisipasi jika terjadi kecelakaan di laut yang menghancurkan kapal besar itu."

Kapal dagang yang mampu memuat lebih 200 orang pada abad 5 M adalah pencapaian luar biasa para pelaut atau pedagang nenek moyang kita.

Ada kesilapan paham sementara ini yang menganggap bahwa orang dari India yang berinisiatif atau memprakarsai penyebaran agama Hindu dan Budha ke nusantara. Yang lebih tepat adalah nenek moyang kita sendiri yang menjemput bola ke India dengan kapal-kapal mereka, membawa pulang keyakinan baru yang lebih kompleks untuk diterapkan di nusantara, menjadi atribut kerelijiusan yang lebih megah dibanding agama asli, menjadi tanda keagungan kerajaan-kerajaan nusantara untuk menaklukkan rakyatnya dengan ajaran yang lebih rumit.

Awalnya nenek moyang kita hanya berperan sebagai operator kapal dagang, melayani pertukaran barang produksi China maupun India (juga bangsa-bangsa yang singgah di India seperti Arab dan Persia), namun belakangan nenek moyang kita menitipkan komoditas tambahan hasil asli nusantara: itulah rempah-rempah. Lada, getah hutan, Pala, Cengkeh, Kayu manis dll. Awalnya hanya barang dagangan tambahan, lalu perlahan berkembang menjadi komoditas utama, karena bangsa-bangsa asing (China, India, Arab, hingga Eropa) menggandrunginya.

Pada puncaknya, rempah nusantara di masa itu ibarat minyak bumi bagi Timur Tengah saat ini. Komoditas utama yang mengantar nusantara ke dua tujuan berbeda, kejayaan dan kemudian kehancuran.

Politik dan dinasti-dinasti di kerjaaan nusantara jatuh dan bangun oleh interaksi mereka dengan perdagangan rempah, beras, kerajinan, dan logam mulia. Diplomasi kerajaan-kerajaan nusantara dengan imperium China adalah politik yang utama. China berkepentingan menjaga atau memastikan kestabilan komoditas masuk ke negerinya melalui pengakuan-pengakuan terhadap otoritas kerajaan nusantara. Sebaliknya nusantara membutuhkan pengakuan dari imperium China untuk melegitimasi kekuatan mereka, utamanya terhadap kerajaan saingan di nusantara. Jatuhnya Kerajaan Sriwijaya, Singosari, hingga kemudia Majapahit tak lepas dari konsekuensi yang mereka peroleh akibat konflik yang menyertai hubungan perdagangan internasional yang melewati nusantaara.

Pulau Jawa pernah berkelimpahan, pada abad 11-14 M, dan terutama ketika di bawah otoritas Majapahit, Jawa menyediakan beras untuk semua pelaut pedagang yang singgah di pelabuhan Gresik dan Tuban ditukar dengan uang perunggu China, koin emas dari Barat, kain dari India, dan keramik. Beras juga diangkut ke kepulauan Maluku untuk ditukar dengan rempah-rempah. Pelabuhan Gresik menjadi pusat perdagangan beras dan rempah. Demikian melimpahnya hingga simbol kemewahan di zaman itu, keramik dan uang perunggu bertebaran di kalangan masyarakat biasa, jauh dari Istana. Temuan-temuan keramik dan celengan, dengan uang perunggu China di dalamnya, di pelosok Jawa Timur, adalah bukti dari kelimpahan tersebut. Pelancong dari Italia, Marco Polo mencatat:

“ Jawa... melebihi kekayaan, menghasilkan semua macam bumbu, sering dikunjungi oleh pengiriman dalam jumlah besar, dan oleh pedagang yang membeli dan menjual barang-barang mahal yang menghasilkan keuntungan besar. Sesungguhnya, harta karun pulau ini begitu besar sehingga tidak pernah diceritakan”.

Namun kelimpahan dan permintaan internasional akan rempah-rempah yang besar ini perlahan menjerumuskan nusantara. Ketika Bangsa Eropa berhasil menembus hambatan pedagang Persia, mereka berdatangan sendiri ke nusantara, menggunakan teknologi kapal dan persenjataan lebih maju, memonopoli perdagangan, dan membangun koloninya. Rusaklah tata niaga lama yang sudah berusia 1500 tahun. Empat ratus tahun kemudian, Eropa semakin dominan dan bangsa-bangsa Timur tenggelam di bawah kakinya.

Namun keadaan sudah berubah lagi, setidaknya dalam 20 tahun terakhir. Jika hari ini kita di nusantara baru yang bernama Indonesia mengalami era tarik menarik kepentingan regional yang berpusat di China, maka pola itu sudah berumur 2.000 tahun. Bukan hal baru.

*pena Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar