Mengenai Saya

Selasa, 02 April 2024

MENYINGKAP JEJAK MISTERIUM AL QUR'AN YANG DI NISBATKAN UNTUK ROSULULLAH SAW




شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang haq dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kita hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.

" Syahru romadhona laladzi unzila fi hil qur'an Hudal linnasi wa bainatil minal huda Furqon" (Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda antara yang hak dan yang batil). 

Pada ayat ini sangat menarik di telaah lebih dalam untuk menunjukkan keistimewaan Ramadhan sebagai bulan dimana Al-qur'an, Al bayyinat dan Al-furqon di turunkan pertama kali. 

Dalam pemahaman, ada yang di sebut Al kitab, ada yang di sebut Al-qur'an. Ada yang di sebut al bayyinat dan ada yang di sebut Al-furqon. Nah, Al-qur'an dan Al Kitab itu berbeda. Perihal inilah juga yang akan menyingkap, apa yang di baca Nabi Muhammad SAW pertama kali Gua Hira?. 

Jika Al-Qur'an yang di baca pertama kali Nabi Muhammad SAW Di Gua Hira?. 

Pertama, mengapa Malaikat Jibril menggunakan Kata Perintah : "Iqro Kitabaka", bukan "Iqro Qur'an"?.

Kedua, sangat tidak relevan bagi Malaikat Jibril memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca Al Qur'an ( Iqro Qur'an), sedangkan Al Qur' an secara Teks belum ada?. Bahkan, al Qur'an di turunkan secara berangsur-angsur dan Di mushafkan di Masa Ustman?.

Ketiga, Perintah Membaca, tentu ada objek bacaannya, entah itu teks ataukah Konteks. Jika teks, sudah mustahil karena belum ada satupun teks tertulis sebagai Bahan Bacaan, sebagaimana maksud Point Kedua. Jika yang di perintahkan membaca adalah konteks, ada benarnya juga secara sosio-kultur, sebagaimana Gambaran Ali Syari'ati. Tetapi, frame pembahasannya belum sampai ke konteks sosio kultural?.

Keempat, Mengapa Allah menggunakan kalimat yang menimbulkan interpretasi bersayap?. Bahwa Al-qur'an di turunkan sebagai pentunjuk kepada Manusia (Hudal linnas). Sebagaimana kita ketahui diksi "Nass" tentu menunjukkan Manusia secara Umum. Padahal, perintah membaca pertama kali di berikan kepada Nabi Muhammad SAW secara Personal?. Apa susahnya bagi Allah, jika yang di maksudkan pada konteks ayat tersebut adalah Al-qur'an, sebagai teks pertama yang di perintahkan kepada Nabi Muhammad SAW Untuk membacanya?. Maksudnya Mengapa Allah tidak menggunakan saja kalimat "Hudal lil Muhammad", mengapa harus " Hudal limnas"?. toh, faktanya memang Nabi Muhammad-lah yang di maksudkan sebagai Orang pertama yang di perintahkan membaca Al-Qur'an di goa hira?

Kelima, jika diksinya adalah "nass", sebagaimana kita ketahui dalam hirarki manusia. Nabi Adam adalah Datuk moyang Manusia pertama. Bukan Nabi Muhammad SAW. Artinya pada konteks ayat tersebut, belum jelas di maksudkan kepada Siapa ataukah memang di tunjukkan kepada manusia secara Umum?. Tetapi, Riwayat menunjukkan bahwa Perintah membaca pertama kali di Goa Hira adalah Nabi Muhammad SAW?. 

Keenam. Jika, Nabi Muhammad SAW adalah Maksud Diksi "Nass" pada Q. S. Al- baqorah :185. Lantas, apa yang dia baca Nabi Muhammad SAW saat di Goa Hira?. tidak mungkin Al-Qur'an, sebab belum ada teksnya?. 

Dalam proses analisis panjang dari beberbagi sumber bacaan yang saya punyai. Saya Hampir memastikan bahwa Yang di Baca Nabi Muhammad SAW di Goa Hira, bukanlah "Al-Qur'an". Melainkan "Al-Kitab". 

Pertama, saat Rosulullah SAW, di perintahkan Membaca Oleh Malaikat Jibril : "iqro kitabaka Ya Muhammad? ". Jawaban Rosulullah bukan "saya tidak tau Membaca". Tetapi, "Ma ana Bi qori" (saya bukan pembaca). Tentu kita telah Mahfum bahwa pertanyaan tersebut di ulang sebanyak 3 kali oleh malaikat Jibril.

Lantas, Mengapa Malaikat jibril mengulang pertanyaan tersebut Sebanyak 3 kali. Rasanya, tidak mungkin malaikat Jibril Mubazzir kata-kata. Padahal, satu titik saja dalam Al-qur'an sangat penting artinya. Apalagi dengan tiga kata perintah (Fi'il amr). 

Kalangan Ulama Tafsir Isyari (Tafsir sufi) menjelaskan bahwa pengulangan Kata dari Malaikat Jibril memiliki makna bertingkat, sesuai dengan tingkatan kesadaran manusia, yaitu kesadaran sensorial, kesadaran Imaginal, kesadaran Intelektual dan kesadaran Spiritual. 

Makna iqra' pertama bisa dihubungkan dengan kesadaran pertama yang levelnya bagaimana memahami bacaan (how to read). Iqra' kedua dihubungkan dengan kesadaran kedua, yaitu kesadaran imaginal (how to learn atau think) terhadap kata demi kata dan ayat demi ayat. Iqra' ketiga dihubungkan dengan kesadaran intelektual (how to understand) terhadap ayat-ayat. Iqra' keempat dihubungkan dengan kesadaran keempat dihubungkan dengan kesadaran spiritual (how to meditate) terhadap kandungan ayat. 

Sekalipun masih ada satu Iqra' dalam ayat Al qur'an, yaitu "Iqra' wa Rabbukkal Akram" (bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah), terdapat dalam QS al-'Alaq [96]: 3), yang dapat dihubungkan dengan how to disclosure. Kesadaran terakhir ini mungkin bisa disematkan kepada para auliya' dengan mukasyafah atau penyingkapan. 

Mengenai jawaban Nabi Muhammad SAW, "Ma ana bi qari", menarik juga untuk dianalisis lebih jauh. Sebab, Sebagian ulama mempertahankan asumsi bahwa arti "ma ana bi qari" dari Nabi sebagai ungkapan jujur dari Nabi Muhammad SAW sebagai seorang yang buta huruf Alqur'an, bukan buta Huruf Al Kitab.

Secara semantik, kata qara'a yang kemudian membentuk qari dan al-quran, saat turunnya Alquran diartikan sebagai "membaca kitab suci". Nabi mengatakan "ma ana bi qari" bukan berarti Nabi tidak bisa membaca alias buta huruf, akan tetapi dimaksudkan sebagai "ma ana bi qari", yakni "aku bukan bangsa pembaca kitab suci".

Sebagaimana kita ketahui Sejak awal, Jazirah Arab tidak pernah mendapatkan kitab suci dari Allah SWT. Masyarakat pembaca kitab ada di sekitar Palestina, tempat kitab Taurat dan kitab Injil diturunkan. Membaca sesuatu selain kitab suci dalam tradisi masyarakat Arab dikenal dengan beberapa istilah, antara lain kata "tala-yatlu", digunakan pada saat membaca manuskrip (makhthuthat), membaca syair, dll.

Ide untuk mempertahankan Nabi Muhammad buta huruf terutama dimaksudkan untuk menghindarkan kesan bahwa Alquran tidak lain adalah buatan manusia. Jika Nabinya tidak bisa membaca dan menulis, maka sudah barang tentu Alqur'an dapat diterima di dalam masyarakat setempat. Jika Nabi Muhammad ternyata bisa membaca dan bisa menulis dikhawatirkan muncul tuduhan Alqur'an adalah karangan Nabi Muhammad SAW. Persis Sama dengan asumsi dalam agama Nasrani, yang mempertahankan asumsi keperawanan Maryam. karena, kapan ketahuan Maryam tidak perawan maka bisa menggugurkan ketuhanan Yesus Kristus.

Banyak bukti sejarah yang mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW bisa membaca dan menulis, antara lain dalam kitab "Ibn Hajar al-'Asqallani - Fath al-Bari, ketika menjelaskan hadis penulisan naskah Perjanjian Hudaibiyyah, Nabi terlibat langsung dalam pencoretan sejumlah kata dalam perjanjian itu.

Lagi pula, rasanya sulit diterima akal sehat jika seorang manusia super cerdas seperti Nabi Muhammad SAW tidak bisa membaca dan menulis. Bukankah sebelum menjadi nabi beliau seorang pedagang yang sering ke luar negeri, khususnya Syam dan Yaman? Bagaimana mungkin sosok figur yang bercokol di urutan pertama di antara 99 tokoh terbaik yang pernah lahir di bumi ini, sebagaimana yang ditulis Michel Hart, atau the Top 11th manusia terbaik sebagai pencipta sejarah monumental menurut Thoman Carlile yang juga menempatkan Nabi Muhammad dalam urutan teratas. Mungkin pada masa awal Nabi kurang mampu menulis dan membaca tetapi menjadi buta huruf seumur hidup, bisa menjadi sebuah penghinaan terhadap Nabi. 

Kedua, setelah di ulang sebanyak 3 kali oleh Malaikat Jibril, Jawaban Rosulullah tetap sama : " Ma Ana Bi qori (saya bukan pembaca). sampailah Malaikat Jibril Ke pertanyaan Pamungkas, yang menjadi Klu untuk Rosulullah Menjawab perintah membaca tersebut : "Iqro Bismi robbikalladzi khalaq (Bacalah dengan menyebut Nama TuhanMu yang menciptakanmu). 

Jawaban Rosulullah ini juga sekaligus menjadi jawaban, bahwa bukan Iqro yang menjadi ayat pertama Turun. Tetapi : Nama Tuhan. Silahkan cari sendiri ayat Yang menjelaskan Nama Tuhan. Itulah ayat yang pertama Turun. Sedangkan Surat yang pertama Turun adalah Al-alaq. 

Ketiga, perihal apa yang di baca Rosulullah Di Gua Hira. diatas saya menuturkan Bahwa Bukan Al-Qur'an. Karena dalam Q. S. al-Baqorah ayat 2, Allah menyatakan : "Dzalikal kitabu la royba fi hi hudal lil muttaqin". 

Pada ayat ini, Jelas interpretasinya tidak tunggal. Sebab, siapa yang bisa memastikan bahwa Kitab Yang di maksudkan adalah Al-Qur'an. Pun jika Ia adalah Al-Qur'an, mengapa Allah tidak menyatakannya dengan tegas, sebagaimana yang terdapat dalam Q. S. al-baqorah : 185, sebagai penjelasan bahwa memang yang pertama di kali di perintahkan untuk di baca adalah Al-qur'an, Atau " dzalikal kitabu" dalam Q. S. al-baqorah :2 adalah sebagaimana yang di sampaikkan Dalam Q. S Al-isro :14, yaitu " Iqro kitabak kafa binafsikal yauma alaika hasiba" (Baca kitabmu. Cukup dirimu sebagai penghitung atas amal dirimu).  

Nah, diksi Nafs selalu menujukkan kepada diri. Jika bentuknya Jamak, maka diksinya menjadi anfuss. 

Jadi, sebenarnya yang di perintahkan Malaikat Jibril adalah kitab yang terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW. Karena kitab yang terdapat pada dirinya tersebut, tidak ada lagi keraguan di dalamnya dan merupakan pentunjuk bagi orang bertaqwa. Artinya Kitab orang yang bertaqwa adalah Dirinya : Hadap diri, tau diri dan sadar diri). 

**

Perjalanan Wahyu adalah sebilah pergerakan dari Yang Maha Suci dan Yang Paling Senyap ke Wilayah Profan. Yang Maha suci dan Transendental atau Yang Paling Misterium adalah jejak awal dari semua tradisi pewahyuaan.

Hal ini mengandaikkan bahwa wahyu, termasuk Al qur'an ber - asal usul dari yang Maha Transendental - Yang Maha Misterium, Yaitu Allah. Kemudian, terhujam ke Bumi.

Perjumpaan antara langit dan Bumi merupakan jejak - jejak wahyu. Mungkin itulah juga sebabnya mengapa wahyu, meskipun ia bersifat Transendental dan sakral merupakan logos ilahi. Tetapi, ketika wahyu tersebut di wadahi oleh bahasa yang tumbuh di bumi dan bersifat profan. Maka, terjadilah dialektika.

Dalam studi agama-agama, bahkan studi al qur'an, ketika kita mencoba menyingkap makna pewahyuan, kita kenal tiga bentuk pendekatan pengungkapan makna wahyu : pertama, Terjemah. Kedua, Tafsir. Ketiga, Ta'wil. Ketiga Pendekatan ini, berikhtiar untuk menyingkap dan bagaiamana memfungsikan wahyu tidak hanya sekedar teks - teks suci. Tetapi, mencoba mengungkap yang ada di balik teks.

Pendekatan Terjemah, sesungguhnya bersifat letter late - ad hoc atau Harfiah. Metode pendekatan Terjemah, lebih kepada relasi teks to teks.

Pendekatan tafsir merupakan pendekatan yang membangun relasi antara teks dan konteks. Teks - teks wahyu yang telah mengepung hal -hal yang sakral dalam tubuh wahyu di dialogkan dengan hal-hal yang bersifat profan, sosiologis, Kultur, historis, dsb. Dialog anatara Teks dan konteks inilah yang melahirkan penafsiran.

Pendeketan Ta'wil - Ta'wil sendiri berakar kata dari awwala, yu awwilu, ta'wilan. Ta'wil merupakan suatu pendekatan yang mengungkap makna al qur'an dengan metode Inner meaning of the text - menyingkap makna terdalam sebuah teks.

Secara ilustratif bisa di andaikkan bahwa ketika seseorang ingin menggambarkan laut, tradisi terjemah adalah seseorang yang berjarak dengan laut atau dia hanya melihat laut dari pinggir, bahwa laut adalah sebuah ekosistem yang mempunyai hukum pasang surut, punya hutan bakao, punya pesisir, punya gelombang, dst.

Sementara Tafsir adalah seseorang yang mencoba menggambarkan laut, ia tidak berjarak dengan laut. Tetapi, ia berenang, bersentuhan dengan terumbu karang, menikmati gelombang,  bertautan dengan padang lamun, dst.

Sedangkan tradisi Ta'wil adalah seseorang yang menggambarkan laut dengan cara memenuhi semua langkah tafsir dan sekaligus Menyelam ke dasar laut, serta menyaksikan sesuatu yang sangat indah.

Di titik inilah sebenarnya ketika sebuah teks di dalam Al Qur'an di dekati dengan tiga pendekatan ini. maka akan melahirkan pemaknaan yang berbeda. Sebuah teks yang di dekati dengan metode terjemah, akan berbeda Pemaknaannya dengan pendekatan tafsir dan selanjutnya juga dengan pendekatan Ta'wil.

Menurut hemat saya, ketika sebuah teks hadir di muka bumi ini, proses transmisi dari yang abadi - langit menuju bumi niscaya di perjumpakan dalam pemahaman yang utuh.

Misalnya, Satu ayat yang menyebutkan "inna awwala baiti wudhia linnasi lalladzi bi baktan mubaroka". Ketika ayat ini di terjemahkan ke dalam bahasa teks, maka bisa di maknai bahwa inilah awal muasal baitullah di seluruh muka bumi ini, yang menjadi kiblat seluruh manusia, yaitu mekkah. Secara harfiah, tidak ada masalah. Tetapi, ketika ayat ini di letakkan dalam pendekatan tafsir, maka tentu kita akan bertanya, yang manakah yang di sebut baitullah : apakah baitullah identik dengan Ka'bah atau tidak?. 

Hal ini menjadi bahan perdebatan historis. Sebab, ternyata ayat ini di turunkan pertama kali oleh Allah kepada Nabi Adam. Sementara secara Historis, ka'bah belum ada, yang kita ketahui bersama Ka'bah di bangun oleh Nabi Ibrahim.

Lantas apa perbedaan antara Ka'bah dan baitullah?. Di titik inilah para mufassir mempunyai perbedaan pendapat tentang apakah Ka'bah dan Baitullah memiliki persamaan ataukah dalam Pendekatan semiotika : ka'bah adalah petanda dan baitullah adalah penanda.

Pendekatan ta'wil menggambarkan bahwa Baitullah adalah sesuatu yang bersifat spiritual dan Ka'bah adalah sesuatu yang bersifat materil. Baitullah adalah medan cahaya yang tak terpermaknai yang berhubungan dengan Baitul Atik atau baitul makmur yang berada pada langit ke tujuh. Sementara Ka'bah adalah Proyeksi materilnya yang berada di mekkah.

Dalam sejarah Al qur'an, di temukan satu kenyataan bahwa baitullah merupakan jejak ilahi dari langit sebagai Petanda yang bersifat spiritual dan Nabi Adam memberi tanda dalam bentuk tongkat sebagai proyeksi materilnya. Dalam sejarahnya, semua Nabi di berikan perintah untuk memberi penanda tentang jejak spiritualnya.

Tibalah saatnya ketika Nabi ibrahim di berikan perintah untuk membangun jejak spiritualnya - Baitullah. Sementara Nabi Ibrahim adalah seseorang yang berasal dari bangsa semitik, salah satu suku dari bangsa babilonia, yang memiliki kemampuan aristektur dalam membangun sesuatu yang di sebut - Ka'bun - suatu bangunan yang berbentuk kubus, yang hari ini kita kenal dengan Kubus.

Di titik inilah, mengapa ta'wil di mungkinkan untuk hadir sehingga kita punya Pemahaman yang lebih komperhensif. Memang di dalam Al qur'an Allah menegaskan, "wa ma ya'lamu ta'wila hu illallahu war razihu na fil ilmi". Sebahagian mufassir mengatakan, bahwa yang dapat menyingkap makna ta'wil - makna terdalam dari Al Qur'an hanya Allah. Tetapi, kaum ta'wil mengatakan tidak. Sebab, ada kata di dalam Al qur'an yang di tekankan oleh Allah sebagai kaum-kaum yang di beri anugerah oleh Allah, yaitu Kaum Ar razihuna fil ilmi atau dalam Filsafat mistisisme di sebut orang-orang yang menempuh jalan sunyi - ilmu Khuduri.

Ibnu arabi seorang teosof ketika ia mencoba mengenalkan dan mengapresiasi ta'wil, ia mengatakan, ta'wil hanya bisa terbangun melalui teks. Tidak ada ta'wil di luar teks". Bagi ibnu arabi, teks - teks suci Al qur'an merupakan wahyu aktual atau Kitabullah, sementara Ta'wil adalah pengungkapan Wahyu transemdental atau Qolamullah.

Artinya, Mempertemukan wahyu aktual - Kitabullah dan Wahyu transendental - qolamullah adalah satu khazanah pemikiran islam masa lampau yang menjulang tinggi. Ihwal itulah, untuk mengembalikan kejayaan islam di masa depan maka kita harus mengembalikan Tradisi Pemikiran islam yang mempertautkan kedua metode tersebut. 


***


Apakah Nabi Muhammad SAW, menangkap Pesan atau Risalah pertama kitab suci (Al-Qur'an) itu dalam bentuk Teks-Teks Ilahia?. Ataukah Nabi Muhammad SAW, menangkap pesan pertama Teks-teks ilahia tersebut dalam bentuk huruf-huruf dan suara, Sebagaimana yang kita Mafhum. bahkan di nukil dalam riwayat-riwayat, bahwa Nabi Muhammad SAW, pertama kali di minta untuk membaca Teks-Teks Ilahi di goa Hira, melalui perantara Malaikat Jibril?.

Sebagai Catatan, bahwa Teks-Teks Ilahi (Tekseridei), yang dalam Tradisi Studi Al-Qur'an, disebut sebagai Lauwhful Mahfudz (Elemen-elemen Cahaya).

Jika pesan atau Risalah pertama tersebut, ditangkap (dibaca) oleh Nabi Muhammad SAW, dalam bentuk Teks-Teks Ilahi yang masuk kedalam jantung inti kesadaran Nabi Muhammad SAW. Maka, menjadi logis, jika Al-Qur'an menubuh dalam ruang sejarah. Mengapa?, karena Saat Malaikat Jibril memerintahkan Nabi Muhammad SAW Membaca Pesan Pertama tersebut, Al-Qur'an dalam bentuk Huruf dan Kitab, belum ada. Barulah, Al-Qur'an menjadi huruf-huruf, bahkan menjadi Mushaf (di bukukan), jauh hari setelah Rosulullah SAW, di perintahkan Malaikat Jibril untuk membaca (Iqro). 

Maka, relevanlah. Jika Rosulullah SAW, saat di perintahkan membaca Oleh Malaikat Jibril. Beliau Menjawab ; Maa Ana Bi Qori (saya bukan bangsa pembaca). Iya, sebab Al-Qur'an belum ada dalam bentuk Huruf, kalimat dan Kitab. 

Lantas, Yang Rosulullah SAW, Baca saat Di perintahkan Oleh Malaikat Jibril, itu apa, jika Al-Qur'an dalam bentuk huruf-huruf, nanti di masa Para Sahabat baru di Mushafkan?. 

Nah, di titik itulah Proses Ontologis Al-Qur'an atau Rosulullah SAW, dalam menangkap Pesan (Risalah) pertama tersebut, yang dalam Istilah Filasafat Mistik Islam, disebut sebagai Logos Ilahi. Logos Ilahi ini bermuasal atau bersumber dari "kesunyian yang paling Mutlak atau Sunyi, senyap yang Mutlak".

Dalam Tradisi Spiritualisme Islam,  "sunyi, senyap yang paling mutlak", disebut sebagai,  "Laa harfin waa laa shouf (Sesuatu yang tidak berbentuk huruf-huruf dan sesuatu yang tidak berbentuk suara)".

Artinya, Nabi Muhammad SAW menangkap Pesan Teks-Teks Ilahia (logos ilahi) pertama, tidak dalam bentuk Huruf-Huruf dan Suara. melainkan, Nabi Muhamad SAW, Menangkap Pesan pertama, dalam bentuk Bunyi.

Bunyi ini merupakan sebuah proses ontologis dari manisfestasi kedua setelah sunyi senyap yang paling mutlak. Maksudnya, Rosulullah Menangkap Logos Ilahia dalam bentuk bunyi.

Proses transmisi logos ilahi dari kesunyian yang paling Mutlak menjadi Bunyi adalah sebuah transmisi fase paling awal. dimana Rosulullah SAW menangkap bunyi-bunyi yang transendental, bunyi yang bersifat ilahia, bunyi yang bersifat Infinitum. 

Proses-Proses ini, memang hanya bisa ditangkap oleh orang-orang Terpilih. Dalam tradisi islam, orang-orang terpilih itu disebut sebagai Rosul atau penyampai risalah (Pesan). 

Setelah Logos Ilahi DiTransmisi dari Sunyi, senyap yang paling Mutlak. kemudian, bertransmisi menjadi bunyi yang tidak berbentuk huruf-huruf dan tidak Berbentuk suara. Lalu, berTransmisi menjadi teks-Teks Ilahi (Tekseredei) atau elemen-elemen Cahaya). 

Elemen-elemen Cahaya ini atau Lauhwuful Mahfudz (Tekseridei) ini, Masuk kedalam jantung kesadaran (Diri) Nabi Muhammad SAW. Lalu, Elemen-Elemen Cahaya (Lawuhful Mahfudz atau Tekseridei) tersebut, dilisankan Oleh Rosulullah SAW menjadi ayat-ayat, Surah-Surah dan menjadi Kitab Al-Qur'an, sampai pada Proses pembukuan Al-Qur'an. 

Inilah asumsi dasarnya, Mengapa setiap perkataan, perbuatan dan Sikap Rosulullah SAW adalah " Illa wahyu yu ha" (Wahyu yang di wahyukan). Karena, Nilai-Nilai Logos Ilahi senantiasa bertransmisi Sampai Pada bentuk Huruf-huruf, suara dan Mushaf. 

Karena itulah, sependek pengetahuan saya dalam diskursus ini, Saat Jibril Meyuruh Rosulullah SAW, membaca Pesan pertama dari Maha Kesunyiaan, di goa hira. Bukanlah perintah membaca Teks Book. Melainkan perintah menangkap atau memahami Teks Ilahia (logos Ilahi) dalam bentuk bunyi. Bahkan, kemungkinan Logisnya, jibril sekalipun, tidak Tahu menahu soal Bunyi yang bersifat Transendental tersebut. sebab, Malaikat Jibril tidak sanggup menangkap, Pesan atau Risalah dalam bentuk Teks Ilahia (pesan Bunyi yang transendental, bunyi yang sembunyi). Inilah Juga asumsi yang menegaskan bahwa, berbeda antara Allah Berfirman dan Firman Allah?. 

Maha Kesunyiaan dan Maha Kesenyapan Yang paling Mutlak. memilih Manusia-Manusia Pilihan untuk menangkap pesan Infinitum, pesan yang transendental tersebut.

Nabi Muhammad SAW adalah salah satu Manusia yang di Pilih untuk menagkap Bunyi transendental tersebut, yang sumbernya dari Logos Ilahi. Sedangkan, Logos ilahi sendiri bersumber dari Maha Sunyi, senyap yang Paling Mutlak (Allah). 

Mengapa Malaikat Jibril tidak Sanggup?. Akan terjawab Di peristiwa Mi'raj Nabi Muhammad SAW?. (Insya Allah, Nanti Saya Tulis).

Semoga di Pahami, memang agak berat. 

"Pasang" sendiri, memiliki padanan arti dengan Risalah. Hal Ini mengandaikkan suatu Pesan. biasanya pesan yang dimaksud adalah sesuatu yang berbasis transendental, yang Mysterium, yang Ilahi, yang nominous.

Pasang dalam Tradisi Mangkasara, adalah sebuah karya seni yang menurutku bukan karya seni biasa. sebab, pasang ini mencoba manautkan antara pesan-pesan yang bersifat transendental dengan peristiwa bumi, melalui media alat-alat musik tradisional, seperti gendang, Kecapi, gong, dsb.

karena itu, kita mesti menelusuri Pasang secara Ontologis atau makna hakikinya .

Berbeda dengan pasang yang di tangkap oleh To acca atau kaum arifin atau To panrita, ketika mereka menangkap Pasang dalam bentuk logos ilahi yang bersumber dari Sunyi, senyap yang mutlak. Lalu, bertransmisi ke bunyi dan bunyi ke Teks-teks Ilahia. Kemudian, ditangkap oleh To Acca atau To panrita (Kaum arifin), setaraf Wali. 

Ketika mereka hendak menuangkan Teks-teks Ilahi kedalam ruang-ruang sejarah, ia tidak menuangkan dalam bentuk Tekstum Ilahi seperti kitab-Kitab suci. Karena Tekstum Ilahi, telah berakhir, setelah Al-Qur'an di lisankan oleh Rosulullah SAW. 

Akan tetapi, Bunyi Transendental masih terus bertransmisi sampai detik ini. Maka, para Kaum arifin menuangkannya dalam bentuk Melodis-melodis bunyi dalam karya-karya seni bugis makassar seperti gendang, gong, kecapi, dsb.

Tidak hanya, Di Bugis dan Makassar. Secara Umum, bisa kita temukan dalam banyak pengalaman Spiritual para Waliyullah, yang menagkap Logos Ilahi yang bertransmisi menjadi Bunyi. Bunyi yang bertranmisi menjadi Elemen-elemen Cahaya. Dan, elemen-elemen cahaya yang meruang dalam Laku, sikap dan tindakan. 
 
Secara Khusus, Bunyi-bunyi yang terlahir dari gendang, Gong, atau alat-alat gesek, yang di tangkap oleh To Acca atau To Panrita, bukanlah bunyi-bunyi alat biasa yang profan. Tetapi, merupakan aktualisasi logos ilahi dimuka bumi. Secara Ontologis, bunyi-bunyi itu adalah wahyu Non Teks.


* Coretan Pena Pinggiran
* Jalan sunyi
* Rst
* Nalar Pinggiran






Tidak ada komentar:

Posting Komentar