Malam itu 17 Ramadhan adalah rangkaian dari malam-malam sebelumnya, Rasulullah melipir dan berkhalwat di Gua Hira. Pada ketinggian 270 meter di punggung Jabal Nur, Rasulullah membenamkan diri, mencelupkan batinnya dalam keheningan. Ia menepi dari riuh dan hiruk pikuk kehidupan glamour kota Mekkah, yang makin jauh dari ajaran otentik Ibrahim As (Agama hanif – Tauhid).
Mekkah dan berhalanya yang di kuasai kepala-kepala suku Quraisy, selain mendistorsi kemurnian ajaran Ibrahim (bapak Tauhid), juga menjadi perpanjangan tangan praktek borjuasi dalam bentuk primitif, melalui kepala-kepala suku Quraisy. Di balik simbol patung-patung itulah, keyakinan di hegemoni, akumulasi kekayaan dan pengaruh di tancapkan dengan menghalalkan berbagai cara.
Kultur Arab-Mekah dalam fase jahiliyah, sebagaimana yang di jelaskan dalam berbagai literatur Islam, adalah puncak banalisme masyarakat Arab - Mekkah. "Hannah Arendt" ; menjelaskan Banalisme sebagai anggapan yang wajar terhadap kejahatan.
Mekkah dalam fase Jahiliyah, menjadikan kekerasan individu dan struktural, persekusi, perampasan hak, pembunuhan/mengubur hidup-hidup anak perempuan, sebagai hal permisif (sebagaimana banalisme menurut Hannah Arendt). Banalisme sebagai cara untuk mempertahankan status quo.
Maka berkhalwatnya Rasulullah SAW di Gua Hira, adalah ikhtiar menjernihkan hati dan pikiran dari kabut gelap kejahiliyahan yang menggelayuti langit Arab - Mekkah.
Turunlah Surat pertama (QS : Al Alaq : 1-5), adalah titik di mulainya peradaban Atau apa yang disebut sebagai “weltanschauung Islam”.
Malam itu; kala turun wahyu pertama, langit kejahiliyahan Mekah bahkan semesta menjadi terang. Sebagaimana yang diintrodusir dalam QS : Al Qadr : 1-5. Satu malam yang kualitas dan kemuliaannya lebih baik dari 1000 bulan.
Suatu permulaan peradaban Islam, yang di mulai dengan perintah BACALAH (iqra’)!.
Semiotika Ferdinand Saussure, menjelaskan bawah, sebuah teks, memiliki dua unsur, yakni signifiant (penanda) dan signified (petanda/pemahaman). Signifiant/signifier, merupakan hal-hal yang tertangkap oleh pikiran kita seperti citra bunyi, gambaran visual, dan lain sebagainya. Sedangkan signifie/signified, merupakan makna atau kesan yang ada dalam pikiran kita terhadap apa yang tertangkap.
Iqra’ sebagai penanda (signifiant), memberikan arti iqra’ sebagai menyampaikan, menelaah, mendalami, membaca dan meneliti. Bertolak dari semiotika Saussure, suatu tanda tidak hanya ada dalam bentuk citra bunyi dan visual, tetapi juga dalam bentuk pemahaman (Signified). Dengan demikian, Iqra’, memiliki keluasan pandangan dan pemahaman.
Syeikh ‘Abdul Halim Mahmud, mantan pimpinan Al Azhar - Kairo, menjelaskan; “Membaca disini adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan jiwanya ingin menyatakan 'bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu.”
Maka, semiotika IQRA’ sebagaimana maksud Syeikh Halim Mahmud, memiliki kedalaman makna sebagai bentuk kesadaran aktif manusia, untuk bergerak menuju fitrah Ilahi. Ikhtiar menuju nilai-nilai hanif atau apa yang disebut "Prof. Abdul Munir Mulkhan" sebagai trans human - pembaruan diri atau transformasi menuju Insan Kamil.
Maka, malam Nuzulul Quran yang acap kali diperingati pada malam ke-17 Ramadhan, tidak hanya berkutat pada rutinitasnya. Atau berbagai spekulasi metafisis tentang karomah Lailatul Qadar.
Kedalaman Iqra’ harus dipahami sebagai sebuah perintah, membaca berbagai jalan kebaikan, untuk menuju kebaikan, sebagaimana harapan menjadi Al Muttaqin, titik akhir destinasi bagi mereka yang berpuasa.
Agama selalu bermula pada yang numinous, Yang Tak Tercakapkan, " La Harfin Wa la Shouf". lalu, berakhir dengan konstruksi. Agama juga diawali dengan gigil cinta yang ganjil, ada harapan, ada ketakutan, ada amor dan horor yang bertaut. Ada momen tak lazim dan unik. Tapi, terpuncak. ketika seseorang mengalami “kehadiran” Yang Maha Lain, yang diandaikan oleh "Rudolf Otto" sebagai mysterium - tremendum - fascinosum.
Di abad 5 M, Santo Agustinus dikerkah pengalaman yang mirip : “Dan aku gemetar dengan kasih dan ngeri”. Di lekukan sejarah yang dingin, di Abad Pertengahan, pun penyair "Dante" mengeja kembali pesan sunyi dan senyap itu dalam Divine Comedy, sebilah karya sastra mistik yang dianyamnya dalam semesta kode yang sublim, yang mengandaikan seseorang mengalami “ketercelupan ontologis” ke yang numinous melalui tiga fase perjalan ruhani : inferno - purgatorio - paradiso.
Pengalaman sublim “kemahahadiran” dan “kemahaawasan” Tuhan yang numinous, dalam detak-detik jantung para perindu dan pecintanya, yang pada urutannya tidak hanya menyalakan spirit ketaqwaan. tapi, Juga menginternalisasikan sifat Cinta-Kasih-Nya ke dalam ego. Di titik ini pula mengapa “puasa” dan “taqwa” terpaut dalam buhul yang erat. Kualitas Ego taqwa adalah ego tuah yang tercerahkan - visun sosiokultural, moral, intelektual dan spiritualnya: lokus kesadaran ego otentik yang sejauh ini justru terbungkam oleh hiruk pikuk kehidupan post reralitas yang “menuhankan” materi.
Latihan menahan diri di alam purgatorio bersumbu pada latihan “membakar” ego nisbi agar menemukan ego otentik dan sepenuhnya merasakan “Kemahahadiran Allah” dalam segenap detak hidup : sebuah episentrum cahaya yang membawa diri menemukan kesucian asalnya dan kembali ke fitrah.


.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)


