Mengenai Saya

Sabtu, 11 September 2021

SECUIL PERJALANAN TASAWUF DI INDONESIA DAN TAFSIR SYECH ABDUL QODIR JAELANI



Coretan ini mencoba mengantar kita mengenal seorang sosok yang dikenal oleh dunia islam sebagai 'Sulthonum auliyah' (Rajanya para Wali).

Sebagimana dalam Hirarki kewaliaan, ada tingkatan-tingkan kewalian ; ada yang disebut Wali Ghouf, ada wali kutub, ada wali afdhal, dst.

Syech Abdul Qodir Jaelani adalah seorang wali yang dianggap sebagai Wali tertinggi (ghouf). Hal itu merupakan padangan dunia Kosmologi.

Menurut doktrin Tasawuf, dunia ini bisa seimbang dan tidak kacau. Jika dunia punya titik keseimbangan. Sebagaimana Gunung dianggap sebagai patok bumi (titik keseimbangan), sehingga daratan tidak berguncang (goyang).

Dunia batin atau spiritual juga punya titik keseimbangan (Gunung), yang dalam hirarki kewalian dikenal dengan "wali awtat" (wali yang dianggap sebagai Paku pasaknya atau titik keseimbangan dunia batin), sehingga dunia spiritual tidak mengalami guncangan.

Didalam Dunia Spiritual, jika ada salah satu wali yang kategorinya adalah Wali awtat meninggal. maka, harus ada gantinya. Jika tidak, maka dunia akan mengalami kekacauaan.

Itulah sebabnya didalam salah satu kisah hidup (Manaqib) Syech Abdul Qodir Jaelani. Sekalipun manaqib Syech Abdul Kadir jaelani Ini banyak yang menulisnya. Tetapi, yang paling populer menuliskan Kisah Hidup Syech Abdul Qodir Jaelani adalah Ja'far Al-Barzanji.

Ia menulis sebuah Sejarah hidup yang penuh dengan pujian. karyanya tersebut, tidak hanya dianggap sebagai karya populer. tetapi, karya yang sangat sakral, bahkan dibeberapa tradisi hajatan dinusantara, karya ini dibacakan. Membaca manaqib ini dianggap sama dengan membaca kalimat suci.

Didalam manaqib tersebut. diceritakan, bahwa suatu hari Syech Abdul Kadir Jaelani meninggalkan rumahnya secara diam-diam. Tetapi, salah satu muridnya mengendus dan mengikutinya. Syech Abdul Qodir Jaelani rupanya berjalan ke sebuah rumah, yang penghuninya baru saja meninggal. Begitu di cek, Ternyata, seorang yang baru saja meninggal itu adalah seorang Wali, yang kategorinya adalah Wali Awtat.

Dirumah Seorang wali awtat yang baru saja meninggal itu, terdapat juga seorang yahudi yang datang melayat. maka, saat itu juga Syech Abdul Qodir Jaelani mengangkat Seorang Yahudi, untuk mengganti Wali Awtat yang baru saja meninggal.

Tentu saja pegandaiannya ialah ketika Syech Abdul Qodir Jaelani mengangkat Yahudi tersebut sebagai seorang wali pengganti, maka saat itu juga dia telah menjadi seorang muslim.

Tetapi, Pointnya adalah bahwa didalam kosmologi ummat islam yang hidup dengan doktrin kewalian. ada sebuah pandangan, bahwa dunia spiritual harus dijaga oleh tokoh-tokoh atau orang-orang Yang dianggap sebagai sebuah pilar atau dikenal dengan Terma soko guru, yang apabila hilang atau wafat dan tidak memiliki penganti. maka, dunia Spiritual akan mengalami guncangan.

Hal ini bisa saja tidak dipercayai. tetapi, inilah khazanah dalam cara pandangan ummat muslim tentang doktrin walayah (kewalian), Dan doktrin ini sangat penting pengaruhnya didalam dunia Islam

Sebelum kita masuk ke dalam Tafsir sufisme, kita coba antar lebih dekat pada Sosok Syech Abdul Qodir Jaelani.

Syech Abdul Qodir Jaelani adalah seorang yang berasal dari Persia, yang dilahirkan dikota Ghilan. Wafat pada tahun 1166, ia meninggal sekitar 50 tahun lebih sedikit setelah Imam Al-Ghazali. Sebenarnya beliau se-Generasi dengan Al-Ghazali, hanya saja ia lebih muda dan tidak ada nukilan teks yang menyebutkan bahwa mereka berdua pernah bersua.

Jika Imam Al-Ghazali meninggal diusia 53 tahun. Syech Abdul Qadir Jaelani meninggal diusia 93 tahun.

Syech Abdul Qodir Jaelani merupakan sosok yang pengaruhnya sangat luar biasa didunia Tasawuf, khususnya di indonesia. Ajaran Tarekatnya yang dikenal di indoensia adalah tarekat Qodariyah Naqsabandiyah.

Tarekat ini merupakan tarekat yang menggabungkan dua ajaran, yakni ajaran Tarekat Syech Abdul Qodir Jaelani dan Syech Bahahuddin Naqsabandi, yang juga berasal dari daerah yang tidak terlalu jauh dari Iran, yaitu Bukhara - sekarang Tajikisistan.

Tarekat Qodariyah Naqsabandiyah ini luar biasa pengaruhnya di indonesia. pertama kali diperkenalkan oleh Kiyai Ahmad Khotib Sambas dari Kalimantan.

Selain Tarekat Qodariyah Naqsabandiyah, ada juga Tarekat Satariyah yang dipopulerkan oleh Kiai Abdul Rouf Singkil, yang kemudian dibawah oleh Syech Yusuf Al-Makassary ke banten. Lalu, ke cirebon. Makanya, kenapa Tarekat satariyah lebih populer di jawa tengah, terutama di keraton cirebon. Karena Syech Yusuf Al-Makassary, cukup lama tinggal di Kesultanan banten dan mengembangkan Tarekat Satariyah dan Khalawatiyah. Sekalipun Syech Yusuf Al-Makassary di Baiat juga dengan Tarekat Qodariyah Naqsabandiyah.

Hal itu wajar saja, bagi seorang mursyid Tarekat yang mengikuti beberapa aliran Tarekat dan mengkomparasikan tarekat-tarekat yang mereka ikuti.

Tarekat yang pertama kali muncul di Nusantara?. 

Dulu, Islam ketika datang pertama kali di indonesia, ia berhadap dengan agama Hindu. Nah, agama Hindu itu Tidak mudah untuk di Taklukkan, karena yang boleh bicara agama, tidak sembarang orang. Hanya kasta tertentu saja yang boleh membicarakan agama, yaitu Kasta Brahmana. Saudagar sekaya apapun tidak di perbolehkan bicara agama. Sebab, saudagar termasuk ke dalam Kasta Sudra. Makanya, Jika ada catatan sejarah Penyebaran Islam di indonesia, di sebarkan oleh saudagar, secara Metedologi pengetahuan, agak bermasalah. Makanya, di indonesia para penyebar agama Islam di kenal dengan Isitlah Wali - Auliya. Karena, yang punya konsep setara dengan konsep brahmana adalah Wali.

Tarekat, yang berhadapan dengan para Brahmana di awal-awal Islam di sebar, bernama Tarekat Maulamatiyah - Malmatiyah, Nisbatnya kepada Syech Ahmad bin Hamdun Bin Amaroh di timur tengah. Salah satu ajarannya adalah menghilangkan wujud kebaikan di hadapan manusia. Misalnya, Sholat. Mereka tidak akan sholat, jika sedang banyak orang. Mereka sholatnya sendiri - Sembunyi. Kalau orang sudah tidak ada. Sebab, kalau ketahuan sedang melakukan kebaikan, mereka takut, jangan sampai akan mengotori batinnya. Karena ada perasaan ingin puji. Kalau mereka ketahuan sedang melakukan kebaikan. Besoknya, mereka akan bawa botol minuman sambil mabuk. Luar biasanya ajaran ini, karena Mereka menyakini hanya Allah yang ada, selain Allah tidak ada. Sehingga mereka begitu dekat Dengan Allah.

Tarekat ini sampai melahirkan satu disiplin keilmuan, yang bernama Mahlul Hayat - Air kehidupan. Contohnya banyak sekali, satu orang tetapi bisa di banyak tempat atau Sudah wafat di suatu tempat, tetapi ternyata Hidup lagi di tempat yang lain. Hanya saja, Tarekat ini susah sekali sehingga tidak ada Mursyidnya. Makanya Tarekat ini telah punah. Barangkali karena secara Laku, Tarekat ini susah sekali. Ihwal itulah, Imam Al Ghazali di dalam Ihya melarang Tarekat Malmatiyah.

Ada Juga Terekat Akmaliyah, yang di Nisbatkan kepada Ibnu Arobi. Tarekat ini lebih kepada Cash and Carry saja. Misalnya, saat mereka membaca syahadat, mereka sampai merasakan Syahadat itu hadir di dalam dirinya. Sehingga cara mereka membuktikan Tuhan kadang kala ekstrem, seperti lompat dari atas Pohon dengan kepala di bawah. Tidak mati. Ada juga contoh lain, seperti Hutan Kebakaran dan Allah menurunkan Ayat, La haula wa la Quwata illah billah - Idza arodha Syai'an ayya kulalahu kun fayakun. Lebih kuat mana Api yang membakar atau ayat Allah. Misalnya, ada perempuan cantik, di sampaikkan I love U tidak mau. Di bacakan Ayat, "Innahu Min sulaimana wa nuha Bismillahirrohmanirrohim". Di uji ayat ini, apakah ayat ini lebih kuat dari pada kecantikan perempuan tersebut. 


**

Jika kita pernah dengar penuturan atau membaca disertasi "Sartono kartodirjo" tentang pemberontakan di banten (Cilegon) tahun 1888, dimana Aktor pemberontakan tersebut digerakkan oleh Guru-guru Tarekat. Bahkan, Menurut penelitian 'Martin Van Bruneisen', bahwa pemberontakan yang terjadi di cilegon tersebut digerakkan oleh guru-guru tarekat Qodariyah Naqsabandiyah. Termasuk juga pemberontakan PKI tahun 1926 di banten dan sumatera barat, yang sebahagian besar aktornya digerakkan oleh Tokoh-tokoh Tarekat Qodariyah naqsabandiyah.

Fakta empirik tersebut membantah persepsi tentang Tarekat yang menimbulkan sikap pasifisme dan membuat orang menjauhi dunia, itu salah besar.

Selain itu juga, jika kita bisa baca Tarekat sanusiyah di libya - Afrika utara, pengaruhnya juga besar dalam menggerakkan perubahan. Di khurazan misalnya, gerakan sufi telah menimbulkan pemberontakan, yang menumbangkan dinasti Umayyah. Gerakan Imam Mahdi di Sudan, yang memporak-porandakan pasukan Gordon. Di Uni Soviet, Islam bangkit Lewat gerakan sufi, yang sukar dibendung dan dideteksi oleh KGB

Sebab itulah, Syaikh Al Azhar Abdul Halim Mahmud, memberikan bukti bahwa Beberapa orang dalam Tarekat Kesufian adalah mereka yang aktif dalam dunia-ukhrawi. Sebab, secara politik, sejarah mencatat bahwa Gerakan sufistik juga menjadi pelakon perubahan sosial-politik.

Sebenarnya, yang menarik untuk diikut, ketika kita membaca penelitian "Martin Van Bruneisen", bahwa indonesia sebelum memasuki abad ke 20. Hampir semua gerakan Protes terhadap belanda, dipelopori oleh organisasi-organisasi Tarekat. Karena waktu itu belum tersedia organisasi modern lainnya.

Ihwal itulah, Sehingga aktor protes terhadap kolonial pra abad ke 20, sebahagian besar Digerakkan oleh guru-guru tarekat. Kenapa?. Karena, Komunitas Tarekat menyediakan sebuah Network (Jaringan) yang memungkinkan orang untuk di organisir dan di mobilisasi.

ketika indonesia memasuki abad ke 20, anak-anak muda indonesia, lulusan pendidikan Belanda-lah yang memperkenalkan organisasi sosial modern, seperti Boedi oetomo, SI, Dsb. Sehingga, Guru-Guru tarekat mulai kehilangan perannya.

Aktor Perlawanan pada belanda di abad ke 20, adalah anak-anak muda. Tetapi, pra abad 20, hampir sebahagian besar aktornya adalah guru-guru tarekat Dan tarekat yang paling berperan adalah Tarekat Qodariyah Naqsabandiyah, yang berasal dari ajaran Syech Abdul Qadir Jaelani dan Syech Bahahuddin Naqsabandiyah.

Pasca kemerdekaan, terjadi arus balik pada ajaran-ajaran Tarekat. Orang mulai kembali menengok pada tarekat. salah satunya pada masa orde baru, sekitar tahun 1970-an. Ada satu peristiwa yang mengungkit, sehingga tetiba ada 3 tokoh tarekat penting, yang karirnya hampir se-zaman yaitu "Kiyai Muslih Ranggeng" di Jawa tengah, "Kiyai musta'im Romli" (jombang) jawa timur dan "Abah Anom" di jawa barat.

Masing-masing ketiga Tokoh tersebut punya basis. Kiyai Muslih Ranggeng basisnya murni pesantren dan juga kader PPP, Sedangkan Kiyai Musta'im Romli sekalipun dia adalah Guru tarekat. Namun, ia memiliki Insting politik yang tinggi. Sementara Abah Anom, ini menarik. karena kedekatannya dengan Jendral-Jendral dimasa Orde Baru. sebagaimana yang kita ketahui, bahwa Pesantren Surya layah adalah pesantren yang digunakan sebagai lokasi rehabilitasi pengidap Narkoba, yang sebahagian besar pengidapnya adalah anak-anak jendral. Karena, mereka beranggapan bahwa metode penyembuhan Abah Anom Lumayan sukses.

Salah satu Jendral penting diera Orde baru yang mengirimkan anaknya ke Pesantren Surya layah adalah 'Yoga Sugabu'. Bahkan Anak Jendral tersebut menjadi anak manantu Abah Anom.

Pengaruh kedekatan Abah Anom terhadap petinggi atau Birokrat orde baru, membuat Tarekat, terutama Tarekat Qodariyah Naqsabandiyah menjadi populer dikalangan kelas menengah saat itu. Sebelum adanya ICMI dan lain sebagainya. kelompok tarekat sudah mulai masuk dikalangan birokrat Orde baru. Mengapa?. Karena, Komunitas tarekat dianggap tidak terlalu mengancam. Sebab, persepsi umum yang berkembang saat itu tentang Doktrin tarekat, tidak beraroma politik.

Dalam Tradisi Tasawuf Nusantara, hampir sebagian besar, sangat mempopulerkan Syech Abdul Qodir Jaelani, bahkan setiap membaca Al Fatihah, kerap dikirimkan pada sosok ini.

Tetapi, ada satu dimensi pada sosok Syeh Abdul Qodir Jaelani yang jarang diketahui oleh banyak orang, yaitu pemikirannya dibidang tasawuf. Karena orang tahu dan mengenal tentang Syech Abdul Qodir Jaelani, hanya melalui manaqibnya yang kerap dibaca dalam beberapa ritual di Nusantara 

Padahal ajaran beliau, tentang tafsir juga tak kalah penting. Sekalipun dalam retan waktu yang cukup lama, pemikirannya dalam bidang Tafsir baru bisa di kaji dan diterbitkan, kira-kira sekitar tahun 2005 manuskrip Tafsir Syech Abdul Qodir Jaelani baru diterbitkan. Sehingga bisa dimaklumi, jika banyak yang tidak tahu tentang tafsir tersebut.

Saya menjadi tertarik pada Tafsir ini, karena di bulan Puasa 2 tahun lalu, ada tiga Kiyai Muda di Indonesia, yang membaca secara serentak Tafsir Syech Abdul Qodir Jaelani : pertama, Kiyai Kuswaidi Syafi'i Di Jogya, Ustad Agung Irawan dan Kiyai Ali Abdullah, di Jakarta.

Saya sangat senang, karena ada tiga Kiyai yang membacakan Tafsir ini, sebab dengan begitu Publik bisa mengenal Syech Abdul Qadir Jaelani tidak hanya sekedar Manaqibnya. Karena, jika kita baca manaqibnya, hanya berisi tentang keramat-keramat dan Keajaiban Syech Abdul Qodir Jaelani saja. Sedangkan Idenya sendiri sangat luar biasa, luput dibahas.


***

Syech Abdul Qodir Jaelani ini Menarik, karena Mazhab Fiqihnya beliau adalah Hambali. Sementara, yang kita ketahui, bahwa Orang yang berMazhab Hambali, terkesan Tekstual, Literar dan agak Kaku. Tetapi, Syech Abdul Qodir Jaeilani, Tidak menampakkan hal itu.

Barangkali ini salah satu pengaruh Gurunya Yang Juga Bermahzab Hambali. sekalipun beliau berguru pada banyak Guru, salah satunya yaitu Ibnu Aqil (Bukan Ibnu Aqil Yang mengarang Syarah Kepada Alfiah. Tetapi, Ibnu Aqil Yang Menulis, salah satu Ushul Fiqih penting dalam Mahzab Hambali, yang Berjudul Al Wadi'). Ibnu Aqil ini dianggap sebagai Touring Figur, orang yang sangat Rasional. tetapi, Mazhabnya Hambali. Itulah salah satu Guru dari Syech Abdul Qodir Jaelani.

Didalam Tafsir Syech Abdul Qodir Jaelani, Justru Kita temukan Tafsirnya masuk dalam kategori Tafsir Sufi, karena banyak tafsiranya yang mengandung tafsiran alegoris. Kalau tidak salah, Tafsir Syech Abdul Qodir Jaelani, ada 4 Jilid. Tetapi, pada kesempatan ini, kita ambil 2 Ayat saja sebagai Contoh untuk menunjukkan Metode Tafsir Syech Abdul Qodir Jaelani, itu pun tidak secara keseluruhan. Karena keterbatasn pengetahuan saya juga terhadap Khasanah keilmuan Syech Abdul Qodir Jaelani yang begitu luar biasa.

Pertama, Q. S. al-Baqorah : 30, Tentang Manusia Yang dijadikan kholifah : "Waa Idz Qola Robbuka Lil mala ikati inni Jailun Fil ardhi Kholifah qolu a taj alu fi ha man yufsiduhu fi ha waa yas fiquddima awa nahnu nusabbihu bihamdika waa nu qoddisulak qola inni a'lamu ma laa ta' lamun".

kedua, Q. S. An-Nur, tentang Allah adalah Cahaya langit dan Bumi. Ini ayat yang menjadi uji sampel. karena, banyak Ulama yang menggunakan metode Mistikal dalam Menafsirkan Qur'an. Banyak Ulama yang berlomba-lomba menuliskan kitab berkaitan dengan ayat Ini. Salah satunya adalah Ibnu Sina, Al-Ghazali (Mistqatul Anwar), Al-Farabi, Ar-Razi. Pokoknya Ulama-Ulama Dulu, berlomba menuliskan kitab berkaitan dengan Ayat dalam Q. S. An-nur, karena ayat ini dianggap sangat mistik.

Syech Abdul Qodir Jaelani Menafsirkan ayat yang berbunyi : "Ketika Tuhanmu berkata Pada 'Malaikat'. Bahwa saya akan menciptakan Khalifah diatas Bumi".

Malaikat yang diMaksudkan disitu adalah " Alladzinahum Madzohiruhum lutfihi waa ma ja li jamalihi" (malaikat-malaikat tersebut adalah Sosok atau wujud yang menjadi manifestasi sifat Kasih Sayang Allah). Kerap disebut dengan Teofani atau Cermin Kongkrit dari sifat keindahan Tuhan.

Lanjutannya, " Laa yadz haru alaihim adzarun min adzaril jalali wal qohar" (di dalam wujud malaikat tersebut, tidak nampak sifat Tuhan yang bersifat perkasa atau Kuasa atau kedahsyatan, dan menudukkan).

Jadi, konteks Malaikat pada Ayat tersebut, yang ditugaskan sebagai Lawan Dialog denga Tuhan atau Didalam Percakapan Perenial merupakan kategori Malaikat Rahkmat.

Sedangkan "Ardhi (Bumi)" pada Konteks ayat tersebut ditafsirkan Oleh Syech Abdul Qodir Jaelani adalah "Al alamu as suflihi" (Dunia bawah). Menariknya, karena Syech Abdul Qodir Jaelani menggunakan Terminologi 'Suflihi', sebagaimana yang kita ketahui, bahwa 'Suflihi merupakan Terminologi Filsafat.

Dalam Terma Filsafat, alam Di bagi menjadi dua : ada alam malakut (Alam Para malaikat) dan Alam Fisik (Alam materil). Yang menarik bagi saya dari tafsiran Syech Abdul Qodir Jaelani adalah terminologinya, karena terma ini banyak diKemukan oleh para Filsof yang dipengaruhi oleh pikiran neo platonisme.

Sementara yang disebut 'Khalifah' oleh Syech Abdul Qodir Jaelani adalah "Mir atan Maj lu wa atan an Shodail in kani waa roy ni ta alluqi" ( Cermin yang Bersih atau Cermin yang dibersihkan dari karat-karat Kontingensi atau Kemungkinan tercemar dari Kotoran relasi).

