Mengenai Saya

Senin, 28 November 2022

ANNYEONG HASEYO - MENILIK KORSEL DAN INDONESIA ; CITIZEN JOURNALISME

Seingatku, sekitar 20 tahun lalu, HP Samsung bukanlah pilihan. Bentuknya saja membuat selera kabur. Ini hanya pengalamanku dulu. Tapi hari ini siapa yang berani meragukan teknologi Korea Selatan tersebut.

Demikianlah sebagian dari The Miracle on The Han River.

Pada saat Korsel memproklamasikan kemerdekaannya, 15 Agustus 1945, hanya 2 hari lebih tua dari negeri kita, Korsel adalah negara paling melarat di dunia. Mereka miskin sumberdaya alam dan mayoritas penduduknya buta huruf. Hingga tahun 1960 pendapatan perkapita Korsel hanya 79 USD. Untuk membayangkan bagaimana   Korsel 70 tahun lalu lihatlah kondisi saudaranya di utara saat ini.

Keajaiban tersebut bermula dari Jenderal Park Chung-Hee yang merebut kekuasaan tahun 1961 dan memerintah dengan tangan besi. Diktator yang brutal. Tapi Jenderal Park paham bagaimana merancang pembangunan ekonomi negaranya. Walaupun sarat dengan korupsi namun kue pembangunan di Korsel tumbuh dengan baik, meskipun sebagian besarnya hanya dinikmati oleh sejumput Chaebol (konglomerat).

Di tangan penerusnya, sesama Jenderal Chun Do-hwan dan Roh Tae-woo, kue pembangunan Korsel mekar sempurna. Perlahan perusahaan para Chaebol yang diproteksi sekian lama mampu tumbuh lebih kompetitif. Kesejahteraan umum meningkat meskipun Demokrasi dan HAM tetap bangkrut. Peristiwa Pembantaian ratusan mahasiswa di Kota Gwangju tahun 1980 menandai sisi kelam Korsel. Kondisi politik mulai berubah sejak pemerintahan sipil Kim Young-sam dan kemudian dilanjutkan Kim Dae-jung (memerintah 1998-2003), sejak itu, Korsel meraih semuanya: kesejahteraan ekonomi dan demokrasi politik.

Saat ini GDP Korsel mencapai 1.586 triliun USD (10 besar ekonomi dunia) dan pendapatan perkapita mencapai 30.000 USD (naik 38.000% dari tahun 1960), ranking 23 dalam HDI, ranking 9 eksportir dunia. Tidak hanya itu, dunia saat ini juga sedang dilanda demam Korean Wave, pop culture, baik K-Pop maupun drakor. Seluruh dunia fasih menyapa Annyeong haseyo. Apakah ini ujung dari mimpi para founding fathers Korsel?

Dalam hal periodisasi waktu, Korsel adalah pembanding yang baik untuk Indonesia. Sama-sama merdeka di bulan Agustus 1945, mengalami kudeta militer 4 tahun sebelum G-30-S yang kemudian politik didominasi tentara, mengalami perubahan ke rezim sipil 6 tahun sebelum reformasi kita, dan konsolidasi demokrasi sejak 1998. Seluruh tahap hampir mirip, tetapi Korsel mendapatkan momentumnya. Jika Korsel mendapatkan momentum, kenapa Indonesia tidak?

Sebagian adalah karena Indonesia dan Korsel jauh dari apple to apple. Tidak bisa dibandingkan setara. Ini jika kita mendalami unsur-unsur dari kedua negara.

Pertama adalah, berbeda dari Indonesia yang Bhinneka, Korsel adalah negara dengan etnis yang homogen, 96% berasal dari etnis yang satu dan bahasa tunggal. Indonesia, seperti yang anda ketahui, terdiri dari sekurangnya 300 kelompok etnis dan suku, dan sekurangnya 718 bahasa daerah. Homogenitas ini mempermudah konsolidasi kultural bangsa Korea.

Bangsa Korea telah mengidentifikasi dirinya sebagai orang Korea sejak abad 10, berasal dari nama kerajaan Goryeo. Jumlah kerajaan disana tidak pernah lebih dari tiga kerajaan, malah kemudian menyatu di bawah Dinasti Joseon di abad 14 masehi (1397-1897). Sedangkan, sebagian kecil orang Indonesia baru sadar bahwa mereka bagian dari bangsa Indonesia sejak 1928, sebagian besar malah baru paham sejak 1945. Mereka lebih mengenal dirinya sebagai bangsa Jawa, Aceh, Batak, Minang, Minahasa, Sunda, Bugis, Makassar, Timur, Papua, dan seterusnya. Demikian pula dalam soal bahasa.

Guna menegaskan homogenitasnya, Korsel di awal sejarahnya menekankan doktrin Ilminisme dengan semboyan One-people Principle, Prinsip satu bangsa yang diilhami ideologi supremasi rasialnya Jerman. Semata untuk glorifikasi dan unifikasi rakyat di bawah satu etnis, satu bangsa, dan satu partai untuk melawan komunis di utara. Residu atau sampah sisa doktrin ini masih kita rasakan beberapa waktu lalu saat televisi nasional Korsel menghina kontingen beberapa bangsa (termasuk Indonesia) saat pembukaan Olimpiade Tokyo 2020. Tentu ini bukan watak seluruh orang Korea.

Kedua adalah posisi geografis Korea yang dihimpit oleh tetangga-tetangga yang besar dan kuat. di Daratan berabatasan dengan China, bukan hanya raksasa Asia, tetapi juga raksasa dunia. Di laut mengancam Jepang, bangsa Asia pertama yang mengungguli Eropa.

Pada abad 13, Korea selama 30 tahun harus bermandi darah menahan gempuran Invasi Mongol yang menyerbu dari China. Jepang juga tetangga yang agresif. Di akhir abad 16 Jepang mengirim serangkaian invasi ke Korea. Mereka gagal menaklukkan Korea namun jejaknya sangat membekas bagi Bangsa Korea. Tentara Jepang membawa tropi perang berupa telinga dan hidung dari prajurit dan warga Korea yang mereka bantai. Jumlahnya cukup untuk membuat bukit Mimizuka dekat Kyoto.

Di era modern, Jepang kembali menginvasi Korea, dan akhirnya berhasil menguasai Korea selama 35 tahun yang berakhir hingga kekalahan Jepang di Perang Dunia Kedua (1910-1945).

Ada dugaan, dendam terhadap Jepang merupakan motivasi terbesar bangsa Korea untuk maju dan mengalahkan Jepang di semua arena kehidupan.

Bukti strategisnya posisi Korea juga diperlihatkan pada Perang Korea (1950-1953) dimana AS, Uni Soviet, dan China turun langsung dalam konflik bersenjata terbesar pasca PD II tersebut. Terpisahnya Korea menjadi Selatan dan Utara adalah bukti lain dari kuatnya kepentingan dunia di semenanjung tersebut.

Untuk menjaga kepentingan strategisnya, AS mati-matian menjaga Korsel, termasuk bantuan senilai 3.100 miliar USD hingga tahun 1961. Bantuan ini dimanfaatkan dengan sangat baik, terutama setelah era Park Chung-hee.

Ketiga adalah rezim militer yang unik. Di satu sisi rezim militer Korsel sejak 1961 memperlihatkan wataknya yang brutal, utamanya terhadap para penantangnya. Namun mereka juga membangun pondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi. Sejak dini Korsel menginvestasikan sebagian besar dana bantuan untuk memfasilitasi pendidikan bagi mayoritas warganya yang buta huruf.

Para Jenderal juga memulai kebijakan ekonomi proteksionis, mendorong para Chaebol berkembang mengaktifkan pasar domestik, mendorong kebijakan industrialisasi berorientasi ekspor, menutup impor segala jenis produk asing kecuali bahan mentah, reformasi agraria dengan menasionalisasi perkebunan Jepang, dll. Insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan para Chaebol yang sedang tumbuh; Hyundai, Samsung, LG dll. Ada kisah unik ketika Korsel merintis industri mobil, seluruh warga diwajibkan membeli mobil nasional tersebut walaupun kualitasnya buruk dan raja mogok. Dengan riset dan pengembangan yang konsisten, saat ini, tidak ada yang meragukan kualitas mobil produksi Korsel.

Para Jenderal pemimpin rezim militer di Korsel, walaupun di ujung usianya harus digelandang oleh pemerintahan sipil ke penjara akibat korupsinya yang luar biasa, tetap dikenang sebagai figur-figur yang telah meletakkan fondasi yang kuat bagi pembangunan Korsel. Kita?

Tapi lebih penting lagi adalah semangat bangsa Korea sendiri. Di tengah semua keterbatasan sumber daya alam dan kemiskinan serta kebodohan, juga dijepit tetangganya yang kuat dan perkasa, bangsa Korea (hanya yang selatan) sanggup lepas dari lubang jarum, lalu berjaya. Adakalanya, semua bentuk keterbatasan dapat menjadi pendorong yang baik. Inilah kenapa sangat jarang negara maju yang memiliki kelimpahan kekayaan sumber daya alam, mereka serius membangun SDM.

Terkait SDM ini, ada kesalahan paham yang masih kita alami, seakan-akan pintu gerbang kemajuan SDM dalam ilmu pengetahuan kuncinya adalah bahasa, utamanya bahasa Inggris yang dianggap bahasa internasional. Tengok saja orang Korea, bahkan juga Jepang dan China tidak lebih pintar berbahasa Inggris dibandingkan kita. Malah cenderung lebih rendah kemampuan bahasa Inggrisnya dari orang kita. Perlu untuk dicatat bahwa bahasa Inggris mutlak dibutuhkan hanya ketika kita ingin menjadi pedagang, perantara, dan makelar, seperti orang Singapura.

SDM berarti pengetahuan, keterampilan, dan etos kerja. Berbagai negara di Asia Timur sudah membuktikannya.

Lebih jauh lagi dengan kemajuan Korsel dalam penetrasi budaya Pop. Sesuatu yang tidak dibangun dalam semalam. Mereka serius menyiapkannya sejak belasan tahun silam. Ini direncanakan dengan matang yang disponsori negara, bukan kejadian insidental. Penetrasi budaya ini mencengkeram kuat utamanya di kalangan milenial di seluruh dunia. Anda mungkin tidak memahami apa yang dirasakan generasi milenial saat ini dan jejak yang akan ditimbulkannya di masa depan. Yang pasti semua milenial kenal Korea, para bintang K-Popnya maupun aktor dan aktris Drakor. Dengan capaian ini, Korsel telah melampaui Jepang, bangsa yang telah menimbulkan trauma dan ingin dikalahkannya.

Apakah dengan semua capaian tersebut bangsa Korea (hanya yang selatan) telah mencapai taraf kebahagiaan yang diimpikannya? Kita tidak tahu. Bahkan apa sesungguhnya yang terjadi di kedalaman mereka pun kita tidak tahu. Tulisan ini tidak hendak mengulas soal kebahagiaan. Silakan bila anda mengetahui lubang-lubang yang ditinggalkan selama pembangunan bangsa Korea.

Apakah Indonesia memiliki potensi menyaingi pencapaian Korsel? Rezim militer ala Orba jelas telah gagal, apakah pemerintahan sipil hasil pemilu demokratis memiliki kesempatan?. Silakan dipikirkan sendiri.

Annyeong haseyo....!!


***
Merdeka!. Penuh semangat. Apa kira-kira makna kemerdekaan bagi masyarakat Indonesia di zaman itu?.

Kalangan indo Belanda mengenang dampak proklamasi 17 Agustus dengan satu periode singkat yang traumatis, namanya Periode Bersiap (dari banyaknya teriakan siap-siap! yang mereka dengar), tahun 1945-1946, di seputar Jakarta, pada saat orang Indo Belanda masih compang-camping sekeluarnya mereka dari interniran Jepang, tiba-tiba pemuda Indonesia menyerbu, menjarah, dan membunuhi mereka.

Bennedict Anderson bercerita dalam bukunya “Revoloesi Pemoeda” tentang geliat dan amuk yang muncul seketika. Sebut saja dalam Peristiwa 10 November Soerabaya. Sastrawan Idrus kebingungan melihat para pemuda bersenjata yang menembaki stasiun kereta api tanpa alasan dan tujuan jelas. Tapi dari brutalitas arek-arek Surabaya itulah yang membuat Amerika, terutama Inggris, sadar bahwa arek-arek ini mengamuk karena ingin merdeka, dan mereka pun meninggalkan Belanda.

Belanda sendiri jauh lebih bingung. Mereka sama sekali tidak menyangka bekas koloninya telah berubah demikian drastis. Pada saat mereka tinggalkan Hindia Belanda tahun 1942 semua masih baik-baik saja. Malah para pemimpin pribumi sempat menawari Ratu Juliana untuk pindah ke Hindia Belanda setelah negerinya direbut Jerman. Belanda gagal paham bahwa jejaknya selama ratusan tahun telah lenyap disiram Jepang yang hanya tiga tahun. Kedatangannya kembali disambut dengan kelewang dan senapan. Semua wilayah telah terbakar api yang disulut Soekarno. Belanda terjerumus dalam jebakan Batman. Lalu kalah.

Berdarahnya revolusi 45 membingkai berbagai citra tentang kemerdekaan. Frasa yang selalu kita dengar pada setiap peringatan kemerdekaan, saya sendiri tidak terlalu setuju, adalah frasa “mengisi kemerdekaan”, seakan-akan kemerdekaan adalah bak mandi yang tinggal diisi, lagi dan lagi. Semua sudah selesai, tinggal diisi.

Bung Karno memiliki cara lebih baik menggambarkan kemerdekaan sebagai “Jembatan Emas” menuju cita-cita nasional. Ia terbuat dari emas, tapi tetap saja hanya (baru) jembatan. Saking semangatnya, BK terus meyakinkan publik bahwa revolusi belum selesai. Beliau menyebarkan visi tentang Indonesia yang besar, berpengaruh, kiblat, poros, dan teladan bagi seluruh dunia. 20 tahun kemudian bangsa Indonesia kelelahan dan bosan dengan gelegak cita-cita BK, dan sepakat mengakhiri kekuasaan beliau pada 1966. Para Jenderal pengganti BK kembali lagi menggaungkan frasa “mengisi kemerdekaan”, tanpa kobaran visi, tanpa gelegar membahana, yang penting rakyat tenang dan kenyang.

Lalu tiba masa Kita. Semangat reformasi. Malu-malu tapi mau. Kaum sipil menegakkan demokrasi liberal. Sudah memasuki tahun ke 24. Berapa lama ini akan bertahan?.

Tujuh tahun terakhir, demokrasi mengantar kita pada kesempatan untuk saling mencabik dan mengoyak kebersamaan. Jika kamu cebong maka kamu haram jadah. Jika kamu kadrun lebih baik enyah ke padang pasir.

Salah satu ciri, bahkan kutukan, masyarakat sipil, terutama pemimpinnya, adalah lupa batas-batas mana yang boleh mereka lakukan dan mana boleh dilanggar. Jika militer memiliki batas yang jelas, namanya hirarki, sipil praktis bersedia menempuh dan melanggar semuanya. Semua boleh dimakan hingga tiba pada satu keadaan yang dapat meruntuhkan sendiri tempat dimana ia berdiri. Perseteruan cebong-kampret sudah mengarah ke situ.

Jangan dikira bahwa situasi ini yang pertama terjadi. Tahun 1950-1959 demokrasi liberal dengan sendi politisi sipil pernah berjaya. Perseteruan di antara mereka, saling mencabik dan mengoyak, kabinet jatuh-bangun, akhirnya diakhiri oleh BK dengan tangan besi, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang didukung kuat oleh tentara dan PKI. Tentara mendukungnya karena bosan diintervensi partai politik, PKI mendukungnya karena tidak pernah diberi tempat di kekuasaan. Semua sirna dalam 9 tahun.

Kira-kira reformasi dan demokratisasi kita saat ini akan sirna dalam berapa tahun lagi?.

Memang, demokrasi tidak hanya ditentukan para pemimpin. Bisa dikatakan bahwa apa yang ditampilkan para pemimpin sipil hanyalah mewakili apa yang berlangsung di tengah masyarakat. Jika mereka korupsi, itu hanya perlambang dari apa yang kalian lakukan di kantor lurah saat mengurus surat tanah, atau ketika dicegat polisi di tengah jalan, atau ketika Caleg mendatangimu sore hari menjelang Pemilu.

Martin Seymor Lipset, Samuel Huntinton, dan Adam Przeworski menyelidiki tentang hubungan demokrasi dan tingkat ekonomi satu bangsa. Mereka bilang demokrasi akan “aman” tumbuh ketika pendapatan perkapita di sebuah negara telah melewati angka 3.000-4.000 USD. Lebih dalam lagi Fareed Zakaria yang mengunggah teori batas kritis demokrasi, bahwa demokrasi hanya akan bertahan 8 tahun pada negara dengan pendapatan perkapita di bawah 1.500 dolar, hanya akan bertahan 18 tahun pada negara dengan pendapatan perkapita 1.500-3.000 dolar. Dan risiko kegagalan hanya 1/500 ketika pendapatan perkapita sudah di atas 6.000 dolar/tahun. Studi mereka berbasis pada demokratisasi bangsa-bangsa antara 1950-1990, masuk akal untuk ukuran ekonomi Indonesia tahun 1950 ketika pendapatan perkapita Indonesia masih di bawah 500 USD.

Pendapatan perkapita kita sekarang sekitar 4.000 USD,  baru mencapai 2/3 dari batas kritis yang mereka tentukan. Seberapa kuat demokrasi dapat dipertahankan?

Akar teorinya sesungguhnya sederhana. Orang yang cukup makan dan minum, cukup sandang, papan dan kebutuhan dasar lainnya, termasuk pendidikan dan kesehatan, dan sedikit untuk bersenang-senang, akan mempertahankan akal sehatnya ketika diajak merusak sistem demokrasi dan persatuan, ketika diajak menyerang cebong atau kampret di jalanan. Semakin banyak yang bersedia diajak membenci dan merusak itu adalah sebagian dari tanda-tanda.

Tapi sejujurnya, ekonomi bukanlah ukuran yang satu-satunya pasti. Arab Saudi misalnya, atau bahkan Malaysia dan Singapura. Itu hanya sedikit untuk menyenangkan kalian.

Faktanya adalah, ini sistem belum tentu tidak akan bangkrut, dan Indonesia belum tentu kuat jika terjadi satu goncangan besar lagi, akan hilang semua momentum. Kecuali kita ingin dipimpin dengan tangan besi lagi, atau ingin mengalami situasi seperti Afghanistan hari ini.



*Pustaka Hayat
*Pejalan Sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar