Menghitam sejatiku di hadapan sinarMu. Lancanglah, kehadiran pecinta di keharibaan kekasih.
BIARLAH KU BAYANGKAN ENGKAU SEBAGAI SENJA Senja itu pasti. Siapapun tidak akan dapat terus bersembunyi, juga berlari dariNya. Tidak ada tempat di muka bumi, yang dapat menghindari Senjakala. Ia selalu Tiba, di batas hari. Sedang ajal itu batas usia.
Memang, tidak ada pilihan yang mudah. sebab, jika mudah. maka, hidup tidak lebih dari sekedar memisahkan beras dari sisa gabah. maka, Biarkan saja bahteramu menuju tempat matahari rebah. memang disitulah semuanya menuju. Sesuai perintah waktu.
Karena, Pada akhirnya semua akan meninggalkan bekas, tidak lebih dari itu. Orang tidak selamannya kaya. Lihatlah, Qorun yang hancur. bahkan, di timbun oleh keserakahannya sendiri. Orang tidak selamannya bertahta. Lihatlah, Fir'aun di tenggelamkan akibat ulah anak angkatnya sendiri. Semua punya masa, termasuk saya, kamu dan mereka.
Dahulu, di masa jahiliyah Abu jahal dan konco-konconya dianggap paling berpengaruh ; kedudukan, kehormatan dan klan di kapitalisasi untuk mendapatkan kekayaan harta benda. dsb.
Apa yang terjadi, saat Rosulullah Muhammad SAW datang, dan diutus menjadi Nabi. semuanya tercerabut dari kemapanannya. hancur tidak karu-karuan pasca Fathu makkah. Semua akan berakhir, perlahan. serupa bias keindahan senjakala yang pergi meninggalkan enigma, sebelum malam memeluknya.
Silahkan anda pongah. dulu, Fir'aun juga demikian. Boleh saja, anda Sombong. Dulu, Namrud juga demikian. Namun, Ingat saja. di saat kejatuhanmu telah tiba. kamu akan terpinggirkan oleh perubahan waktu. Semua yang di lakukan pasti meninggalkan jejak. (17/08/2016)
Karena, Sesungguhnya senja adalah batasan antara keinginan dan harapan. Ingin menjumpai lelap dan berharap tidak terjatuh dalam senyap. Persis, seperti bahasa hujan terhadap lautan yang menjadikannya awan. senjapun, punya bahasa yang sama terhadap malam, yang menjadikannya pintu gerbang.
Waktu itu, saya mengandaikkan. Dapat merebah dan menghabiskan waktu, Pada Tahi lalat di tepi bibirmu. Karena ku anggap itu, kebahagian dan ketenangan. Namun, saya acap kali salah dalam menerka seleramu. Ternyata bukan alunan senyumMu, Yang menemaniku menyaksikan matahari memberi tongkat pada Malam. (17/05/2018).
Yah, Ada senandung lara mengaharu biru pada bagian tengah sanubariku. ia, tertusuk dalam. luka itu, memang menganga. tetapi, pesan Tetua, jangan terlalu khusyuk meratapi jalan tertatih di terpa nestapa, karena pasti ada ujung. Luka dan bekasnya akan mengabarkan realitas kesakitan yang lalu. Tak ada waktu yang sia-sia. Waktu dan semua yang telah menjadi guru terbaik Bagi kebodohan, pengetahuan akan sebuah kebijaksanaan. Pintu-pintu itu semula tertutup oleh gelapnya ketidaktahuaan. Namun, waktu telah membukannya perlahan. Menyalakan setitik cahaya hikmah di dalamnya. Tak ada yang sia-sia.
Itulah sebabnya, Di titik tertentu, orang harus puas dengan segala atribut. Tetapi, di suatu masa, semua tidak bernilai di mataNya. Di suatu masa orang akan di sembuhkan dengan obat, yang dulunya adalah racun bagi tubuhnya. Semua soal waktu, Taqdir hanya akan memihak bagi mereka yang berusaha. Karena, Segala penghambaan dan kekhalifaan kita akan di pertanggung jawabkan di hadapanNya. Tidak ada yang lolos dari tilikan MataNya. Itulah sebabnya, Ukuran Hidup ialah bermanfaat; bermanfaat bagi sesama, bagi semua orang.
Rajutlah dan pintalah tentang kebahagiaan esok, dan Yakinlah bahwa Allah tak akan pernah Alpa genapi janjiNya.
Sebab, Kita hanyalah, kumpulan hari-hari. Setiap hilang satu detik, hilang separuh waktu bermesraan dengan dunia. Olehnya, jangan jatuh hati pada kefanaan. Ada yang abadi, kerjalah.
Di tiap-tiap etape, ada pertanggung jawaban. Ada tanya atas berat beban yang di tunaikkan. Kita adalah hamba. Untuk kaki, tangan, mulut, telinga, mata, bahkan gerak hati. Akan ada tanya besok. Jejak hati, selalu lebih berat bebannya untuk raga yang lain. Sebab, cinta dan benci adalah peninggalannya yang abadi.
Ada banyak manusia, yang menuju tempat pesta pemulung senja. Tetapi, selalu terlambat sadar, bahwa senja akan hilang di telan malam. Padahal, Tuhan memberi otoritas pada waktu untuk mengadili, Menghakimi bagi yang lalai melewati detiknya yang berganti. Pergantian detik mesti membawamu pada suatu titik sadar. bahwa selama ini kita telah di tipu. Dan, kini menit kian bertambah, Risau waktu mendera. Ada yang harus di tuntaskan segera.
Saya sudah Tidak bisa membedakan, apakah kota ini berpijar atau murung?. Wajah-wajah lelah dimakan keringat, tubuh-tubuh dilahap lelah. Meski, banyak cara menghibur diri.
Saya benar-benar hampir jatuh cinta pada kehidupan ini, mungkin karena saya adalah manusia pinggiran di kota yang sendu. Saya kadang bertanya-tanya, sedang mencari sesuatu yang tidak ku tau itu apa?.
Di kota ini, yang lupa cara bahagia. Pasti telah lama tidak jatuh cinta pada kehidupan.
Padahal, Kesetian adalah entitas rapuh yang hendak menipu gerak waktu. Sebab, Pada akhirnya semua akan meninggalkan bekas, Serupa bias keindahan sinar senja, Yang meninggalkan enigma, Sebelum malam memeluknya.
atau meminjam Igauan Paulo Coelho, sastrawan yang filosof itu ; Kata-kata mampu merusak tanpa meninggalkan jejak",
Hujan redah, air tegenang. Kata-kata tertumpah, Ia Terkenang.
Melewati senja bagiku adalah cara memulai menikmati bulan. Sedangkan, bagimu adalah fase paling tepat untuk menyudahi. Aku memulai keriuhan, kau menyudahi dalam kesunyian. Begini saja, ada serentang waktu cukup panjang, sebelum senja datang. Biarkan dia yang mengadili kita ; apakah sebagai terdakwa atau saksi utama, atas terjadinya peristiwa purnama.
Saya memang kerap kalah dengan jarak. Namun, yang engkau abai ialah, bahwa doa selalu menang telak. Tidak tiba bukan berarti tidak ada, seperti rindu. Sebab, Yang tiba di batas hari, tiba karena Rindu.
Kadang orang merasa besar, jatuh dan rubuh, karena hal kecil. Sesuatu yang tak di hitung. Pada sesuatu yang di remehkan. Seumpama, terpeleset kulit pisang. Lalu, jatuh terjengkang. Patah tulang belakang. Semoga saat terlentang, semua tidak akan menghilang. Bukan seperti senja, Sebab cinta yang baik, tidak akan meyerahkan cahayanya. Meski kepada Maut sekalipun.
Namun, Senja tidak pernah salah. Hanya kenangan yang kadang membuatnya menjadi basah. Akhirnya kita mengaku kalah pada Rindu.
Rindu yang seperti kuku, Terpotong. Tetapi, tumbuh terus melaju. Yah, karena Rindu itu memang menegok terburu. Tiap mendengar suara merdu. Berharap itu kamu.
Bermula dimasa remaja. saya menjadi penyuka senja, melihat matahari terbenam. Kini, disini, entah mengapa senja tak lagi menarik. Entah mengapa?. Mungkin, engkau bukan senja. Sebab, jingganya tak hangatkan luka. Engkau hanya angin yang singgah. Lalu, berlalu.
- TELUK LAIKANG - TAKALAR -
*Rst
*Pejalan sunyi
*Coretan Nalar Pinggiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar