Affan - Driver Ojol Gojek bukan demonstran, bukan Perusuh. Ia hanya ingin pulang. Tetapi, Tubuh itu kemudian menjadi angka di laporan resmi, berita di koran, nama di layar medsos. Apakah kita akan membiarkannya berhenti di situ?.
Di balik peristiwa tersebut, ada luka yang lebih dalam : betapa Murahnya nyawa Orang kecil do negeri ini?. Padahal, negara kerap mengaku berdiri atas nama rakyat. Entah, rakyat mana yang mereka maksud?.
Rakyat seperti affan, yang bekerja di jalanan, yang menafkahi keluarga, dengan meminjam tenaga mesin motornya, seringkali hanya figur samar. Kita hanya di butuhkan ketika di butuhkan statistik atau menjadi korban.
Di lembar - lembar pidato pejabat, kata rakyat kerap di ulan - ulang. Seolah menjadi mantra. Padahal, jarang sekali mereka benar - benad hadir. Wajah seperti affan tak pernah muncul di layar ketika negara merayakan pembangunan, tak masuk dalam narasi kemajuan yang di pamerkan.
Kita hanyalah angka grafik pertumbuhan ekonomi, bagian dari persentase tenaga kerja informal, baris kecil dari laporan BPS. Nyawa kita tidak di perlukan sebagai nyawa yang utuh, melainkan sebagai variabel dalam hitungan Kualitatif.
Rakyat kecil selalu muncul, hukan sebagai subjek yang di hormati. Melainkan senagai korban yang menambah daftar panjang luka bangsa ini.
Seorang sosiologi pernah tentang berkata, "marginalized bodies - Tubuh - tubuh yang terpinggirkan oleh sistem, di peras tenanganya, tetapi di abaikan martabatnya.
Affan adalah gambaran itu. Ia berkeja dalam dunia yang cair, tanpa perlindungan, tanpa jaminan. Hidupnya tergantung pada notifikasi di aplikasi di ponsel, namjn kematiannya hanya menjadi berita yang sekejap.
Pertanyannya, Rakyat semacam apa yang di janjikan di dalam konstitusi?. Apakah rakyat, hanya mereka yang di butuhkan ketika pemilu?. Apakah rakyat, hanya dalam kerumunan kampanye?.
Ataukah rakyat adalah mereka yang wajahnya kerap hilang dari peta, namun justru menopang kehidupan kota dengan kerja - kerja kecil, senyap dan sering tak dianggap?.
Polisi menahan tujuh anggota Brimob. Kapolda dan Kapolri minta Maaf. Tapi keadilan bukanlah kata - kata. Keadilan bukan sekadar menghukum satu dua nama. Keadilan ialah mengubah cara kita memandang pada Orang kecil seperti affan, bahwa hidup kita sama berharganya dengan pejabat, presiden, Gubernur, walikota, Jendral, kopral atau dengan siapapun yang duduk di kursi empuk.
Nama Affan mungkin akan segera tenggelam di arsip berita. Seperti ribuan nama lain yang sebentar menjadi sorotan, sebelum di gantikan oleh peristiwa berikutnya. Begtulah cara ingatan publik di zaman yang serba cepat : tragedi di sulap menjadi konsumsi, lalu segera di lupakan.
Tetapi, ia tak boleh hilang dari ingatan. Sebab, ketika sebuah bangsa kehilangan kemampuan mengingat, ia akan kehilangan kemampuan untuk belajar. Seorang pemikir berkata, "Di lupakan adalah mati kedua kalinya"
Affan tak boleh di lupakan. Ia adalah tanda seru. Sebuah peringatan keras, bahwa sebuah negeri tidak bisa berlari dengan menindas mereka yang paling rapuh. Ia mewakili jutaan orang kecil yang tak punya punggung, hidupnya di jalani di pinggiran, dan matinya tak sempat di tangisi republik.
Dalam tubuh affan yang hancur, kita seharusnya membaca sebuah pesan : pembangunan, demokrasi, kekuasaan, tidak berarti apa - apa jika hanya di tegakkan diatas jasad orang - orang tak berdaya.
Kata, Munir said, "Kami sudah lelah dengan kekerasaan".
*Pustaka Hayat
*Nalar Pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar