Mengenai Saya

Senin, 28 November 2022

AL ILMU YURISHUL AHWAL ; METODELOGI DAKWAH

Bagaimana mengetahui syiar islam ala Nabi?. Ada banyak cara mengetahuinya. Salah satunya dengan membuka dan membaca Al-Qur'an dan Hadist. Dari situ, kita bisa membersamai Hal mendasar, mengapa Islam yang di syiarkan pada suatu Komunitas kecil di Semenanjung Arabiah, hisa tersebar begitu luas sampai di belahan bumi yang paling jauh sekalipun. 

Pertama, Nabi Muhammad SAW, diangkat menjadi seorang Nabi, Perintah pertamanya adalah Iqro (Bacalah). Menariknya, perintah tersebut di perintahkan sebanyak dua kali, Tanpa di sebutkan objeknya bacaannya apa. Baca apa saja ; baca yang tertulis, baca yang tidak tertulis, dan baca kondisi sosio antropologis masyarakat. Hal itulah juga yang menjadi syarat utama, dalam menyampaikkan ajaran Rosulullah SAW. Sebab, beberapa hal Nabi menyampaikkan sesuatu, berdasarkan apa yang di wahyukan Oleh Allah. Sehingga ketika ada pertanyaan, boleh jadi Nabi menjawab saya tidak tahu. Barulah, Nabi menyampaikkan jawaban, setelah datang wahyu yang memberitahunya. Ihwal Itulah, mengapa kita di perintahkan membaca terlebih dahulu. Agar, kita tidak kekurangan Kosa kata atau Argumentasi dalam menjawab.

kedua, berdasarkan wahyu kedua Al-Qur'an, yang menurut sementara para Ulama ; "Yaa ayyuhal Muzzamil umil laila illa qolila". Pada ayat ini jelas, bahwa bukan hanya kemampuan akal atau intelektual seorang penyampai saja yang menjadi prinsip utama, melainkan kesiapan mental dan kedekatan diri kepada Allah. Sebab, Ketidaksiapan mentalitas seorang penyampai dan jauhnya seseorang dari Allah, maka dengan mudah ia Menggadaikan Identitas, Kesejatian dan Keontentikan sebuah ajaran.

Ketiga, Jauh sebelum Rosulullah SAW. Menyampaikkan sebuah Risalah. Masyarakat Jahiliyah telah memberikan Legitimasi Bahwa Muhammad adalah seorang Al Amin - Terpercaya. Allah sendiri, memberikan konsideran pengangkatan Rosulullah SAW sebagai Tauladan - Uswah. Karena Muhammad memiliki budi Pekerti yang luhur, sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Al qolm ; "Nun, Wal qolami waa ma yasturun, maa anta bi nikmati robbika majnun,  Waa inna ka la ala khuluqin adzim".

Demikianlah, Tiga Prinsip utama sebelum berdakwah atau menyampaikkan sebuah Ajaran. Pertama, Membaca atau Kemampuan argumentasi yang Kuat. Tidak kekurangan Kosa kata (Referensi). Kedua, Kemampuan Emosianal dan kedekatan diri kepada Allah. Ketiga, dapat di contoh atau Tauladan.  

Setelah tiga prinsip utama terpenuhi. Maka, tuntunan Al Qur'an adalah, "Yaa ayyuhal Mudassir (Wahai Orang Yang berselimut - Yang tidak Giat)". "Kun (bangkitalah)", "fa Andzir (sampaikan peringatan)". 

Apa syaratnya, "Waa robbaka fa kabbir (agungkan Tuhanmu)". "Waa siyabaka Faa tahhir" (ada banyak penafsiran para ulama soal ayat ini : ada yang menyebut bersihkan pakaianmu. Ada juga yang menafsirkan ; Pasanganmu".  "war-rujza fahjur (dan tinggalkanlah segala perbuatan keji)". "Waa ala tamnun tastaksir (ayat Ini juga banyak artinya ada yang menyebut jangan pesimis. Ada juga yang menyebut, jangan memberi dengan mengharap lebih atau Jangan menjual dakwah. Ada juga yang menyebut, jangan menyebut-nyebut kebaikanmu karena dengan demikian akan banyak pengikutmu)". " "waa li robbika fasbir (dan karena Tuhanmu, Bersabarlah)".

Lalu, perintah berikutnya adalah Pelaksanaan teknis menyampaikkan atau Menyeru kepada orang-orang yang tidak Giat atau Berselimut, agar Mengagungkan Tuhan, tertuang dalam Q.S. an,Nahl; 125, "Ud u ila sabili robbika bil hikmati wal mau idothil hasanati wa jadilhum billati hiya ahsanu robbaka huwa a'lamu biman tholla an sabilihi waa huwa a'lamu bil muhtadin - serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan Hikmah, dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dan dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk".

"Ud u ila sabili robbika Bil hikmah - serulah mereka kepada jalan Tuhanmu dengan Hikmah". Hikamh itu apa?. Pertama, Hikmah itu Ilmu amaliyah, yaitu Jika kita menyampaikkan hikmah dengan Lisan, maka sampaikkan dengan ilmu yang bisa di amalkan oleh orang. Kedua, Hikmah itu adalah Amal Ilmiah, yakni perbuatan kita, sikap kita yang bisa di pertanggung jawabkan secara Ilmiah.

"wal mau idhotil hasanah - Menyampaikkan Hikmah Dengan kalimat-kalimat halus yang menyentuh perasaan". Jangan Ilmiah terus. Karena itulah suksesnya dakwah, menurut kami ada dua, dan paling tidak memenuhi satu kategorinya, yaitu ketika yang mendengarkan penuturan Hikmah kita, mereka bertambah pengetahuannya dan bertambah kesadarannya dalam beragama. Misalnya, boleh jadi orang sudah tahu bahwa sholat subuh itu dua rakaat. Tetapi, kita mesti harus menerangkan lagi. Bukan dalam konteks ilmunya. Melainkan, menggugah orang, agar bertambah pengetahuannya dan kesadarannya dalam beragama. Tanpa kedua indikator tersebut, dakwah itu jauh dari sukses.

Mengapa?. Karena, suksesnya Dakwah, seperti kita memberikan hidayah. Sedangkan hidayah seakar kata dengan Hadiah atau kado. Artinya dakwah itu harus di sampaikkan seolah-olah kita sedang memberikan Hadiah.

Ihwal itulah, ada seorang wali atau ulama. Karena melihat rata-rata penguasa itu dzolim, ia datang kepada Khalifatullah - Amirul Mukminin - Harun Ar-Rasyid. Harun Ar Rasyid ini adalah seorang Raja, sebagaimana umumnya seorang Raja, dia agak seenaknya. Hal ini dalam pikiran Wali tersebut, tidak mesti dalam fakta. Lalu, Wali tersebut bertanya, "Inni Nasyihun lak fa musyaddidun alaika fa la tajidanna fi nafsika sya'ian - saya ini mau menasehati anda, tetapi dengan cara yang keras. tolong jangan di masukkan ke hati". 

Sebelum nasehat itu di utarakan, kata Harun Ar Rasyid. Sebagaimana kita Ketahui, Harun Ar Rasyid adalah seorang khalifah dari Bani Abbasyiah, dia seorang yang alim dan termasuk salah satu muridnya Imam Malik, Kata Harun Ar Rasyid, " Uskud, innallahu ta'ala arsala man huwa khoirun minka ila man huwa sarrun minni wa ma'a dzalika yaqulullahu ta'ala fa qula lahu layyina laallahu yataszakaru aw yahsya - wahai Kawanku,  kamu diam. Sesungguhnya, Allah telah mengutus seorang yang lebih baik dan alim dari Kamu, yaitu Nabi Musa ke orang yang lebih jelek ketimbang saya, yaitu Fir'aun. Hal itu saja harus pakai etika atau menggunakan kalimat yang halus dan dengan Dakwah yang halus, semoga yang di dakwahi menjadi ingat". 

Di antara bentuk kehalusan, "Fa qula lahu qoulan layyina". kata-kata ini di informasikan juga dalam Al -Qur'an, di ayat lain, ketika Nabi Musa mendakwahi fir'aun, " fa qul hallaka ila anta zakka, Wa ah diya ila Robbika anta fa tahsya - apakah kamu mau saya nasehati dan saya beritahu kamu tentang Tuhan, agar kamu menjadi lebih baik". Bayangkan untuk ukuran orang seperti Fir'aun saja masih di berikan pilihan untuk berhak menerima nasehat, agar menjadi orang yang lebih baik. 

Diksi "hallaq" itu berarti pilihan. Jadi, betapa santunnya kalimat ini. Seolah-olah Nabi Musa menyampaikkan, "Hai Fir'aun anda berhaq untuk mendapatkan nasehat, agar anda menjadi orang yang lebih baik. Artinya kalimat ini bukanlah kalimat perintah, tetapi kalimat pilihan. 

Hal diatas selain merupakan etika yang harus di miliki semua Ustadz dan pendakwah. Ia Juga merupakan suatu perilaku yang niscaya terbentuk bagi setiap kita. Karena Itulah, sehingga Harun Ar Rasyid komplen, kira-kira yang beliau utarakan begini, "Kamu itu kalau menjadi Ustadz, mengajilah, agar engkau tidak krisis metodologi ". Akhirnya, Si ustadz, Meminta maaf Pada Harun Ar Rasyid, " Anta a'lamu minni - Ternyata anda lebih alim dari pada saya". 

Demikianlah, Orang-orang dulu ketika memahami Al Qur'an itu sangat luar biasa, kita mungkin membaca Al Qur'an, hanya menjadi cerita saja. Mungkin juga ada sebahagian yang membacanya sehingga menjadi perilaku, dan yang lebih utama adalah mereka yang membaca Al qur'an, sehingga mengilhaminya atau membentuk pandangan dan perilakunya. Sebagaimana Harun Ar-Rasyid. kata Imam Ghozali, membaca Al Qur'an itu membaca, bukan bercerita. Jika kita membaca Al Qur'an, "kunta qori'an - kita pembaca". Artinya seorang pembaca itu mengambil pelajaran. Tetapi, kalau kita hanya bercerita, itu namanya "Kunta Haqqiyan - Tukang cerita". 

Misalnya kisah diatas, tentang Nabi Musa Dan Fir'aun. Jika kita hanya cerita, kita akan mengatakan bahwa dulu ada seorang Nabi, bernama Musa, mendakwahi Fir'aun. Jika kita seorang pembaca, maka cakrawala berpikir kita menangkap Ibrah dari Informasi Alqur'an berbeda, betapa baiknya Allah, orang sekurang ajar Fir'aun saja. Allah masih ingin menyelamatkannya dengan mengutus Nabi Musa, kekasihnya". Begitu pun dengan semua informasi yang terdapat di dalam Al qur'an. Sehingga yang di harapkan dari pembacaan Al qur'an, kita di tahbiskan menjadi ahli membaca, yang mengambil pelajaran, bukan tukang cerita. 

