Mengenai Saya

Jumat, 05 September 2025

-REFORMASI POLITIK : RESET -

MASALAH utama di Indonesia ini adalah politik. Apalagi sejak terjadi konsolidasi politik secara gila-gilaan Di Era Jokowi. Di mana eksekutif menggalang dukungan dengan dua pilihan: tidak menurut pada Kekuasaan, kena kasus hukum, menurut akan mendapatkan kue kekuasaan. 

Dua alternatif pilihan yang membuat seorang politisi atau sebuah parpol tak bisa berkata tidak untuk masuk dalam koalisi. Apalagi, (hampir) semua politikus dan parpol berwatak dan berperilaku Culas dan korup. 

Akibatnya Politik di Indonesia tidak lagi ideologis, tapi pragmatis. Anda mau pilih PDIP, Gerindra, PKS, PKB atau parpol lainnya. ya, sama saja. Perilaku dan watak mereka semua sama. 

Faktanya, dalam situasi seperti sekarang ini, mana yang Oposisi? PDIP kah? Jelas bukan.

ketika Hasto Kristiyanto mendapat amnesti, lalu menjabat lagi sebagai Sekjen PDIP, padahal perbuatan korupnya begitu jelas terbukti. 

Anda mau bicara reformasi Polri, reformasi TNI, reformasi kementerian/lembaga lainnya akan percuma. sepanjang politiknya masih seperti ini. Karena di tingkatan paling atas, penentuan ditentukan secara politis. 

Semua kebijakan publik, baik itu pembuatan UU, penyusunan anggaran, penyusunan kebijakan, Diputuskan di ranah politik. Celakanya, di Indonesia, ranah politiknya dikangkangi oligarki atau elit Partai Politik.

Ide melakukan konsolidasi politik secara massal seperti sekarang ini adalah warisan terburuk dari Jokowi. 

Lalu, apa yang harus dibenahi dalam situasi seperti sekarang ini?. setidaknya, untuk gerakan ke depan, ada beberal hal yang bisa menjadi tuntutan. Entah itu melalui gerakan jalanan atau meminta MK untuk judicial review.  

Pertama, pembatasan masa jabatan anggota DPR, maksimal dua periode. banyak dari anggota DPR yang sudah lebih dari tiga-empat periode. Mereka menang melalui sebuah pertarungan politik dengan money politic yang berasal dari privilege jabatan mereka. 

Lalu, mereka menjadi hantu gentayangan yang menguasai parlemen. Membuat persekongkolan di sana, mengatur penganggaran, mengatur kesepakatan-kesepakatan busuk dengan pemerintah terkait pembuatan regulasi (simak bagaimana sejumlah UU bisa dengan cepat diputuskan). 

Pembatasan ini Juga bisa menghilangkan statement atau perilaku jumawa dari mereka. Simak saja pernyataan orang-orang seperti Ahmad Sahroni. Dia terlena enaknya kekuasaan sehingga gampang saja menolol-nololkan masyarakat atau menyebut pelajar yang ikut demo sebagai brengsek. Atau pernyataan nir-sensitif Nafa Urbach. Atau guyonan tak lucu Eko Patrio yang menganggap gaji Rp 3 juta per hari tak cukup. 

kedua, pembatasan masa jabatan Ketua umum Partai Politik. entitas parpol itu harus dibuat terang. Terutama soal ketua umum. Parpol ini apakah sebuah institusi negara yang bisa diaudit publik atau sebuah perusahaan swasta yang tak bisa dimasuki pihak luar. Simak saja bagaimana Megawati bercokol begitu lama di PDIP, Cak Imin di PKB, Surya Paloh di Nasdem, Prabowo Subianto di Gerindra, atau dinasti SBY di Partai Demokrat. 

Mereka mengangkangi parpol seperti seolah milik keluarga sendiri. Ketika hendak diaudit atau dikritisi dari luar, mereka akan bilang bahwa ini urusan internal parpol, tapi di satu sisi mereka mendapat dana banpol dari APBN dan mempunyai kewenangan luar biasa untuk menentukan kebijakan politik di negeri ini. Bahkan, boleh dibilang, anggota DPR itu sebenarnya wakil parpol. Bukan wakil masyarakat. 

Ketiga, pangkas ongkos demokrasi melalui digitalisasi secara Penuh. India sudah melakukannya melalui E-voting di jutaan TPS. Hasilnya lebih murah dan efisien. Mengapa kita masih terjebak Logistik kertas yang boros, lamban dan rawan manipulasi. Bayangkan pemilu digital : aman, Transparan, bisa di audit publik secara real time. Ongkos murah, partisipasi meningkat. 

Dua dekade lebih Reformasi berjalan. Tetapi, demokrasi kita semakin mahal dan semakin brutal. Pemilu 2024 menelan Rp 1,3 T APBN. Ongkos kandidat bisa Milyaran bahkan Triliyunan. Akibatnya, hanya yang punya uang atau di topang Oligarki yang bisa ikut gelanggang. 

Rakyat?. cuman menjadi penonton yang harus membayar tagihan lewat harga sembako, rente proyek dan izin tambang. Apess betul jadi rakyat di indonesia. 

Keempat, demokrasi jangan hanya pada lima tahunan. Kita butuh demokrasi sehari - hari. Bentuklah citizen Assmebly di tingkat Kab/kota : Forum tetap berisi warga terpilih secara acak, yang ikut mengawasi anggaran proyek , hingga arah kebijakan. Dengan begitu, rakyat bukan hanya sekadar konsituen. Tetapi, ikut mengawasi dan penentu. 

Kelima, hentikan dominasi oligarki melalui aturan pendanaan politik yang keras dan transparan. Setiap sumbangan besar, wajib di umumkan secara terbuka. Ada Platform belanja kampanye, ada audit independen. Jika ada kandidat, melampaui batas, lansung di diskualifikasi. Tegas dan final. 

Keenam, buka pintu bagi anak muda, aktivis dan Profesional. Negara bisa menyiapkan talent pol nasional - jalur cepat untuk putra putri terbaik bangsa. Tiket politiknya murah, syaratnya jelas : integritas dan rekam jejak pelayanan publik.

Ketujuah, Hukum berat pelaku Korupsi melalui UU Perampasan aset. Kalau perlu, Gantung di monas. 

Kedelapan, 17 + 8. Tambah saja sendiri. 


NB : TETAP BERISIK.


*Pustaka Hayata

*Rst

Tidak ada komentar:

Posting Komentar