Al bid'ah adalah bahasa arab, muncul satu kali dalam Al-qur'an, "ma kuntum bid' an minarosulu". Apa arti bid'an pada Maksud ayat tersebut. bid'ah adalah membuat hal baru dari ajaran para Nabi. Dari situ kita ketahui bahwa ajarannya Nabi Muhammad SAW, itu sama dengan Ajarannya Nabi Adam AS. Sebab, yang berbeda adalah Syariatnya.
Bid'ah dalam bahasa arab, satu akar dengan dengan kata Badiah. Allah bernama Badi'ah, "Badius samawati Wal Ard'. Badi'ah berarti mencipta sesuatu. tetapi, tidak perlu konsep sebelumnya. Dalam istilah arab, jika saya membuat suatu produk. tetapi, produknya sudah ada. Lalu, saya perbaharui dan berbeda dengan yang lain. Maka hal itu di sebut dengan ib'dha. Tetapi, kalau sama dengan produk tirua disebut imitasi.
"Badiah" adalah Allah mencipta tanpa perlu konsep sebelumnya. Badi'ah jika di terjemahkan secara kasar, bisa disebut Maha pembid'ah. Tetapi, tidak ada orang menerjemahkan demikian. maknanya adalah "Al khaliq bidduni mitsakin tasbit - pencipta yang mencipta tanpa ada contoh sebelumnya".
Kita masuk secara makna. pemaknaan secara bahasa tidak boleh di pakai. Misal, sholat secara bahasa adalah doa (dzikir). kalau ada orang mengatakan Saya sudah sholat. Ternyata dia cuman dzikir. Maka, itu bukan termasuk sholat. Biasanya hal itu terjadi di aliran kebatinan. Kawan saya ada yang puasa, tapi dia makan. Saya tanya kamu puasa?, dia jawab saya puasa lisan dari bicara yang kotor-kotor. Hal itu tidak disebut puasa. Sebab, syarat puasa bagi kita, tentu ada rukun dan syaratnya.
Dalam hal ini, maka ulama pun berbeda defenisi. Jangankan ustadz, sahabat saja berbeda defenisi tentang bid'ah.
Suatu kali, Umar bin Khottab datang kepada Kahlifah Abu Bakar As-Shiddiq. Umar berkata kepada Abu Bakar ; Wahai Khalifah, para Khufads sudah banyak yang terbunuh. Jika engkau tidak membuat suatu keputusan penting, yaitu mengumpulkan bahan-bahan Al-Qur'an. Maka, Al-Qur'an bisa hilang. Umar Bin Khottab sangat kritis, tetapi tidak main hujat.
Apa kata Abu bakar, "hal taf ala ma lam yaf al hu rosulullah - apakah kita akan membuat amalan atau keputusan yang Rosulullah tidak buat". Artinya defenisi bid'ahnya Umar dan Abu Bakar, berbeda. Bagi Abu Bakar, jika Nabi Muhammad SAW tidak membuat sesuatu, maka itu bid'ah. Sedangkan, bagi Umar, jika hal tersebut ada mashlahat atau lebih banyak manfaat daripada keburukannya, maka hal tidak di sebut bid'ah. Hal ini terdapat dalam riwayat Shohih Bukhori dan muslim. Bahwa makna bid'ah itu berpindah.
Akhirnya kata Abu Bakar, Umar Bin Khottab terus mendebati saya tentang pengumpulan bahan-bahan Al -Qur'an dan hal itulah yang di maksud dengan debat ilmiah. Debat yang menghasilkan ilmu, apa kata abu bakar, " Hatta aro ma ro'a - Sehingga aku melihat apa yang di pahaminya, maka aku menyetujuinya perkataan".
Perdebatan Umar Bin Khottab dan Abu Bakar ini lama sekali. Oleh karena itulah, kita mendebati pemerintah itu perlu, mengkritisi penguasa itu perlu. Tetapi, melaknatnya tidak boleh. Seperti Umar mengkritisi Abu Bakar (pemimpin) waktu itu.
Setelah mereka berdua sepakat, datanglah Abu bakar dan Umar Bin Khottab kepada Zaid Bin Tsabit, seorang anak muda, sahabat paling muda, penghafal Qur'an. Apa kata Abu Bakar ; "Ya Zaid, tolong engkau kumpulkan Al-qur'an. Begitu juga kata Umar Bin Khottab, bahwa kami telah sepakat untuk mengajak kamu, agar mengumpulkan Al-Qur'an. Jawaban, Zaid bin Tsabit, sama dengan apa yang di katakan Abu Bakar, di awal, "Hal Taf ala maa lam yaf ala hu rosulullah - apakah kamu buat sesuatu yang Rosulullah tidak membuatnya". Berarti dalam konsep zaid, bid'ah itu adalah sesuatu yang tidak dibuat oleh Nabi Muhammad SAW.
Umar Bin Khottab pun kembali menjelaskan seperti saat ia menjelaskan kepada Abu Bakar. Setelah mendengar penjelasan umar Bin Khottab. Zaid berkata, yah aku bisa memahami apa yang di pahami Umar Bin Khottab.