Mengapa disebut Kontingensi atau kemungkinan?. Hal Ini juga merupakan Terminologi dalam Teologi. Karena Wujud selain Tuhan, disebut Kontingensi atau 'Al mumkim al wujud'. Kenapa disebut 'Mumkim', karena dia Mungkin ada dan mungkin tidak ada.

Jika sesuatu dari tidak ada Menjadi ada. Berarti sesuatu tersebut butuh agen yang mengubah status atau Kondisi dari ketiadaan menjadi ada. 'Khalifah' pada konteks ayat tersebut adalah cermin yang dibersihkan dari karat kemungkinan, maksudnya dari Kondisi tidak ada menjadi ada Dan dibersihkan dari kotoran Relasi.

Hal Ini agak rumit, dijelaskan. tapi, coba kita sederhankan.

Didalam teori kalam Asy-Ariyah, ada yang disebut 'Ta alluq Suluqi' dan 'Ta alluq tandzidzi' : keterangannya begini, Sebelum ciptaan ada, maka pencipta yang mengadakan Ciptaan sudah merencanakan untuk membuat Ciptaan.

Sebelum manusia (adam) ada, sudah ada relasi antara Agen Atau Tuhan dan Ciptaannya. Ketika ciptaan belum ada, tetapi sudah ada relasi, Hal itu disebut dengan 'Ta alluq suluki' (relasinya yang sifatnya mungkin ada, karena objeknya belum ada). Tetapi, begitu, Ciptaannya sudah ada, ciptaannya sudah ril, sudah aktual. maka Relasi tersebut bernama 'ta alluq Tandzidzi'.

Maksudnya apa, bahwa saat dia telah menjadi Khalifah, dia telah di bersihkan dari kemungkinan 'Ta alluq Suluqi, karena dia telah menjadi rill dan aktual.

Saya membayangkan, tafsir Syech Abdul Qodir jaelani ini mengkomparasikan terma-terma Filsafat, Teologi, kalam dan juga Mistik. Kenapa mistik, karena Khalifah digambarkan seperti Cermin (Mir atun Maj lua). Jadi, manusia digambarkan sebagai cermin yang berasal dari dunia atas. 

Jika kita baca filsafatnya Plotinus, yang digambarkan sebagai Neo Platonisme, didalam karyanya yang terkenal, ia menyebutkan bahwa Dunia ini Ibarat Cermin. Jadi, relasi antara akal aktif dan jiwa manusia didunia ini, seperti hubungan antara cermin dan sumber sinar (cahaya). Jadi, ketika Sumber cahaya, sumber pengetahuan dari 'al aqlul fa'al - akal' aktif (malaikat Jibril) malaikat Jibril disini sebagai sumber pengetahuan, seperti sinar, yang di proyeksikan ke cermin (jiwa manusia di bumi). Jika jiwa kita bersih, maka kita bisa menangkap sinyal itu dengan mudah. 

Lalu, "waa allama adamal asma (Tuhan mengajarkan adam mengenali nama-nama). 

Selama ini, jika kita membaca tafsir yang terbentang dihadapan kita, bahkan saya seringkali menyampaikkan bahwa saat Tuhan mengajarkan nama-nama, itu adam diajarkan nama-nama benda didunia ini. begitu tafsiran yang selama ini kita baca dan dengar.

Syech Abdul Qodir Jaelani menafsirkannya, "asma" adalah "Al asma alladzi au da'a aha fi dzati wa au fi jada bi ha fi alam (nama yang tersimpan di dalam dzatnya Allah, yang tersimpan di alam) ". 

Nama pada konteks ayat tersebut, ternyata bukan nama di dunia ini. Tetapi, nama pada diri Tuhan. Maksudnya adalah Asmaul Husna, yang menjadi sumber semua wujud fisik di dunia. Jadi, yang diajarkan kepada Adam, bukan nama benda-benda. Tetapi, nama-nama Tuhan, yang merupakan sebab dari wujudnya semua Objek-objek atau wujud fisik, yang ada dialam raya ini. Dan dengan nama-nama itu, Allah menciptakan alam. 

Allahu Akbar...!.

Sekarang Coba kita masuk pada ayat kedua, yaitu Q.S. An-nur : " Allahu Nurus samawati wal ard mastaluh nurihi ka misykatin fi ha Misbah, Al misbahu fi ha dzuja ja".

Jika kita membaca tafsir pada Umumnya, makasud ayat ini "Allahu Nurus samawati wal ard", bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi. Al-Ghazali menafsirkan, dalam kitab Mistqotul Anwar, tentang maksud ayat tersebut adalah Allah Mencahayai Langi dan bumi.

Nah, Abdul Qodir Jaelani menafsirkan ayat diatas, bahwa Diksi 'Allah' pada Konteks ayat yang di maksudkan adalah "Mudz hiru Huma" (Allah adalah cahaya yang membuat langit dan bumi, menjadi nampak dari sesuatu yang tiada menjadi wujud yang bisa di lihat oleh mata). Sedangkan maksud 'Nur' adalah bukan Allah itu adalah cahaya. Tetapi, Allah adalah dzat yang mewujudkan langit dan bumi.

Mengapa disebut dengan 'Mudz hiru huma'. Untuk menjawabnya, kita coba kembali kepada filsafat neo platonisme. Di dalam Terma Filsafat Neo platonisme, ada sebuah penjelasan, yang menjelaskan mengapa benda tersebut bisa terlihat?. Apakah benda tersebut terlihat karena mata kita melihat benda itu ataukah karena cahaya yang membuat benda yang awalnya tidak nampak, menjadi nampak?. 

Dalam teori Neo platonisme, cahayalah yang memungkinkan sesuatu atau benda itu semula tidak terlihat (Gelap) menjadi terlihat (cahaya).  Diksi 'Allah' dalam konteks ayat tersebut, seperti cahaya, yang membuat Langit dan bumi yang dulunya tidak terlihat menjadi terlihat ataukah didalam terminologi Filsafat disebut sebagai wujud yang potensial menjadi wujud yang aktual.

Lanjut, Abdul Qodir Jaelani menafsirkan "Mastalu Nuri hi", adalah sebuah kiasan atau metafora ataukah perumpamaan cahaya Tuhan. 

Beliau menafsirkannya "Mastalu Nuri hi' sebagai  "dzuhuru Anwari hi wujutihi min hayaqi Lil hu wiYati wa syubaqi u Fusi wat taayyunaqi" ; perumpaannya disini, bahwa Tuhan itu punya Ke-Dia-an. Ke-Dia-an Allah itu seperti sebuah bangunan yang misterius. Maksudnya, Ke-Dia-an Allah itu Misteri. Jadi, Ke-Dia-an Tuhan yang semula Misterius, menjadi tampak, melalui terciptanya dunia ini. 

Lalu "Ka Misykatin fi ha Misbah, Al misbahu fi ha dzuja ja, adz zuja ja ka Anna ha kau Kabun dzurriyuh", ; perumpamaan cahaya Tuhan itu seperti ceruk, yang di dalam ceruk tersebut terdapat Misbah (lampu). 

Lampu (Misbah) Didalam Tafsiran Abdul Qodir Jaelani adalah "Mistalu Nurul Al wujud ilahi" : Wujud cahaya Tuhan. Yang membuat semua wujud didunia ini ada. Sebab, dialah sumber wujud.

Lampu (Misbah) itu ada dalam satu kaca yang bening, yang bersih dari segala wujud-wujud yang sifatnya non ilahi. 

Pada Intinya, yang membuat saya menarik tentang Syech Abdul Qodir Jaelani, dalam Tafsirnya ini adalah barangkali beliau tidak menganut doktrin tentang 'wahdatul wujud'. Tetapi, dia menganut sebuah doktrin yang terkenal juga dalam dunia sufi, bahwa alam raya ini sebenarnya relasi dengan Tuhan itu seperti cahaya, dengan objek yang di cahayainya. Sehingga, Tuhan adalah Cahaya yang menjadikan alam raya ini menjadi tampak. 

Jika kita menelisik kembali kedalam salah satu teori dalam Ilmu Tarekat, bahwa Cahaya Tuhan itu di wujudkan atau di visualisasikan, dengan apa yang disebut dengan 'Nur Muhammad'. 

Nur Muhammad itu di pandang sebagai sumber cahaya, melaluinya-lah kemudian Tuhan mengalirkan cahayanya kedunia ini Atau Wujud pertama setelah Tuhan adalah Nur Muhammad. Hal ini persis sama dengan Terma Akal pertama dalam teori emanasi Al-Farabi.

Satu hal yang bisa di Tarek sebagai benang merah adalah Allah itu memiliki sifat yang Jalal (Perkasa) dan Jamal (lembut). Nah, Tasawuf itu merupakan dimensi asma Tuhan Yang mengurai keLembutan Tuhan. 

Dalam Islam ada keseimbangan, Diksi Allah dari segi Bahasa dari kata 'Hua' yaitu Dia (Maskulin). Tetapi, sifatnya yang paling banyak disebut adalah Rahman dan Rahim (feminim). 

Dimana Posisi Tasawuf dan Filsafat?. Ketika pengalaman batin, di ungkapkan, maka sesungguhnya dia telah masuk ke ranah filsafat. Sebab, jika tidak dijelaskan maka pengalaman tersebut tidak akan bisa dibagi kepada orang. Tetapi, ketika pengalaman dibagi atau dijelaskan oleh kata-kata. Tentu, kata-kata akan mereduksi pengalaman spiritual. Disitulah letak problem dunia Tasawuf, sehingga orang sufi, kadang disalah pahami. Karena selalu ada jarak antara pengalaman otentik dengan penjelasan (Narasi).


***

Ada diktum terkenal, saya lupa apakah itu adalah hadist atau i'tibasul Ulama yang menyebutkan bahwa " man ta'allama bi Ghoiri sya'in fa syaihu hu syaiton - barang siapa yang belajar (Belajar di maksud adalah belajar Spiritual - Tasawuf), tanpa Guru. Maka, gurunya adalah setan". 

Jangankan kita, Nabi Ibrahim saja saat belajar demikian. Setannya datang dan Mengaku Tuhan di hadapannya, seraya berkata, " akhlaltu laka muharromat - pada hari ini semua yang haram menjadi Halal untukmu". 

Akhirnya, Nabi Ibrahim sadar. Ia lalu mencari Batu dan melemparinya. Makanya, saat ibadah Haji, salah satu rukunnya adalah melempar setan (Lempar Jumroh), hal itu merupakan Bahagian dari Napak tilas kisah Ibrahim. Sekalipun saat kita melempar, saya yakin setannya tidak kena. 

Di titik itulah, betapa proses pencaharian terhadap kebenaran, kadang di tengah perjalanannya kita tersesat. Di situlah pentingnya seorang Mursyid (Guru) bagi pejalan. 

Tetapi, harus kita sadari juga, bahwa Pada Hakikatnya Guru itu tidak usah di cari. Sebab, kadang kita mencari Guru, justru yang kita dapat adalah Batu cincin merah delima, Badik, parang, Tombak, Jimat, ujungnya adalah menggandakan Uang (Sanro). 

Syech Abdul Qodir Jailani, Misalnya adalah seorang Mursid Tasawuf, Waliyullah. Justru dialah yang mencari murid, bukan sebaliknya. Makanya dalam sejarah, beliau menjadikan seorang beragama Yahudi, menjadi Muridnya. ia bina sampai menjadi seorang wali afdhal. 

Kalau pun kita tetap mencari Guru Spiritual, tidak apa-apa juga, Justru bagus. Tetapi, standar yang paling pertama dan utama, terletak pada Syariatnya ; Sholatnya Bagaimana, sedekahnya, Puasanya seperti apa, Baca Qur'annya bagaimana, wawasan keilmuannya seperti apa?. Jangan sampai, seseorang yang kita daulat sebagai Guru. Tetapi, baca Al-fatihah saja jatuh bangun. 

Artinya, belantara Spiritual meniscayakan kita melewati pintu gerbang yang bernama Syariat. Memang dalam Spiritual, ada yang Kadang-kadang, sebagaimana para Wali-wali afdhal - seperti "Tun Al Marsi", hari ini jadi pelacur, besok jadi wali. Ada juga yang hari ini Jadi pemabok, besok jadi wali. Tetapi, semua itu jarang terjadi. 

Syariat itu seperti orang Naik Kapal. Tarekat itu seperti orang naik kapal dan mendayungnya ke tengah laut. Hakikat itu seperti kita loncat dari kapal dan menyelam kedalam lautan mencari mutiara. Ketika kita menemukan mutiaranya dan kembali keatas kapal, maka kita akan bertemu ma'rifat.

Ketika kita menemukan Mutiara, itulah makna. Ketika kita sudah menemukan makna, tidak ada kata lain. Kecuali kerinduan yang menyesakkan dada. 

Karena tidak ada yang bisa kita lakukan, terhadap perasaan kita. Apalagi kapan bisa merasa dekat dan jauh. Tapi itu semua tidak masalah. Karena yang bisa kita lakukan adalah, berdiam, memejamkan mata dan bergumam berdzikir. Maka kita akan bertemu di ruang kerinduan dengan Yang Maha Kerinduan.


***

Beberapa waktu lalu, riuh perbincangan tentang Pelantikan para Wali-Wali. Mungkin diantara kita banyak yang belum Tahu bagaimana proses pelantikan wali awtad, abdal dan quthub. Prosesnya dari sang Wali Ghouts yang disetor ke Nabi Khidhir, lalu disetor ke Rasulullah Saw di lantai tiga kemudian Rasulullah mengamanatkan ke syaikh Abdul Qadir Jailani untuk melantik dan mengesahkannya.

Kedengarannya Agak lucu dan ajaib Juga. entah saya Mau memulai dari Mana Mengulasnya, saat pertama kali mendengar Informasi tersebut.

Ustadz yang belakangan Digandrungi, karena ceramahnya sangat santun, adem dan Moderat serta Tema-tema Ceramahnya Banyak mengulas seputar cinta, Tasawuf, Ismu (Nama) Ruh dan Ma'rifat. Terkesan menjadi Bahagian dari Seorang Yang Kabarnya adalah Seorang Wali yang memiliki otoritas melantik para wali-wali.

Akibat keberpihakan BAH pada orang Yang Di anggap Gurunya inilah. Sehingga guru-guru BAH yang lain memutuskan sanadnya keilmuannya terhadap BAH, karena selain dianggap telah keluar dari kesepakatan Ulama Mu'tabar, ia juga dianggap durhaka dengan Mengatakan orang- orang yang beraliran thoriqoh syadziliyah, naqsabandy, Khodiriyah itu masih terhijab. Mursyid- mursyid yang lain sudah tidak dianggap dan BAH Hanya mengikuti Gurunya Yang mengaku Wali tersebut.

Sebenarnya Tentang penamaan Ruh, misalnya. itu bukan ilmu baru bagi saya, di literatur- literatur Tasawuf banyak di ulas soal itu, bahkan Guru saya pernah menyinggungnya. Hanya saja, materi tasawuf falsafi, menurut saya, agak susah jika di suguhkan kepada Masyarakat secara Umum. Sebab, Seluruh ajaran thoriqoh, Ada pengetahuan yang hanya boleh di konsumsi oleh penganutnya saja Dan ada pengetahuan yang boleh di konsumsi oleh publik atau yang belum menjadi penganut thoqiroh tersebut. Sebab, seaneh apapun Materi Tahoriqoh, jika di suguhkan di Kalangan Khusus, tentu tidak Kontraversi.  Misalnya ada orang berpendapat bahwa shalat lima waktu untuk dirinya tidak wajib. tapi pendapat itu tidak ia share ke publik dan betul-betul Hanya untuk diri sendiri, bahkan anak dan istrinya pun tidak wajib, jika dia punya pendapat seperti itu.

Saya Melihat di situlah problem BAH, sebab ada materi yang memang hanya bisa di suguhkan untuk kalangan khusus. Tetapi, konyolnya hal itu dipublish. Akhirnya BAH jadi Bulan-bulanan.

Syaikh Ibn Athaillah juga terkenal sebagai ghauts dimasanya. Namun Ibn Taimiyah pun juga belum mampu taslim padanya. Namun perjumpaan beliau dengan Ibn Atha' mampu mengantarkannya untuk bertarekat (Qodiriyah). Murid "shadiq" Ibn Taimiyah lah (Ibnul Qayim) yang akhirnya menjelaskan karakteristik gurunya di bidang tasawuf.

Termasuk etika murid tarekat adalah meyakini bahwa guru mursyidnya adalah Pewaris Sejati Nabi, Wali Qutub bahkan Wali Ghauts Dan Para Mursyid Hakiki tentu mengalami maqom ahadiyah yang kemudian di yakini sebagai kedudukan wali ghauts. tetapi, ini tidak lazim dan jika di tinjau sepintas pasti "MASUK KATEGORI MENYIMPANG". Oleh karena itu membutuhkan media khusus untuk hal ini. Jika ada orang yang coba-coba dengan kedudukan agung tersebut pastilah mudah terbongkar.

Semua ada instrumennya. Maka "SARAN beberapa Kiai dan Ulama" sangat tepat. Mereka memahami betapa peliknya hal tersebut tentu merasa terpanggil untuk turut mendinginkan cuaca yang sengaja di hembuskan oleh sumbu pendek. semacam serangan Ibn Atha' yang didahului ayahnya kepada calon gurunya "Ibn Abbas Al-Mursyi".

Berkenaan dengan itu, saya teringat dengan Apa Yang di sampaikkan oleh Syaikh Ibnu Athaillah As-Sakandariyah, " tidak pantas seorang salik (penempuh jalan) mengungkapkan karunia warid yang telah ia dapatkan. Sebab, yang demikian itu akan mempengaruhi warid dalam hatinya dan menghalanginya dari ketulusan kepada Rabbnya.


***

Ada kisah tentang, Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani, sebagaimana yang saya kemukakan diatas, bahwa beliau di kenal sebagai "Sulthonum auliyah' (Rajanya para Wali).

Syech Abdul Qodir Jaelani, tak kunjung menikah padahal usinya sudah memasuki kepala empat. Ia didatangi Rosulullah dan beliau menyuruh al-Jaelani, "menikahlah"!. 

Al-Jaelani berkata ;  "Saya tidak menikah sampai Rasulullah, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya damai, berkata kepada saya, Menikahlah" 

Dulu, Junaid Al Baghdadi, meminta Izin pada Gurunya untuk Berkutbah Jum'at. Kata Gurunya, Jangan sesekali engkau Berkhutbah, jika belum dapat Izin dari Rosulullah.  

Lalu, Junaid Pulang dan Menunggu sampai waktu yang diizinkan tiba. Malam Jum'at, Ia bermimpi berjumpa Rasulullah dan di beri Izin untuk berkhutbah. Dengan segera ia bergegas menuju rumah Gurunya, untuk menyampaikan bahwa Rosulullah telah memberi izin untuk berkhutbah, sehingga tak ada alasan lagi buat gurunya menahannya.  

Begitu, ia sampai di rumah Gurunya. Ternyata, Gurunya telah menunggunya di beranda, seraya berkata, "Apakah semalam Rosulullah telah memberimu Izin, duhai Junaid.  Sesungguhnya, sebelum Rosulullah mendatangimu, Beliau mendatangiku dan menyampaikkan untuk mengizinkanmu berkhutbah. Maka tak ada alasan bagiku untuk menahanmu, duhai Junaid".  

Bagi para sufi, perjumpaan dengan Nabi Muhammad SAW di alam nyata merupakan pencapaian spiritual yang tinggi. 'Abdul Wahhab al-Sya'rani' mengutip gurunya, Syaikh Ali al-Khawwash, yang berkata: "Seorang hamba tidak menyelesaikan stasiun pengetahuanNya sampai dia bertemu dengan Utusan Tuhan, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian, untuk waspada dan waspada". 

Dalam Hadist, satu-satunya Mahluk yang tidak akan bisa di serupakan oleh Iblis adalah Rosulullah SAW. Sehingga, siapapun yang bermimpi berjumpa dengan Rosulullah SAW, Pasti benar. Sedangkan Bermimpi Bertemu Allah, Pasti Salah. 

Apa yang dianggap lemah, seringkali sebenarnya kuat, asalkan kita melihatnya dari berbagai sisi yang berbeda. Di dalam praktik tasawuf, baik yang populer maupun yang eksklusif, dimensi cinta kepada Nabi selalu dikedepankan, menjadi langkah pertama pendekatan diri kepada Tuhan. 

Para Sufi amat lekat dengan tangisan dan kesendirian, yang digunakan untuk menggali sedalam mungkin isi otentik dari hati manusiawinya. Dalam penggalian itu, Sufi ingin melihat apakah ia telah jujur dan sepenuh hati mencintai Sang Nabi, atau hanya pura-pura saja. Sedalam-dalam aspek dari kesadaran yang ingin dimiliki oleh Sufi, adalah kesadaran bahwa betapa rindu dan cintanya kami kepada Sang Nabi. 

Tangis dan cinta seringkali menjadi lambang kelemahan, namun tidak bagi Sufi. Semakin jujur tangisan karena rindu pada Sang Nabi, semakin besar deraian ketenangan (ithmi'nân) yang mengairi hati. Tangis, rindu, dan cinta adalah sumber kekuatan Sufi. 


*Pustaka Hayat
*RST
*pejalan Sunyi
*coret-Coret
*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar