Mengenai Saya

Kamis, 07 Januari 2021

JALAN SUNYI DAN PERADABAN ISLAM (SERPIH)




Jika ilmu pengetahuan konsisten dan istiqomah dalam perkembangannya. maka, dipastikan akan tiba suatu masa dimana ummat manusia mencapai taraf kedewasaan berpikir untuk betul-betul berperan sebagai khalifah, (asisten Allah) dibumi. Fakta ilmiah menunjukkan bahwa sepanjang otak manusia berpikir keras dan kencang. maka, sel-selnya akan bertambah banyak dan jaringan-jaringan sarafnya menjadi bertambah luas pula, yang pada gilirannya meningkatkan kecerdasan.

Semakin tinggi kecerdasan makin mendewasakan berpikir dan bertindak. Rosulullah Nabi Muhammad Saw sudah memberikan Uswah bersama para sahabatnya di Madinah bagaimana kedewasaan berpikir tersebut menjadikan manusia paripurna merealisasikan kebersatuan dua dimensi dalam diri manusia yakni dimensi ilahiah dan dimensi manusiawi. Penyatuan dua dimensi itulah sesungguhnya yang merupakan makna tauhid yang sering kita dengungkan sebagai intisari ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Tauhid sama sekali bukan konsepsi teologi tentang keesaan Allah. sebab, Allah tidak bisa dikonsepsikan apalagi dipersepsikan. Nabi sangat jelas dalam hal ini. "Apapun yang terbetik dalam benakmu bukan Tuhan, justru Tuhan menciptakannya," sabdanya.

Ketika Rosulullah SAW menegaskan bahwa agama adalah akhlak bukanlah sekedar pernyataan moralitas belaka melainkan penegasan atas gagasan Tuhan adalah sang Mutlak yang tak dapat dipersepsikan maupun dikonsepsikan. Tuhan hanya bisa direfleksikan dalam laku kebaikan dan cinta kasih. Menyatu dengan Tuhan adalah menyatu dengan kebaikan dan cinta kasih. Artinya seseorang yang merealisasikan tauhid akan menjadi personifikasi kebaikan dan cinta kasih; apapun yang dilakukan dan diperbuatnya semata-mata hanya kebaikan, semata-mata hanya cinta kasih. Manusia paripurna. Maka, agama bukanlah sistem aturan keimanan dan peribadatan melainkan situasi keilahian yang menuntun kepada kebaikan. Agama menuntun kepada Allah, Tuhan yang bertajalli dalam kebaikan dan cinta kasih.8

Sejarah otentik Nabi Muhammad Saw memberikan gambaran umum atau pelajaran dasar mengenai Jalan Kenabian untuk Peradaban Tauhid atau Peradaban Manusia Paripurna dengan merumuskan lima prinsip.

Pertama, independensi: kedaulatan diri melalui pengembangan potensi-potensi intelektual, psikis (kejiwaan), dan spiritual. Dalam Al-Qur`an Allah tidak henti-hentinya mengajak ummat manusia menggunakan seluruh potensi yang dianugerahkan kepadanya agar mampu berpikir bebas dan merdeka demi mewujudkan tanggung jawab personalnya. Ini mengantarkan kepada peningkatan keyakinan dari taraf informatif- ilmal yaqin menjadi keyakinan faktual-haqqul yaqin.

Kedua, penyucian jiwa: setiap orang yang hendak mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw harus membebaskan dirinya dari setidaknya ; hasad, dengki, iri, benci dan curang. Allah mengajarkan jalan itu melalui operasi bedah dada Nabi Muhammad SAW saat berusia belasan tahun. Mengapa penyucian jiwa penting, karena agama adalah ketulusan sedangkan seseorang tidak akan mungkin tulus sepanjang sifat-sifat tersebut bercokol dan bersarang dalam dirinya.

Ketiga, kearifan dan kebijaksanaan: seseorang yang telah mencapai taraf keyakinan faktual dan telah melakukan penyucian jiwa akan memiliki sikap arif dan bijaksana dalam segala hal. Seseorang yang arif dan bijaksana memiliki kekayaan dalam memaknai kehidupan. Sebaliknya seseorang yang keyakinannya baru pada taraf informatif akan selalu bertindak secara reakisonal dan emosional.

Keempat, amanah, kejujuran dan tanggung jawab: Nabi Muhammad Saw sudah dikenal sebagai manusia yang paling dipercaya, al-amin bahkan sebelum diangkat menjadi Nabi. Seseorang akan menjadi al-amin jika memiliki kemampuan bersikap dan bertindak arif dan bijaksana.

Kelima, cinta kasih: Dalam Al-Qur`an Allah menggambarkan dua golongan yang sama sekali berbeda, yang satu "tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta" terlihat bersatu, tapi hatinya tercerai berai oleh kepentingan masing-masing. Yang satunya lagi adalah "wa rabathna ala qulubihim", Kami (Allah) yang mengikat hati mereka. Kepada para sahabat Nabi Allah mengingatkan kalian hampir saja terjebak kedalam jurang siksaan tatkala ada kecenderungan saling membenci diantara kalian, namun Allah menjadikan hatimu bersahabat lantas kalian merasa bersaudara (QS.3:103).

Baca kembali Sejarah Otentik Nabi Muhammad Saw dan Piagam Madinah. maka, kelima prinsip ini muncul sebagai sunnah Nabi yang paling murni. Dinamika sosial politik umat Islam telah menjadikannya terabaikan, lantaran perlombaan dalam memburu kekuasaan dan harta semenjak dinasti Ummayah (661-750 M) hingga kini.

Selanjutnya baca segenap gagasan, pemikran, sikap dan prilaku Tokoh-Tokoh besar yang sederhana. maka, kelima prinsip tersebut menjadi klop sebagai real sunnah Nabi, sunnah Nabi yang sesungguhnya. Menyadari dan belajar dari pengalaman sejarah bahwa faktor utama penyebab terabaikannya sunnah Nabi yang sesungguhnya adalah hasrat-hasrat yang tidak terbendung untuk mengejar kekuasaan dan harta kekayaan, sehingga sunnah Nabi yang sesungguhnya digantikan dengan sunnah-sunnah yang memenuhi hasrat-hasrat kekuasaan dan harta tersebut. maka, fokus kita kepada menanamkan, menyemai, dan menyuburkan prinsip-prinsip jalan kenabian sebagai jalan peradaban. Terserah kepada Indonesia apakah benar-benar ikhlas hendak menjadikan bangsa Indonesia sebagai manusia yang paripurna. maka, bisa bergabung melingkar bersama dengan kita. Adapun kita harus ditarik-tarik masuk ke kancah perebutan dan perburuan kekuasaan dan harta. maka, kita akan berusaha selalu menghindar agar kesalahan fatal yang selalu terjadi dalam sejarah tak perlu terulang lagi.

Sejarah Otentik Nabi Muhammad Saw mencatat bahwa perang Badr merupakan tonggak sejarah terpenting dalam perkembangan Islam, dimana Allah memperkenankan kemenangan atas hegemoni dan dominasi kebatilan yang diperankan dengan penuh kesombongan dan takabbur oleh kaum Quraisy di Mekkah dan sekitarnya. Pasukan Islam yang dipimpin langsung oleh baginda Nabi mampu dengan segala kesederhanaannya mengalahkan pasukan Quraisy yang memiliki kekuatan berlipat-lipat ganda. Begitu spektakulernya kemenangan tersebut sehingga pasca perang Badr orang-orang berbondong-bondong bergabung ke Madinah memeluk Islam. Sebuah prestasi gemilang yang dicapai Nabi Muhammad Saw, semenjak memulai perjuangannya di Mekkah hingga hijrah ke Madinah. Namun prestasi tersebut, secara ideologis membawa problematika tersendiri bagi keberlangsungan ajaran-ajaran murni Islam. Faktanya bahwa berbondong-bondongnya orang-orang bergabung memeluk Islam pasca perang Badr. karena, menyaksikan sendiri kekuatan dan keperkasaan Islam mengakibatkan panggilan hati dan motivasi mereka memeluk Islam, berbeda dengan para sahabat Nabi yang bergabung semenjak di Mekkah, karena semata-mata percaya kepada Rasulullah SAW dan mencintainya. Seolah-olah perang Badar menciptakan dua orientasi yang berbeda dalam pemahaman para sahabat Nabi terhadap agama. Mereka yang memeluk Islam semenjak awal perjuangan menganut kepercayaan bahwa Islam bermakna mencintai Allah dan rasul-Nya, dan cukup mencintai Allah dan Rasul-Nya. maka, secara otomatis mencintai umat manusia; sementara mereka yang memeluk Islam pasca perang Badar, terutama tokoh-tokoh besar yang akan tampil atau menampilkan diri di atas pangung sejarah dikemudian hari menganut kepercayaan, bahwa Islam adalah kekuasaan.

Kedua orientasi yang berbeda dalam memandang Islam tergambar dalam dialog al-Abbas dengan Ali bin Abi Thalib saat Rasulullah Saw sedang sakit menjelang wafatnya. Husain Mu'nis menulis: "Perhatikan informasi berikut, yang diriwayatkan dari banyak sumber siroh: Ketika Ali bin Abi Thalib keluar dari menjenguk Rasulullah Saw, orang-orang pada bertanya kepadanya, bagaimana keadaan beliau. Ali menjawab (dengan penuh optimisme), "Alhamdulillah membaik". Abbas langsung menarik lengan Ali, dan berkata kepadanya, "Wahai Ali, engkau menganggap biasa. Demi Allah, aku melihat tanda-tanda kematian pada wajah Rasulullah Saw, sebagaimana aku melihatnya pada wajah-wajah keturunan Abdul Muththalib. Mari kita menghadap beliau, menanyakan apakah soal (pengganti beliau) berada ditangan kita, atau jika harus dengan orang lain, kita meminta supaya beliau mewasiatkan kepada kita". Ali berkata, "Tidak. Demi Allah, jika kita memintanya sekarang, orang tidak akan memberikannya kepada kita sesudah beliau pergi". (Al-Baladzari, 1/565).

Sikap Ali bin Abi Thalib merepresentasikan pandangan para sahabat yang memahami agama sebagai cinta, sedangkan sikap al-Abbas merepresentasikan pandangan mereka yang memahami agama sebagai kekuasaan. Kedua orientasi ini semakin tajam kelak pasca khulafa al-rasyidin dan mulainya era baru ditangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan serta dinasti-dinasti yang lahir sesudahnya, yang seluruhnya adalah khulafa non rasyidin, dimana ajaran-ajaran agama dilembagakan menjadi 'alat' atau ideologi kekuasaan. Dalam kancah perebutan kekuasaan itu lahir berbagai mazhab dan aliran penafsiran agama, yang meski 'agak mengacaukan’, namun ikut memperkaya khazanah kebudayaan dan pemikiran Islam. Tetapi, semakin menjauhkan Islam dari kemurniannya. Sementara itu orientasi yang memahami agama sebagai cinta memarjinalkan diri atau termarjinalkan oleh perebutan kekuasaan tersebut, dari semenjak generasi sahabat sampai pada tabi’i tabi’in, sehingga pada akhirnya yang dominan dan menjadi mainstream hingga kini adalah rumusan Islam yang berbasis ideologi kekuasaan.

Sungguh terlihat sangat jelas dan terang, betapa kita memainkan peran amat signifikan dan strategis dalam mengembalikan Islam kepada kesejatiannya, sebagai cinta segitiga Allah-Rasul-Manusia menuju kepada pembangunan kembali (revitalisasi) peradaban madaniyah yang berasaskan: Kemandirin (Independensi), Penyucian Jiwa, Kearifan dan Kebijaksanaan, Kejujuran, dan Cinta kasih. Sepanjang ummat Islam belum sepenuhnya kembali kepada kemurnian agama. maka, janji-janji Allah untuk mendapatkan khasanah dunia dan akhirat tak akan pernah teracapai.

Atau Dalam Tajuknya Maulana Muhammad Ainun Nadjib atau yang dikenal dengan Cak Nun, menawarkan tiga pilihan, bahwa faktor kuncinya adalah ;

1. Thariqat: Pendewasaan dan perluasan diskusi yang berkelanjutan.

2. Makrifat: Pembaharuan mental dan kejiwaan masyarakat dan bangsa. Ketangguhan didalam sistem Negara apapun.

3. Bisyaroh: Waktu.

Dan ketiga hal diatas sedang dan sementara digagas dan digaungkan Nalar Pinggiran, sekalipun penulis secara pribadi sesungguhnya telah lama berdialektika dan cukup progresif, kita hanya perlu menjaga konsistensi dan istiqomahnya.


Catatan kaki ; 1. Lihat, Sejarah Otentik Nabi Muhammad Saw, Husain Mu’nis, terj. M. Nursamad Kamba, hal. 309.

2. Ketika Mu’awiyah telah memantapkan kekuasaannya, setelah adanya kesepakatan dengan al Hasan ibn Ali ra, dia hendak menanamkan dalam pikiran umat Islam bahwa pemerintahannya merupakan ketentuan dan takdir Tuhan. Dia kemudian dengan segala cara dan melalui berbagai media menyebarkan gagasan jabariyah atau determinisme yang sudah pasti memancing reaksi pandangan sebaliknya. Perdebatan pun meluas tentang ketentuan dan kehendak manusia. Lihat untuk keterangan lebih lanjut. Al tafkir al falsafi fi al islam, Abd el Halim Mahmud, hal 145;).


*Nalar Pinggiran
*Pustaka Hayat
*Rst
*Pejalan sunyi







Tidak ada komentar:

Posting Komentar