Lantas, Abu Bakar bertutur pada Zaid, kamu adalah pemuda yang paling Hafal Al Qur'an dan paling kuat hafalannya. Jika bukan kamu, siapa lagi. Lantas, kata zaid, " lau amarta ni bi naqli jabalin ila jabalin la fa altahu - jika engkau memerintahkan aku memindahkan gunung. Gunung itu terlihat, bisa aku lakukan. Sementara mengumpulkan hafalan Al qur'an, betapa sulitnya, karena ia tidak terlihat".
Akhirnya, zaid minta persetujuan dan istikharo kepada Allah dengan qolbunya, maka ia menerimanya. Wal hasil terkumpullah Al Qur'an, tetapi belum di salin. Hanya Di kumpulkan di rumah Hafsah Binti Umar.
Saat Umar Bin Khottab berkuasa, tidak terjadi kesyahidan sahabat-sahabat yang hafidz Al Qur'an. Maka, tidak ada gebrakan untuk menyalin Al qur'an. Gebrakan penyalinan al-Qur'an setelah di Fase pertama di kumpul di rumah Hafsa, Barulah terjadi di zaman Ustman Bin Afwan di lakukan.
Ketika Huzdifah al yamani, pergi ke irak. Di irak ada dua kota besar, saat itu belum ada kota Baghdad. Baru kota kufah dan Bashrah. Di bashrah, ada sahabat bernama Abu Musa Al Asy'ari dan di kufah, ada sahabat bernama Abdullah bin Mas'ud. Masing-masing sahabat ini, memiliki bacaan Al qur'an dan memiliki murid ribuan orang.
Suatu kali Hudzaifah Sholat di masjid, diantara kota Bashrah dan Kufah. Di bagian pojok Masjid, ada orang membaca Al qur'an berbeda dengan orang yang membaca Al qur'an di bahagian pojok lainnya. Hudzaifah bingung dan menggerutu dalam hati, kenapa ada dua bacaan Al qur'an. Maka di panggillah kedua orang yang membaca Al qur'an tersebut ; Hai, fulan kamu membaca Al qur'an, siapa gurumu?. Yang satu menjawab, Abu Musa Al asy'ari dan yang satu menjawab Abdullah bin mas'ud. Maka, sahabat Nabi, Hudzifah ini mendatangi Abu Musa al asy' ari dan Abdullah bin mas'ud dan mengatakan bahwa perkara mereka akan di bawa ke pusat (madinah).
Begitu Sampai di madinah, kata Hudzaifah. Hal Ini berbahaya, sebab jika kita meninggal (Hudzaifah, ustman, ibnu Mas'ud dan Abu musa). maka, Al qur'an bisa berantakan. Itulah sebabnya, Hudzaifah mengusulkan, agar membuat al Qur'an standar. Dari peristiwa itulah sehingga, di masa Ustaman terjadi gebrakan untuk menuliskan Al-Qur'an Standar. di bentuklah kembali tim yang dulu saat masa abu Bakar telah di bentuk, yaitu zaid bin Tsabit sebagai Ketua. Maka, Di salinlah Al qur'an sebanyak 6 ribu eksampler dan di kirim kemana-mana.
Salah satunya sekarang tersimpan di kota Tasken - Uzbekistan. Beberapa abad di Masa Timur lenk, di salin kembali menjadi 5 eksampler dan sampai sekarang masih tersimpan di Uzbekistan, kampungnya Imam Bukhari, Imam Ad Darimi dan Imam-imam Lainnya.
Coba bayangkan, ternyata salah satu produk bid'ah hari ini itu bernama mushaf.
Kita punya mushaf masuk kedalam hp. Jika bukanlah Umar bin Khottab, si bapak pembid'ah melakukan inovasi tersebut, seorang anak muda bernama Zaid bin Tsabit menyetujuinya dan Abu Bakar meridhoinya. Maka, kita hari ini akan kebingungan. Sebab, yang bisa sholat hanya yang Hafidz Al Qur'an saja.
Apakah kita berani menyebut Umar Bin Khottab, sebagai Abul Bid'ah - bapak pembid'ah. Tidak hanya sarannya untuk mengumpulkan Al-Qur'an. Selain itu, Inovasi lainnya ialah membuat taraweh berjama'ah. Apa kata Umar Bin Khottab, "ni'matul bid'atu hadzi hi - se nikmat-nikmatnya bid'ah adalah Taraweh berjama'ah ".
Seandainya semua bid'ah itu dholalah, tentulah Umar Bin Khottab adalah "awal awwalu man dhollah - Umar adalah orang pertama yang sesat dalam Bab Bid'ah". Tetapi, beranikah kita mengatakan Umar Bin Khottab sesat?. Jika ada yang berani, maka pasti dia Rofidho (syi'ah).
Sedangkan Anaknya Umar, Abdullah Bin Umar itu melazimkan sholat dhuha, di tegur oleh sahabat lain ; apakah Rosulullah melakukan seperti yang kamu lakukan, Sholat dhuha tiap hari?. Lalu, jawaban Abdullah bin Umar, mengulang apa yang di katakan, bapaknya dahulu, " ni'matu bid'ah hadzi hi" - Senikmat-nikmatnya bid'ah adalah mengistiqomahkan sholat dhuha setiap pagi". Padahal Nabi Muhammad SAW, jarang sholat dhuha. sebab jika Nabi Muhammad SAW Rajin sholat dhuha, di takutkan dianggap, ada lagi sholat yang ke enam.
Semua riwayat ini shohih, tidak ada yang berani mengatakan Riwayat diatas adalah Dhoif. Jika ada yang berani mengatakan riwayat tersebut dhoif, dia akan di pecat dari kalangan ahli hadist.
Lalu, bagaimana kita memahami permasalahan ini. Ternyata ada satu hadist yang sangat seksi, yaitu "Kullu bid'atin dholala". Hadist ini kerap di baca, " Iyyakumu muhddasatil umur, fa kulla muhdasatin bid'ah wa kullu bid'atin dholala wa kullu dholala tin fi naar" - jauh-jauh lah dari perkara baru dalam agama. Sebab setiap Perkara baru itu bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat itu neraka".
kita kerap dengar Mukaddimah ustadz-ustadz, sambil menggunakan intonasi yang keras. Padahal, Nabi Muhammad bicara tidak seperti orang marah. Nabi Muhammad itu berbicara seperti "Qoisatul jais", bukan marah-marah. Tetapi, bersemangat.
Hadist tersebut, ternyata di mulai dengan diksi "iyyakumu muhhdasats". Huruf "Ta"nya ada Alifnya, asalnya dari muhdasa. Jama' dari muhdasa. Bukan muhdas. Apa indikasinya?, jadi perkara baru itu, jika ia negatif. Maka, di tambahkan Ta'mar buta dalam bahasa Arab. Namun tidak semua yang Muhdast itu bid'ah. Tetapi, kalau muhdasa pasti bid'ah, karena pasti negatif.
Misalnya, kita biasa dengarkan di beberapa masjid adzan jum'atnya dua kali?. Apakah hal itu Pernah di lakukan di zaman Nabi?. Tidak pernah. Tahunya dari mana?. Tahunnya dari shohih bukhari. Tentang bab mengenai adzan, bahwa di masa Rosulullah, adzan jum'at hanya sekali.
Ketika di zaman ustman, terjadi pelebaran islam, Orang tambah banyak masuk islam. Akhirnya supaya orang punya prepare (isti'dat) -persiapan. Maka Ustman buat sesuatunyang baru - bid'ah. Apa bid'ahnya?. Adzan dulu, satu jam atau stengah jam sebelum masuk waktu sholat. Sehingga orang punya persiapan untuk datang sholat di masjid. Bedanya sekarang adalah masuk waktu sholat dulu baru adzan pertama, barulah adzan kedua. Karena sudah ada penanda murottal atau Sholawat. Maka, kita pertahankan dua adzan itu untuk melestarikan bid'ahnya ustman.
Lalu, tetiba ada yang menggerutu, jika ada sahabat membuat sesuatu dan Nabi Muhammad SAW juga membuatnya. Maka, dahulukan Nabi Muhammad SAW. Tidak perlu sahabat. Inilah cikal bakal orang yang Su'ul adab terhadap sahabat, biji-biji syiahnya sudah mulai kelihatan. Dia tidak sadar, jika dia punya kecenderungan untuk merendahkan sahabat Nabi Muhammad SAW.
Ustman ketika membuat inovasi adzan dua kali saat jum'at, tidak disebut bid'ah. Karena di situ ada mashlahat. Maka, Ibnul Qoyyim, Imam Salafi, anak Murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata ; "kullu mashlahatin din - setiap yang ada mashalahatnya itu bahagian dari agama".
Apa arti Mashalahat?. Manfaat dan kebaikan, itu bahagian dari agama. Jadi, jika kita lihat mashlahatnya banyak, itu bahagian dari agama. Meskipun tidak ada di zaman Nabi.
Jadi, Abu Bakar itu Pembid'ah, Umar itu Pembid'ah, Ustman itu pembid'ah ; Al Qur'an di buat, adzan di bikin dua kali. Apalagi bid'ahnya ustman?. memugar masjid. Hal itu juga di bentak oleh sahabat yang lain ; antum ini membuat sesuatu yang tidak dibuat oleh Nabi Muhammad SAW?. Kata Ustman, kamu kan tidak mengerti. Ini masjid, sudah sesak. Sampai-sampai Aisyah melarang para perempuan ke masjid, karena sudah penuh oleh para Ikhwan-ikhwan (lelaki). Sehingga perempuan tidak bisa lagi sholat di masjid. Maka ustman memugar masjid.
Dua sahabat Nabi Muhammad SAW, yang paling banyak membuat hal-hal baru atau Bid'ah adalah Ustman dan Umar.
Jika Bid'ah itu nyata di kalangan para sahabat, maka kita tidak boleh menerjemahkan " kullu bid'ah itu dholala (sesat)". Kecuali, ada pengecualian pada bid'ah yang mana yang sesat. Sehingga kata-kata Nabi, tidak bisa dijadikan boomerang untuk menghujat sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW.
Suatu kali Muadz, di kitabul iman, dalam Bab Iman (shohih bukhori). Mengatakan kepada kawan-kawannya, " Ta'al Nu'min sa' atan - ayo berkumpul, kita beriman sesaat". Lalu, disebutkan mereka, "yusabbihunallahu". Bertasbih berjama'ah, bertakbir berjama'ah. Baca wirid berjama'ah. Itulah sejarahnya Dzikir berjama'ah, apakah namanya yasinan, ma'tsurat, mabid, muhasabah, dsb. Sebab, itu hanya namanya saja, isinya adalah Dzikrullah ; nu'min sa'atan (berimana sesaat). Sebab, Iman itu menggetarkan qolbu dan menyadarkan pikiran.
Jika demikian, mungkinkah kita mengatakan "kullu bid'atin dholala", Seperti pemahaman sebelumnya (semua yang tidak dilakukan Nabi Muhammad SAW)?. Berarti terjemahannya bid'ah. Lalu, terjemahan bid'ah yang tepat apa?.
Ternyata Imam salafi sudah beres dengan urusan-urusan seperti ini, sehingga tidak perlu lagi berdebat, yaitu Ibnu Qoyyim dan Ibnu Taimiyah. Apa kata Ibnu Taimiyah dalam I'tidha Sirathal Mustaqim, "al bid'atu maa lam ya' dhulla alaihi dalilun syari'i - bid'ah itu, yang tidak ada dalil syara'nya".
Sekarang kita Tes ilmu hukumnya, ilmu ushul fiqih. Berapa macam sumber hukum dalam islam?. Sumber hukumnya dalam Islam, di bagi menjadi dua, ada yang telah disepakati dan ada yang masih diperdebatkan. Yang di sepakati itu ada empat.
PERTAMA, Al-Al qur'an.
KEDUA, Sunnah (bukan Hadist yah. Sebab, orang ahli hukum tidak pernah menyebut Hadist. Tetapi menyebut Sunnah). Karena, Hadist dan Sunnah itu berbeda. Misal, di Hadist disebutkan bahwa "Hidung Nabi Mancung, kulitnya agak kemerahan sedikit".
Hadist itu artinya berita, "khabar". sedangkan Sunnah, "ma kana hukman syari'an - yang tergolong hukum syara', barulah disebut sunnah. Jadi, bedanya sunnah dan Hadits adalah ketika ada bobot hukum syara'nya, hal itu disebut sunnah. Sedangkan, Kalau tidak ada bobot hukum syara'nya, Maka disebut sebagai hadist.
Contoh, Nabi Muhammad SAW istrinya 9. Itu hadist, bukan sunnah. Nabi Muhammad SAW wajib sholat Malam, Itu adalah Hadist. Kalaupun disebut sunnah, maka sunnahnya adalah sunnah Khassa (khusus).
KETIGA, Ijma. Ijma itu artinya "Al i'tifaq al muj'tahidin ba'da asrin nubuwah - kesepakatan atau konsensus ulama-ulama". Bukan ulama sembarang, tetapi mujtahidin. Mujtahidin itu adalah orang yang mampu memproduk suatu hukum, yang lansung di ambil dari Qur'an dan sunnah, serta hasilnya jelas. Namun sekarang orang sangat mungkin menjadi mujtahid, dalam satu Bab. Tetapi tidak dalam bab lain. Itu sangat mungkin, jika dia menjadi Mujtahid di semua bab, saya pikir Mustahil. Sebab, persoalan sekarang tambah rumit.
Dr. Badi' zaid Al Hab, di tanya ; jika menurut anda, kalau ada mujtahid sekarang yang bisa membuat mazhab, siapa orangnya?. Jawaban beliau adalah Syekh Wahbah Zuhaili.
KEEMPAT, Qiyas. Contohnya kita kalau berzakat disini, pakai kurma atau pakai beras atau pakai Uang. Kalau kita pakai uang, berarti kita telah menggunakan qiyas (analog).
Dizaman Abu Hanifah, Abu hanifah di tuduh sebagai Mahkluk Bernajis, oleh Hammad bin zaid, hanya karena membolehkan zakat fitrah dengan yang senilai dengan makanan pokok. Tetapi, sekarang, hal itu sudah tidak ada. Sebab, Semua lembaga zakat membolehkan, bahkan tinggal gesek saja boleh. Ternyata, pendapat Abu Hanifah, yang wafat tahun 150 baru tidak dianggap bid'ah setelah tahun 2000-an, sekitar tahun 1400-an. Artinya, selama lebih 13 abad, pendapat beliau dianggap bid'ah. Jadi, jangan-jangan kita ini loadingnya terlalu lama. Sehingga perkara tersebut sudah tidak bid'ah, ulama sudah menemukan dalilnya. Sedangkan kita masih mengatakan bid'ah. Makanya, saya curiga sama orang yang kerap membid'ahkan sesuatu, Itu mungkin karena tidak tahu dalil saja. Makanya loadingnya belum selesai.
Lalu, ada yang di perdebatkan, sebagain ulama mujtahid menggunakannya dan sebahagian tidak. contohnya Mashlahat. Imam malik menggunakannya. Uruf (tradisi), qoul atau Amal ahli madinah, imam malik menggunakannya.
Wal hasil, ternyata sumber hukum itu tidak hanya Al qur'an dan sunnah. Tetapi, ada juga selain Qur'an dan sunnah. Makanya, ibnu Taimiyah mengatakan bid'ah itu dibagi dua. Sementara pengikutnya sekarang mengatakan, bid'ah itu semuanya sesat. Ibnu Taimiyah membaginya kedalam dua hal, ada bid'ah syari'ah (bid'ah menurut syara' atau tidak ada dalilnya). Contohnya sholat subuh, 2 raka'at. Tetapi, di buat menjadi 3 raka'at. Tetapi, ada bid'ah lughowiyah (bid'ah secara bahasa), sama seperti sholat tadi, secara bahasa adalah dzikir atau doa. Tetapi, sholat secara istilah adalah di mulai dengan takbir dan ditutup dengan salam. Jadi, bid'ah secara bahasa yang Nabi Muhammad SAW tidak buat. Sementara bid'ah secara istilah adalah tidak ada dalilnya, baik dalil yang di sepakati (yang empat diatas) dan dalil yang di perdebatkan.
Lalu, dimana munculnya khilafiah. Jika yang 4 sumber hukum diatas, sudah tidak ada khilafiah lagi. Kalau pun ada, pasti orang tersebut jahil. Al- Qur'an, sunnah, ijma dan qiyas tidak ada lagi perdebatan di dalamnya. Jika ada, berarti orang tersebut kurang up date ilmunya.
Jika demikian khilafiah itu apa?. Khilafiah adalah perdebatan, perselisihan. Kapan hal itu muncul?. Ketika orang berdalil, dengan dalil yang tidak di sepakati. Seperti, kemaslahatan. Contohnya, Orang susah atau orang tidak susah, bisa berobat di rumah sakit dengan menggunakan BPJS. Dalil tersebut tidak terdapat dalam Al-qur'an, sunnah, ijma dan qiyas. Karena dalilnya menggunakan dalil mashlahat.
Dulu, Ibnu Abbas tidak mau sujud diatas sejadah. Apa kata beliau, kekasihku Muhammad tidak pernah sujud diatas sajadah. Sujudnya diatas pasir. Akhirnya katarak ibnu Abbas semakin parah dan di akhir hayatnya ibnu Abbas, buta. Bukan karena beliau menolak mashlahat, tetapi karena beliau malu (Bab Malu) kepada Rosulullah, sehingga menolak untuk sujud diatas sajadah.
Semua maslahat itu adalah agama. Sehingga menjadi wajarlah jika ada yang mengharankan BPJS dan menghalalkan BPJS.
Saya kasih contoh lagi, Bank hukumnya apa?. Sebab, Bank tidak ada di zaman Nabi. Karena tidak ada di zaman Nabi, maka tidak pernah di bahas di dalam al Qur'an, di sunnah, di ijma dan tidak di tentukan di qiyas. Lalu, kapan bank itu ada?. Bank itu ada belakangan. Terlepas dari semua perdebatan tentang bank. Bank yang begitu rumit di islamkan oleh orang-orang islam, menjadi Bank Syariah. Syariah atau tidak syariah pun, bank itu tidak ada di zaman Rosul. Makanya sekarang ada gerakan anti riba. Tetapi, sesungguhnya gerakan anti bank.
Kalau riba sangat jelas dalam Alqur'an, "wa halallahul bai'a wa harama riba - Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". Jelas ayatnya, tidak ada perdebatan. Jika ada orang menghalalkan Riba, berarti dia kafir. Tetapi, kalau menghalalkan Bank. Belum tentu kafir. Tergantung pada apa defenisi Bank. Jika defenisi bank adalah lembaga ribawi, jelas salah. tetapi kalau bank adalah lembaga mediator antara pemodal dan sang peminjam, berarti sudah berbeda defenisinya. Tentu hukumnya pun berbeda.
Artinya tidak semua aktifitas di bank itu adalah riba. Itulah sebabnya muncul khilafahiya. Ada yang bilang mashalahat, mengatakan tidak haram. Sedangkan ada yang menyatakan Riba karena ada tambahannya ; kullu qordin jarro naf'an fa huwa riba (setiap transaksi - pinjam meminjam yang menghadirkan tambahan atau bennefit adalah riba)". Padahal hadist ini dhoif, tetapi tetap saja di pakai sebagai dalil.
Kapan mulai muncul khilafiyah, ketika orang mulai berdebat tentang suatu hal. Misalnya tadi, mashalahat. Contoh lain, uruf. Orang makassar, jika ada orang wafat. Biasanya di bacakan yasinan, tahlilan atau khataman Alqur'an. Itu masuk kemana sumber hukumnya?. Tidak ada dalam al qur'an. Tetapi, Ada di dalam hadist, hanya saja hadistnya dhoif. Namun di shohihkan dua imam.
Terlepas dari semua itu, ada tradisi baca yasin selama sekian hari. Hal itu masuk ke amal para sahabat dan tabi'in. Lalu di tambah dengan uruf. Ada sahabat Nabi Muhammad SAW bernama udaif, dia mengatakan " hal mingkum ma qoro'a aya - meminta di bacakan Surat Yasin kepadanya", karena dia sedang sakaratul maut. Lalu, di bacakan dan dia wafat. Tanpa ada keluhan. Maka, imam Ahmad menyebutkan ketika di bacakan Yasin kepada orang Mati, "khofifa an ha".
Lalu, dibuatlah tradisi, baca yasin tujuh hari. Mengambil hadist Imam Ahmad dan Imam Abu Daud.
Tradisi itu ada kaidahnya, kalau tradisi melanggar Al Qur'an dan sunnah, maka disebut Tradisi fasid (rusak) : urfun fasidun. Jika tradisi sesuai dengan Al qur'an dan sunnah, tidak disebut dengan fasid. Imam Syafi'i menyatakan sesuatu yang tidak melanggar Al qur'an dan sunnah, "Fa lay sa bi bid'atin (tidak bisa disebut di sebut bid'ah)".
Maka, berdasarkan semua itu, bahwa semua yang khilafiyah tidak bisa di katakan bid'ah dan Tidak semua perkara baru yang kita lihat secara dzohir, dia baru dalam ilmu pendalilan. Siapa tahu ada dalilnya. Kalau masih ada dalilnya dan benar cara memahami dalilnya, maka dia tidak disebut Bid'ah.
**
Bagaimana Jika ada pertanyaan mengenai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, apa hukumnya dan bagaimana ketika Ummat islam memperingatinya?.
Sebenarnya, saya telah mengulas cukup panjang tentang maulid ini, di tulisan saya yang lain. tetapi, berkenaan denga itu Saya ingin kita memahami dulu akar persoalannya. Sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dalam Q.S. As Saff : 6
وَاِ ذْ قَا لَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ يٰبَنِيْۤ اِسْرَآءِيْلَ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرٰٮةِ وَمُبَشِّرًا بِۢرَسُوْلٍ يَّأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِى اسْمُهٗۤ اَحْمَدُ ۗ فَلَمَّا جَآءَهُمْ بِا لْبَيِّنٰتِ قَا لُوْا هٰذَا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ
"Dan (ingatlah) ketika 'Isa putra Maryam berkata, "Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, "Ini adalah sihir yang nyata."
Lalu, Q.s. Al Baqorah : 129, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
رَبَّنَا وَا بْعَثْ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَا لْحِكْمَةَ وَ يُزَكِّيْهِمْ ۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
"Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana".
Lalu, Q.s. Yunus ; 57-58, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ قَدْ جَآءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِ ۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّـلْمُؤْمِنِيْنَ
"Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur'an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman."
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَـفْرَحُوْا ۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
"Katakanlah (Muhammad), "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan."
Lalu, Q.S At Taubah : 128 - 129, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
لَـقَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِا لْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
"Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman."
فَاِ نْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۗ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۗ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ
"Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung."
Sekarang kita coba untuk membiasakan melakukan penilaian dengan menilai secara ilmiah, yang bersumber pada dalil-dalil yang ada, tidak sekedar menganalogikan dan main tebak-tebakan. Sebab, hal itu tidak baik dalam menyimpulkan hukum. Mengurai sesuatu secara ilmiah, oleh para Ulama. Di spesialisasikan terlebih dahulu, dalam bentuk Ta'rif (defenisi). Artinya, kalau kita hendak membahas sesuatu, maka kita harus sepakat dengan defenisinya terlebih dahulu, hal itu disebut dengan Ta'rif.
Ta'rif ini memliki sifat, Jami' dan mani'. Jami' adalah menghimpun semua unsur yang terkait. Sedangkan mani' adalah mengeluarkan segala hal yang tidak terkait dengan sesuatu yang di defenisikan. Sehingga kita bisa fokus pada pembahasan tersebut. Kita kerap kali membahas sesuatu, tetapi tidak sepakat pada defenisi sesuatu. Lalu, bagaimana kita bisa menyimpulkan hukumnya. Nah, kelemahan kita adalah kerap kali membicarakan hukum, tetapi tidak tahu apa yang di bincangkan.
Misalnya, Kita akan bahasa Tentang hukum Maulid. Maka, kita harus sepakati dulu, maulid itu apa. Seperti, banyak orang yang membahas tentang hukum musik. Tetapi, tidak di sepakati apa itu Musik. Ini kan masalah. Mereka membicarakan musik itu hukumnya begini-begini. Begitu di tanya apa itu musik, tidak tahu mau jawab apa. Artinya, kita harus sepakati dulu musik itu apa. Di zaman Nabi Muhammad SAW musik apa dan apa yang di maksud musik zaman sekarang, ketika Nabi Muhammad SAW menyampaikkan hukum musik, apa yang di maksudkan musik waktu itu. Jika kita memahami tentang defenisinya, maka barulah kita keluarkan turunan hukumnya. Dengan begitu kita akan mengerti.
apa itu Maulid atau apa itu Maulud?.
Kalau di sebutkan Maulid, itu adalah waktu kelahiran. Kita ini kerap kali tidak berhati-hati, menulis panjang lebar, tetapi salah paham. Dia menyamakan antara maulid dan peringatan Ulang Tahun. Maulid itu bukan ulang tahun, jika menggunakan peringatan itu namanya "Iedul milad (peringatan hari kelahiran)". Tetapi, kalau cuman Maulid itu waktu kelahirannya.
Kalau di sebutkan Maulud itu artinya bayinya yang lahir. Jika di sandingkan diksinya dengan Maulidun Nabi, berarti Waktu kelahiran Nabi. Jika diksinya di sandingkan dengan Mauludun Nabi, berarti Nabi di lahirkan. Lalu, apa hukumnya Maulid?. Wadduh, Maulid itu tidak ada hukumnya. Bagaimana kita bisa melekatkan hukum pada waktu lahirnya Nabi. Hukum itu terletak pada perbuatan seseorang. Ketika seseorang berbuat dengan aspek kesadarannya, maka barulah muncul hukum di situ.
Kita harus belajar mendudukkan hukum dengan baik. Hukum itu tidak terletak pada benda dan waktu. Ia terletak pada perbuatan. Jika ada perbuatan yang melekat pada benda dan waktu, maka muncullah hukum. seperti, apa hukum gelas. Tidak ada hukumnya gelas. Tetapi, ketika gelas di gunakan untuk menampung Khamr dan di minum, barulah muncul hukum haram. Apa hukumnya gelas di gunakan untuk melempar orang lain, haram hukumnya. Apa hukumnya gelas yang di gunakan untuk menampung air dan di minum dalam keadaan sehat, sunnah hukumnya. Seperti, apa hukum parang?. Tergantung parang itu di gunakan untuk apa. Artinya benda baru bisa di hukumi, jika ada perbuatan yang melekat padanya. Sama dengan manusia.
Apa hukumnya hari kelahiran?. Hari kelahiran tidak ada hukumnya. Yang melekat hukum, ketika kita menyikapi hari kelahiran.
Jika kita menolak dan menantang maulid dengan pengertian hukum sebagaimana yang kerap merebak. maka kita telah keluar dari Islam ; Saya menentang Maulid Nabi?. Berarti kita telah menantang kelahiran Nabi. " saya menantang Maulud Nabi". Artinya kita musuh Nabi.
Tidak ada rumus penolakan dan pertentangan pada maulid dan Maulud. Sebab, secara defenisi, telah saya sebutkan diatas, maulid adalah waktu kelahiran dan Maulud adalah kelahiran Objeknya. Maka, kita hanya bisa menerima hal itu.
Berkenaan dengan itu, Nabi Isa As Hidup 600 Tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, ikut bahagia akan lahirnya seorang Rosulullah. Sampai perasaan bahagianya, ia kabarkan pada Ummatnya. Tidak mungkin orang memberikan kabar gembira perasaannya sedih. Sebab, memberi kabar gembira dalam keadaan bahagia hatinya. Kalau pun menangis, itu adalah tangisan kebahagiaan.
Kita bisa bayangkan, Nabi dan Rosul. Mukjizatnya hebat, sekali usap penyakit sembuh, mampu menghidupkan orang Mati dengan izin Allah. Bahagia dengan kelahiran Rosulullah. Kita ini bukan Nabi. Bukan Rosul. Tidak punya mukjizat, seperti Nabi Isa. Mayat di panggil-panggil tidak bangun. Penyakit di usap, tambah sakit. Lalu, kita tidak bahagia dengan kelahiran Nabi, kita ini siapa?. Nabi Isa bisa bahagia, apalagi kita yang bukan Nabi. Luar biasanya adalah Ada orang bisa berbahagia, padahal Orangnya belum lahir. Sebab, biasanya sifat bahagia dalam kelahiran itu setelah bayinya lahir. Bukan sebelum bayinya lahir, apalagi 600 tahun sebelumnya. Tetapi, kemuliaan Nabi Muhammad SAW, belum lahir. Tetapi, sudah memberikan kebahagian kepada Nabi Isa As dan memberikan kabar kebahagian kepada Ummatnya.
Lebih jauh lagi, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Setelah meninggikan bangunan Ka'bah. Mereka berdoa di samping Ka'bah, apa doanya, Doa Maulud (Bayinya) : "Robbana Wa ba'ats fihim rosulum min hum Yatlu alaihim ayatika wa yu' allihumul kitab wal hikmah wa yuzakkihum innaka antal azizul hakim - Ya Allah Mohon utus seorang Rosul, dari kalangan mereka, yang lahir di sekitaran tempat ini". Artinya ada Nabi yang lahir di sekitaran Ka'bah. Berdasarkan penelitian, tidak ada Nabi yang lahir di sekitar Ka'bah kecuali Nabi Muhammad SAW. Bahkan kedua Nabi tersebut berdoa, yang rentan waktunya 30 generasi sampai kepadannya.
Kita bayangkan saja, Dua orang Nabi sekaligus mendoakan tentang kelahirannya. Yang satu bergelar Khalilullah (yang paling dekat dengan Allah). Nabi Ismail di sebut oleh Al qur'an sebagai ghulamun khalim ( yang paling perasa). Dua nabi sekaligus, di sayang oleh Allah, jaminan surga pasti, kisah hidupnya menginspirasi kita sampai detik ini, mendoakan atas kelahirannya (Maulud) Nabi Muhammad SAW. Kita ini bukan Nabi, Rosul bukan. Jaminan Surga belum jelas, Amal berantankan, hizab menengangkan, kisah hidup belum tentu menginspirasi di masa depan. Tetiba menolak Maulud, Kita ini siapa?.
Lantas, bagaimana mengikapi kelahiran Nabi Muhammad SAW?. Diatas telah saya sertakan Qur'an surat Yunus : 57-58, kalau sudah sampai di ayat 58, " Fal yaf rahu" (gembira) kita. Silahkan gembira dan bahagia. Sebab, Nabi - Nabi sebelumnya yang tidak melihat Nabi Muhammad saja bergembira dan bahagia. Sedangkan kita menjadi bahagian darinya, masa tidak bahagia dan gembira. Ummat terdahulu, bukan bahagian dari ummat Rosulullah, saja berbahagia tentang kelahirannya. Kita ini sudah jelas-jelas adalah ummatnya, masa tidak gembira. Maka, yang pertama adalah kita harus bergembira. Kedua, bagaimana mengekspresikan kegembiraan tersebut. Di situlah kita turunkan contoh-contoh yang di hamparkan Nabi pada kita.
Nabi mengekspresikan kegembiraan terhadap kelahirannya, dengan berpuasa di hari senin. Ketika nabi berpuasa di hari senin, di tanya oleh sahabat, mengapa engkah berpuasa di hari senin. Kata Nabi " zaka yama wulid tu bi ma ma'na - ini adalah hari aku di lahirkan". Hal ini bisa di jadikan sebagai turunan hukum untuk kita, jika menyikapi Hukum kelahiran. Bisa dengan berpuasa.
sekarang bagiamana para sahabat menyikapi kelahiran Nabi dan kedatangan Nabi. Harus kita tahu saja, bahwa Kegembiraan para sahabat bukan saja pada saat ia di lahirkan, tetapi setiap Nabi datang kerap di sambut oleh sahabat, seperti ketika nabi ke Madinah, di sambut oleh para sahabat di Madinah, dengan sholawat. Nabi datang dari perang Tabuk, di sambut oleh para sahabat, dengan "Thola al badru alaina min tsaniya wa dai wa jaba syukru alaina".
Ada yang memuji nabi, seperti Hasan bin Tsabit, dengan puisi-puisi. Sepeti zubair bin Abi salma, tadinya musuh Nabi, begitu masuk Islam, memuji Nabi. Begitu Nabi Meninggal, di abadikanlah pujian-pujian tersebut dalam bentuk syair, dalam bentuk kitab. Ada yang menulis sholawat-sholawat Nabi, ada yang menulis pengajaran-pengajaran Nabi. Di kumpulkan dan sampailah itu kepada kita semua. Itulah cara terbaik menyikapi kelahiran Nabi.
***
TITIK TEMU : PRIORITASKAN KEBAIKAN BUKAN KEBENARAN
Tuhan mau kita berbeda. Tetapi, Dia tidak menghendaki kita bertengkar. Jika Tuhan mau kita sama, Mestinya Al Qur'an tidak bisa mengandung penafsiran yang berbeda. Misalnya, "Jika saya bilang saya belum makan, itu menunjukkan apa?". Bukankah hal menunjukkan, bahwa saya lapar. Tetapi, Bisa juga menunjukkan, bahwa saya masih kenyang. Bisa juga berarti jangan habiskan makanan. Bisa berbeda-berbeda interpretasinya. Begitu pun dengan penafsiran terhadap al qur'an. Semuanya bisa benar dan semuanya bisa salah.
Al-qur'an itu seumpama hidangan Ilahi, semakin kaya seseorang. Maka, semakin kaya hidangannya. Apakah anda marah, ketika anda menyuguhkan Kopi dan teh. Tetapi, saya memilih Kopi?. Tidak marah, kan. Apapun aliran dan pahaman tersebut, sepanjang tidak berbeda dalam prinsip-prinsip dasar beragama, mengapa harus memaksa.
Bukankah Prinsip dasar beragama adalah menemukan titik temu. Apa itu prinsip dasar beragama, yaitu Rukun Iman. Sepanjang bukan Rukun imannya yang berbeda, mau dia fiqihnya apapun, silahkan.
Disinilah letak Problem kita dalam beragama, karena kerap menganggap bahwa kebenaran itu hanya satu dan juga kegagapan para Ustadz, ulama dan dai dalam menghidangkan kemajemukan kebenaran. Padahal dalam rincian agama, meniscayakan keragaman. Misalnya, 5+5 itu berapa?. Jawabannya adalah 10, jika 9. maka tentu hasilnya salah. Sementara Allah tidak bertanya 5+5 berapa. Yang Tuhan tanya berapa tambah berapa, sama dengan 10. Maka, Jawabannya bisa banyak. 7 tambah 3, bisa. 6 tambah 4, bisa. 1 tambah 9, bisa. 8 tambah 2, bisa, dst.
Dalam Al Qur'an terdapat tuntunan yang menyebutkan , "yahdi bihillahu manittaba aridwanahu tsubula salam (Allah memberi pentunjuk kepada hamba-hambanya yang mencari ridhonya, jalan-jalan kedamaian). Jalan-jalan berarti banyak jalan. Jika banyak jalan ke roma. Sudah seharusnya lebih banyak jalan ke Surga.
Berkenaan dengan itu, saya teringat dengan Ungkapan Ali Syari'ati (1979), ia menuturkan bahwa "Lebih baik kau berusaha memasukkan dirimu kedalam Surga, ketimbang membuktikan orang lain masuk Neraka". Artinya, Menyakini kebenaran yang Haq untuk berbeda, Guna mendorong kompetisi menuju kebaikan, harusnya di ejawantahkan. sebab, Allah telah menukilkan dalam Qur'an, "Sekiranya aku mau, aku akan jadikan kalian satu Ummat saja. Tetapi, tidak. agar kalian berlomba-lomba dalam kebaikan. (Q.S.Al-maidah 5 : 48).
*Pustaka Hayat
*Rst
*Pejalan sunyi
*NalarPinggiran