Mengenai Saya

Senin, 28 November 2022

ANNYEONG HASEYO - MENILIK KORSEL DAN INDONESIA ; CITIZEN JOURNALISME

Seingatku, sekitar 20 tahun lalu, HP Samsung bukanlah pilihan. Bentuknya saja membuat selera kabur. Ini hanya pengalamanku dulu. Tapi hari ini siapa yang berani meragukan teknologi Korea Selatan tersebut.

Demikianlah sebagian dari The Miracle on The Han River.

Pada saat Korsel memproklamasikan kemerdekaannya, 15 Agustus 1945, hanya 2 hari lebih tua dari negeri kita, Korsel adalah negara paling melarat di dunia. Mereka miskin sumberdaya alam dan mayoritas penduduknya buta huruf. Hingga tahun 1960 pendapatan perkapita Korsel hanya 79 USD. Untuk membayangkan bagaimana   Korsel 70 tahun lalu lihatlah kondisi saudaranya di utara saat ini.

Keajaiban tersebut bermula dari Jenderal Park Chung-Hee yang merebut kekuasaan tahun 1961 dan memerintah dengan tangan besi. Diktator yang brutal. Tapi Jenderal Park paham bagaimana merancang pembangunan ekonomi negaranya. Walaupun sarat dengan korupsi namun kue pembangunan di Korsel tumbuh dengan baik, meskipun sebagian besarnya hanya dinikmati oleh sejumput Chaebol (konglomerat).

Di tangan penerusnya, sesama Jenderal Chun Do-hwan dan Roh Tae-woo, kue pembangunan Korsel mekar sempurna. Perlahan perusahaan para Chaebol yang diproteksi sekian lama mampu tumbuh lebih kompetitif. Kesejahteraan umum meningkat meskipun Demokrasi dan HAM tetap bangkrut. Peristiwa Pembantaian ratusan mahasiswa di Kota Gwangju tahun 1980 menandai sisi kelam Korsel. Kondisi politik mulai berubah sejak pemerintahan sipil Kim Young-sam dan kemudian dilanjutkan Kim Dae-jung (memerintah 1998-2003), sejak itu, Korsel meraih semuanya: kesejahteraan ekonomi dan demokrasi politik.

Saat ini GDP Korsel mencapai 1.586 triliun USD (10 besar ekonomi dunia) dan pendapatan perkapita mencapai 30.000 USD (naik 38.000% dari tahun 1960), ranking 23 dalam HDI, ranking 9 eksportir dunia. Tidak hanya itu, dunia saat ini juga sedang dilanda demam Korean Wave, pop culture, baik K-Pop maupun drakor. Seluruh dunia fasih menyapa Annyeong haseyo. Apakah ini ujung dari mimpi para founding fathers Korsel?

Dalam hal periodisasi waktu, Korsel adalah pembanding yang baik untuk Indonesia. Sama-sama merdeka di bulan Agustus 1945, mengalami kudeta militer 4 tahun sebelum G-30-S yang kemudian politik didominasi tentara, mengalami perubahan ke rezim sipil 6 tahun sebelum reformasi kita, dan konsolidasi demokrasi sejak 1998. Seluruh tahap hampir mirip, tetapi Korsel mendapatkan momentumnya. Jika Korsel mendapatkan momentum, kenapa Indonesia tidak?

Sebagian adalah karena Indonesia dan Korsel jauh dari apple to apple. Tidak bisa dibandingkan setara. Ini jika kita mendalami unsur-unsur dari kedua negara.

Pertama adalah, berbeda dari Indonesia yang Bhinneka, Korsel adalah negara dengan etnis yang homogen, 96% berasal dari etnis yang satu dan bahasa tunggal. Indonesia, seperti yang anda ketahui, terdiri dari sekurangnya 300 kelompok etnis dan suku, dan sekurangnya 718 bahasa daerah. Homogenitas ini mempermudah konsolidasi kultural bangsa Korea.

Bangsa Korea telah mengidentifikasi dirinya sebagai orang Korea sejak abad 10, berasal dari nama kerajaan Goryeo. Jumlah kerajaan disana tidak pernah lebih dari tiga kerajaan, malah kemudian menyatu di bawah Dinasti Joseon di abad 14 masehi (1397-1897). Sedangkan, sebagian kecil orang Indonesia baru sadar bahwa mereka bagian dari bangsa Indonesia sejak 1928, sebagian besar malah baru paham sejak 1945. Mereka lebih mengenal dirinya sebagai bangsa Jawa, Aceh, Batak, Minang, Minahasa, Sunda, Bugis, Makassar, Timur, Papua, dan seterusnya. Demikian pula dalam soal bahasa.

Guna menegaskan homogenitasnya, Korsel di awal sejarahnya menekankan doktrin Ilminisme dengan semboyan One-people Principle, Prinsip satu bangsa yang diilhami ideologi supremasi rasialnya Jerman. Semata untuk glorifikasi dan unifikasi rakyat di bawah satu etnis, satu bangsa, dan satu partai untuk melawan komunis di utara. Residu atau sampah sisa doktrin ini masih kita rasakan beberapa waktu lalu saat televisi nasional Korsel menghina kontingen beberapa bangsa (termasuk Indonesia) saat pembukaan Olimpiade Tokyo 2020. Tentu ini bukan watak seluruh orang Korea.

Kedua adalah posisi geografis Korea yang dihimpit oleh tetangga-tetangga yang besar dan kuat. di Daratan berabatasan dengan China, bukan hanya raksasa Asia, tetapi juga raksasa dunia. Di laut mengancam Jepang, bangsa Asia pertama yang mengungguli Eropa.

Pada abad 13, Korea selama 30 tahun harus bermandi darah menahan gempuran Invasi Mongol yang menyerbu dari China. Jepang juga tetangga yang agresif. Di akhir abad 16 Jepang mengirim serangkaian invasi ke Korea. Mereka gagal menaklukkan Korea namun jejaknya sangat membekas bagi Bangsa Korea. Tentara Jepang membawa tropi perang berupa telinga dan hidung dari prajurit dan warga Korea yang mereka bantai. Jumlahnya cukup untuk membuat bukit Mimizuka dekat Kyoto.

Di era modern, Jepang kembali menginvasi Korea, dan akhirnya berhasil menguasai Korea selama 35 tahun yang berakhir hingga kekalahan Jepang di Perang Dunia Kedua (1910-1945).

Ada dugaan, dendam terhadap Jepang merupakan motivasi terbesar bangsa Korea untuk maju dan mengalahkan Jepang di semua arena kehidupan.

Bukti strategisnya posisi Korea juga diperlihatkan pada Perang Korea (1950-1953) dimana AS, Uni Soviet, dan China turun langsung dalam konflik bersenjata terbesar pasca PD II tersebut. Terpisahnya Korea menjadi Selatan dan Utara adalah bukti lain dari kuatnya kepentingan dunia di semenanjung tersebut.

Untuk menjaga kepentingan strategisnya, AS mati-matian menjaga Korsel, termasuk bantuan senilai 3.100 miliar USD hingga tahun 1961. Bantuan ini dimanfaatkan dengan sangat baik, terutama setelah era Park Chung-hee.

Ketiga adalah rezim militer yang unik. Di satu sisi rezim militer Korsel sejak 1961 memperlihatkan wataknya yang brutal, utamanya terhadap para penantangnya. Namun mereka juga membangun pondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi. Sejak dini Korsel menginvestasikan sebagian besar dana bantuan untuk memfasilitasi pendidikan bagi mayoritas warganya yang buta huruf.

Para Jenderal juga memulai kebijakan ekonomi proteksionis, mendorong para Chaebol berkembang mengaktifkan pasar domestik, mendorong kebijakan industrialisasi berorientasi ekspor, menutup impor segala jenis produk asing kecuali bahan mentah, reformasi agraria dengan menasionalisasi perkebunan Jepang, dll. Insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan para Chaebol yang sedang tumbuh; Hyundai, Samsung, LG dll. Ada kisah unik ketika Korsel merintis industri mobil, seluruh warga diwajibkan membeli mobil nasional tersebut walaupun kualitasnya buruk dan raja mogok. Dengan riset dan pengembangan yang konsisten, saat ini, tidak ada yang meragukan kualitas mobil produksi Korsel.

Para Jenderal pemimpin rezim militer di Korsel, walaupun di ujung usianya harus digelandang oleh pemerintahan sipil ke penjara akibat korupsinya yang luar biasa, tetap dikenang sebagai figur-figur yang telah meletakkan fondasi yang kuat bagi pembangunan Korsel. Kita?

Tapi lebih penting lagi adalah semangat bangsa Korea sendiri. Di tengah semua keterbatasan sumber daya alam dan kemiskinan serta kebodohan, juga dijepit tetangganya yang kuat dan perkasa, bangsa Korea (hanya yang selatan) sanggup lepas dari lubang jarum, lalu berjaya. Adakalanya, semua bentuk keterbatasan dapat menjadi pendorong yang baik. Inilah kenapa sangat jarang negara maju yang memiliki kelimpahan kekayaan sumber daya alam, mereka serius membangun SDM.

Terkait SDM ini, ada kesalahan paham yang masih kita alami, seakan-akan pintu gerbang kemajuan SDM dalam ilmu pengetahuan kuncinya adalah bahasa, utamanya bahasa Inggris yang dianggap bahasa internasional. Tengok saja orang Korea, bahkan juga Jepang dan China tidak lebih pintar berbahasa Inggris dibandingkan kita. Malah cenderung lebih rendah kemampuan bahasa Inggrisnya dari orang kita. Perlu untuk dicatat bahwa bahasa Inggris mutlak dibutuhkan hanya ketika kita ingin menjadi pedagang, perantara, dan makelar, seperti orang Singapura.

SDM berarti pengetahuan, keterampilan, dan etos kerja. Berbagai negara di Asia Timur sudah membuktikannya.

Lebih jauh lagi dengan kemajuan Korsel dalam penetrasi budaya Pop. Sesuatu yang tidak dibangun dalam semalam. Mereka serius menyiapkannya sejak belasan tahun silam. Ini direncanakan dengan matang yang disponsori negara, bukan kejadian insidental. Penetrasi budaya ini mencengkeram kuat utamanya di kalangan milenial di seluruh dunia. Anda mungkin tidak memahami apa yang dirasakan generasi milenial saat ini dan jejak yang akan ditimbulkannya di masa depan. Yang pasti semua milenial kenal Korea, para bintang K-Popnya maupun aktor dan aktris Drakor. Dengan capaian ini, Korsel telah melampaui Jepang, bangsa yang telah menimbulkan trauma dan ingin dikalahkannya.

Apakah dengan semua capaian tersebut bangsa Korea (hanya yang selatan) telah mencapai taraf kebahagiaan yang diimpikannya? Kita tidak tahu. Bahkan apa sesungguhnya yang terjadi di kedalaman mereka pun kita tidak tahu. Tulisan ini tidak hendak mengulas soal kebahagiaan. Silakan bila anda mengetahui lubang-lubang yang ditinggalkan selama pembangunan bangsa Korea.

Apakah Indonesia memiliki potensi menyaingi pencapaian Korsel? Rezim militer ala Orba jelas telah gagal, apakah pemerintahan sipil hasil pemilu demokratis memiliki kesempatan?. Silakan dipikirkan sendiri.

Annyeong haseyo....!!


***
Merdeka!. Penuh semangat. Apa kira-kira makna kemerdekaan bagi masyarakat Indonesia di zaman itu?.

Kalangan indo Belanda mengenang dampak proklamasi 17 Agustus dengan satu periode singkat yang traumatis, namanya Periode Bersiap (dari banyaknya teriakan siap-siap! yang mereka dengar), tahun 1945-1946, di seputar Jakarta, pada saat orang Indo Belanda masih compang-camping sekeluarnya mereka dari interniran Jepang, tiba-tiba pemuda Indonesia menyerbu, menjarah, dan membunuhi mereka.

Bennedict Anderson bercerita dalam bukunya “Revoloesi Pemoeda” tentang geliat dan amuk yang muncul seketika. Sebut saja dalam Peristiwa 10 November Soerabaya. Sastrawan Idrus kebingungan melihat para pemuda bersenjata yang menembaki stasiun kereta api tanpa alasan dan tujuan jelas. Tapi dari brutalitas arek-arek Surabaya itulah yang membuat Amerika, terutama Inggris, sadar bahwa arek-arek ini mengamuk karena ingin merdeka, dan mereka pun meninggalkan Belanda.

Belanda sendiri jauh lebih bingung. Mereka sama sekali tidak menyangka bekas koloninya telah berubah demikian drastis. Pada saat mereka tinggalkan Hindia Belanda tahun 1942 semua masih baik-baik saja. Malah para pemimpin pribumi sempat menawari Ratu Juliana untuk pindah ke Hindia Belanda setelah negerinya direbut Jerman. Belanda gagal paham bahwa jejaknya selama ratusan tahun telah lenyap disiram Jepang yang hanya tiga tahun. Kedatangannya kembali disambut dengan kelewang dan senapan. Semua wilayah telah terbakar api yang disulut Soekarno. Belanda terjerumus dalam jebakan Batman. Lalu kalah.

Berdarahnya revolusi 45 membingkai berbagai citra tentang kemerdekaan. Frasa yang selalu kita dengar pada setiap peringatan kemerdekaan, saya sendiri tidak terlalu setuju, adalah frasa “mengisi kemerdekaan”, seakan-akan kemerdekaan adalah bak mandi yang tinggal diisi, lagi dan lagi. Semua sudah selesai, tinggal diisi.

Bung Karno memiliki cara lebih baik menggambarkan kemerdekaan sebagai “Jembatan Emas” menuju cita-cita nasional. Ia terbuat dari emas, tapi tetap saja hanya (baru) jembatan. Saking semangatnya, BK terus meyakinkan publik bahwa revolusi belum selesai. Beliau menyebarkan visi tentang Indonesia yang besar, berpengaruh, kiblat, poros, dan teladan bagi seluruh dunia. 20 tahun kemudian bangsa Indonesia kelelahan dan bosan dengan gelegak cita-cita BK, dan sepakat mengakhiri kekuasaan beliau pada 1966. Para Jenderal pengganti BK kembali lagi menggaungkan frasa “mengisi kemerdekaan”, tanpa kobaran visi, tanpa gelegar membahana, yang penting rakyat tenang dan kenyang.

Lalu tiba masa Kita. Semangat reformasi. Malu-malu tapi mau. Kaum sipil menegakkan demokrasi liberal. Sudah memasuki tahun ke 24. Berapa lama ini akan bertahan?.

Tujuh tahun terakhir, demokrasi mengantar kita pada kesempatan untuk saling mencabik dan mengoyak kebersamaan. Jika kamu cebong maka kamu haram jadah. Jika kamu kadrun lebih baik enyah ke padang pasir.

Salah satu ciri, bahkan kutukan, masyarakat sipil, terutama pemimpinnya, adalah lupa batas-batas mana yang boleh mereka lakukan dan mana boleh dilanggar. Jika militer memiliki batas yang jelas, namanya hirarki, sipil praktis bersedia menempuh dan melanggar semuanya. Semua boleh dimakan hingga tiba pada satu keadaan yang dapat meruntuhkan sendiri tempat dimana ia berdiri. Perseteruan cebong-kampret sudah mengarah ke situ.

Jangan dikira bahwa situasi ini yang pertama terjadi. Tahun 1950-1959 demokrasi liberal dengan sendi politisi sipil pernah berjaya. Perseteruan di antara mereka, saling mencabik dan mengoyak, kabinet jatuh-bangun, akhirnya diakhiri oleh BK dengan tangan besi, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang didukung kuat oleh tentara dan PKI. Tentara mendukungnya karena bosan diintervensi partai politik, PKI mendukungnya karena tidak pernah diberi tempat di kekuasaan. Semua sirna dalam 9 tahun.

Kira-kira reformasi dan demokratisasi kita saat ini akan sirna dalam berapa tahun lagi?.

Memang, demokrasi tidak hanya ditentukan para pemimpin. Bisa dikatakan bahwa apa yang ditampilkan para pemimpin sipil hanyalah mewakili apa yang berlangsung di tengah masyarakat. Jika mereka korupsi, itu hanya perlambang dari apa yang kalian lakukan di kantor lurah saat mengurus surat tanah, atau ketika dicegat polisi di tengah jalan, atau ketika Caleg mendatangimu sore hari menjelang Pemilu.

Martin Seymor Lipset, Samuel Huntinton, dan Adam Przeworski menyelidiki tentang hubungan demokrasi dan tingkat ekonomi satu bangsa. Mereka bilang demokrasi akan “aman” tumbuh ketika pendapatan perkapita di sebuah negara telah melewati angka 3.000-4.000 USD. Lebih dalam lagi Fareed Zakaria yang mengunggah teori batas kritis demokrasi, bahwa demokrasi hanya akan bertahan 8 tahun pada negara dengan pendapatan perkapita di bawah 1.500 dolar, hanya akan bertahan 18 tahun pada negara dengan pendapatan perkapita 1.500-3.000 dolar. Dan risiko kegagalan hanya 1/500 ketika pendapatan perkapita sudah di atas 6.000 dolar/tahun. Studi mereka berbasis pada demokratisasi bangsa-bangsa antara 1950-1990, masuk akal untuk ukuran ekonomi Indonesia tahun 1950 ketika pendapatan perkapita Indonesia masih di bawah 500 USD.

Pendapatan perkapita kita sekarang sekitar 4.000 USD,  baru mencapai 2/3 dari batas kritis yang mereka tentukan. Seberapa kuat demokrasi dapat dipertahankan?

Akar teorinya sesungguhnya sederhana. Orang yang cukup makan dan minum, cukup sandang, papan dan kebutuhan dasar lainnya, termasuk pendidikan dan kesehatan, dan sedikit untuk bersenang-senang, akan mempertahankan akal sehatnya ketika diajak merusak sistem demokrasi dan persatuan, ketika diajak menyerang cebong atau kampret di jalanan. Semakin banyak yang bersedia diajak membenci dan merusak itu adalah sebagian dari tanda-tanda.

Tapi sejujurnya, ekonomi bukanlah ukuran yang satu-satunya pasti. Arab Saudi misalnya, atau bahkan Malaysia dan Singapura. Itu hanya sedikit untuk menyenangkan kalian.

Faktanya adalah, ini sistem belum tentu tidak akan bangkrut, dan Indonesia belum tentu kuat jika terjadi satu goncangan besar lagi, akan hilang semua momentum. Kecuali kita ingin dipimpin dengan tangan besi lagi, atau ingin mengalami situasi seperti Afghanistan hari ini.



*Pustaka Hayat
*Pejalan Sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran

AL ILMU YURISHUL AHWAL ; METODELOGI DAKWAH

Bagaimana mengetahui syiar islam ala Nabi?. Ada banyak cara mengetahuinya. Salah satunya dengan membuka dan membaca Al-Qur'an dan Hadist. Dari situ, kita bisa membersamai Hal mendasar, mengapa Islam yang di syiarkan pada suatu Komunitas kecil di Semenanjung Arabiah, hisa tersebar begitu luas sampai di belahan bumi yang paling jauh sekalipun. 

Pertama, Nabi Muhammad SAW, diangkat menjadi seorang Nabi, Perintah pertamanya adalah Iqro (Bacalah). Menariknya, perintah tersebut di perintahkan sebanyak dua kali, Tanpa di sebutkan objeknya bacaannya apa. Baca apa saja ; baca yang tertulis, baca yang tidak tertulis, dan baca kondisi sosio antropologis masyarakat. Hal itulah juga yang menjadi syarat utama, dalam menyampaikkan ajaran Rosulullah SAW. Sebab, beberapa hal Nabi menyampaikkan sesuatu, berdasarkan apa yang di wahyukan Oleh Allah. Sehingga ketika ada pertanyaan, boleh jadi Nabi menjawab saya tidak tahu. Barulah, Nabi menyampaikkan jawaban, setelah datang wahyu yang memberitahunya. Ihwal Itulah, mengapa kita di perintahkan membaca terlebih dahulu. Agar, kita tidak kekurangan Kosa kata atau Argumentasi dalam menjawab.

kedua, berdasarkan wahyu kedua Al-Qur'an, yang menurut sementara para Ulama ; "Yaa ayyuhal Muzzamil umil laila illa qolila". Pada ayat ini jelas, bahwa bukan hanya kemampuan akal atau intelektual seorang penyampai saja yang menjadi prinsip utama, melainkan kesiapan mental dan kedekatan diri kepada Allah. Sebab, Ketidaksiapan mentalitas seorang penyampai dan jauhnya seseorang dari Allah, maka dengan mudah ia Menggadaikan Identitas, Kesejatian dan Keontentikan sebuah ajaran.

Ketiga, Jauh sebelum Rosulullah SAW. Menyampaikkan sebuah Risalah. Masyarakat Jahiliyah telah memberikan Legitimasi Bahwa Muhammad adalah seorang Al Amin - Terpercaya. Allah sendiri, memberikan konsideran pengangkatan Rosulullah SAW sebagai Tauladan - Uswah. Karena Muhammad memiliki budi Pekerti yang luhur, sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Al qolm ; "Nun, Wal qolami waa ma yasturun, maa anta bi nikmati robbika majnun,  Waa inna ka la ala khuluqin adzim".

Demikianlah, Tiga Prinsip utama sebelum berdakwah atau menyampaikkan sebuah Ajaran. Pertama, Membaca atau Kemampuan argumentasi yang Kuat. Tidak kekurangan Kosa kata (Referensi). Kedua, Kemampuan Emosianal dan kedekatan diri kepada Allah. Ketiga, dapat di contoh atau Tauladan.  

Setelah tiga prinsip utama terpenuhi. Maka, tuntunan Al Qur'an adalah, "Yaa ayyuhal Mudassir (Wahai Orang Yang berselimut - Yang tidak Giat)". "Kun (bangkitalah)", "fa Andzir (sampaikan peringatan)". 

Apa syaratnya, "Waa robbaka fa kabbir (agungkan Tuhanmu)". "Waa siyabaka Faa tahhir" (ada banyak penafsiran para ulama soal ayat ini : ada yang menyebut bersihkan pakaianmu. Ada juga yang menafsirkan ; Pasanganmu".  "war-rujza fahjur (dan tinggalkanlah segala perbuatan keji)". "Waa ala tamnun tastaksir (ayat Ini juga banyak artinya ada yang menyebut jangan pesimis. Ada juga yang menyebut, jangan memberi dengan mengharap lebih atau Jangan menjual dakwah. Ada juga yang menyebut, jangan menyebut-nyebut kebaikanmu karena dengan demikian akan banyak pengikutmu)". " "waa li robbika fasbir (dan karena Tuhanmu, Bersabarlah)".

Lalu, perintah berikutnya adalah Pelaksanaan teknis menyampaikkan atau Menyeru kepada orang-orang yang tidak Giat atau Berselimut, agar Mengagungkan Tuhan, tertuang dalam Q.S. an,Nahl; 125, "Ud u ila sabili robbika bil hikmati wal mau idothil hasanati wa jadilhum billati hiya ahsanu robbaka huwa a'lamu biman tholla an sabilihi waa huwa a'lamu bil muhtadin - serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan Hikmah, dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dan dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk".

"Ud u ila sabili robbika Bil hikmah - serulah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan Hikmah". Hikamh itu apa?. Pertama, Hikmah itu Ilmu amaliyah, yaitu Jika kita menyampaikkan hikmah dengan Lisan, maka sampaikkan dengan ilmu yang bisa di amalkan oleh orang. Kedua, Hikmah itu adalah Amal Ilmiah, yakni perbuatan kita, sikap kita yang bisa di pertanggung jawabkan secara Ilmiah.

"wal mau idhotil hasanah - Menyampaikkan Hikmah Dengan kalimat-kalimat halus yang menyentuh perasaan". Jangan Ilmiah terus. Karena itulah suksesnya dakwah, menurut kami ada dua, dan paling tidak memenuhi satu kategorinya, yaitu ketika yang mendengarkan penuturan Hikmah kita, mereka bertambah pengetahuannya dan bertambah kesadarannya dalam beragama. Misalnya, boleh jadi orang sudah tahu bahwa sholat subuh itu dua rakaat. Tetapi, kita mesti harus menerangkan lagi. Bukan dalam konteks ilmunya. Melainkan, menggugah orang, agar bertambah pengetahuannya dan kesadarannya dalam beragama. Tanpa kedua indikator tersebut, dakwah itu jauh dari sukses.

Mengapa?. Karena, suksesnya Dakwah, seperti kita memberikan hidayah. Sedangkan hidayah seakar kata dengan Hadiah atau kado. Artinya dakwah itu harus di sampaikkan seolah-olah kita sedang memberikan Hadiah.

Ihwal itulah, ada seorang wali atau ulama. Karena melihat rata-rata penguasa itu dzolim, ia datang kepada Khalifatullah - Amirul Mukminin - Harun Ar-Rasyid. Harun Ar Rasyid ini adalah seorang Raja, sebagaimana umumnya seorang Raja, dia agak seenaknya. Hal ini dalam pikiran Wali tersebut, tidak mesti dalam fakta. Lalu, Wali tersebut bertanya, "Inni Nasyihun lak fa musyaddidun alaika fa la tajidanna fi nafsika sya'ian - saya ini mau menasehati anda, tetapi dengan cara yang keras. tolong jangan di masukkan ke hati". 

Sebelum nasehat itu di utarakan, kata Harun Ar Rasyid. Sebagaimana kita Ketahui, Harun Ar Rasyid adalah seorang khalifah dari Bani Abbasyiah, dia seorang yang alim dan termasuk salah satu muridnya Imam Malik, Kata Harun Ar Rasyid, " Uskud, innallahu ta'ala arsala man huwa khoirun minka ila man huwa sarrun minni wa ma'a dzalika yaqulullahu ta'ala fa qula lahu layyina laallahu yataszakaru aw yahsya - wahai Kawanku,  kamu diam. Sesungguhnya, Allah telah mengutus seorang yang lebih baik dan alim dari Kamu, yaitu Nabi Musa ke orang yang lebih jelek ketimbang saya, yaitu Fir'aun. Hal itu saja harus pakai etika atau menggunakan kalimat yang halus dan dengan Dakwah yang halus, semoga yang di dakwahi menjadi ingat". 

Di antara bentuk kehalusan, "Fa qula lahu qoulan layyina". kata-kata ini di informasikan juga dalam Al -Qur'an, di ayat lain, ketika Nabi Musa mendakwahi fir'aun, " fa qul hallaka ila anta zakka, Wa ah diya ila Robbika anta fa tahsya - apakah kamu mau saya nasehati dan saya beritahu kamu tentang Tuhan, agar kamu menjadi lebih baik". Bayangkan untuk ukuran orang seperti Fir'aun saja masih di berikan pilihan untuk berhak menerima nasehat, agar menjadi orang yang lebih baik. 

Diksi "hallaq" itu berarti pilihan. Jadi, betapa santunnya kalimat ini. Seolah-olah Nabi Musa menyampaikkan, "Hai Fir'aun anda berhaq untuk mendapatkan nasehat, agar anda menjadi orang yang lebih baik. Artinya kalimat ini bukanlah kalimat perintah, tetapi kalimat pilihan. 

Hal diatas selain merupakan etika yang harus di miliki semua Ustadz dan pendakwah. Ia Juga merupakan suatu perilaku yang niscaya terbentuk bagi setiap kita. Karena Itulah, sehingga Harun Ar Rasyid komplen, kira-kira yang beliau utarakan begini, "Kamu itu kalau menjadi Ustadz, mengajilah, agar engkau tidak krisis metodologi ". Akhirnya, Si ustadz, Meminta maaf Pada Harun Ar Rasyid, " Anta a'lamu minni - Ternyata anda lebih alim dari pada saya". 

Demikianlah, Orang-orang dulu ketika memahami Al Qur'an itu sangat luar biasa, kita mungkin membaca Al Qur'an, hanya menjadi cerita saja. Mungkin juga ada sebahagian yang membacanya sehingga menjadi perilaku, dan yang lebih utama adalah mereka yang membaca Al qur'an, sehingga mengilhaminya atau membentuk pandangan dan perilakunya. Sebagaimana Harun Ar-Rasyid. kata Imam Ghozali, membaca Al Qur'an itu membaca, bukan bercerita. Jika kita membaca Al Qur'an, "kunta qori'an - kita pembaca". Artinya seorang pembaca itu mengambil pelajaran. Tetapi, kalau kita hanya bercerita, itu namanya "Kunta Haqqiyan - Tukang cerita". 

Misalnya kisah diatas, tentang Nabi Musa Dan Fir'aun. Jika kita hanya cerita, kita akan mengatakan bahwa dulu ada seorang Nabi, bernama Musa, mendakwahi Fir'aun. Jika kita seorang pembaca, maka cakrawala berpikir kita menangkap Ibrah dari Informasi Alqur'an berbeda, betapa baiknya Allah, orang sekurang ajar Fir'aun saja. Allah masih ingin menyelamatkannya dengan mengutus Nabi Musa, kekasihnya". Begitu pun dengan semua informasi yang terdapat di dalam Al qur'an. Sehingga yang di harapkan dari pembacaan Al qur'an, kita di tahbiskan menjadi ahli membaca, yang mengambil pelajaran, bukan tukang cerita. 

Al-Sya’rawi dalam tafsirnya menyebutkan kepribadian yang hendaknya dimiliki seorang pendakwah beserta alasannya, “seorang pendakwah hendaknya dapat bermurah hati dan berlapang dalam penyambutan. karena tugasnya adalah mengentaskan orang-orang yang tersesat dari apa yang menjadi kebiasaannya, menuju apa yang mereka benci, maka janganlah kalian mengentaskan mereka dengan cara yang mereka membencinya, sehingga akan bertambah kebenciannya”. (Al-Sya’rawi, 17/10438). Di akhir penafsiran ayat tersebut, al-Zuhaili menyebutkan hikmah dan pelajaran yang dapat diambil. Yakni, jika orang seperti Fir’aun saja yang angkuh dan sombong, Nabi Musa yang menjadi pilihan-Nya masih diperintahkan berkata yang lembut dan santun, apalagi untuk mendakwahi selainnya yang tidak lebih dari Fir’aun.  

Oleh karena itu, dosa kita tidak seburuk dosa Fir'aun dan Kita juga tidak se-sholeh dan sebaik Nabi Musa dan Nabi Harun. Sehingga, Tidak ada dasar yang cukup kuat dari kita, boleh mendakwahi orang dengan keras, memaki, menghujat, dan menghina. Karena itu akan menjauhkan kita dari orang yang kita dakwahi.

"wa jadilhum billati hiya ahsanu Robbaka - berdialog dengan mereka dengan Cara yang Terbaik", (bukan hanya baik), tetapi terbaik. Jangan memaki, jangan menghujat. 

Nabi Muhammad SAW itu tidak pernah marah dalam berdakwah, pun jika ia marah dalam berdakwah, kita lihat sikapnya, yang di sampaikkan Ibnu Taimiyah, tentang kata-kata Nabi yang paling Buruk, "mudah-mudahan dahinya terkena Lumpur". Hanya itu kalimat yang paling buruk dari Nabi. Kalimat tersebut tidak memiliki implikasi apapun. Beliau tidak pernah menuding, tidak pernah menunjuk-nunjuk. Kalaupun beliau hendak menegur, caranya, " mengapa ada orang yang begini yah".

"huwa a'lamu biman tholla an sabilihi - Allah lebih tahu siapa yang di sesatkan". Artinya tidak usah kita menuduh orang sesat, Allah lebih tahu itu. "wa  huwa a'lamu bil muhtadin - dan Allah yang lebih tahu siapa yang di berikan petunjuk". Artinya, sampaikkan saja dengan baik. Sebagaimana Tafsiran konteks pada  Q.S. 16 ; 125, bahwa kita suruh menyeru orang dengan Hikmah. Sedangkan, Nasehat itu adalah poin kedua, setelah Hikmah. Begitupun dengan berdebat.

Hikmah itu paling sederhananya adalah kesesuaian antara sifat ajakan dengan objeknya. Misalnya, istri itu harus tahu dulu sifat suami seperti apa. Yang kalau di ajak ibadah, ia mudah menerimanya. Di rumah tangga, oleh Q.S 4 ; 34 di sebutkan bahwa suami adalah pemimpin. Nah, sifat pemimpin yang paling dominan itu apa?. Sifatnya pemimpin yang paling dominan itu tidak mau di pimpin. Makanya, pemimpin itu sulit menerima saran, tapi mau menerima masukan. Sebab, saran itu datang dari yang paling tinggi. Kadang-kadang istri tidak tahu antara memberi saran dan memberi masukan. Kalau istri memberi saran, jelas akan bertentangan dengan Jiwa kepemimpinan suami. Makanya, hikmah pertamanya adalah jangan lansung mengajak. Tetapi, menampilkan dalam bentuk akhlaq.

Sebagaimana Pada contoh Nabi Musa diatas, andaikkan Nabi Musa tidak lapang hatinya terhadap Fir'aun, barangkali sudah lama Nabi Musa mendoakan untuk mematikan saja Fir'aun. Tetapi, faktanya tidak, justru Nabi Musa berdoa agar di lapangkan hatinya dalam menghadapi Fir'aun. Jika nabi Musa lansung mendoakan Kematian Fir'aun karena tidak hanya menyebalkan, tapi menjengkelkan. 

Bagian yang paling menarik lagi, dalam perintah pertama membaca tersebut, Nabi Muhammad memperkenalkan Allah ; "Iqro bissmirobbiladzi khalaq. Khalaqol insana min alaq. Iqro waa robbukal akram -  TuhanMu itu Maha Pemurah. Sebagaimana Diksi "Karim" yang berarti memberi tanpa di Minta atau memberi melebihi harapan. Allah itu Terlalu baik. Maka, pola dakwah Kita tidak perlu memberi penekanan, sedikit-sedikit neraka. Sedikit-sediki sesat dan sedikit-sedikit kafir. Justru, yang terjadi belakangan, rasanya yang paling mudah ialah berdakwah dengan menakut-nakuti. Seolah-olah Allah itu Maha Pemarah ; ketika kita salah, lansung di siksa dengan pedih di dalam neraka yang paling dalam. Memang hal itu ada benarnya. hanya saja, Jangan tekankan soal itunya. Tekankan tentang Rahmat Allah lebih luas dari apa yang kita harapkan. Ampunan Allah, lebih luas dari dosa kita. Allah berfirman dalam sebuah hadist Qudsinya, "Jika Hambaku datang dengan sejumlah dosa yang memenuhi langit dan bumi, aku akan datang dengan sejumlah ampunan yang memenuhi langit dan bumi". Itulah sebabnya, menurutku cara-cara dakwah yang menggambarkan bahwa Allah itu maha pemarah dan maha murka, adalah tidak benar. Mengapa kita tidak memberi penekanan dan menggambarkan bahwa Allah itu maha baik?.

Berkenaan dengan itu saya ingat dengan salah satu ayat, yang menurut Ibnu Abbas, paling memberi Harapan kepada kita, "Qul ya Ibadhi yalladzina asyrafu Ala anfusihim, La taknatu min rahmatillah, innalaho yagfiru dzunuba jami'a - Hai Muhammad Katakan pada hamba-hambaku yang telah melampaui batas kedurhakaan kepadaku. Jangan pernah putus asa terhadap rahmatku. sesungguhnya aku mengampuni seluruh dosa". Secara tidak lansung, Allah ingin menyampaikkan kepada kita bahwa tidak ada dosa yang tidak di ampuni, jika kita mau.

Demikianlah prisnisp dasar yang di tekankan oleh Nabi Muhammad SAW, yang menggambarkan Kemurahan Hati dan rahmatnya Allah SWT. Makanya, jika kita mentadabburi Al Qur'an, ada empat indikator, yang di antar oleh Nabi Muhammad SAW, untuk manusia  menuju ajaran agama ini. Pertama, ini yang paling susah yaitu pelajari Alam raya, sebab di situ ada bukti kekuasaan Allah. Kedua, pelajari diri kita, pelajari manusia. Jika kita tahu, maka kita akan heran-heran. Ketiga, Janji untuk surga dan keempat adalah ancaman Neraka. Hal ihwal itulah, saya pikir yang perlu kita gaungkan dan dengungkan yakni memberi optimisme dan harapan kepada orang.

Lantas, Bagaimana cara menerapkan Dakwah bil Hikmah?. Pada bagian atas Tulisan ini, saya sudah menuturkan, Di bawah akan kembali saya sampaikkan, bagaimana metode Nabi Dalam Mendawuhkan ajaran islam dan menjadi konstruksi perilaku para ulama. Sekalipun, kita bisa menarik benang merah, bahwa salah satu caranya ialah menyampaikkan dengan Ilmu amaliyah. Kita tidak bisa menjelaskan atau mendakwakan Sesuatu tanpa tahu ilmunya Dan ilmu pengetahuan kita tentang sasaran dakwah. Sebab, bagaimana mungkin kita mau memberi dakwah kepada sasaran yang kita tidak tahu. Maksudnya, agak lucu juga kalau kita menyampaikkan cermah Ta'ziah di acara perkawinan. Bahkan bila perlu, kita harus tahu kelemahan atau kebutuhan orang yang bertanya. Sebab itulah, ketika ada sahabat yang bertanya kepada Nabi. Jawaban Nabi sangat bervariasi dan berbeda-beda pada satu kasus. Nah, sekarang Zaman kita apa kebutuhan kita, itu yang sejatinya di dakwakan. 

Bagaimana hendaknya kita menjelaskan dalam berdakwa tentang banyaknya kelompok-kelompok, paham-paham dalam Islam?. pertama, kita harus bijaksana terlebih dahulu. Satu hal yang perlu kita ketahui, bahwa Al-Qur'an pada dasarnya menginginkan kita berbeda. Tidak perlu kaget. Sebab, Al-Qur'an adalah hidangan Ilahi. Misal, semakin kaya seseorang semakin bermacam-macam hidangannya. Jika Al-Qur'an tidak menginginkan kita berbeda maka sudah pasti Allah menurunkan ayat-ayat yang tegas dan tidak mengandung aneka interpretasi. Tidak menurunkan ayat yang memilik dua makna yang bertolak belakang. Misalnya, Diksi "Kuruu", wanita-wanita menanti 3 kuruu, hal ini bisa berarti Haid, bisa berarti suci. Olehnya, pilihlah yang menenangkan hati dan pikiran setelah kita pelajari atau mendengarkan dari ulama yang kita tenang dengan Ilmunya.

Islam itu bisa sesuai dengan semua situasi dan kondisi. Waktu dan ruang. karena Interpretasinya bisa berbeda-beda dalam rincian agama. Sehingga, kita tidak perlu menuding orang yang tidak sejalan dengan kita itu sesat. Satu hal lagi, tentang metodelogi Nabi dalam berdakwah berdasarkan Tuntunan Allah dalam Al-Qur'an Saba' : 24-25, kepada Orang-orang yang mempersekutukan Allah. "qul may yarzuqukum minas-samawati wal-ard, qulillahu wa inna au iyyakum la’ala hudan au fi dholalim mubin" (Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. "qul la tus 'aluna 'amma ajramna wa la nus`alu ‘amma ta’malun" ( Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat).

Maksudnya ialah Boleh jadi anda yang benar, boleh jadi saya yang salah Dan kamu tidak di minta untuk bertanggung jawab atas dosa-dosa kami, serta Kami tidak di minta untuk mempertanggung jawabkan amal-amal kamu. Kita tidak menuding dosa-dosa kamu. Bayangkan Al Qur'an menggunakan diksi yang indah, ketika mengatakan dosa-dosa ia menyebutkan kami, tetapi ketika mengatakan amal-amal, ia menyebutkan Kamu. Jadi, untuk orang lain kita menyebutnya amal, bukan dosa, Dan hal itu merupakan perintah Allah, yang di sampaikkan Kepada Rosulullah.  Mengapa bukan itu yang kita contohi?.

Ada seorang Nabi, di gelari sebagai Khotibnya para Nabi, karena sangat luar biasa pilihan-pilihan diksi dan kalimatnya, namanya adalah Nabi Suaib (Khatibul ambiya), beliau berdakwah. Ada kalimatnya yang kira-kira begini bunyinya ; "Aku tidak mau berbeda dengan kamu, tentang apa yang saya larang kamu melakukannya. Lalu, Beliau melanjutkan "Waa ma Taufiqi illa billah - sukses saya itu di tentukan oleh Allah dan kepada Allah saya bertaubat dan kembali". Artinya, sekalipun saya melarang kamu melakukan sesuatu, bukan berarti hal itu menjadikan saya berbeda atau tampil beda denganmu. Tidaklah demikian, saya hanya ingin tetap menjaga persatuan, sekalipun kita berbeda. Jadi, di dalam masyarakat yang plural, silahkan berbeda-beda.


**

Harus kita ketahui, bahwa dalam Perjanjian Hudaibiyah, semua Point-point kesepakatannya sangat merugikan Islam. Diantara perjanjian itu adalah, jika yang Islam masuk kafir. Maka harus di biarkan, karena kembali ke habitat aslinya. Tetapi, kalau orang Kafir masuk Islam, maka harus di dilarang atau Di kembalikan ( Dianggap Bid'ah). Makanya kita kalau di tuduh bi'dah, santai saja. Sebab, Nabi juga dulu di tuduh demikian, " Ji'ta bi dinin muhdats - kamu datang dengan agama yang baru".

Semua perjanjian yang merugikan Islam tersebut, di sepakati oleh Nabi. Tetapi, Nabi hanya minta satu hal, jangan ada perang selama 10 tahun dan orang boleh mendiskusikan tentang Islam.

Belum lama Perjanjian itu sepakati, ada seorang Bernama Abu Jandal Bin Zuhar Bin Amar datang Ke Nabi untuk masuk Islam. Kata orang-orang Kafir, apakah Engkau Muhammad akan komitmen dengan perjanjian yang telah engkau sepakati. Jika engkau komitmen, maka engkau harus mengambalikan Abu Jandal ke Habitat aslinya. Karena Nabi adalah orang yang komitmen terhadap Janjinya, ia menyatakan kepada Abu Jandal untuk kembali ke habitat aslinya, yaitu Kafir.

Dalam Analisis Imam Zuhri, Gurunya Imam Malik, Nabi Mengambil Point menghindari perang. Sebagaimana kita ketahui, Perang antara Kaum Muslim Vs Kaum Kafir, terjadi dari Tahun ke 2 Hijriyah sampai ke tahun ke 8 Hijriyah. Nabi Tahu, bahwa akibat perang, membuat orang tidak berpikir jernih, terjadi kemandekan berpikir. Sedangkan Islam, bisa di terima oleh akal sehat. makanya, Nabi mengambil Point menghindari perang, agar semua orang berkesempatan mendiskusikan Islam secara Terbuka.

Akhirnya Orang Kafir menyepakati Bahwa tidak akan terjadi perang selama 10 tahun, karena mereka berpikir Apa juga Hasil dari Diskusi. Maka, Terjadilah diskusi dimana-mana yang membicarakan tentang Siapa sebenarnya yang benar, apakah Tuhan Muhammad dan Tuhan Abu Jahal?. "Tuhan Muhammad itu Kholiqus samawati wal Ardhi - yang menciptakan langit dan bumi, sebagaimana Kampanye Muhammad". Sementara Tuhan Kita, yah berhala itu. Yang kita Bikin, kadang Rusak, bahkan untuk mengurus dirinya saja tidak bisa. Lalu, mereka membandingkan Muhammad dan Abu Jahal?. "Muhammad itu dari dulu tidak pernah berbohong, sedangkan Abu Jahal, sudah tukang bohong, menjengkelkan juga".

Akhirnya semua diskusi tersebut mengarah kepada kebenaran Islam dan orang tertarik pada Islam. Sementara perjanjian menyebutkan bahwa Diskusi tidak boleh di larang. Di situlah kehebatan analisisnya Nabi, sehingga orang punya kesempatan mengendapkan kebenaran Islam dengan Diskusi. Karena Nabi Tahu persis bahwa Kebenaran Islam sangat di terima oleh akal sehat.

Di titik itulah, Orang yang paling Kafir saja Taslim pada Kebenaran Islam. Bisa kita lihat Di Qur'an Tafsir Thobari, ada ayat "bal Naqdzifu bil haqqi alal bathil fayadmahu fa idza huwa dzahi" - Kebenaran islam itu kita taruh sekenanya saja pasti akan menang, apalagi kita taruh secara teratur.

Penelitian membuktikan bahwa Al qur'an adalah satu-satunya Kitab yang membicarakan sains - Falaq, astronomi, geografi, tentang asal usul kejadian mahkluk, dsb.

Dulu, ada ulama yang ahli matematika. Awalnya murid ulama tersebut meragukan bahwa Ulama tersebut bisa mengajar atau tidak. Tetapi, para muridnya bermimpi, bahwa Gurunya - Imam Amudi di suruh mengajari para Malaikat. Kata Allah, Ini Ulama saya, dia beriman kepada saya, setingkat dengan Iman kalian (Malaikat). Jawab para malaikat, tidak mungkin Ya Allah. Sebab, kami menyaksikan langsung engkau, sementara UlamaMu ini hanya di bumi, tidak menyaksikan engkau. Mengapa dia bisa seyakin itu pada Engkau".

Lalu, Imam Amudi Menulis angka tidak beraturan atau acak. Kata beliau, " angka sebanyak apapun, jika di bandingkan dengan angka satu, tetap "Far'ul wahid". Semua angka sebanyak apapun itu adalah cabang dari angka satu - faqulu hadzil awalim far'ul minal wahidis shomad - Yaitu Allah SWT.

Ada juga Ulama, ahli gambar yang menemukan Tuhan dari Gambar. Ia menyatakan gambar serapi dan sejelek apapun itu tetap sama dalam pandangan Tauhid. Di mulai dengan, "Min  nuktoh al wahidah - Di mulai dengan Satu titik". Satu titik itu adalah Nuktotil wujud - Allah.

Kita urai kembali kalimat Tauhid, benarkah kelompok takfiri yang kerap mengkafirkan orang lain?. Tentu tidak benar. Logikanya gampang, orang yang kafir 70 tahun, begitu ia melafadzkan Lailahaillahu. Maka, ia menjadi Muslim. Masa dengan kalimat sama, yang muslim menjadi kafir.

Apakah kalimat Tauhid itu adalah kalimat untuk mengislamkan atau kalimat untuk mengkafirkan?. Tentu, kalimat untuk mengislamkan Orang. karena Menolak Kalimat Tauhid, orang di sebut Kafir.  tetapi dengan kalimat yang sama, orang Islam menjadi Kafir. Ini kan lucu. 

Makanya Cara Berpikir Abu Hasan Az- Dzazili, "Istigfar itu baik, tapi Ba'da Qamali Tauhid - Setelah benar Kalimat Tauhidnya". Ketika ada ayat yang menyebutkan, "Fa' lam annahu lailahaillahu wastagfir lidzambi ay bi hadzil kalimah - orang boleh istigfar setelah Tauhidnya benar". Alasannya Beliau, "Qulilladzina iyantahu yugfarlahumma Qoda salaf - Katakan pada mereka yang Kafir, sekali mereka tidak kafir, maka secara Otomatis dosanya di masa lalu di ampuni".

Pertanyaanya, kalimat apa yang bisa menghentikan kekafiran seseorang?. Adalah kalimat "Lailahaillahu". Artinya, Dengan mengucapkan kalimat Tauhid, berdasarkan gagasan Dzazili. dosa seseorang di ampuni. Di situ kita bisa menegaskan bahwa sebab pengampunan dosa seseorang adalah Lailahaillahu. Mengapa?. Karena orang Kafir belum baca Istigfar. Secara sederhana, kita bisa memahami bahwa Pengampunan seseorang itu bisa di dapatkan, hanya dengan mengucapkan kalimat Toyyibah - Tauhid dan Sahnya Istigfar seseorang, kalau dia telah Bertauhid terlebih dahulu.

Misalnya, orang Kafir sebelum masuk islam, melafadzkan Astagafirullah. Kira-kira di terima atau tidak Istigfarnya?. Tidak di terima. Karena syarat Istigfar, setelah Mengucapkan Tauhid. Makanya, dalam Mazhab Dzadzili Istigfar itu setelah Kalimat Lailahaillahu.

Artinya, orang yang Tauhidnya benar, meskipun Tidak sempat Istigfar, berpotensi dosanya di ampuni Oleh Allah. Karena cakupan Tauhid, Orang tersebut sudah layak di ampuni. Sebagaimana Orang Kafir, ketika melafadzkan Tauhid, sekalipun tidak Istigfar, lansung di ampuni.

Makanya kita yang alim itu tahu, bahwa Kalimat Tauhid itu sangat Super.

Tetapi, kebalikan dari Mazhab Dzadzili adalah Mazhab Sanuziah, oleh Imam Sanusi. Dia berpendapat bahwa Kalimat Lailahaillahu itu sakral. Karena dia sakral, maka di butuhkan Mukaddimah terlebih dahulu, "orang boleh melafadzkan kalau sudah bersih - Suci. Makanya dalam mazhab Sanusiah, istigfar dulu baru Lailahaillah. 


**

Ada yang menarik dari Perbedaan pendapat Antara K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Faqih Maskuh, bahkan ihktilaf mereka di kitabkan. Mereka berbeda pendapat tentang menetapkan tanda waktu masuk sholat.

Cara berpikir K.H. Hasyin Asy'ari, ketika Nabi melakukan Musyawarah tentang cara menentukan waktu sholat telah masuk. Sahabat pertama menyatakan, menggunakan Kentongan, Rosulullah menjawab saran sahabat tersebut, "Dzakarin nasaro - Itu identitas ibadah Orang Nasrani". Sahabat yang lain memberi masukan, Kalau demikian, pakai Pakai terompot saja Ya Rosulullah. Rosul menjawab, "Dzakarin Yahudu - Itu identitas orang Yahudi. Ada sahabat yang mengusul lagi, "pakai api Ya Rosulullah". Rosul menjawab, itu Identitas orang Majuzi. Maka, lahirlah sarana memanggil untuk melaksanakan sholat, dengan Adzan.

Ihwal itulah sehingga K.H. Hasyim menolak sarana memanggil dengan Kentongan, bahkan beliau sampai mengharamkannya.

Setelah Naskah pengharaman Kentongan Oleh K.H. Hasyim, sampai ke tangan K.H. Faqih Maskuh, beliau marah sekali dan menyatakan Ini harus di lawan dan perlawanan saya ini bukan karena saya membenci K.H. Hasyim, beliau teman saya ketika belajar di Mekkah, "dimana-mana serupa itu tidak sama. Kalau dulu kentongan itu identik dengan orang Nasrani. Di indonesia beda, orang di pos kamling pakai kentongan, tukang bakso pakai kentongan. Jadi tidak ada jaminan kalau kentongan itu milik orang Nasrani. Lalu, haramnya dimana?".

Tetapi, kedua Ulama ini saling menghormati dalam perbedaan pendapat. Saya sendiri lebih cenderung sepakat dengan pendapat K.H. Hasyim, karena bagi saya sholat itu sakral. Jika Ia sakral maka ia di panggil dengan kalimat Toyyibah - Adzan. Tapi saya tidak akan bilang, kalau kentongan itu haram.

Artinya, silang pendapat ulama-ulama kita dulu itu santai saja. Padahal saling mengkritik. Misalnya, Imam Syafi'i kalau sholat di kawasan masjid Imam Abu Hanifah, dia tidak Qunut. Ketika di tanya, mengapa tidak Qunut, sementara engkau berpendapat Qunut itu sunnah?. Apa jawaban Imam Syafi'i, "Ikroman lihadzal mazhab - saya sangat menghormati mazhab".

Begitu juga dengan Imam Ahmad Bin Hambal, ketika melaksanakan sholat di sekitaran kawasan masjid Imam Syafi'i, ia menemukan orang yang baru saja selesai melakukan bekam dan lansung sholat, tidak Wudhu. Sementara Beliau berpendapat, kalau orang setelah Bekam - Hijama itu batal sholatnya jika tidak berwudhu ulang. Sedangkan, pendapat Imam Syafi'i menyatakan tidak batal wudhunya atau sholatnya. Ketika Imam Ahmad Bin Hambal ditanya apakah engkau Ma'mun Imam Syafi'i?. Apa jawaban Imam Ahmad, "Bagaimana mungkin saya tidak menjadi Ma'mun dengan seorang Wali Qutub seperti Imam Syafi'i". Padahal menurut keyakinan Imam Ahmad, Sholat orang yang tidak berwudhu setelah bekam, batal.

Ekspresi cinta itu macam-macam jenisnya. Dulu sahabat juga demikian, ada sahabat yang tidak pernah kenal wajah Nabi sampai dia wafat. Ketika di tanya kamu itu sahabat, tapi tidak pernah memandang wajah Rosul. Sahabat tersebut menjawab, "Saya tidak pernah berani memandang wajah Rosul, karena Ijlalan lahu - terlalu Menghormati pada Nabi". Tetapi, ada juga sahabat yang terus-terusan memandang wajah Nabi, sampai ia mensifatinya. Karena memandang wajahnya Nabi itu Ibadah.

Ada seorang wali di tanya, kalau kamu di surga, kamu ingin melihat wajah Allah atau tidak?. Jawab, wali tersebut "tidak". Tapi semua orang ingin melihat wajah Allah?.  Wali tersebut menjawab lagi, "Unazzihu dzalikaal jamal an nadzohiri mitslih - saya yang tidak jelas seperti ini, mana berani memandang keindahan dan keperkasaan wajah Allah". 


***

Rukun Islam itu ada 5 : membaca syahadat, melaksanakan shalat, puasa, zakat, dan kalau mampu pergi haji. Kita shalat sambil baca syahadat, semakin kokoh Islam kita, secara formal.

Rukun itu "tiang" ; ibarat rumah, dengan melaksanakan rukun Islam, tiang rumah itu sudah kokoh (mungkin beserta temboknya). Kalau mau rumah itu dihias ornamen indah, maka lengkapi dengan Ihsan, perilaku dan akhlak yang bagus.

Dengan melaksanakan Rukun Islam yang lima itu, maka seseorang sudah menjadi "muslim", apakah muslim formal atau muslim minimalis. Tapi dia Muslim, tidak bisa dikafir-kafirkan atau dicap murtad atau dicap musyrik, selama dia mempraktikkan Rukun Islam itu. Meskipun "muslim minimalis", dia tetap Muslim. Tidak bisa dihukumi kafir atau musyrik, kecuali dia keluar dari Rukun Islam itu.

Tapi sekarang, kalau kita lihat ceramah-ceramah para penceramah, mengapa mereka dengan enteng mengkafir-kafirkan Muslim. Misalnya ada muslimah tidak mau pakai Jilbab kecuali dalam shalat. Dibilang kafir! padahal Jilbab bukan Rukun Islam. Sebagian muslim ada yang mengikuti pendapat Qasim Amin dan Syekh Said Asymawi. Dua orang ini bukan Ustadz kaleng-kaleng, apalagi Syekh Said Asymawi, ulama ahli hukum Islam dan mantan Hakim Agung Mesir. Mereka berdua berpendapat, tidak ada teks qath'iyy yang mewajibkan wanita muslimah memakai pakaian khusus Islam (Jilbab atau Hijab). Ayat-ayat terkait Hijab konteks nuzulnya lokal-partikular, untuk membedakan status budak dan orang merdeka, tapi itupun lokal di Arab abad ke-7 Masehi, tidak bisa jadi universal. Pak Quraish mengutip pendapat dua cendekiawan itu ikut dikafir-kafirkan.

Kalau muslim tidak mau pakai hukum potong tangan dan rajam, juga dianggap "kafir", padahal dua hal itu tidak masuk Rukun Islam. Kalau tidak mau ikut khilafah juga kafir, padahal khilafah bukan Rukun Islam!.

Kalau muslim tidak mau mengakui bahwa Bumi ini datar juga sekarang dihukumi kafir. Juga kalau muslim membuat / mempersembahkan sesajen untuk Nadran, upacara syukuran laut atau panen padi, juga dicap "musyrik". Kalau disebut musyrik dan kafir berarti sudah keluar dari Islam. Bukan muslim lagi. padahal hal-hal begitu bukan bagian dari Rukun Islam.

Lebih gila lagi soal kafir ini dibawa ke urusan-urusan politik. Kalau tidak milih si A kafir, kalau milih si B kafir! mana ada kategori perebutan kekuasaan politik seperti itu masuk dalam Rukun Islam dan Rukun Iman.

Para penceramah itu selalu menggunakan kata kunci "mendustakan ayat-ayat kami" - kaddzabuu bi Ayaatinaa. Semua yang mendustakan ayat-ayat Tuhan harus dihukumi kafir. Padahal sebagian muslim yang dituduh kafir itu tidak pernah bermaksud mendustakan ayat-ayat Allah, tetapi punya "penafsiran lain yang berbeda"!

Dulu, ulama-ulama Sunni Abad Pertengahan seperti Hadratus Syaikh Abu Hasan al-Asy'ari, Al-Baqillani, Al-Juwaini (Imam Haramayn) dll menegaskan bahwa para pelaku dosa, apalagi dosa besar, mereka tetap Muslim-Mukmin, tidak bisa dihukumi kafir. Hukumi saja Fasik atau pelaku dosa besar. Tapi jangan menghukumi Kafir. Mereka tetap muslim kalau masih shalat, puasa, zakat dan Haji.

Kalau sedikit-sedikit kafir, sedikit-sedikit kafir dan kata kafir itu melebar ke mana-mana, lalu buat apa Nabi membatasi Rukun Islam itu hanya lima? Dengan lima itu saja seseorang sudah menjadi Muslim. Tidak boleh dihukumi kafir!.

***

Robbana Lakal hamdu mil ussamawati wa mil ul ardhi wa mi u'ma syita min syain ba'du - Karena Allah itu dzat yang tidak terperikan, dzat yang tidak terbatasi. Pujian di langit dan bumi ini masih kurang dan pada akhirnya pujian kepada Allah akan memenuhi semua ruangan yang Allah kehendaki.

Subhanallahu wa bi hamdihi adada kholqihi wa ridho nafsihi wa dzinata arsyihi wa midada kalimatihi -  bahwa kita memuji Allah, sesuai dengan Jumlah mahkluk. Semua Mahkluk Allah meskipun kelihatannya mengecewakan, semuanya memuji Allah.

agama ini akan di urus oleh Allah SWT. Makanya Umar Bin Khottab, kalau di suruh memikirkan agama itu dia tidak mau. Padahal saat dia menjadi Khalifah, Islam sedang berada di puncak masa keemasannya. Lalu, Ummat mengkhawatirkan setelah Umar menjadi Khalifah, Islam ini bagaimana. Sebab Islam setelah di pimpin, oleh orang yang zuhud, Tangguh, kuat dan waro'i.

Abdullah Bin Umar, anaknya Umar setiap jalan-jalan di kampung-kampung, bapaknya di anggap seorang pecundang - Orang yang tidak bertanggung jawab, dengan berkata seperti ini, Ya Abdul Bin Umar. Bagaimana pendapat anda, jika ada pengebala kambing di tengah Hutan atau di tengah padang Pasir. Lalu, si pengembala meninggalkan saja Kambingnya, kamu anggap apa si pengembala tersebut?. Abdul ibnu Umar menjawab, wah itu adalah pengembala yang dzolim, karena menelantarkan Kambingnya. Masyarakat melanjutkan, kalau kambing saja di telantarkan oleh pengembalanya adalah pengembala yang dzolim, bagaimana dengan Ummat Rosulullah. bapak kamu ini tidak pernah wasiat tentang siapa penggantinya, bagaimana Islam setelah dia. Suruh dia bicara, penggantinya siapa, karena dia sudah sepuh harus ada penggantinya?.

Akhirnya abdullah bin Umar lapor ke bapaknya, Abah ini bagaimana ini, orang-orang Komplen sebagaimana pertanyaan warga?. Apa kata Umar, Agama itu beda dengan Kambing. Agama itu milik Allah SWT. Saya pikir atau tidak pikir, tetap berjalan agama itu.

Hal ini terbukti, kita ini bukan ulama, bukan mufti. Tapi bisa menjalankan agama. Tidak usah terlalu di pikir, jalankan saja. Soal kita serius memikiranya itu adalah Khidmat - bakti kita pada agama ini. Tapi, kita tidak boleh berpikir bahwa agama ini butuh pikiran kita.

Allah punya sekian cara untuk mengenalkan islam. Dulu, orang Prancis tidak suka pada orang Aljazair yang Islam, begitu Zidane bermain bola dan membawa Prancis Juara Dunia, orang Prancis menjadi suka pada Islam.

Dulu, pemain bola Muslim di Inggris, jika mau sholat susahnya bukan main. Tapi, kuasa Allah selalu berkelindan dalam Misteri. Banyak Investor Qatar, UEA dan Dubai yang tertarik berinvestasi di Club-Club bola Inggris, seperti Sulaiman Al Fahim yang membeli Mancester City. Pelatih mancester City, pun tidak berani menegur pemainnya yang izin mau sholat, bahkan di dalam stadion di bangunkan Masjid.

Alhamdulillah alladzi hadana li hadza wama kunna li nahtadiya lau la anhadanallahu. Karena yang memberikan agama ini adalah Allah, maka yang menjaganya juga adalah Allah. Tidak usah khawatir.

Jika sekarang ada kelompok orang tertentu yang mengkhawatirkan Islam, itu mereka hanya kurang optimis - Roja'a pada Allah. Harapannya tipis pada Allah, harus mengaji lagi mereka itu. Agama ini, " Limang kana Yarjullahu wal yaumal akhir - agama ini bagi mereka yang selalu berpengharapan". Bukan yang pesimis dan putus asa.

Dalam Musnad Imam Ahmad Bin Hambal, Al bilad Biladullahu wal ibad ibadullahu. Fa Haitsu ma asyotta khoirun fa akim - semua negara itu hakikatnya negara Allah, semua hamba pada hakikatnya hamba Allah dan dimana saja kamu mendapatkan kebaikan, tidak apa-apa kamu berdomisili di situ.

Makanya, kita berharap bahwa kalimat Tauhid tetap di jaga. Sebab, kalimat Tauhid itu kata semua ulama, "kasyarojatin toyyibatin asyyuha tsabitu wa far'u ha fissama" dan kalimat tauhid ini pasti "Tu'ti uqulaha qullahilim bi idzni robbiha" - kalimat tauhid yang di bawah seluruh ummat muslim di dunia, meskipun ummat fasik atau orang tidak benar. Tetap, akan membawa berkah bagi orang yang di hinggapi atau di tempati oleh ummat Islam.

Apapun yang kita lakukan akan di catat oleh Allah, kata Allah "inna nahnu nuhyil mauta wanaqtubu ma qoddamu wa atsarohum" - saya bisa menghidupkan orang mati dan semua amal kalian saya akan catat".


*Pustaka Hayat
*Pejalan Sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran

Kamis, 24 November 2022

BID'AH - KHILAFIYAH DAN TITIK TEMU

Al bid'ah adalah bahasa arab, muncul satu kali dalam Al-qur'an, "ma kuntum bid' an minarosulu". Apa arti bid'an pada Maksud ayat tersebut. bid'ah adalah membuat hal baru dari ajaran para Nabi. Dari situ kita ketahui bahwa ajarannya Nabi Muhammad SAW, itu sama dengan Ajarannya Nabi Adam AS. Sebab, yang berbeda adalah Syariatnya.

Bid'ah dalam bahasa arab, satu akar dengan dengan kata Badiah. Allah bernama Badi'ah, "Badius samawati Wal Ard'. Badi'ah berarti mencipta sesuatu. tetapi, tidak perlu konsep sebelumnya. Dalam istilah arab, jika saya membuat suatu produk. tetapi, produknya sudah ada. Lalu, saya perbaharui dan berbeda dengan yang lain. Maka hal itu di sebut dengan ib'dha. Tetapi, kalau sama dengan produk tirua disebut imitasi.

"Badiah" adalah Allah mencipta tanpa perlu konsep sebelumnya. Badi'ah jika di terjemahkan secara kasar, bisa disebut Maha pembid'ah. Tetapi, tidak ada orang menerjemahkan demikian. maknanya adalah "Al khaliq bidduni mitsakin tasbit - pencipta yang mencipta tanpa ada contoh sebelumnya".

Kita masuk secara makna. pemaknaan secara bahasa tidak boleh di pakai. Misal, sholat secara bahasa adalah doa (dzikir). kalau ada orang mengatakan Saya sudah sholat. Ternyata dia cuman dzikir. Maka, itu bukan termasuk sholat. Biasanya hal itu terjadi di aliran kebatinan. Kawan saya ada yang puasa, tapi dia makan. Saya tanya kamu puasa?, dia jawab saya puasa lisan dari bicara yang kotor-kotor. Hal itu tidak disebut puasa. Sebab, syarat puasa bagi kita, tentu ada rukun dan syaratnya.

Dalam hal ini, maka ulama pun berbeda defenisi. Jangankan ustadz, sahabat saja berbeda defenisi tentang bid'ah.

Suatu kali, Umar bin Khottab datang kepada Kahlifah Abu Bakar As-Shiddiq. Umar berkata kepada Abu Bakar ; Wahai Khalifah, para Khufads sudah banyak yang terbunuh. Jika engkau tidak membuat suatu keputusan penting, yaitu mengumpulkan bahan-bahan Al-Qur'an. Maka, Al-Qur'an bisa hilang. Umar Bin Khottab sangat kritis, tetapi tidak main hujat.

Apa kata Abu bakar, "hal taf ala ma lam yaf al hu rosulullah - apakah kita akan membuat amalan atau keputusan yang Rosulullah tidak buat". Artinya defenisi bid'ahnya Umar dan Abu Bakar, berbeda. Bagi Abu Bakar, jika Nabi Muhammad SAW tidak membuat sesuatu, maka itu bid'ah. Sedangkan, bagi Umar, jika hal tersebut ada mashlahat atau lebih banyak manfaat daripada keburukannya, maka hal tidak di sebut bid'ah. Hal ini terdapat dalam riwayat Shohih Bukhori dan muslim. Bahwa makna bid'ah itu berpindah.

Akhirnya kata Abu Bakar, Umar Bin Khottab terus mendebati saya tentang pengumpulan bahan-bahan Al -Qur'an dan hal itulah yang di maksud dengan debat ilmiah. Debat yang menghasilkan ilmu, apa kata abu bakar, " Hatta aro ma ro'a - Sehingga aku melihat apa yang di pahaminya, maka aku menyetujuinya perkataan".

Perdebatan Umar Bin Khottab dan Abu Bakar ini lama sekali. Oleh karena itulah, kita mendebati pemerintah itu perlu, mengkritisi penguasa itu perlu. Tetapi, melaknatnya tidak boleh. Seperti Umar mengkritisi Abu Bakar (pemimpin) waktu itu.

Setelah mereka berdua sepakat, datanglah Abu bakar dan Umar Bin Khottab kepada Zaid Bin Tsabit, seorang anak muda, sahabat paling muda, penghafal Qur'an. Apa kata Abu Bakar ; "Ya Zaid, tolong engkau kumpulkan Al-qur'an. Begitu juga kata Umar Bin Khottab, bahwa kami telah sepakat untuk mengajak kamu, agar mengumpulkan Al-Qur'an. Jawaban, Zaid bin Tsabit, sama dengan apa yang di katakan Abu Bakar, di awal, "Hal Taf ala maa lam yaf ala hu rosulullah - apakah kamu buat sesuatu yang Rosulullah tidak membuatnya". Berarti dalam konsep zaid, bid'ah itu adalah sesuatu yang tidak dibuat oleh Nabi Muhammad SAW. 

Umar Bin Khottab pun kembali menjelaskan seperti saat ia menjelaskan kepada Abu Bakar. Setelah mendengar penjelasan umar Bin Khottab. Zaid berkata, yah aku bisa memahami apa yang di pahami Umar Bin Khottab.

Lantas, Abu Bakar bertutur pada Zaid, kamu adalah pemuda yang paling Hafal Al Qur'an dan paling kuat hafalannya. Jika bukan kamu, siapa lagi. Lantas, kata zaid, " lau amarta ni bi naqli jabalin ila jabalin la fa altahu - jika engkau memerintahkan aku memindahkan gunung. Gunung itu terlihat, bisa aku lakukan. Sementara mengumpulkan hafalan Al qur'an, betapa sulitnya, karena ia tidak terlihat".

Akhirnya, zaid minta persetujuan dan istikharo kepada Allah dengan qolbunya, maka ia menerimanya. Wal hasil terkumpullah Al Qur'an, tetapi belum di salin. Hanya Di kumpulkan di rumah Hafsah Binti Umar.

Saat Umar Bin Khottab berkuasa, tidak terjadi kesyahidan sahabat-sahabat yang hafidz Al Qur'an. Maka, tidak ada gebrakan untuk menyalin Al qur'an. Gebrakan penyalinan al-Qur'an setelah di Fase pertama di kumpul di rumah Hafsa, Barulah terjadi di zaman Ustman Bin Afwan di lakukan.

Ketika Huzdifah al yamani, pergi ke irak. Di irak ada dua kota besar, saat itu belum ada kota Baghdad. Baru kota kufah dan Bashrah. Di bashrah, ada sahabat bernama Abu Musa Al Asy'ari dan di kufah, ada sahabat bernama Abdullah bin Mas'ud. Masing-masing sahabat ini, memiliki bacaan Al qur'an dan memiliki murid ribuan orang.

Suatu kali Hudzaifah Sholat di masjid, diantara kota Bashrah dan Kufah. Di bagian pojok Masjid, ada orang membaca Al qur'an berbeda dengan orang yang membaca Al qur'an di bahagian pojok lainnya. Hudzaifah bingung dan menggerutu dalam hati, kenapa ada dua bacaan Al qur'an. Maka di panggillah kedua orang yang membaca Al qur'an tersebut ; Hai, fulan kamu membaca Al qur'an, siapa gurumu?. Yang satu menjawab, Abu Musa Al asy'ari dan yang satu menjawab Abdullah bin mas'ud. Maka, sahabat Nabi, Hudzifah ini mendatangi Abu Musa al asy' ari dan Abdullah bin mas'ud dan mengatakan bahwa perkara mereka akan di bawa ke pusat (madinah).

Begitu Sampai di madinah, kata Hudzaifah. Hal Ini berbahaya, sebab jika kita meninggal (Hudzaifah, ustman, ibnu Mas'ud dan Abu musa). maka, Al qur'an bisa berantakan. Itulah sebabnya, Hudzaifah mengusulkan, agar membuat al Qur'an standar. Dari peristiwa itulah sehingga, di masa Ustaman terjadi gebrakan untuk menuliskan Al-Qur'an Standar. di bentuklah kembali tim yang dulu saat masa abu Bakar telah di bentuk, yaitu zaid bin Tsabit sebagai Ketua. Maka, Di salinlah Al qur'an sebanyak 6 ribu eksampler dan di kirim kemana-mana.

Salah satunya sekarang tersimpan di kota Tasken - Uzbekistan. Beberapa abad di Masa Timur lenk, di salin kembali menjadi 5 eksampler dan sampai sekarang masih tersimpan di Uzbekistan, kampungnya Imam Bukhari, Imam Ad Darimi dan Imam-imam Lainnya.

Coba bayangkan, ternyata salah satu produk bid'ah hari ini itu bernama mushaf.

Kita punya mushaf masuk kedalam hp. Jika bukanlah Umar bin Khottab, si bapak pembid'ah melakukan inovasi tersebut, seorang anak muda bernama Zaid bin Tsabit menyetujuinya dan Abu Bakar meridhoinya. Maka, kita hari ini akan kebingungan. Sebab, yang bisa sholat hanya yang Hafidz Al Qur'an saja.

Apakah kita berani menyebut Umar Bin Khottab, sebagai Abul Bid'ah - bapak pembid'ah. Tidak hanya sarannya untuk mengumpulkan Al-Qur'an. Selain itu, Inovasi lainnya ialah membuat taraweh berjama'ah. Apa kata Umar Bin Khottab, "ni'matul bid'atu hadzi hi - se nikmat-nikmatnya bid'ah adalah Taraweh berjama'ah ".

Seandainya semua bid'ah itu dholalah, tentulah Umar Bin Khottab adalah "awal awwalu man dhollah - Umar adalah orang pertama yang sesat dalam Bab Bid'ah". Tetapi, beranikah kita mengatakan Umar Bin Khottab sesat?. Jika ada yang berani, maka pasti dia Rofidho (syi'ah).

Sedangkan Anaknya Umar, Abdullah Bin Umar itu melazimkan sholat dhuha, di tegur oleh sahabat lain ; apakah Rosulullah melakukan seperti yang kamu lakukan, Sholat dhuha tiap hari?. Lalu, jawaban Abdullah bin Umar, mengulang apa yang di katakan, bapaknya dahulu, " ni'matu bid'ah hadzi hi" - Senikmat-nikmatnya bid'ah adalah mengistiqomahkan sholat dhuha setiap pagi". Padahal Nabi Muhammad SAW, jarang sholat dhuha. sebab jika Nabi Muhammad SAW Rajin sholat dhuha, di takutkan dianggap, ada lagi sholat yang ke enam.

Semua riwayat ini shohih, tidak ada yang berani mengatakan Riwayat diatas adalah Dhoif. Jika ada yang berani mengatakan riwayat tersebut dhoif, dia akan di pecat dari kalangan ahli hadist.

Lalu, bagaimana kita memahami permasalahan ini. Ternyata ada satu hadist yang sangat seksi, yaitu "Kullu bid'atin dholala". Hadist ini kerap di baca, " Iyyakumu muhddasatil umur, fa kulla muhdasatin bid'ah wa kullu bid'atin dholala wa kullu dholala tin fi naar" - jauh-jauh lah dari perkara baru dalam agama. Sebab setiap Perkara baru itu bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat itu neraka".  

kita kerap dengar Mukaddimah ustadz-ustadz, sambil menggunakan intonasi yang keras. Padahal, Nabi Muhammad bicara tidak seperti orang marah. Nabi Muhammad itu berbicara seperti "Qoisatul jais", bukan marah-marah. Tetapi, bersemangat.

Hadist tersebut, ternyata di mulai dengan diksi "iyyakumu muhhdasats". Huruf "Ta"nya ada Alifnya, asalnya dari muhdasa. Jama' dari muhdasa. Bukan muhdas. Apa indikasinya?, jadi perkara baru itu, jika ia negatif. Maka, di tambahkan Ta'mar buta dalam bahasa Arab. Namun tidak semua yang Muhdast itu bid'ah. Tetapi, kalau muhdasa pasti bid'ah, karena pasti negatif.

Misalnya, kita biasa dengarkan di beberapa masjid adzan jum'atnya dua kali?. Apakah hal itu Pernah di lakukan di zaman Nabi?. Tidak pernah. Tahunya dari mana?. Tahunnya dari shohih bukhari. Tentang bab mengenai adzan, bahwa di masa Rosulullah, adzan jum'at hanya sekali.

Ketika di zaman ustman, terjadi pelebaran islam, Orang tambah banyak masuk islam. Akhirnya supaya orang punya prepare (isti'dat) -persiapan. Maka Ustman buat sesuatunyang baru - bid'ah. Apa bid'ahnya?. Adzan dulu, satu jam atau stengah jam sebelum masuk waktu sholat. Sehingga orang punya persiapan untuk datang sholat di masjid. Bedanya sekarang adalah masuk waktu sholat dulu baru adzan pertama, barulah adzan kedua. Karena sudah ada penanda murottal atau Sholawat. Maka, kita pertahankan dua adzan itu untuk melestarikan bid'ahnya ustman.

Lalu, tetiba ada yang menggerutu, jika ada sahabat membuat sesuatu dan Nabi Muhammad SAW juga membuatnya. Maka, dahulukan Nabi Muhammad SAW. Tidak perlu sahabat. Inilah cikal bakal orang yang Su'ul adab terhadap sahabat, biji-biji syiahnya sudah mulai kelihatan. Dia tidak sadar, jika dia punya kecenderungan untuk merendahkan sahabat Nabi Muhammad SAW.

Ustman ketika membuat inovasi adzan dua kali saat jum'at, tidak disebut bid'ah. Karena di situ ada mashlahat. Maka, Ibnul Qoyyim, Imam Salafi, anak Murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata ; "kullu mashlahatin din - setiap yang ada mashalahatnya itu bahagian dari agama".

Apa arti Mashalahat?. Manfaat dan kebaikan, itu bahagian dari agama. Jadi, jika kita lihat mashlahatnya banyak, itu bahagian dari agama. Meskipun tidak ada di zaman Nabi.

Jadi, Abu Bakar itu Pembid'ah, Umar itu Pembid'ah, Ustman itu pembid'ah ; Al Qur'an di buat, adzan di bikin dua kali. Apalagi bid'ahnya ustman?. memugar masjid. Hal itu juga di bentak oleh sahabat yang lain ; antum ini membuat sesuatu yang tidak dibuat oleh Nabi Muhammad SAW?. Kata Ustman, kamu kan tidak mengerti. Ini masjid, sudah sesak. Sampai-sampai Aisyah melarang para perempuan ke masjid, karena sudah penuh oleh para Ikhwan-ikhwan (lelaki). Sehingga perempuan tidak bisa lagi sholat di masjid. Maka ustman memugar masjid.

Dua sahabat Nabi Muhammad SAW, yang paling banyak membuat hal-hal baru atau Bid'ah adalah Ustman dan Umar.

Jika Bid'ah itu nyata di kalangan para sahabat, maka kita tidak boleh menerjemahkan " kullu bid'ah itu dholala (sesat)". Kecuali, ada pengecualian pada bid'ah yang mana yang sesat. Sehingga kata-kata Nabi, tidak bisa dijadikan boomerang untuk menghujat sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW.

Suatu kali Muadz, di kitabul iman, dalam Bab Iman (shohih bukhori). Mengatakan kepada kawan-kawannya, " Ta'al Nu'min sa' atan - ayo berkumpul, kita beriman sesaat". Lalu, disebutkan mereka, "yusabbihunallahu". Bertasbih berjama'ah, bertakbir berjama'ah. Baca wirid berjama'ah. Itulah sejarahnya Dzikir berjama'ah, apakah namanya yasinan, ma'tsurat, mabid, muhasabah, dsb. Sebab, itu hanya namanya saja, isinya adalah Dzikrullah ; nu'min sa'atan (berimana sesaat). Sebab, Iman itu menggetarkan qolbu dan menyadarkan pikiran.

Jika demikian, mungkinkah kita mengatakan "kullu bid'atin dholala", Seperti pemahaman sebelumnya (semua yang tidak dilakukan Nabi Muhammad SAW)?. Berarti terjemahannya bid'ah. Lalu, terjemahan bid'ah yang tepat apa?.

Ternyata Imam salafi sudah beres dengan urusan-urusan seperti ini, sehingga tidak perlu lagi berdebat, yaitu Ibnu Qoyyim dan Ibnu Taimiyah. Apa kata Ibnu Taimiyah dalam I'tidha Sirathal Mustaqim, "al bid'atu maa lam ya' dhulla alaihi dalilun syari'i - bid'ah itu, yang tidak ada dalil syara'nya".

Sekarang kita Tes ilmu hukumnya, ilmu ushul fiqih. Berapa macam sumber hukum dalam islam?. Sumber hukumnya dalam Islam, di bagi menjadi dua, ada yang telah disepakati dan ada yang masih diperdebatkan. Yang di sepakati itu ada empat. 

PERTAMA, Al-Al qur'an. 

KEDUA, Sunnah (bukan Hadist yah. Sebab, orang ahli hukum tidak pernah menyebut Hadist. Tetapi menyebut Sunnah). Karena, Hadist dan Sunnah itu berbeda. Misal, di Hadist disebutkan bahwa "Hidung Nabi Mancung, kulitnya agak kemerahan sedikit".

Hadist itu artinya berita, "khabar". sedangkan Sunnah, "ma kana hukman syari'an - yang tergolong hukum syara', barulah disebut sunnah. Jadi, bedanya sunnah dan Hadits adalah ketika ada bobot hukum syara'nya, hal itu disebut sunnah. Sedangkan, Kalau tidak ada bobot hukum syara'nya, Maka disebut sebagai hadist.

Contoh, Nabi Muhammad SAW istrinya 9. Itu hadist, bukan sunnah. Nabi Muhammad SAW wajib sholat Malam, Itu adalah Hadist. Kalaupun disebut sunnah, maka sunnahnya adalah sunnah Khassa (khusus).

KETIGA, Ijma. Ijma itu artinya "Al i'tifaq al muj'tahidin ba'da asrin nubuwah - kesepakatan atau konsensus ulama-ulama". Bukan ulama sembarang, tetapi mujtahidin. Mujtahidin itu adalah orang yang mampu memproduk suatu hukum, yang lansung di ambil dari Qur'an dan sunnah, serta hasilnya jelas. Namun sekarang orang sangat mungkin menjadi mujtahid, dalam satu Bab. Tetapi tidak dalam bab lain. Itu sangat mungkin, jika dia menjadi Mujtahid di semua bab, saya pikir Mustahil. Sebab, persoalan sekarang tambah rumit.

Dr. Badi' zaid Al Hab, di tanya ; jika menurut anda, kalau ada mujtahid sekarang yang bisa membuat mazhab, siapa orangnya?. Jawaban beliau adalah Syekh Wahbah Zuhaili.

KEEMPAT, Qiyas. Contohnya kita kalau berzakat disini, pakai kurma atau pakai beras atau pakai Uang. Kalau kita pakai uang, berarti kita telah menggunakan qiyas (analog). 

Dizaman Abu Hanifah, Abu hanifah di tuduh sebagai Mahkluk Bernajis, oleh Hammad bin zaid, hanya karena membolehkan zakat fitrah dengan yang senilai dengan makanan pokok. Tetapi, sekarang, hal itu sudah tidak ada. Sebab, Semua lembaga zakat membolehkan, bahkan tinggal gesek saja boleh. Ternyata, pendapat Abu Hanifah, yang wafat tahun 150 baru tidak dianggap bid'ah setelah tahun 2000-an, sekitar tahun 1400-an. Artinya, selama lebih 13 abad, pendapat beliau dianggap bid'ah. Jadi, jangan-jangan kita ini loadingnya terlalu lama. Sehingga perkara tersebut sudah tidak bid'ah, ulama sudah menemukan dalilnya. Sedangkan kita masih mengatakan bid'ah. Makanya, saya curiga sama orang yang kerap membid'ahkan sesuatu, Itu mungkin karena tidak tahu dalil saja. Makanya loadingnya belum selesai.

Lalu, ada yang di perdebatkan, sebagain ulama mujtahid menggunakannya dan sebahagian tidak. contohnya Mashlahat. Imam malik menggunakannya. Uruf (tradisi), qoul atau Amal ahli madinah, imam malik menggunakannya. 

Wal hasil, ternyata sumber hukum itu tidak hanya Al qur'an dan sunnah. Tetapi, ada juga selain Qur'an dan sunnah. Makanya, ibnu Taimiyah mengatakan bid'ah itu dibagi dua. Sementara pengikutnya sekarang mengatakan, bid'ah itu semuanya sesat. Ibnu Taimiyah membaginya kedalam dua hal, ada bid'ah syari'ah (bid'ah menurut syara' atau tidak ada dalilnya). Contohnya sholat subuh, 2 raka'at. Tetapi, di buat menjadi 3 raka'at. Tetapi, ada bid'ah lughowiyah (bid'ah secara bahasa), sama seperti sholat tadi, secara bahasa adalah dzikir atau doa. Tetapi, sholat secara istilah adalah di mulai dengan takbir dan ditutup dengan salam. Jadi, bid'ah secara bahasa yang Nabi Muhammad SAW tidak buat. Sementara bid'ah secara istilah adalah tidak ada dalilnya, baik dalil yang di sepakati (yang empat diatas) dan dalil yang di perdebatkan.

Lalu, dimana munculnya khilafiah. Jika yang 4 sumber hukum diatas, sudah tidak ada khilafiah lagi. Kalau pun ada, pasti orang tersebut jahil. Al- Qur'an, sunnah, ijma dan qiyas tidak ada lagi perdebatan di dalamnya. Jika ada, berarti orang tersebut kurang up date ilmunya.

Jika demikian khilafiah itu apa?. Khilafiah adalah perdebatan, perselisihan. Kapan hal itu muncul?. Ketika orang berdalil, dengan dalil yang tidak di sepakati. Seperti, kemaslahatan. Contohnya, Orang susah atau orang tidak susah, bisa berobat di rumah sakit dengan menggunakan BPJS. Dalil tersebut tidak terdapat dalam Al-qur'an, sunnah, ijma dan qiyas. Karena dalilnya menggunakan dalil mashlahat.

Dulu, Ibnu Abbas tidak mau sujud diatas sejadah. Apa kata beliau, kekasihku Muhammad tidak pernah sujud diatas sajadah. Sujudnya diatas pasir. Akhirnya katarak ibnu Abbas semakin parah dan di akhir hayatnya ibnu Abbas, buta. Bukan karena beliau menolak mashlahat, tetapi karena beliau malu (Bab Malu) kepada Rosulullah, sehingga menolak untuk sujud diatas sajadah. 

Semua maslahat itu adalah agama. Sehingga menjadi wajarlah jika ada yang mengharankan BPJS dan menghalalkan BPJS.

Saya kasih contoh lagi, Bank hukumnya apa?. Sebab, Bank tidak ada di zaman Nabi. Karena tidak ada di zaman Nabi, maka tidak pernah di bahas di dalam al Qur'an, di sunnah, di ijma dan tidak di tentukan di qiyas. Lalu, kapan bank itu ada?. Bank itu ada belakangan. Terlepas dari semua perdebatan tentang bank. Bank yang begitu rumit di islamkan oleh orang-orang islam, menjadi Bank Syariah. Syariah atau tidak syariah pun, bank itu tidak ada di zaman Rosul. Makanya sekarang ada gerakan anti riba. Tetapi, sesungguhnya gerakan anti bank. 

Kalau riba sangat jelas dalam Alqur'an, "wa halallahul bai'a wa harama riba - Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". Jelas ayatnya, tidak ada perdebatan. Jika ada orang menghalalkan Riba, berarti dia kafir. Tetapi, kalau menghalalkan Bank. Belum tentu kafir. Tergantung pada apa defenisi Bank. Jika defenisi bank adalah lembaga ribawi, jelas salah. tetapi kalau bank adalah lembaga mediator antara pemodal dan sang peminjam, berarti sudah berbeda defenisinya. Tentu hukumnya pun berbeda.

Artinya tidak semua aktifitas di bank itu adalah riba. Itulah sebabnya muncul khilafahiya. Ada yang bilang mashalahat, mengatakan tidak haram. Sedangkan ada yang menyatakan Riba karena ada tambahannya ; kullu qordin jarro naf'an fa huwa riba (setiap transaksi - pinjam meminjam yang menghadirkan tambahan atau bennefit adalah riba)". Padahal hadist ini dhoif, tetapi tetap saja di pakai sebagai dalil.

Kapan mulai muncul khilafiyah, ketika orang mulai berdebat tentang suatu hal. Misalnya tadi, mashalahat. Contoh lain, uruf. Orang makassar, jika ada orang wafat. Biasanya di bacakan yasinan, tahlilan atau khataman Alqur'an. Itu masuk kemana sumber hukumnya?. Tidak ada dalam al qur'an. Tetapi, Ada di dalam hadist, hanya saja hadistnya dhoif. Namun di shohihkan dua imam.

Terlepas dari semua itu, ada tradisi baca yasin selama sekian hari. Hal itu masuk ke amal para sahabat dan tabi'in. Lalu di tambah dengan uruf. Ada sahabat Nabi Muhammad SAW bernama udaif, dia mengatakan " hal mingkum ma qoro'a aya - meminta di bacakan Surat Yasin kepadanya", karena dia sedang sakaratul maut. Lalu, di bacakan dan dia wafat. Tanpa ada keluhan. Maka, imam Ahmad menyebutkan ketika di bacakan Yasin kepada orang Mati, "khofifa an ha".

Lalu, dibuatlah tradisi, baca yasin tujuh hari. Mengambil hadist Imam Ahmad dan Imam Abu Daud.

Tradisi itu ada kaidahnya, kalau tradisi melanggar Al Qur'an dan sunnah, maka disebut Tradisi fasid (rusak) : urfun fasidun. Jika tradisi sesuai dengan Al qur'an dan sunnah, tidak disebut dengan fasid. Imam Syafi'i menyatakan sesuatu yang tidak melanggar Al qur'an dan sunnah, "Fa lay sa bi bid'atin (tidak bisa disebut di sebut bid'ah)".

Maka, berdasarkan semua itu, bahwa semua yang khilafiyah tidak bisa di katakan bid'ah dan Tidak semua perkara baru yang kita lihat secara dzohir, dia baru dalam ilmu pendalilan. Siapa tahu ada dalilnya. Kalau masih ada dalilnya dan benar cara memahami dalilnya, maka dia tidak disebut Bid'ah.

**

Bagaimana Jika ada pertanyaan mengenai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, apa hukumnya dan bagaimana ketika Ummat islam memperingatinya?.

Sebenarnya, saya telah mengulas cukup panjang tentang maulid ini, di tulisan saya yang lain. tetapi, berkenaan denga itu  Saya ingin kita memahami dulu akar persoalannya. Sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dalam Q.S. As Saff : 6

وَاِ ذْ قَا لَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ يٰبَنِيْۤ اِسْرَآءِيْلَ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرٰٮةِ وَمُبَشِّرًا بِۢرَسُوْلٍ يَّأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِى اسْمُهٗۤ اَحْمَدُ ۗ فَلَمَّا جَآءَهُمْ بِا لْبَيِّنٰتِ قَا لُوْا هٰذَا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ

"Dan (ingatlah) ketika 'Isa putra Maryam berkata, "Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, "Ini adalah sihir yang nyata."

Lalu, Q.s. Al Baqorah : 129, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

رَبَّنَا وَا بْعَثْ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَا لْحِكْمَةَ وَ يُزَكِّيْهِمْ ۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

"Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana".

Lalu, Q.s. Yunus ; 57-58, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ قَدْ جَآءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِ ۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّـلْمُؤْمِنِيْنَ

"Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur'an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman."

قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَـفْرَحُوْا ۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

"Katakanlah (Muhammad), "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan."

Lalu, Q.S At Taubah : 128 - 129, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

لَـقَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِا لْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

"Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman."

فَاِ نْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۗ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۗ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ

"Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung."

Sekarang kita coba untuk membiasakan melakukan penilaian dengan menilai secara ilmiah, yang bersumber pada dalil-dalil yang ada, tidak sekedar menganalogikan dan main tebak-tebakan. Sebab, hal itu tidak baik dalam menyimpulkan hukum. Mengurai sesuatu secara ilmiah, oleh para Ulama. Di spesialisasikan terlebih dahulu, dalam bentuk Ta'rif (defenisi). Artinya, kalau kita hendak membahas sesuatu, maka kita harus sepakat dengan defenisinya terlebih dahulu, hal itu disebut dengan Ta'rif.

Ta'rif ini memliki sifat, Jami' dan mani'. Jami' adalah menghimpun semua unsur yang terkait. Sedangkan mani' adalah mengeluarkan segala hal yang tidak terkait dengan sesuatu yang di defenisikan. Sehingga kita bisa fokus pada pembahasan tersebut. Kita kerap kali membahas sesuatu, tetapi tidak sepakat pada defenisi sesuatu. Lalu, bagaimana kita bisa menyimpulkan hukumnya. Nah, kelemahan kita adalah kerap kali membicarakan hukum, tetapi tidak tahu apa yang di bincangkan.

Misalnya, Kita akan bahasa Tentang hukum Maulid. Maka, kita harus sepakati dulu, maulid itu apa. Seperti, banyak orang yang membahas tentang hukum musik. Tetapi, tidak di sepakati apa itu Musik. Ini kan masalah. Mereka membicarakan musik itu hukumnya begini-begini. Begitu di tanya apa itu musik, tidak tahu mau jawab apa. Artinya, kita harus sepakati dulu musik itu apa. Di zaman Nabi Muhammad SAW musik apa dan apa yang di maksud musik zaman sekarang, ketika Nabi Muhammad SAW menyampaikkan hukum musik, apa yang di maksudkan musik waktu itu. Jika kita memahami tentang defenisinya, maka barulah kita keluarkan turunan hukumnya. Dengan begitu kita akan mengerti.

apa itu Maulid atau apa itu Maulud?.

Kalau di sebutkan Maulid, itu adalah waktu kelahiran. Kita ini kerap kali tidak berhati-hati, menulis panjang lebar, tetapi salah paham. Dia menyamakan antara maulid dan peringatan Ulang Tahun. Maulid itu bukan ulang tahun, jika menggunakan peringatan itu namanya "Iedul milad (peringatan hari kelahiran)". Tetapi, kalau cuman Maulid itu waktu kelahirannya.

Kalau di sebutkan Maulud itu artinya bayinya yang lahir. Jika di sandingkan diksinya dengan Maulidun Nabi, berarti Waktu kelahiran Nabi. Jika diksinya di sandingkan dengan Mauludun Nabi, berarti Nabi di lahirkan. Lalu, apa hukumnya Maulid?. Wadduh, Maulid itu tidak ada hukumnya. Bagaimana kita bisa melekatkan hukum pada waktu lahirnya Nabi. Hukum itu terletak pada perbuatan seseorang. Ketika seseorang berbuat dengan aspek kesadarannya, maka barulah muncul hukum di situ.

Kita harus belajar mendudukkan hukum dengan baik. Hukum itu tidak terletak pada benda dan waktu. Ia terletak pada perbuatan. Jika ada perbuatan yang melekat pada benda dan waktu, maka muncullah hukum. seperti, apa hukum gelas. Tidak ada hukumnya gelas. Tetapi, ketika gelas di gunakan untuk menampung Khamr dan di minum, barulah muncul hukum haram. Apa hukumnya gelas di gunakan untuk melempar orang lain, haram hukumnya. Apa hukumnya gelas yang di gunakan untuk menampung air dan di minum dalam keadaan sehat, sunnah hukumnya. Seperti, apa hukum parang?. Tergantung parang itu di gunakan untuk apa. Artinya benda baru bisa di hukumi, jika ada perbuatan yang melekat padanya. Sama dengan manusia.

Apa hukumnya hari kelahiran?. Hari kelahiran tidak ada hukumnya. Yang melekat hukum, ketika kita menyikapi hari kelahiran.

Jika kita menolak dan menantang maulid dengan pengertian hukum sebagaimana yang kerap merebak. maka kita telah keluar dari Islam ; Saya menentang Maulid Nabi?. Berarti kita telah menantang kelahiran Nabi. " saya menantang Maulud Nabi". Artinya kita musuh Nabi.

Tidak ada rumus penolakan dan pertentangan pada maulid dan Maulud. Sebab, secara defenisi, telah saya sebutkan diatas, maulid adalah waktu kelahiran dan Maulud adalah kelahiran Objeknya. Maka, kita hanya bisa menerima hal itu.

Berkenaan dengan itu, Nabi Isa As Hidup 600 Tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, ikut bahagia akan lahirnya seorang Rosulullah. Sampai perasaan bahagianya, ia kabarkan pada Ummatnya. Tidak mungkin orang memberikan kabar gembira perasaannya sedih. Sebab, memberi kabar gembira dalam keadaan bahagia hatinya. Kalau pun menangis, itu adalah tangisan kebahagiaan.

Kita bisa bayangkan, Nabi dan Rosul. Mukjizatnya hebat, sekali usap penyakit sembuh, mampu menghidupkan orang Mati dengan izin Allah. Bahagia dengan kelahiran Rosulullah. Kita ini bukan Nabi. Bukan Rosul. Tidak punya mukjizat, seperti Nabi Isa. Mayat di panggil-panggil tidak bangun. Penyakit di usap, tambah sakit. Lalu, kita tidak bahagia dengan kelahiran Nabi, kita ini siapa?. Nabi Isa bisa bahagia, apalagi kita yang bukan Nabi. Luar biasanya adalah Ada orang bisa berbahagia, padahal Orangnya belum lahir. Sebab, biasanya sifat bahagia dalam kelahiran itu setelah bayinya lahir. Bukan sebelum bayinya lahir, apalagi 600 tahun sebelumnya. Tetapi, kemuliaan Nabi Muhammad SAW, belum lahir. Tetapi, sudah memberikan kebahagian kepada Nabi Isa As dan memberikan kabar kebahagian kepada Ummatnya.

Lebih jauh lagi, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Setelah meninggikan bangunan Ka'bah. Mereka berdoa di samping Ka'bah, apa doanya, Doa Maulud (Bayinya) : "Robbana Wa ba'ats fihim rosulum min hum Yatlu alaihim ayatika wa yu' allihumul kitab wal hikmah wa yuzakkihum innaka antal azizul hakim - Ya Allah Mohon utus seorang Rosul, dari kalangan mereka, yang lahir di sekitaran tempat ini". Artinya ada Nabi yang lahir di sekitaran Ka'bah. Berdasarkan penelitian, tidak ada Nabi yang lahir di sekitar Ka'bah kecuali Nabi Muhammad SAW. Bahkan kedua Nabi tersebut berdoa, yang rentan waktunya 30 generasi sampai kepadannya.

Kita bayangkan saja, Dua orang Nabi sekaligus mendoakan tentang kelahirannya. Yang satu bergelar Khalilullah (yang paling dekat dengan Allah). Nabi Ismail di sebut oleh Al qur'an sebagai ghulamun khalim ( yang paling perasa). Dua nabi sekaligus, di sayang oleh Allah, jaminan surga pasti, kisah hidupnya menginspirasi kita sampai detik ini, mendoakan atas kelahirannya (Maulud) Nabi Muhammad SAW. Kita ini bukan Nabi, Rosul bukan. Jaminan Surga belum jelas, Amal berantankan, hizab menengangkan, kisah hidup belum tentu menginspirasi di masa depan. Tetiba menolak Maulud, Kita ini siapa?.

Lantas, bagaimana mengikapi kelahiran Nabi Muhammad SAW?. Diatas telah saya sertakan Qur'an surat Yunus : 57-58, kalau sudah sampai di ayat 58, " Fal yaf rahu" (gembira) kita. Silahkan gembira dan bahagia. Sebab, Nabi - Nabi sebelumnya yang tidak melihat Nabi Muhammad saja bergembira dan bahagia. Sedangkan kita menjadi bahagian darinya, masa tidak bahagia dan gembira. Ummat terdahulu, bukan bahagian dari ummat Rosulullah, saja berbahagia tentang kelahirannya. Kita ini sudah jelas-jelas adalah ummatnya, masa tidak gembira. Maka, yang pertama adalah kita harus bergembira. Kedua, bagaimana mengekspresikan kegembiraan tersebut. Di situlah kita turunkan contoh-contoh yang di hamparkan Nabi pada kita.

Nabi mengekspresikan kegembiraan terhadap kelahirannya, dengan berpuasa di hari senin. Ketika nabi berpuasa di hari senin, di tanya oleh sahabat, mengapa engkah berpuasa di hari senin. Kata Nabi " zaka yama wulid tu bi ma ma'na - ini adalah hari aku di lahirkan". Hal ini bisa di jadikan sebagai turunan hukum untuk kita, jika menyikapi Hukum kelahiran. Bisa dengan berpuasa.

sekarang bagiamana para sahabat menyikapi kelahiran Nabi dan kedatangan Nabi. Harus kita tahu saja, bahwa Kegembiraan para sahabat bukan saja pada saat ia di lahirkan, tetapi setiap Nabi datang kerap di sambut oleh sahabat, seperti ketika nabi ke Madinah, di sambut oleh para sahabat di Madinah, dengan sholawat. Nabi datang dari perang Tabuk, di sambut oleh para sahabat, dengan "Thola al badru alaina min tsaniya wa dai wa jaba syukru alaina".

Ada yang memuji nabi, seperti Hasan bin Tsabit, dengan puisi-puisi. Sepeti zubair bin Abi salma, tadinya musuh Nabi, begitu masuk Islam, memuji Nabi. Begitu Nabi Meninggal, di abadikanlah pujian-pujian tersebut dalam bentuk syair, dalam bentuk kitab. Ada yang menulis sholawat-sholawat Nabi, ada yang menulis pengajaran-pengajaran Nabi. Di kumpulkan dan sampailah itu kepada kita semua. Itulah cara terbaik menyikapi kelahiran Nabi.


***



TITIK TEMU : PRIORITASKAN KEBAIKAN BUKAN KEBENARAN

Tuhan mau kita berbeda. Tetapi, Dia tidak menghendaki kita bertengkar. Jika Tuhan mau kita sama, Mestinya Al Qur'an tidak bisa mengandung penafsiran yang berbeda. Misalnya, "Jika saya bilang saya belum makan, itu menunjukkan apa?". Bukankah hal menunjukkan, bahwa saya lapar. Tetapi, Bisa juga menunjukkan, bahwa saya masih kenyang. Bisa juga berarti jangan habiskan makanan. Bisa berbeda-berbeda interpretasinya. Begitu pun dengan penafsiran terhadap al qur'an. Semuanya bisa benar dan semuanya bisa salah.

Al-qur'an itu seumpama hidangan Ilahi, semakin kaya seseorang. Maka, semakin kaya hidangannya. Apakah anda marah, ketika anda menyuguhkan Kopi dan teh. Tetapi, saya memilih Kopi?. Tidak marah, kan. Apapun aliran dan pahaman tersebut, sepanjang tidak berbeda dalam prinsip-prinsip dasar beragama, mengapa harus memaksa.

Bukankah Prinsip dasar beragama adalah menemukan titik temu. Apa itu prinsip dasar beragama, yaitu Rukun Iman. Sepanjang bukan Rukun imannya yang berbeda, mau dia fiqihnya apapun, silahkan.

Disinilah letak Problem kita dalam beragama, karena kerap menganggap bahwa kebenaran itu hanya satu dan juga kegagapan para Ustadz, ulama dan dai dalam menghidangkan kemajemukan kebenaran. Padahal dalam rincian agama, meniscayakan keragaman. Misalnya, 5+5 itu berapa?. Jawabannya adalah 10, jika 9. maka tentu hasilnya salah. Sementara Allah tidak bertanya 5+5 berapa. Yang Tuhan tanya berapa tambah berapa, sama dengan 10. Maka, Jawabannya bisa banyak. 7 tambah 3, bisa. 6 tambah 4, bisa. 1 tambah 9, bisa. 8 tambah 2, bisa, dst.

Dalam Al Qur'an terdapat tuntunan yang menyebutkan , "yahdi bihillahu manittaba aridwanahu tsubula salam (Allah memberi pentunjuk kepada hamba-hambanya yang mencari ridhonya, jalan-jalan kedamaian). Jalan-jalan berarti banyak jalan. Jika banyak jalan ke roma. Sudah seharusnya lebih banyak jalan ke Surga.

Berkenaan dengan itu, saya teringat dengan Ungkapan Ali Syari'ati (1979), ia menuturkan bahwa "Lebih baik kau berusaha memasukkan dirimu kedalam Surga, ketimbang membuktikan orang lain masuk Neraka". Artinya, Menyakini kebenaran yang Haq untuk berbeda, Guna mendorong kompetisi menuju kebaikan, harusnya di ejawantahkan. sebab, Allah telah menukilkan dalam Qur'an, "Sekiranya aku mau, aku akan jadikan kalian satu Ummat saja. Tetapi, tidak. agar kalian berlomba-lomba dalam kebaikan. (Q.S.Al-maidah 5 : 48).


*Pustaka Hayat

*Rst

*Pejalan sunyi

*NalarPinggiran