Tak kuasa melihat tubuh ringkih sang ayah yang berjibakau atas himpitan ekonomi dan tak tega melihat sekujur tubuh senja ibunda yang berusaha tersenyum walaupun sedih kadang meronta.
Selumbunag narasi memang. tak akan cukup-cukup menggambarkan sosok manusia yang bernama Bapak.
Ia, Menjajakan kaki berpuluh kilo jaraknya dari tanah kelahiran, dimana ari-arinya teratanam.
Saat Ramadhan, orang bercerita banyak tentang lumbung Pahala. Padahal, Ramadhan bisa saja tentang pulangnya kenangan akan kerinduan purba.
Yah, padanya saya dan yang lainnya akan menimba asam dan garam seagai ransun terbaik dalam mengayunkan langkah.
Keluh bapak, tidak terdengar. semangatnya, menggelegar.
Ia adalah sebab nyala api di dapur. Ia adalah sebab dari tiap asa dan harapan yang masih terawat.
Karenanya kami kuat; Bahwa lelaki itu harus jadi petarung. bergulat dengan waktu. Sebab, kebayakan tidur itu menunda nasib baik.
Ia terus bergerak, mengais rezeki. bukan soal berapa. tapi, semangat membaranya terawat. Bahwa, hidup harus memulai, tiada akhir tanpa awal.
Ia adalah tauladan hidup. Dalam diamnya. kita belajar, bahwa jadi lelaki tak boleh cengeng. Ia mengajari bahwa menjadi petarung harus sudah selesai dengan hal remeh temeh.
Jika Ia bicara, bahasanya kuat menghujam palung jiwa. Jangan keluhkan yang orang lain bisa selesaikkan dengan mudah. demikian pesannya.
Bapak kita, bukan hanya suami untuk mama. Tetapi, ia merangkap sebagai guru kehidupan. Ilmunya tak setinggi anak-anaknya. tapi, pengalamannya seluas samudera.
Belajar dari alam, ia ajarkan pada anak-anaknya, bahwa ada siklus kehidupan itu pasti adanya.
Besok adalah masamu, sudah ayah persiapkan dengan menyekolahkanmu. Hadapilah....Demikian, pesan setengah perintahnya.
Sang Matahari, telah menapak setengah abad lebih. Untuk kesekian kalinya, Ibuku khawatir dan mungkin berkata ; Demikian Memutih Rambut BapakMu, nak. Ubannya Bertaburan. Sudah menua Ia.
Dalam diam, batinku bergejolak, memuntahkan larva panas, namun cepat ku teringat dengan dentuman Syair Syahriyar, seorang penyair Persia, untuk menghalau kerisauan Mamaku yang berulang di usia bapak yang angkanya semakin berbilang ; "Biarpun Bapak semakin Menua, cintanya tetap Muda, Ma. Kemudaan itu pun masih belia. Betapa semakin pecinta tua itu, semakin muda cintanya".
Sebab, Uban tak akan pernah menjadi ukuran, yakinlah itu Ma'. Kita pandanglah sisi Baiknya ; Betapa tegarnya sang Pejuang Ini.
Saat orang-orang sibuk dengan time line hari lahir pancasila, dengan badan sekonyong-koyong (belakangan asam lambung menyasar tubuhnya), bapakku masih tetap membelah pagi, menantang terik, mengjapus peluh di senja, demi menggeser nasib.
Mungkin 1 juni, bapakku tak tau itu apa. yang ia tau, anak-anaknya harus sekolah.
Sudah itu saja, sebab jika tak sekolah. maka, nasib sama akan di wariskan.
Jika engkau melihat seorang lelaki membuat segala sesuatu untuk seorang perempuan. ketahuilah, bahwa dia sangat mencintainnya. Jika, engkau melihat seorang perempuan membuat segala sesuatu untuk lelaki. ketahuilah, bahwa ia adalah Ibunya.
Satu hal yang masih terrkang dalam kanvas memori purbaku ialah pesan bapakku : " Bila kau di cubit gurumu bahkan di suruh berdiri di depan kelas dengan sebelah kaki. kemudian, kau datang padaku dengan berurai air mata dan berhiba muka. Maka, degarkan ini ; "Buang mimpimu bahwa aku akan membelamu, tak akan pernah". Engkau anak sulung bapak. Mungkin bapak akan menambah satu lecutan ikat pinggan atau rotan di betismu.
Mungkin, Bapak kita tidak dapat memberikan semua yang kita inginkan. Tapi, percayalah bahwa dia telah memberikan segala hal yang dia miliki.
* Nanti Di sambung
* PenaKoesam- Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:
Posting Komentar