PUSTAKA HAYAT - NALAR PINGGIRAN
Pada Cara Bernalar Di pinggiran, Terletak Kemanusiaan yang adil dan beradab
Kamis, 18 September 2025
Jumat, 05 September 2025
-REFORMASI POLITIK : RESET -
MASALAH utama di Indonesia ini adalah politik. Apalagi sejak terjadi konsolidasi politik secara gila-gilaan Di Era Jokowi. Di mana eksekutif menggalang dukungan dengan dua pilihan: tidak menurut pada Kekuasaan, kena kasus hukum, menurut akan mendapatkan kue kekuasaan.
Dua alternatif pilihan yang membuat seorang politisi atau sebuah parpol tak bisa berkata tidak untuk masuk dalam koalisi. Apalagi, (hampir) semua politikus dan parpol berwatak dan berperilaku Culas dan korup.
Akibatnya Politik di Indonesia tidak lagi ideologis, tapi pragmatis. Anda mau pilih PDIP, Gerindra, PKS, PKB atau parpol lainnya. ya, sama saja. Perilaku dan watak mereka semua sama.
Faktanya, dalam situasi seperti sekarang ini, mana yang Oposisi? PDIP kah? Jelas bukan.
ketika Hasto Kristiyanto mendapat amnesti, lalu menjabat lagi sebagai Sekjen PDIP, padahal perbuatan korupnya begitu jelas terbukti.
Anda mau bicara reformasi Polri, reformasi TNI, reformasi kementerian/lembaga lainnya akan percuma. sepanjang politiknya masih seperti ini. Karena di tingkatan paling atas, penentuan ditentukan secara politis.
Semua kebijakan publik, baik itu pembuatan UU, penyusunan anggaran, penyusunan kebijakan, Diputuskan di ranah politik. Celakanya, di Indonesia, ranah politiknya dikangkangi oligarki atau elit Partai Politik.
Ide melakukan konsolidasi politik secara massal seperti sekarang ini adalah warisan terburuk dari Jokowi.
Lalu, apa yang harus dibenahi dalam situasi seperti sekarang ini?. setidaknya, untuk gerakan ke depan, ada beberal hal yang bisa menjadi tuntutan. Entah itu melalui gerakan jalanan atau meminta MK untuk judicial review.
Pertama, pembatasan masa jabatan anggota DPR, maksimal dua periode. banyak dari anggota DPR yang sudah lebih dari tiga-empat periode. Mereka menang melalui sebuah pertarungan politik dengan money politic yang berasal dari privilege jabatan mereka.
Lalu, mereka menjadi hantu gentayangan yang menguasai parlemen. Membuat persekongkolan di sana, mengatur penganggaran, mengatur kesepakatan-kesepakatan busuk dengan pemerintah terkait pembuatan regulasi (simak bagaimana sejumlah UU bisa dengan cepat diputuskan).
Pembatasan ini Juga bisa menghilangkan statement atau perilaku jumawa dari mereka. Simak saja pernyataan orang-orang seperti Ahmad Sahroni. Dia terlena enaknya kekuasaan sehingga gampang saja menolol-nololkan masyarakat atau menyebut pelajar yang ikut demo sebagai brengsek. Atau pernyataan nir-sensitif Nafa Urbach. Atau guyonan tak lucu Eko Patrio yang menganggap gaji Rp 3 juta per hari tak cukup.
kedua, pembatasan masa jabatan Ketua umum Partai Politik. entitas parpol itu harus dibuat terang. Terutama soal ketua umum. Parpol ini apakah sebuah institusi negara yang bisa diaudit publik atau sebuah perusahaan swasta yang tak bisa dimasuki pihak luar. Simak saja bagaimana Megawati bercokol begitu lama di PDIP, Cak Imin di PKB, Surya Paloh di Nasdem, Prabowo Subianto di Gerindra, atau dinasti SBY di Partai Demokrat.
Mereka mengangkangi parpol seperti seolah milik keluarga sendiri. Ketika hendak diaudit atau dikritisi dari luar, mereka akan bilang bahwa ini urusan internal parpol, tapi di satu sisi mereka mendapat dana banpol dari APBN dan mempunyai kewenangan luar biasa untuk menentukan kebijakan politik di negeri ini. Bahkan, boleh dibilang, anggota DPR itu sebenarnya wakil parpol. Bukan wakil masyarakat.
Ketiga, pangkas ongkos demokrasi melalui digitalisasi secara Penuh. India sudah melakukannya melalui E-voting di jutaan TPS. Hasilnya lebih murah dan efisien. Mengapa kita masih terjebak Logistik kertas yang boros, lamban dan rawan manipulasi. Bayangkan pemilu digital : aman, Transparan, bisa di audit publik secara real time. Ongkos murah, partisipasi meningkat.
Dua dekade lebih Reformasi berjalan. Tetapi, demokrasi kita semakin mahal dan semakin brutal. Pemilu 2024 menelan Rp 1,3 T APBN. Ongkos kandidat bisa Milyaran bahkan Triliyunan. Akibatnya, hanya yang punya uang atau di topang Oligarki yang bisa ikut gelanggang.
Rakyat?. cuman menjadi penonton yang harus membayar tagihan lewat harga sembako, rente proyek dan izin tambang. Apess betul jadi rakyat di indonesia.
Keempat, demokrasi jangan hanya pada lima tahunan. Kita butuh demokrasi sehari - hari. Bentuklah citizen Assmebly di tingkat Kab/kota : Forum tetap berisi warga terpilih secara acak, yang ikut mengawasi anggaran proyek , hingga arah kebijakan. Dengan begitu, rakyat bukan hanya sekadar konsituen. Tetapi, ikut mengawasi dan penentu.
Kelima, hentikan dominasi oligarki melalui aturan pendanaan politik yang keras dan transparan. Setiap sumbangan besar, wajib di umumkan secara terbuka. Ada Platform belanja kampanye, ada audit independen. Jika ada kandidat, melampaui batas, lansung di diskualifikasi. Tegas dan final.
Keenam, buka pintu bagi anak muda, aktivis dan Profesional. Negara bisa menyiapkan talent pol nasional - jalur cepat untuk putra putri terbaik bangsa. Tiket politiknya murah, syaratnya jelas : integritas dan rekam jejak pelayanan publik.
Ketujuah, Hukum berat pelaku Korupsi melalui UU Perampasan aset. Kalau perlu, Gantung di monas.
Kedelapan, 17 + 8. Tambah saja sendiri.
NB : TETAP BERISIK.
*Pustaka Hayata
*Rst
MEMBONGKAR ISI PIDATO PRESIDEN PRABOWO, SETELAH HURU HARA-
Prabowo, "Saya Di Dampingi Presiden RI ke 5, Ketua DPR, Ketua DPD dan Para Ketua Umum Partai".
Secara semiotik, kalimat ini adalah pameran barisan elit. Hermeneutisnya, kehadiran mereka di gunakan untuk menampilkan kekuatan simbolik, seakan seluruh insitusi negara berdiri di belakang presiden.
Tetapi, Publik yang menyaksikan, justru menangkap ironi : rakyat berhadapan dengan gas air mata, tembakan dan pentungan, sementara para pemimpin tampil dalam formasi aman, jauh dari resiko.
Yang di sebut kebersamaan di sini adalah kebersamaan antara para elit, bukan kebersamaan dengan rakyat. Persatuan di tampilkan di panggung, tetapi jarak dengan jalanan tetap menganga.
Prabowo, "Negara menghormati dan terbuka terhadap kebebasan berpendapat dan aspirasi yang Murni dari Masyarakat".
Secara semiotik, kata "murni" bekerja sebagai filter. Aspirasi di dikotomi menjadi yang "Murni" dan "tidak murni". Hermeneutikanya, kekuasaan berhak menentukan mana suara sah dan mana suara yang harus di bungkam.
"Jurgen Habermas", menyatakan, "ruang publik sejati, tidak boleh di saring oleh negara, karena setiap suara lahir dari pengalaman hidup yang otentik".
Prabowo, "Terhadap petugas kemarin yang melakukan kesalahan ataupun pelanggaran, saat ini kepolisian telah melakukan pemeriksaan".
"Diksi" petugas melemahkan struktur menjadi Individu. Secara semiotika, diksi petugas ialah memindahkan rantai komando menjadi oknum. Hermeneutikanya, negara mendefenisikan kekerasan sebagai deviasi, bukan konsekuensi kebijakan.
"Michael Foucalt" membaca ini sebagai "cara kekuasaan menghapus jejak dirinya dari tindakan aparatnya"
Prabowo, "Akan di lakukan beberapa pencabutan beberapa kebijakan DPR RI, termasuk besaran tunjangan anggota DPR, dan juga Moratoriun kunjungan kerja ke Luar negeri".
Kalimat ini tampak seperti langkah serius. Tetapi, sebenarnya bekerja sebagai pengalihan. Secara semiotik, yang di tonjolkan adalah angka dan fasilitas. Bukan nyawa dan keadilan. Hermeneutikanya, Rakyat sedang diajak melihat bahwa DPR sedang berkorban. Padahal, apa yang di korbankan adalah kemewahan mereka sendiri, bukan akar masalah yang menyalakan Protes.
Hal ini adalah strategi Klasik, "memotong ranting kecil, sembari membiarkan batang busuk tetap berdiri".
Prabowo, "Anggota DPR yang menyampaikkan pernyataan keliru akan di cabut ke-anggotaannya".
Pernyataan ini menyingkap standar ganda. Anggota DPR bisa di copot, karena ucapan. Tetapi, aparat yang memukul, menembak gas air mata, menembak dengan peluru karet, bahkan melindas, hanya di sebut "Di Periksa". Secara semiotik, negara lebih keras pada kata rakyat dan lebih lunak pada kekerasan aparat. Hermeneutikanya, bahasa ini menegaskan siapa yang benar - benar di lindungi : Insitusi, bukan nyawa.
Prabowo, "Para anggota DPR harus selalu Peka dan harus selalu berpihak kepada kepentingan Rakyat".
Secara semiotik, diksi peka sesungguhnya adalah Kosmetik moral. Hermeneutikanya, Rakyat tahu bahwa DPR Justru menjadi sumber amarah, karena Previlese dan tunjungan. Pernyataan tersebut, justru mempertebal jarak. Sebab, jika benar peka, mengapa gelombang protes baru di dengar setelah korban banyak berjatuhan.
Seperti kata Gramsci, "krisis terjadi ketika elit tidak mampu lagi memimpin, tetapi, rakyat belum mampu mengganti. Di titik inilah Legitimasi tergerus.
Prabowo, "Kami menghormati kebebasan berpendapat, seperti di atur dalam ICCPR dan UU 9/1998".
Penyebutan Instrumen Internasional dan UU nasional adalah Klaim legitimasi Formal. Hermeneutisnya, negara meminjam wibawa hukum global untuk mempertebal citra Demokratisnya. Tetapi faktanya, Protes Rakyat di bubarkan dengan kekerasan.
ironis memang, kutipan hukum di gunakan sebagai ornamen, sementara pelaksanaannya justru berlawanan. "Hannah Arendt" menyebut, "bahasa hukum, tanpa praktek keadilan hanyalah retorika kosong yang melukai".
Prabowo, "Namun, ketika terdapat kegiatan anarkis, destabilisasi negara, merusak atau membakar Fasilitas Umum, merupakan pelanggaran Hukum".
Diksi Anarkis adalah label, bukan deskripsi. Secara semiotik, ia merubah rakyat menjadi ancaman. Hermeneutisnya, negara menafasirkan perlawanan bukan sebagai dialog politik, melainkan kekacauan yang harus di padamkan.
"Hannah arendt" mengingatkan, "kekerasan rakyat acap kali terjadi, ketika ruang partisipasinya di tutup rapat".
Prabowo, "Aparat yang bertugas, harus melindungi masyarakat, dan menjaga fasilitas Umum".
Secara semiotik, ini penyebutan ganda, masyarakat dan fasilitas umum, tampak seimbang. Namun, hermeneutisnya, bisa menjadi pisau bermata dua : aparat di beri ruang tafsir yang longgar.
Melindungi masyarakat, kita bisa terjemahkan, sebagai membubarkan massa, dengan dalil massa menganggu atau mengancam fasilitas Umum. Diksi melindungi di sini sangat cair, bisa berubah menjadi Justifikasi terhadap represi.
Prabowo, "Mulai kelihatan, adanya tindakan- tindakan di luar hukum, bahkan melawan hukum. Bahkan ada yang mengarah kepada makar dan terorisme".
Diksi makar dan terorisme adalah tanda yang paling berat dalam Hukum. Secara semiotik, ia memperluas musuh imajiner, membuat protes rakyat setara dengan ancaman negara. Hermeneutikanya, kekuasaan sedang membungkus oposisi dengan bahasa kriminalisasi.
"George Orweel" sudah menulis pola ini, "ciptakan musuh bayangan, agar rakyat takut dan tunduk".
Prabowo, "Kepada Polri dan TNI, saya perintahkan untuk mengambil tindakan yang setegas - tegasnya".
Informasi ini adalah performatif. Kata bukan bunyi. Tetapi, perintah yang di terjemahkan menjadi Gas air mata dan peluru karet, bahkan mayat di jalanan. Semiotika "Setegas - tegasnya" adalah Eufiminisme dari Kekerasan. Hermeneutikanya, negara menfasirkan dirinya sebagai pelindung , tetapi bertindak sebagai penghukum.
"Benjamin" menyebut, kekerasan Mitis. Hukum di tegakkan lewat kekerasan, bukan melalui keadilan.
Prabowo, "Silahkan sampaikan aspirasi yang murni. Kami pastikan akan di dengar, di catat dan di tindak lanjuti".
Janji ini terdengar administratif. Semiotikanya, rakyat di posisikan sebagai pelapor, bukan pemilik kedaulatan. Hermeneutikanya, Suara rakyat di turunkan menjadi berkas, yang di catat dan di arsipkan. Seolah - olah protes bisa selesai dengan notulensi.
"Derrida" - seorang Pemikir Posmo, menyebut arsip sebagai Kuasa. Suara di hidupkan di jalanan, tetapi di matikan di meja catatan.
Prabowo, "Saya akan meminta pimpinan DPR untuk mengundang Tokoh Mahasiswa, Tokoh Masyarakat, supaya bisa berdialog".
Secara semiotik, dialog adalah tanda kerukunan. Hermeneutiknya, hal ini lebih mirip demage Control - dialog yang lahir setelah kerusuhan, bukan sebelum. Publik tahu, suara mahasiswa dan rakyat sudah lama di abaikan sebelum situasi membara.
"Jurgen Habermas" menyebutkan, "ruang publik sejati, hanya hidup bila ada kesetaraan kuasa".
Dalam kondisi ini, dialog hanyalah formalitas, rakyat hadir. Tetapi, tak sejajar.
Prabowo, "Saya minta sungguh - sungguh seluruh warga negara untuk percaya kepada pemerintah untuk tenang".
Diksi tenang adalah instruksi. Bukan ajakan. Secara semiotik rakyat di posisikan sebagai massa resah, yang harus di disiplinkan. Hermeneutikanya, kepercayaan di minta, bukan di bangun.
"Jean Jasques Rosseau" mengingatkan, Kontrak sosial runtuh, ketika negara meminta percaya, tetapi gagal melindungi.
Prabowo, "Pemerintah bertekad memperjuangkan kepentingan rakyat, termasuk yang paling kecil".
Diksi yang paling kecil adalah paternalistik. Semiotikanya, rakyat di posisikan sebagai anak kecil, yang harus di rawat. Hermeneutikanya, Kekuasaan menempatkan dirinya sebagai orang tua dan tahu mana yang baik. Sementara fakta di lapangan, rakyat yang menjaga diri mereka sendiri - Warga jaga Warga.
Bahasa kepedualian di gunakan untuk menutupi kenyataan represi.
Prabowo, "Indonesia diambang kebangkitan, jangan mau di adu domba".
Kebangkitan di gunakan sebagai perekat. Tetapi, semiotikanya, retak ketika rakyat melihat fakta bahwa siapa sebenarnya yang mengadu domba?. Provokasi aparat yang memecah massa atau retorika Penguasa yang memecah aspirasi murni dan anarki?.
Hermeneutikanya, negara menfasirkan luka sebagai proyek besar yang harus di korbankan. "Simone weil" mengingatkan, "setiap kali penderitaan di pakai sebagai bahan retorika, ia berubah dari Tragedi menjadi manipulasi.
Prabowo, "Kalau merusak fasilitas umum, artinya merusak dan menghamburkan uang rakyat".
Di sini, semiotikanya, menukar prioritas, seolah kerusakan halte dan gedung lebih penting dari nyawa yang hilang. Hermeneutikanya, negara menafsirkan kerusakan benda sebagai kerugian kolektif, sementara kerugian jiwa rakyat, hanya di sebut insiden.
Dalam psikologi Politik, ini adalah bentuk cognitive reframing - mengalihkan amarah dari kehilangan nyawa ke kerugian materil.
Prabowo, "Marilah kita bergotong royong menjaga lingkungan kita, menjaga keselamatan keluarga kita".
Gotong rotong adalah simbol kerukunan yang terus di panggil. Tetapi, hermeneutisnya, diksi tersebut di gunakan untuk memindahkan tanggung jawab negara ke pundak rakyat. Rakyat di minta menjaga diri, menjaga keluarga, bahkan menjaga ketertiban - padahal tugas tersebut adalah tugas aparat dan pejabat yang punya kuasa.
"Ivan Illich" mengingatkan, "ketika insitusi gagal, jargon moral sering di lemparkan ke rakyat untuk menutupi kegagalan".
Prabowo, "Saudara- saudara sekalian, demikian pernyataan saya, setelah saya berunding dengan semua pimpinan partai, baik di dalam koalisi, dan semua pimpinan lembaga negara".
Secara semiotik, penyebutan saudara - saudara adalah tanda kedekatan. Bahasa akrab yang di maksudkan untuk melebur jarak antara presiden dan rakyat. Tetapi, hermeneutisnya, saudara adalah rakyat yang tubuhnya di pukuli di jalanan, yang suaranya pecah oleh gas air mata.
Kata itu menjadi panggilan kosong - akrab di lidah, tapi jauh di perbuatan.
"Franz Neuman" dalam Bahemoth menulis, rezim yang rapuh justru sering menampilkan citra persatuan yang total. Ia seolah berkata, lihatlah seluruh insitusi ada bersama saya. Padahal, kenyataan di luar adalah jurang : Kepercayaan rakyat merosot, protes membesar dan kekerasan aparat di pertontonkan.
Persatuan yang di tampilkan di Panggung ini bukanlah persatuan bangsa, melainkan konsolidasi elit diatas luka rakyat".
*Rst
*Backpacker Marjinal
*Pustaka Hayat
*Nalar Pinggiran
Senin, 01 September 2025
ORANG KECIL YANG MALANG
Affan - Driver Ojol Gojek bukan demonstran, bukan Perusuh. Ia hanya ingin pulang. Tetapi, Tubuh itu kemudian menjadi angka di laporan resmi, berita di koran, nama di layar medsos. Apakah kita akan membiarkannya berhenti di situ?.
Di balik peristiwa tersebut, ada luka yang lebih dalam : betapa Murahnya nyawa Orang kecil do negeri ini?. Padahal, negara kerap mengaku berdiri atas nama rakyat. Entah, rakyat mana yang mereka maksud?.
Rakyat seperti affan, yang bekerja di jalanan, yang menafkahi keluarga, dengan meminjam tenaga mesin motornya, seringkali hanya figur samar. Kita hanya di butuhkan ketika di butuhkan statistik atau menjadi korban.
Di lembar - lembar pidato pejabat, kata rakyat kerap di ulan - ulang. Seolah menjadi mantra. Padahal, jarang sekali mereka benar - benad hadir. Wajah seperti affan tak pernah muncul di layar ketika negara merayakan pembangunan, tak masuk dalam narasi kemajuan yang di pamerkan.
Kita hanyalah angka grafik pertumbuhan ekonomi, bagian dari persentase tenaga kerja informal, baris kecil dari laporan BPS. Nyawa kita tidak di perlukan sebagai nyawa yang utuh, melainkan sebagai variabel dalam hitungan Kualitatif.
Rakyat kecil selalu muncul, hukan sebagai subjek yang di hormati. Melainkan senagai korban yang menambah daftar panjang luka bangsa ini.
Seorang sosiologi pernah tentang berkata, "marginalized bodies - Tubuh - tubuh yang terpinggirkan oleh sistem, di peras tenanganya, tetapi di abaikan martabatnya.
Affan adalah gambaran itu. Ia berkeja dalam dunia yang cair, tanpa perlindungan, tanpa jaminan. Hidupnya tergantung pada notifikasi di aplikasi di ponsel, namjn kematiannya hanya menjadi berita yang sekejap.
Pertanyannya, Rakyat semacam apa yang di janjikan di dalam konstitusi?. Apakah rakyat, hanya mereka yang di butuhkan ketika pemilu?. Apakah rakyat, hanya dalam kerumunan kampanye?.
Ataukah rakyat adalah mereka yang wajahnya kerap hilang dari peta, namun justru menopang kehidupan kota dengan kerja - kerja kecil, senyap dan sering tak dianggap?.
Polisi menahan tujuh anggota Brimob. Kapolda dan Kapolri minta Maaf. Tapi keadilan bukanlah kata - kata. Keadilan bukan sekadar menghukum satu dua nama. Keadilan ialah mengubah cara kita memandang pada Orang kecil seperti affan, bahwa hidup kita sama berharganya dengan pejabat, presiden, Gubernur, walikota, Jendral, kopral atau dengan siapapun yang duduk di kursi empuk.
Nama Affan mungkin akan segera tenggelam di arsip berita. Seperti ribuan nama lain yang sebentar menjadi sorotan, sebelum di gantikan oleh peristiwa berikutnya. Begtulah cara ingatan publik di zaman yang serba cepat : tragedi di sulap menjadi konsumsi, lalu segera di lupakan.
Tetapi, ia tak boleh hilang dari ingatan. Sebab, ketika sebuah bangsa kehilangan kemampuan mengingat, ia akan kehilangan kemampuan untuk belajar. Seorang pemikir berkata, "Di lupakan adalah mati kedua kalinya"
Affan tak boleh di lupakan. Ia adalah tanda seru. Sebuah peringatan keras, bahwa sebuah negeri tidak bisa berlari dengan menindas mereka yang paling rapuh. Ia mewakili jutaan orang kecil yang tak punya punggung, hidupnya di jalani di pinggiran, dan matinya tak sempat di tangisi republik.
Dalam tubuh affan yang hancur, kita seharusnya membaca sebuah pesan : pembangunan, demokrasi, kekuasaan, tidak berarti apa - apa jika hanya di tegakkan diatas jasad orang - orang tak berdaya.
Kata, Munir said, "Kami sudah lelah dengan kekerasaan".
*Pustaka Hayat
*Nalar Pinggiran
SIAPA YANG VANDALIS?
Vandalisme pertama kali muncul di eropa pada abad ke 18. Di gunakan untuk menyebut kaum vandal - suku yang meruntuhkan kota roma. Sejak itu, diksi tersebut di lekatkan pada tindakan perusakan yang dianggap bar - bar, merusak tatanan, atau menghancurkan karya bersama.
Dalam epistemologi politik, vandalisme di gunakan negara untuk memberi label kepada rakyat yang marah di sebut perusak, aksi protes di sebut ancaman. bukan suara.
Namun, epistemologi juga mengajarkan kita untuk membongkar asal muasal kata, dan membalik kaca. Jika vandalisme adalah merusak milik bersama. Lalu, siapa yang layak di sebut Vandalis : rakyat yang merusak Fasilitas Umum dalam sejam, atau Negara yang merusak Hutan, menghancurkan Hukum dan demokrasi selama puluhan tahun?.
Siapa lebih Vandalis?.
Jika vandalisme adalah menghancurkan rumah bersama. Maka, kita harus berani melihat ke atas, kepada mereka yang mengelola rumah indonesia Ini, tapi menghancurkannya dari dalam.
Negara sibuk menghimbau, jangan merusak, jangan membakar. semua fasilitas perkotaan di perlakukan sebagai pusaka. Tetapi, negara memberi izin tambang timah yang menghancurkan 240 Juta Hektar mangrove, atau food estate yang melahap hutan papua.
Seluruh Fasilitas Umum bisa di perbaiki dalam sehari. Tapi, hutan yang hilang tidak akan kembali dalam sebad.
Affan Kurniawan, seorang pengemudi Ojol tewas di bawah mobil Rantis Brimob, ketika aparat mengamankan demo. Narasi resmi menyebutkan, aksi tersebut anarkis. Tapi, siapa yang anarkis?. Mereka yang membawa poster dan suara atau kendaraan perang yang menindas tubuh rakyat?.
Vandalisme terbesar bukan coretan di aspal atau dinding - dinding kota. Melainkan menghapus nyawa manusia dari kehidupan.
Kanjuruhan 2022 : 135 orang manusia meninggal secara serentak. Negara menyebutnya sebagai musibah. Lalu, menggelar rapat evaluasi. Tidak ada kursi yang kosong di kabinet. Tidak ada pejabat yang mundur.
Vandalisme bukan pagar stadion yang roboh. Tetapi, gas air mata yang di tembakkan di ruang tertutup yang melawan semua SOP.
Rakyat di tegur jika mencoret - coret fasilitas umum. Namun, DPR, menerima tunjangan Rp 50 juta per bulan, di saat sekolah-sekolah di pelosok kekurangan kursi belajar.
Vandalisme anggaran lebih jahat dan pahit. Ia Merampas hak rakyat sejak dari akar. Ia tak meninggalkan noda cat. Tetapi, meninggalkan generasi tanpa ruang belajar yang layak.
Rakyat di sebut perusak demokrasi bila demonstrasi ricuh. Namun aturan di ubah, agar Gibran bisa maju sebagai wapres, dan dinasti politik di poles menjadi sah.
Vandalisme ini tidak berwujud grafiti di tembok, melainkan merobek konstitusi. Demokrasi di robek oleh pena. Bukan oleh rakyat di jalanan.
Negara menjaga agar taman kota tak terinjak saat demo. Namun, PLTU dan Smelter memuntahkan asap, membuat jutaan paru - paru di paksa menanggung racun.
Vandalisme apa yang lebih nyata daripada meracuni udara setiap hari?. Rakyat di paksa menjaga bunga - bunga di trotoar. Sementara, anak - anak tumbuh dengan udara yang beracun.
Setiap tragedi di tutup dengan kalimat, "Usut Tuntas" atau meredam dengan kata "Maaf". Walter Benjamin mengatakan, "politik bisa menjadi estetik - penderitaan di tata, agar tampak indah.
Vandalisme ini justru menipu : luka di bungkus dengan rapi, agar marah tak sempat tumbuh. Semua di atur seperti panggung, bukan di hadapi sebagai tanggung jawab.
Demonstrasi besar menggema di banyak kota. Namun, kemana anggota DPR, mereka tak terlihat batang hidungnya.
Vandalisme yang paling sunyi adalah ketidakhadiran : ketika mereka yang di pilih untuk bicara, tetapi bungkam.
Rakyat menjadi tahu, bahwa negara hanya panggung kosong, dan kepercayaan telah runtuh.
Sekarang kemana mereka?. Mungkin di situlah vandalisme paling getir : Ketìdakhadiran. Sebab, ketidakhadiran bukan sekedar absen. Tetapi penghianatan terhadap mandat dan amanah.
Negara melarang rakyat membakar fasilitas umum. Namun, generasi di korbankan oleh korupsi bansos, pendidikan yang tertinggal, dan udara yang kotor.
Vandalisme terhadap generasi lebih menyakitkan ketimbang seluruh fasilitas umum yang rusak. Sebab, ia merampas masa depan dan meninggalkan warisan luka, yang tidak bisa di perbaiki dengan cat baru di dinding sekolah.
Semua ini bukan ajakan untuk merusak fasilitas umum. Kita tahu, Halte, kursi, gedung, ataupun pot bunga adalah milik bersama, yang seharusnya di jaga dan di rawat. Tetapi, yang ingin kita soroti, mengapa negara begitu cepat menuduh dan menuding rakyat sebagai Vandalis. namun, begitu lambat dan lamban melihat dirinya sebagai pelaku kerusakan yang jauh lebih besar dan dahsyat.
Kerusakan di jalanan, hanyalah konsekuensi dari Luka yang lebih dalam - dari hutan yang di babat, dari pohon yang di tebang, dari hukum yang di lemahkan, dari anggaran yang bocor, dari demokrasi yang di pelintir.
Rakyat merespon dengan marah, karena sudah terlalu lama di paksa menanggung biaya dari kebijakan yang merusak.
Kerusakan fasilitas umum hanyalah gejala kecil. Sebab, kerusakan yang jauh lebih parah, justru lahir dari keputusan - keputusan politik, yang di buat dengan sadar oleh mereka : PEJABAT.
#Pustak Hayat
#Rst
#Nalar Pinggiran


.jpeg)

.jpeg)