Mengenai Saya

Rabu, 14 Mei 2025

MANTAN

Apakah seorang yang (tadinya) ber-Tuhan, dan berubah menjadi Atheis, maka otomatis dia akan mengunakan istilah "mantan" Tuhan bagi diri nya?.

Kita, orang-orang Indonesia, umumnya suka sekali mengunakan topeng untuk terlihat "manusiawi". misalnya, mengganti istilah pelacur, menjadi "WTS" atau penjara dengan "Lembaga Pemasyarakatan", juga perebut suami orang dengan "pelakor" dan contoh-contoh lainnya.

Suka atau tidak suka, istilah-istilah "penghalusan" seperti contoh diatas itu hampir tidak memiliki korelasi positif dengan "perubahan" prilaku dari yang bersangkutan maupun dari sisi fungsional lembaga-lembaga termaksud diatas.

Tapi baik lah, kita terima saja istilah-istilah "penghalusan" tersebut diatas. Paling tidak, anggap saja sebagai kosa kata (baru) yang di harapkan akan berdampak positif bagi semua pihak. 

Lantas mengapa harus berbicara tentang "mantan" itu?. 

Jika kita mau mengembalikan substansi dari istilah "mantan" itu sesuai faktanya, maka kita harus rela menerima satu fakta bahwa "mantan" itu adalah "bekas". 

Lebih ekstrem lagi, dan itu bisa juga dipahami sebagai "limbah" yang harus dibuang, sebab tidak berguna lagi bagi kita. Semakin cepat disingkirkan, maka semakin aman kita dari bau busuknya yang menyengat.

Contoh kongkritnya, misalnya WC: keberadaannya kita butuhkan lebih pada fungsinya (fungsional). Mengapa, karena itu kita hanya mengingatnya saat-saat tertentu saja (agar) bekas atau limbah busuk yang dihasilkan oleh metabolisme tubuh kita punya tempat pembuangan akhirnya. 

So, harusnya kita pun tidak keberatan jika menggunakan istilah "mantan" untuk kotoran busuk yang keluar dari tubuh kita itu. Anda boleh setuju atau tidak setuju dengan penggambaran saya di atas. Sebab, ini hanya refleksi dari orang yang sedang gundah Gulana saja, hehe...

Maka bagi saya, tidak akan pernah ada istilah "mantan" atau "bekas" atau "limbah" itu, jika hanya karena faktor keterpisahan fisik belaka. Bahkan legalitas formal pun tidak mampu membatasinya. Artinya (sejatinya) interaksi itu tetap terhubung. Tapi, dalam dimensi yang berbeda, bersifat spritual (spritual conection): jiwa dengan jiwa tanpa terhalang hukum-hukum fisik, ruang, waktu dan jarak. 

Salah satu ciri-cirinya adalah kerinduan. Ini tentang rasa yang penuh misteri dan membingungkan. Datang dan pergi begitu saja sesuka-sukanya. Tidak bisa di atur atau dikendalikan. Tidak bisa diajak kompromi, ia keras kepala, seumpama dendam yang harus di bayar tuntas. 

Ada satu ciri lain lagi yang sangat menakjubkan dari sebuah interaksi spritual itu ketika jiwa memunculkan kembali memori-memori khusus terkait seseorang yang dihubungkan dengan perubahan perilaku diri kita: 

Dari prilaku yang tadinya liar dan tidak terkendali menjadi pribadi yang jinak, yang mulai menyadari tentang kehormatan dan kemuliaan, yang sebelumnya tidak pernah kita fokuskan sebelum mengenal dia, dan contoh-contoh terpuji lainnya. 

Semua hal-hal indah itu (sekalipun) kita sudah tidak lagi tersambung secara fisik, tetap saja effek positifnya itu masih meliputi kita. 

Kita pun akhirnya menyadari sepenuhnya apa yang dia suka dan tidak suka kita lakukan (saat bersamanya) ternyata hal itu memang terkait dengan apa yang Tuhan sukai dan murkai. 

Itulah esensi utama dari interaksi spritual itu. 

Jika hal-hal itu tidak ada, maka keterpisahan yang terjadi itu memang tidak lebih dari interaksi transaksional belaka. Artinya disana yang sesungguhnya terjadi tidak lebih dari tukar menukar kepentingan antara satu jenis syahwat (ego) dengan jenis syahwat (ego) lainnya yang ditentukan berdasarkan nilai tukar nominal tertentu.

Untuk jenis seperti itu maka saya sangat setuju jika istilah "mantan" atau "bekas" atau bahkan "limbah busuk" memang pas digunakan.

Jangan pernah menyebutku mantan. Sebab, (whatever you are), kamu tetap sesuatu yang indah untuk ku hormati dan muliakan. 


Makassar, 18 / 05 / 2018


*Pena Koesam

*Rst



Tidak ada komentar:

Posting Komentar