Al-Sya’rawi dalam tafsirnya menyebutkan kepribadian yang hendaknya dimiliki seorang pendakwah beserta alasannya, “seorang pendakwah hendaknya dapat bermurah hati dan berlapang dalam penyambutan. karena tugasnya adalah mengentaskan orang-orang yang tersesat dari apa yang menjadi kebiasaannya, menuju apa yang mereka benci, maka janganlah kalian mengentaskan mereka dengan cara yang mereka membencinya, sehingga akan bertambah kebenciannya”. (Al-Sya’rawi, 17/10438). Di akhir penafsiran ayat tersebut, al-Zuhaili menyebutkan hikmah dan pelajaran yang dapat diambil. Yakni, jika orang seperti Fir’aun saja yang angkuh dan sombong, Nabi Musa yang menjadi pilihan-Nya masih diperintahkan berkata yang lembut dan santun, apalagi untuk mendakwahi selainnya yang tidak lebih dari Fir’aun.  

Oleh karena itu, dosa kita tidak seburuk dosa Fir'aun dan Kita juga tidak se-sholeh dan sebaik Nabi Musa dan Nabi Harun. Sehingga, Tidak ada dasar yang cukup kuat dari kita, boleh mendakwahi orang dengan keras, memaki, menghujat, dan menghina. Karena itu akan menjauhkan kita dari orang yang kita dakwahi.

"wa jadilhum billati hiya ahsanu Robbaka - berdialog dengan mereka dengan Cara yang Terbaik", (bukan hanya baik), tetapi terbaik. Jangan memaki, jangan menghujat. 

Nabi Muhammad SAW itu tidak pernah marah dalam berdakwah, pun jika ia marah dalam berdakwah, kita lihat sikapnya, yang di sampaikkan Ibnu Taimiyah, tentang kata-kata Nabi yang paling Buruk, "mudah-mudahan dahinya terkena Lumpur". Hanya itu kalimat yang paling buruk dari Nabi. Kalimat tersebut tidak memiliki implikasi apapun. Beliau tidak pernah menuding, tidak pernah menunjuk-nunjuk. Kalaupun beliau hendak menegur, caranya, " mengapa ada orang yang begini yah".

"huwa a'lamu biman tholla an sabilihi - Allah lebih tahu siapa yang di sesatkan". Artinya tidak usah kita menuduh orang sesat, Allah lebih tahu itu. "wa  huwa a'lamu bil muhtadin - dan Allah yang lebih tahu siapa yang di berikan petunjuk". Artinya, sampaikkan saja dengan baik. Sebagaimana Tafsiran konteks pada  Q.S. 16 ; 125, bahwa kita suruh menyeru orang dengan Hikmah. Sedangkan, Nasehat itu adalah poin kedua, setelah Hikmah. Begitupun dengan berdebat.

Hikmah itu paling sederhananya adalah kesesuaian antara sifat ajakan dengan objeknya. Misalnya, istri itu harus tahu dulu sifat suami seperti apa. Yang kalau di ajak ibadah, ia mudah menerimanya. Di rumah tangga, oleh Q.S 4 ; 34 di sebutkan bahwa suami adalah pemimpin. Nah, sifat pemimpin yang paling dominan itu apa?. Sifatnya pemimpin yang paling dominan itu tidak mau di pimpin. Makanya, pemimpin itu sulit menerima saran, tapi mau menerima masukan. Sebab, saran itu datang dari yang paling tinggi. Kadang-kadang istri tidak tahu antara memberi saran dan memberi masukan. Kalau istri memberi saran, jelas akan bertentangan dengan Jiwa kepemimpinan suami. Makanya, hikmah pertamanya adalah jangan lansung mengajak. Tetapi, menampilkan dalam bentuk akhlaq.

Sebagaimana Pada contoh Nabi Musa diatas, andaikkan Nabi Musa tidak lapang hatinya terhadap Fir'aun, barangkali sudah lama Nabi Musa mendoakan untuk mematikan saja Fir'aun. Tetapi, faktanya tidak, justru Nabi Musa berdoa agar di lapangkan hatinya dalam menghadapi Fir'aun. Jika nabi Musa lansung mendoakan Kematian Fir'aun karena tidak hanya menyebalkan, tapi menjengkelkan. 

Bagian yang paling menarik lagi, dalam perintah pertama membaca tersebut, Nabi Muhammad memperkenalkan Allah ; "Iqro bissmirobbiladzi khalaq. Khalaqol insana min alaq. Iqro waa robbukal akram -  TuhanMu itu Maha Pemurah. Sebagaimana Diksi "Karim" yang berarti memberi tanpa di Minta atau memberi melebihi harapan. Allah itu Terlalu baik. Maka, pola dakwah Kita tidak perlu memberi penekanan, sedikit-sedikit neraka. Sedikit-sediki sesat dan sedikit-sedikit kafir. Justru, yang terjadi belakangan, rasanya yang paling mudah ialah berdakwah dengan menakut-nakuti. Seolah-olah Allah itu Maha Pemarah ; ketika kita salah, lansung di siksa dengan pedih di dalam neraka yang paling dalam. Memang hal itu ada benarnya. hanya saja, Jangan tekankan soal itunya. Tekankan tentang Rahmat Allah lebih luas dari apa yang kita harapkan. Ampunan Allah, lebih luas dari dosa kita. Allah berfirman dalam sebuah hadist Qudsinya, "Jika Hambaku datang dengan sejumlah dosa yang memenuhi langit dan bumi, aku akan datang dengan sejumlah ampunan yang memenuhi langit dan bumi". Itulah sebabnya, menurutku cara-cara dakwah yang menggambarkan bahwa Allah itu maha pemarah dan maha murka, adalah tidak benar. Mengapa kita tidak memberi penekanan dan menggambarkan bahwa Allah itu maha baik?.

Berkenaan dengan itu saya ingat dengan salah satu ayat, yang menurut Ibnu Abbas, paling memberi Harapan kepada kita, "Qul ya Ibadhi yalladzina asyrafu Ala anfusihim, La taknatu min rahmatillah, innalaho yagfiru dzunuba jami'a - Hai Muhammad Katakan pada hamba-hambaku yang telah melampaui batas kedurhakaan kepadaku. Jangan pernah putus asa terhadap rahmatku. sesungguhnya aku mengampuni seluruh dosa". Secara tidak lansung, Allah ingin menyampaikkan kepada kita bahwa tidak ada dosa yang tidak di ampuni, jika kita mau.

Demikianlah prisnisp dasar yang di tekankan oleh Nabi Muhammad SAW, yang menggambarkan Kemurahan Hati dan rahmatnya Allah SWT. Makanya, jika kita mentadabburi Al Qur'an, ada empat indikator, yang di antar oleh Nabi Muhammad SAW, untuk manusia  menuju ajaran agama ini. Pertama, ini yang paling susah yaitu pelajari Alam raya, sebab di situ ada bukti kekuasaan Allah. Kedua, pelajari diri kita, pelajari manusia. Jika kita tahu, maka kita akan heran-heran. Ketiga, Janji untuk surga dan keempat adalah ancaman Neraka. Hal ihwal itulah, saya pikir yang perlu kita gaungkan dan dengungkan yakni memberi optimisme dan harapan kepada orang.

Lantas, Bagaimana cara menerapkan Dakwah bil Hikmah?. Pada bagian atas Tulisan ini, saya sudah menuturkan, Di bawah akan kembali saya sampaikkan, bagaimana metode Nabi Dalam Mendawuhkan ajaran islam dan menjadi konstruksi perilaku para ulama. Sekalipun, kita bisa menarik benang merah, bahwa salah satu caranya ialah menyampaikkan dengan Ilmu amaliyah. Kita tidak bisa menjelaskan atau mendakwakan Sesuatu tanpa tahu ilmunya Dan ilmu pengetahuan kita tentang sasaran dakwah. Sebab, bagaimana mungkin kita mau memberi dakwah kepada sasaran yang kita tidak tahu. Maksudnya, agak lucu juga kalau kita menyampaikkan cermah Ta'ziah di acara perkawinan. Bahkan bila perlu, kita harus tahu kelemahan atau kebutuhan orang yang bertanya. Sebab itulah, ketika ada sahabat yang bertanya kepada Nabi. Jawaban Nabi sangat bervariasi dan berbeda-beda pada satu kasus. Nah, sekarang Zaman kita apa kebutuhan kita, itu yang sejatinya di dakwakan. 

Bagaimana hendaknya kita menjelaskan dalam berdakwa tentang banyaknya kelompok-kelompok, paham-paham dalam Islam?. pertama, kita harus bijaksana terlebih dahulu. Satu hal yang perlu kita ketahui, bahwa Al-Qur'an pada dasarnya menginginkan kita berbeda. Tidak perlu kaget. Sebab, Al-Qur'an adalah hidangan Ilahi. Misal, semakin kaya seseorang semakin bermacam-macam hidangannya. Jika Al-Qur'an tidak menginginkan kita berbeda maka sudah pasti Allah menurunkan ayat-ayat yang tegas dan tidak mengandung aneka interpretasi. Tidak menurunkan ayat yang memilik dua makna yang bertolak belakang. Misalnya, Diksi "Kuruu", wanita-wanita menanti 3 kuruu, hal ini bisa berarti Haid, bisa berarti suci. Olehnya, pilihlah yang menenangkan hati dan pikiran setelah kita pelajari atau mendengarkan dari ulama yang kita tenang dengan Ilmunya.

Islam itu bisa sesuai dengan semua situasi dan kondisi. Waktu dan ruang. karena Interpretasinya bisa berbeda-beda dalam rincian agama. Sehingga, kita tidak perlu menuding orang yang tidak sejalan dengan kita itu sesat. Satu hal lagi, tentang metodelogi Nabi dalam berdakwah berdasarkan Tuntunan Allah dalam Al-Qur'an Saba' : 24-25, kepada Orang-orang yang mempersekutukan Allah. "qul may yarzuqukum minas-samawati wal-ard, qulillahu wa inna au iyyakum la’ala hudan au fi dholalim mubin" (Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. "qul la tus 'aluna 'amma ajramna wa la nus`alu ‘amma ta’malun" ( Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat).

Maksudnya ialah Boleh jadi anda yang benar, boleh jadi saya yang salah Dan kamu tidak di minta untuk bertanggung jawab atas dosa-dosa kami, serta Kami tidak di minta untuk mempertanggung jawabkan amal-amal kamu. Kita tidak menuding dosa-dosa kamu. Bayangkan Al Qur'an menggunakan diksi yang indah, ketika mengatakan dosa-dosa ia menyebutkan kami, tetapi ketika mengatakan amal-amal, ia menyebutkan Kamu. Jadi, untuk orang lain kita menyebutnya amal, bukan dosa, Dan hal itu merupakan perintah Allah, yang di sampaikkan Kepada Rosulullah.  Mengapa bukan itu yang kita contohi?.

Ada seorang Nabi, di gelari sebagai Khotibnya para Nabi, karena sangat luar biasa pilihan-pilihan diksi dan kalimatnya, namanya adalah Nabi Suaib (Khatibul ambiya), beliau berdakwah. Ada kalimatnya yang kira-kira begini bunyinya ; "Aku tidak mau berbeda dengan kamu, tentang apa yang saya larang kamu melakukannya. Lalu, Beliau melanjutkan "Waa ma Taufiqi illa billah - sukses saya itu di tentukan oleh Allah dan kepada Allah saya bertaubat dan kembali". Artinya, sekalipun saya melarang kamu melakukan sesuatu, bukan berarti hal itu menjadikan saya berbeda atau tampil beda denganmu. Tidaklah demikian, saya hanya ingin tetap menjaga persatuan, sekalipun kita berbeda. Jadi, di dalam masyarakat yang plural, silahkan berbeda-beda.


**

Harus kita ketahui, bahwa dalam Perjanjian Hudaibiyah, semua Point-point kesepakatannya sangat merugikan Islam. Diantara perjanjian itu adalah, jika yang Islam masuk kafir. Maka harus di biarkan, karena kembali ke habitat aslinya. Tetapi, kalau orang Kafir masuk Islam, maka harus di dilarang atau Di kembalikan ( Dianggap Bid'ah). Makanya kita kalau di tuduh bi'dah, santai saja. Sebab, Nabi juga dulu di tuduh demikian, " Ji'ta bi dinin muhdats - kamu datang dengan agama yang baru".

Semua perjanjian yang merugikan Islam tersebut, di sepakati oleh Nabi. Tetapi, Nabi hanya minta satu hal, jangan ada perang selama 10 tahun dan orang boleh mendiskusikan tentang Islam.

Belum lama Perjanjian itu sepakati, ada seorang Bernama Abu Jandal Bin Zuhar Bin Amar datang Ke Nabi untuk masuk Islam. Kata orang-orang Kafir, apakah Engkau Muhammad akan komitmen dengan perjanjian yang telah engkau sepakati. Jika engkau komitmen, maka engkau harus mengambalikan Abu Jandal ke Habitat aslinya. Karena Nabi adalah orang yang komitmen terhadap Janjinya, ia menyatakan kepada Abu Jandal untuk kembali ke habitat aslinya, yaitu Kafir.

Dalam Analisis Imam Zuhri, Gurunya Imam Malik, Nabi Mengambil Point menghindari perang. Sebagaimana kita ketahui, Perang antara Kaum Muslim Vs Kaum Kafir, terjadi dari Tahun ke 2 Hijriyah sampai ke tahun ke 8 Hijriyah. Nabi Tahu, bahwa akibat perang, membuat orang tidak berpikir jernih, terjadi kemandekan berpikir. Sedangkan Islam, bisa di terima oleh akal sehat. makanya, Nabi mengambil Point menghindari perang, agar semua orang berkesempatan mendiskusikan Islam secara Terbuka.

Akhirnya Orang Kafir menyepakati Bahwa tidak akan terjadi perang selama 10 tahun, karena mereka berpikir Apa juga Hasil dari Diskusi. Maka, Terjadilah diskusi dimana-mana yang membicarakan tentang Siapa sebenarnya yang benar, apakah Tuhan Muhammad dan Tuhan Abu Jahal?. "Tuhan Muhammad itu Kholiqus samawati wal Ardhi - yang menciptakan langit dan bumi, sebagaimana Kampanye Muhammad". Sementara Tuhan Kita, yah berhala itu. Yang kita Bikin, kadang Rusak, bahkan untuk mengurus dirinya saja tidak bisa. Lalu, mereka membandingkan Muhammad dan Abu Jahal?. "Muhammad itu dari dulu tidak pernah berbohong, sedangkan Abu Jahal, sudah tukang bohong, menjengkelkan juga".

Akhirnya semua diskusi tersebut mengarah kepada kebenaran Islam dan orang tertarik pada Islam. Sementara perjanjian menyebutkan bahwa Diskusi tidak boleh di larang. Di situlah kehebatan analisisnya Nabi, sehingga orang punya kesempatan mengendapkan kebenaran Islam dengan Diskusi. Karena Nabi Tahu persis bahwa Kebenaran Islam sangat di terima oleh akal sehat.

Di titik itulah, Orang yang paling Kafir saja Taslim pada Kebenaran Islam. Bisa kita lihat Di Qur'an Tafsir Thobari, ada ayat "bal Naqdzifu bil haqqi alal bathil fayadmahu fa idza huwa dzahi" - Kebenaran islam itu kita taruh sekenanya saja pasti akan menang, apalagi kita taruh secara teratur.

Penelitian membuktikan bahwa Al qur'an adalah satu-satunya Kitab yang membicarakan sains - Falaq, astronomi, geografi, tentang asal usul kejadian mahkluk, dsb.

Dulu, ada ulama yang ahli matematika. Awalnya murid ulama tersebut meragukan bahwa Ulama tersebut bisa mengajar atau tidak. Tetapi, para muridnya bermimpi, bahwa Gurunya - Imam Amudi di suruh mengajari para Malaikat. Kata Allah, Ini Ulama saya, dia beriman kepada saya, setingkat dengan Iman kalian (Malaikat). Jawab para malaikat, tidak mungkin Ya Allah. Sebab, kami menyaksikan langsung engkau, sementara UlamaMu ini hanya di bumi, tidak menyaksikan engkau. Mengapa dia bisa seyakin itu pada Engkau".

Lalu, Imam Amudi Menulis angka tidak beraturan atau acak. Kata beliau, " angka sebanyak apapun, jika di bandingkan dengan angka satu, tetap "Far'ul wahid". Semua angka sebanyak apapun itu adalah cabang dari angka satu - faqulu hadzil awalim far'ul minal wahidis shomad - Yaitu Allah SWT.

Ada juga Ulama, ahli gambar yang menemukan Tuhan dari Gambar. Ia menyatakan gambar serapi dan sejelek apapun itu tetap sama dalam pandangan Tauhid. Di mulai dengan, "Min  nuktoh al wahidah - Di mulai dengan Satu titik". Satu titik itu adalah Nuktotil wujud - Allah.

Kita urai kembali kalimat Tauhid, benarkah kelompok takfiri yang kerap mengkafirkan orang lain?. Tentu tidak benar. Logikanya gampang, orang yang kafir 70 tahun, begitu ia melafadzkan Lailahaillahu. Maka, ia menjadi Muslim. Masa dengan kalimat sama, yang muslim menjadi kafir.

Apakah kalimat Tauhid itu adalah kalimat untuk mengislamkan atau kalimat untuk mengkafirkan?. Tentu, kalimat untuk mengislamkan Orang. karena Menolak Kalimat Tauhid, orang di sebut Kafir.  tetapi dengan kalimat yang sama, orang Islam menjadi Kafir. Ini kan lucu. 

Makanya Cara Berpikir Abu Hasan Az- Dzazili, "Istigfar itu baik, tapi Ba'da Qamali Tauhid - Setelah benar Kalimat Tauhidnya". Ketika ada ayat yang menyebutkan, "Fa' lam annahu lailahaillahu wastagfir lidzambi ay bi hadzil kalimah - orang boleh istigfar setelah Tauhidnya benar". Alasannya Beliau, "Qulilladzina iyantahu yugfarlahumma Qoda salaf - Katakan pada mereka yang Kafir, sekali mereka tidak kafir, maka secara Otomatis dosanya di masa lalu di ampuni".

Pertanyaanya, kalimat apa yang bisa menghentikan kekafiran seseorang?. Adalah kalimat "Lailahaillahu". Artinya, Dengan mengucapkan kalimat Tauhid, berdasarkan gagasan Dzazili. dosa seseorang di ampuni. Di situ kita bisa menegaskan bahwa sebab pengampunan dosa seseorang adalah Lailahaillahu. Mengapa?. Karena orang Kafir belum baca Istigfar. Secara sederhana, kita bisa memahami bahwa Pengampunan seseorang itu bisa di dapatkan, hanya dengan mengucapkan kalimat Toyyibah - Tauhid dan Sahnya Istigfar seseorang, kalau dia telah Bertauhid terlebih dahulu.

Misalnya, orang Kafir sebelum masuk islam, melafadzkan Astagafirullah. Kira-kira di terima atau tidak Istigfarnya?. Tidak di terima. Karena syarat Istigfar, setelah Mengucapkan Tauhid. Makanya, dalam Mazhab Dzadzili Istigfar itu setelah Kalimat Lailahaillahu.

Artinya, orang yang Tauhidnya benar, meskipun Tidak sempat Istigfar, berpotensi dosanya di ampuni Oleh Allah. Karena cakupan Tauhid, Orang tersebut sudah layak di ampuni. Sebagaimana Orang Kafir, ketika melafadzkan Tauhid, sekalipun tidak Istigfar, lansung di ampuni.

Makanya kita yang alim itu tahu, bahwa Kalimat Tauhid itu sangat Super.

Tetapi, kebalikan dari Mazhab Dzadzili adalah Mazhab Sanuziah, oleh Imam Sanusi. Dia berpendapat bahwa Kalimat Lailahaillahu itu sakral. Karena dia sakral, maka di butuhkan Mukaddimah terlebih dahulu, "orang boleh melafadzkan kalau sudah bersih - Suci. Makanya dalam mazhab Sanusiah, istigfar dulu baru Lailahaillah. 


**

Ada yang menarik dari Perbedaan pendapat Antara K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Faqih Maskuh, bahkan ihktilaf mereka di kitabkan. Mereka berbeda pendapat tentang menetapkan tanda waktu masuk sholat.

Cara berpikir K.H. Hasyin Asy'ari, ketika Nabi melakukan Musyawarah tentang cara menentukan waktu sholat telah masuk. Sahabat pertama menyatakan, menggunakan Kentongan, Rosulullah menjawab saran sahabat tersebut, "Dzakarin nasaro - Itu identitas ibadah Orang Nasrani". Sahabat yang lain memberi masukan, Kalau demikian, pakai Pakai terompot saja Ya Rosulullah. Rosul menjawab, "Dzakarin Yahudu - Itu identitas orang Yahudi. Ada sahabat yang mengusul lagi, "pakai api Ya Rosulullah". Rosul menjawab, itu Identitas orang Majuzi. Maka, lahirlah sarana memanggil untuk melaksanakan sholat, dengan Adzan.

Ihwal itulah sehingga K.H. Hasyim menolak sarana memanggil dengan Kentongan, bahkan beliau sampai mengharamkannya.

Setelah Naskah pengharaman Kentongan Oleh K.H. Hasyim, sampai ke tangan K.H. Faqih Maskuh, beliau marah sekali dan menyatakan Ini harus di lawan dan perlawanan saya ini bukan karena saya membenci K.H. Hasyim, beliau teman saya ketika belajar di Mekkah, "dimana-mana serupa itu tidak sama. Kalau dulu kentongan itu identik dengan orang Nasrani. Di indonesia beda, orang di pos kamling pakai kentongan, tukang bakso pakai kentongan. Jadi tidak ada jaminan kalau kentongan itu milik orang Nasrani. Lalu, haramnya dimana?".

Tetapi, kedua Ulama ini saling menghormati dalam perbedaan pendapat. Saya sendiri lebih cenderung sepakat dengan pendapat K.H. Hasyim, karena bagi saya sholat itu sakral. Jika Ia sakral maka ia di panggil dengan kalimat Toyyibah - Adzan. Tapi saya tidak akan bilang, kalau kentongan itu haram.

Artinya, silang pendapat ulama-ulama kita dulu itu santai saja. Padahal saling mengkritik. Misalnya, Imam Syafi'i kalau sholat di kawasan masjid Imam Abu Hanifah, dia tidak Qunut. Ketika di tanya, mengapa tidak Qunut, sementara engkau berpendapat Qunut itu sunnah?. Apa jawaban Imam Syafi'i, "Ikroman lihadzal mazhab - saya sangat menghormati mazhab".

Begitu juga dengan Imam Ahmad Bin Hambal, ketika melaksanakan sholat di sekitaran kawasan masjid Imam Syafi'i, ia menemukan orang yang baru saja selesai melakukan bekam dan lansung sholat, tidak Wudhu. Sementara Beliau berpendapat, kalau orang setelah Bekam - Hijama itu batal sholatnya jika tidak berwudhu ulang. Sedangkan, pendapat Imam Syafi'i menyatakan tidak batal wudhunya atau sholatnya. Ketika Imam Ahmad Bin Hambal ditanya apakah engkau Ma'mun Imam Syafi'i?. Apa jawaban Imam Ahmad, "Bagaimana mungkin saya tidak menjadi Ma'mun dengan seorang Wali Qutub seperti Imam Syafi'i". Padahal menurut keyakinan Imam Ahmad, Sholat orang yang tidak berwudhu setelah bekam, batal.

Ekspresi cinta itu macam-macam jenisnya. Dulu sahabat juga demikian, ada sahabat yang tidak pernah kenal wajah Nabi sampai dia wafat. Ketika di tanya kamu itu sahabat, tapi tidak pernah memandang wajah Rosul. Sahabat tersebut menjawab, "Saya tidak pernah berani memandang wajah Rosul, karena Ijlalan lahu - terlalu Menghormati pada Nabi". Tetapi, ada juga sahabat yang terus-terusan memandang wajah Nabi, sampai ia mensifatinya. Karena memandang wajahnya Nabi itu Ibadah.

Ada seorang wali di tanya, kalau kamu di surga, kamu ingin melihat wajah Allah atau tidak?. Jawab, wali tersebut "tidak". Tapi semua orang ingin melihat wajah Allah?.  Wali tersebut menjawab lagi, "Unazzihu dzalikaal jamal an nadzohiri mitslih - saya yang tidak jelas seperti ini, mana berani memandang keindahan dan keperkasaan wajah Allah". 


***

Rukun Islam itu ada 5 : membaca syahadat, melaksanakan shalat, puasa, zakat, dan kalau mampu pergi haji. Kita shalat sambil baca syahadat, semakin kokoh Islam kita, secara formal.

Rukun itu "tiang" ; ibarat rumah, dengan melaksanakan rukun Islam, tiang rumah itu sudah kokoh (mungkin beserta temboknya). Kalau mau rumah itu dihias ornamen indah, maka lengkapi dengan Ihsan, perilaku dan akhlak yang bagus.

Dengan melaksanakan Rukun Islam yang lima itu, maka seseorang sudah menjadi "muslim", apakah muslim formal atau muslim minimalis. Tapi dia Muslim, tidak bisa dikafir-kafirkan atau dicap murtad atau dicap musyrik, selama dia mempraktikkan Rukun Islam itu. Meskipun "muslim minimalis", dia tetap Muslim. Tidak bisa dihukumi kafir atau musyrik, kecuali dia keluar dari Rukun Islam itu.

Tapi sekarang, kalau kita lihat ceramah-ceramah para penceramah, mengapa mereka dengan enteng mengkafir-kafirkan Muslim. Misalnya ada muslimah tidak mau pakai Jilbab kecuali dalam shalat. Dibilang kafir! padahal Jilbab bukan Rukun Islam. Sebagian muslim ada yang mengikuti pendapat Qasim Amin dan Syekh Said Asymawi. Dua orang ini bukan Ustadz kaleng-kaleng, apalagi Syekh Said Asymawi, ulama ahli hukum Islam dan mantan Hakim Agung Mesir. Mereka berdua berpendapat, tidak ada teks qath'iyy yang mewajibkan wanita muslimah memakai pakaian khusus Islam (Jilbab atau Hijab). Ayat-ayat terkait Hijab konteks nuzulnya lokal-partikular, untuk membedakan status budak dan orang merdeka, tapi itupun lokal di Arab abad ke-7 Masehi, tidak bisa jadi universal. Pak Quraish mengutip pendapat dua cendekiawan itu ikut dikafir-kafirkan.

Kalau muslim tidak mau pakai hukum potong tangan dan rajam, juga dianggap "kafir", padahal dua hal itu tidak masuk Rukun Islam. Kalau tidak mau ikut khilafah juga kafir, padahal khilafah bukan Rukun Islam!.

Kalau muslim tidak mau mengakui bahwa Bumi ini datar juga sekarang dihukumi kafir. Juga kalau muslim membuat / mempersembahkan sesajen untuk Nadran, upacara syukuran laut atau panen padi, juga dicap "musyrik". Kalau disebut musyrik dan kafir berarti sudah keluar dari Islam. Bukan muslim lagi. padahal hal-hal begitu bukan bagian dari Rukun Islam.

Lebih gila lagi soal kafir ini dibawa ke urusan-urusan politik. Kalau tidak milih si A kafir, kalau milih si B kafir! mana ada kategori perebutan kekuasaan politik seperti itu masuk dalam Rukun Islam dan Rukun Iman.

Para penceramah itu selalu menggunakan kata kunci "mendustakan ayat-ayat kami" - kaddzabuu bi Ayaatinaa. Semua yang mendustakan ayat-ayat Tuhan harus dihukumi kafir. Padahal sebagian muslim yang dituduh kafir itu tidak pernah bermaksud mendustakan ayat-ayat Allah, tetapi punya "penafsiran lain yang berbeda"!

Dulu, ulama-ulama Sunni Abad Pertengahan seperti Hadratus Syaikh Abu Hasan al-Asy'ari, Al-Baqillani, Al-Juwaini (Imam Haramayn) dll menegaskan bahwa para pelaku dosa, apalagi dosa besar, mereka tetap Muslim-Mukmin, tidak bisa dihukumi kafir. Hukumi saja Fasik atau pelaku dosa besar. Tapi jangan menghukumi Kafir. Mereka tetap muslim kalau masih shalat, puasa, zakat dan Haji.

Kalau sedikit-sedikit kafir, sedikit-sedikit kafir dan kata kafir itu melebar ke mana-mana, lalu buat apa Nabi membatasi Rukun Islam itu hanya lima? Dengan lima itu saja seseorang sudah menjadi Muslim. Tidak boleh dihukumi kafir!.

***

Robbana Lakal hamdu mil ussamawati wa mil ul ardhi wa mi u'ma syita min syain ba'du - Karena Allah itu dzat yang tidak terperikan, dzat yang tidak terbatasi. Pujian di langit dan bumi ini masih kurang dan pada akhirnya pujian kepada Allah akan memenuhi semua ruangan yang Allah kehendaki.

Subhanallahu wa bi hamdihi adada kholqihi wa ridho nafsihi wa dzinata arsyihi wa midada kalimatihi -  bahwa kita memuji Allah, sesuai dengan Jumlah mahkluk. Semua Mahkluk Allah meskipun kelihatannya mengecewakan, semuanya memuji Allah.

agama ini akan di urus oleh Allah SWT. Makanya Umar Bin Khottab, kalau di suruh memikirkan agama itu dia tidak mau. Padahal saat dia menjadi Khalifah, Islam sedang berada di puncak masa keemasannya. Lalu, Ummat mengkhawatirkan setelah Umar menjadi Khalifah, Islam ini bagaimana. Sebab Islam setelah di pimpin, oleh orang yang zuhud, Tangguh, kuat dan waro'i.

Abdullah Bin Umar, anaknya Umar setiap jalan-jalan di kampung-kampung, bapaknya di anggap seorang pecundang - Orang yang tidak bertanggung jawab, dengan berkata seperti ini, Ya Abdul Bin Umar. Bagaimana pendapat anda, jika ada pengebala kambing di tengah Hutan atau di tengah padang Pasir. Lalu, si pengembala meninggalkan saja Kambingnya, kamu anggap apa si pengembala tersebut?. Abdul ibnu Umar menjawab, wah itu adalah pengembala yang dzolim, karena menelantarkan Kambingnya. Masyarakat melanjutkan, kalau kambing saja di telantarkan oleh pengembalanya adalah pengembala yang dzolim, bagaimana dengan Ummat Rosulullah. bapak kamu ini tidak pernah wasiat tentang siapa penggantinya, bagaimana Islam setelah dia. Suruh dia bicara, penggantinya siapa, karena dia sudah sepuh harus ada penggantinya?.

Akhirnya abdullah bin Umar lapor ke bapaknya, Abah ini bagaimana ini, orang-orang Komplen sebagaimana pertanyaan warga?. Apa kata Umar, Agama itu beda dengan Kambing. Agama itu milik Allah SWT. Saya pikir atau tidak pikir, tetap berjalan agama itu.

Hal ini terbukti, kita ini bukan ulama, bukan mufti. Tapi bisa menjalankan agama. Tidak usah terlalu di pikir, jalankan saja. Soal kita serius memikiranya itu adalah Khidmat - bakti kita pada agama ini. Tapi, kita tidak boleh berpikir bahwa agama ini butuh pikiran kita.

Allah punya sekian cara untuk mengenalkan islam. Dulu, orang Prancis tidak suka pada orang Aljazair yang Islam, begitu Zidane bermain bola dan membawa Prancis Juara Dunia, orang Prancis menjadi suka pada Islam.

Dulu, pemain bola Muslim di Inggris, jika mau sholat susahnya bukan main. Tapi, kuasa Allah selalu berkelindan dalam Misteri. Banyak Investor Qatar, UEA dan Dubai yang tertarik berinvestasi di Club-Club bola Inggris, seperti Sulaiman Al Fahim yang membeli Mancester City. Pelatih mancester City, pun tidak berani menegur pemainnya yang izin mau sholat, bahkan di dalam stadion di bangunkan Masjid.

Alhamdulillah alladzi hadana li hadza wama kunna li nahtadiya lau la anhadanallahu. Karena yang memberikan agama ini adalah Allah, maka yang menjaganya juga adalah Allah. Tidak usah khawatir.

Jika sekarang ada kelompok orang tertentu yang mengkhawatirkan Islam, itu mereka hanya kurang optimis - Roja'a pada Allah. Harapannya tipis pada Allah, harus mengaji lagi mereka itu. Agama ini, " Limang kana Yarjullahu wal yaumal akhir - agama ini bagi mereka yang selalu berpengharapan". Bukan yang pesimis dan putus asa.

Dalam Musnad Imam Ahmad Bin Hambal, Al bilad Biladullahu wal ibad ibadullahu. Fa Haitsu ma asyotta khoirun fa akim - semua negara itu hakikatnya negara Allah, semua hamba pada hakikatnya hamba Allah dan dimana saja kamu mendapatkan kebaikan, tidak apa-apa kamu berdomisili di situ.

Makanya, kita berharap bahwa kalimat Tauhid tetap di jaga. Sebab, kalimat Tauhid itu kata semua ulama, "kasyarojatin toyyibatin asyyuha tsabitu wa far'u ha fissama" dan kalimat tauhid ini pasti "Tu'ti uqulaha qullahilim bi idzni robbiha" - kalimat tauhid yang di bawah seluruh ummat muslim di dunia, meskipun ummat fasik atau orang tidak benar. Tetap, akan membawa berkah bagi orang yang di hinggapi atau di tempati oleh ummat Islam.

Apapun yang kita lakukan akan di catat oleh Allah, kata Allah "inna nahnu nuhyil mauta wanaqtubu ma qoddamu wa atsarohum" - saya bisa menghidupkan orang mati dan semua amal kalian saya akan catat".


*Pustaka Hayat
*Pejalan Sunyi
*Rst
*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar