Mengenai Saya

Sabtu, 23 Agustus 2025

SIAPA BILANG HIDUP DIREKSI BUMN ITU BERAT : GAJI MEREKA BOMBASTIS

Kalau ada orang bilang hidup direksi BUMN itu berat, saya kira orang itu asal bicara. Berat dari mana?.

Duduk di kursi empuk, tanda tangan beberapa berkas, senyum sedikit ke wartawan, miliaran rupiah pun mampir tiap bulan ke rekening. 

Kalau pun perusahaannya tekor, toh mereka tinggal berbondong-bondong ke Senayan, memelas di depan DPR, lalu minta injeksi dari APBN. 

Seakan-akan APBN itu semacam pohon uang yang tumbuh di belakang rumah. Padahal, bukankah APBN itu uang rakyat juga? 

Uang dari keringat kita semua, yang tiap hari, dari fajar, ketemu lohor hingga isya, diperas lewat PPN dari belanja ini-itu, beli garam, beli mie instan, beli, beli pulsa, sampai beli popok. 

Dengan gaji sebesar itu, ada juga direksi yang merasa masih perlu istri muda. entah satu, dua, bahkan tiga, seolah-olah gaji miliaran itu memang ditakar untuk menambah jumlah istri. 

Yang istrinya cuma satu pun tidak mau kalah gaya. Sekali keluar rumah, sepuluh pengawal ikut beriringan, mirip rombongan pejabat zaman kerajaan. 

Kalau nyalon bukan di pinggir jalan, melainkan langsung terbang ke Singapura, menikur-pedikur sambil menyeruput kopi latte. 

Begitu batuk pilek sedikit, bukan apotek kampung yang dituju, melainkan klinik spesialis di Orchard Road. Hidup seperti itu, disebut berat?. Tai kucing. 

Hidup direksi memang tak terlampau berat. Yang berat itu justru hidup rakyat, yang saban hari jadi ATM berjalan, demi menopang kursi empuk orang-orang hebat itu.

Ambil contoh Bank Mandiri. Direktur utamanya digaji Rp5,9 miliar per bulan. Itu artinya dalam setahun ia bisa membeli satu apartemen mewah di Jakarta setiap bulan dan masih ada kembaliannya. 

Anggota direksi lainnya, yang kerjanya juga tak jauh beda, rapat, tanda tangan, senyum mendapat Rp5 miliar per bulan. 

Bayangkan, dengan uang segitu, dia bisa menghidupi satu RT penuh, lengkap dengan iuran keamanan, listrik, dan biaya arisan ibu-ibu, tanpa perlu repot ikut ronda. 

Bandingkan dengan rakyat jelata yang tiap hari harus merapal doa supaya saldo e-wallet tidak tinggal lima ribu rupiah sebelum akhir bulan.

Di BRI, ceritanya tak kalah lucu. Direktur utamanya mengantongi Rp5,07 miliar per bulan, sementara rakyat antre pinjaman KUR dua puluh juta dengan bunga yang katanya rendah. Rendah menurut siapa? 

Kalau dibandingkan dengan bunga pinjaman rentenir, ya rendah. Tapi dibandingkan dengan bunga deposito mereka sendiri, tetap saja terasa menohok. 

Rakyat ini seperti disuruh memikul gajah di pundak, sementara direksinya cukup goyang-goyang kaki di kursi direksi sambil meneguk kopi Brazil.

Telkom Indonesia juga menarik. Direktur utama digaji Rp4,23 miliar per bulan. Padahal, berapa banyak pelanggan Telkomsel yang tiap bulan mengeluh kuota internetnya lenyap seperti ditelan jin?. Setiap kali sinyal hilang, yang menanggung sakit kepala tentu pelanggan. Tapi direksinya? 

Tetap sehat walafiat, gaji miliaran lancar, rapat pun seringnya di hotel bintang lima. Kalau pun jaringan tersendat, toh pelanggan tetap bayar. 

Karena itulah bisnis BUMN ini kadang terasa lebih mirip rumah kos-kosan: meski bocor, listrik sering padam, dan pintu tak bisa dikunci, iuran bulanan tak pernah lupa ditagih.

Masih ada lagi, Pertamina. Direktur utamanya bergaji Rp3,2 miliar per bulan. Sedangkan rakyat, tiap kali harga BBM naik, wajahnya langsung pucat pasi. 

Direksinya mungkin sedang duduk di ruang rapat dengan pendingin ruangan 16 derajat, membicarakan strategi bisnis. Rakyat di luar sana? 

Mengantri di SPBU, menunggu bensin subsidi yang kuotanya makin lama makin sedikit. Ironinya, kalau Pertamina tekor, direksi bukannya ikut tekor. 

Mereka datang ke DPR, minta disuntik APBN. Dan DPR, demi menjaga kelangsungan bisnis, mengetuk palu setuju, meski berat hati. 

Maka uang rakyat pun berpindah lagi: dari warung sayur, dari ojol, dari ibu-ibu yang belanja popok, semua mengalir ke rekening BUMN yang katanya milik negara itu.

Saya jadi ingat Garuda Indonesia. Direktur utamanya bergaji Rp1,5 miliar per bulan. Ini maskapai yang saban tahun lebih sering menjadi bahan headline “rugi triliunan” ketimbang “untung berlipat”. 

Kalau pun ada yang terbang tinggi, itu justru gaji direksinya, bukan kinerja keuangannya. Bayangkan, satu kursi direksi Garuda bisa memberi makan ratusan awak kabin kalau dibagi rata.

Tetapi alih-alih bagi rata, rakyat diminta maklum. Kalau Garuda merugi, katanya, demi pelayanan rakyat. 

Melayani rakyat ternyata hanya kalimat indah di media. Yang dilayani sesungguhnya adalah rekening pribadi para bos besar itu.

Lalu ada juga PGN, dengan direktur utamanya bergaji Rp2,5 miliar per bulan. Entah gas apa yang mereka hirup sehingga bisa segar terus walau harga gas industri dan rumah tangga bikin banyak orang sesak nafas. 

Dan jangan lupa Jasa Marga: direktur utamanya menerima Rp850 juta sebulan. Bayangkan, jalan tol yang kita bayar setiap kali lewat, yang katanya demi membiayai pembangunan, ternyata juga menopang gaji miliaran rupiah di ruang direksi. 

Kalau saja, tiap kali bayar tol kita dapat bonus lagu Tabola Bale atau senam gratis Tobelo, mungkin rakyat masih bisa tersenyum. Tapi yang ada hanya plang “Selamat Jalan” sambil saldo e-toll terus tergerus.

Yang membuat saya heran, kalau perusahaan ini tekor, direksinya tidak pernah tekor. Kalau pun harus dipotong gajinya, potongannya biasanya cuma seperti orang kehilangan kancing baju. 

Sementara rakyat, kalau penghasilannya dipotong seribu rupiah saja, karena pajak, dampaknya bisa langsung terasa: harus menunda beli lauk, harus kurangi jatah susu anak. 

Hidup rakyat ini seperti tali yang kian ditarik-tarik, sementara hidup direksi seperti kasur spring bed, selalu empuk walau diguncang krisis.

Kita bisa bilang bahwa gaji besar itu wajar, karena mereka memimpin perusahaan raksasa. Tapi, bukankah kepemimpinan itu mestinya diukur dari hasil? 

Kalau kerugian ditutupi APBN, kalau risiko selalu dipindahkan ke rakyat, lalu apa gunanya direksi bergaji miliaran? 

Apa bedanya dengan juru kunci gudang beras yang pekerjaannya hanya memastikan pintu gudang tidak terbuka? Bedanya, juru kunci dibayar seadanya, sementara direksi dibayar seperti raja kecil.

APBN, pada akhirnya, menjadi semacam dompet cadangan bagi para direksi BUMN. Mereka boleh gagal, tapi tidak pernah jatuh. Mereka boleh rugi, tapi tidak pernah lapar. 

Dan semua itu dibayar oleh rakyat yang sejak fajar hingga isya selalu rajin setor PPN - entah dari beli garam, mie instan, pulsa, hingga bensin. Kita ini ibarat sapi perah yang terus diperah susunya. 

Bedanya, sapi perah setelah diperah masih diberi makan rumput. Rakyat? Setelah diperah pajak, masih harus keluar uang untuk bayar tol, listrik, BBM, pulsa, dan gas. Hamcur betul. 

Jadi kalau ada yang bilang hidup direksi BUMN itu berat, saya sebenarnya mau memaki - maki orang itu. Berat itu kalau kita harus bayar cicilan rumah sambil harga beras naik. 

Berat itu kalau kita harus antre minyak goreng, sementara direksi rapat soal laba rugi di hotel bintang lima. 

Berat itu kalau gaji sebulan tak cukup membeli kebutuhan Pokok sehari - hari.

Hidup direksi? Ah, itu bukan berat. 

Mereka justru hidupnya yang terlalu ringan, saking ringannya sampai bisa terbang. Dan ketika mereka terbang, yang jadi bahan bakarnya adalah APBN, yaitu Uang Rakyat.


**

Di Australia, Pengawai Kecil, mungkin hanya berjarak 10, hingga Dua kali lipat dari gaji bos mereka. Angka tersebut besar, tetapi pekerja kecil masih bisa hidup layak : masih bisa bayar sewa, masih bisa Cicil kendaraan, masih bisa menyekolahkan anak, bahkan berlibur sederhana.

Struktur gaji memang menegaskan Hierarki, namun tidak merampas martabat orang kecil. 

Di Indonesia, jurang perbedaan Gaji bos dan Pekerja kecil bisa ratusan kali lipat. Pekerja kecil menerima Rp4 juta per bulan, sementara direksi perusahaan besar bisa mengantongi Rp1-5 Milyar per bulan. Mereka bekerja di gedung yang sama. Tetapi, satu bergelut dengan cicilan motor, satu sibuk menambah Istri. 

Disparitas ini bukan sekedar angka : ia adalah potret distribusi kesejahteraan yang timpang. Di negara - negara Makmur, meski gaji CEO mereka 50 kali lipat dari Gaji karyawannya, sistem pajak progresif dan jaringan sosial membuat pekerja kecil tetap dapat bertahan. 

Di indonesia, kenaikan Listrik atau Harga sembako bisa lansung menjerat jutaan rakyat kecil. Sementara eksekutif nyaris tak terganggu. 

Ketidakadilan ini bukan takdir : perusahaan yang memilih memberi bonus kepada segelintir orang, pemerintah yang menetapkan upah minimum jauh dari biaya hidup, serikat pekerja yang lembek dan lemah, adalah sistem yang kita buat sendiri. 

Kesenjangan sosial itu salah satunya tercipta dari gap dalam sistem penggajian. Makanya, Rakyat sangat terluka setiap hari, jika ada berita bagi - bagi jabatan untuk Timses di BUMN, rangkap jabatan, Kenaikan gaji dan tunjangan di DEPER.

Padahal Al Qur'an telah mengingatkan,.."agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang - orang kaya saja diantara kalian", (Q.S. Al Hasyr : 7). 

Yah, Sila kelima dari Pancasila memang mudah di tuliskan dan di hafalkan. Tetapi, butuh komitmen, keberanian dan keluhuran seorang pemimpin untuk mengejawantahkannya.


23/08/2025



Tidak ada komentar:

Posting Komentar