Mengenai Saya

Selasa, 22 Maret 2022

MEMASUNG NALAR KRITIS : TUGAS INTELEKTUAL (RAUSYANFIKR) IALAH KRITIK

Beberapa waktu lalu, setelah HUT TNI, seorang Brigjen Junior Tumilar Di copot dari Jabatannya sebagai Irdam. akibat keberpihakannya Pada Rakyat, yang Tanahnya dirampas Oleh PT. Ciputra Internasional, dianggap Perbuatan melanggar Hukum. 

Tidak berselang lama, di acara Mata Najwa, Gubernur Lemhanas mendaku Tentang Rakyat itu Punyanya Presiden dan Menolak Konsep Kemanunggalan Rakyat dan TNI. tentu pernyataan ini Melukai nurani kita sebagai "Rakyat Jelata". 

Narasi yang dibangun, karena Rakyat lebih dekat dengan Presiden. Sedangkan TNI, tidak dekat pada Rakyat. Sebab, Presiden di pilih oleh Rakyat secara Demokratis. Sementara, TNI tidak pilih oleh rakyat. Olehnya, TNI tidak punya Hak dan kewenangan untuk menjangkau kepada Rakyat, juga terhadap sumber daya sipil di masa damai. 

Heran saja, Kenapa Bisa Orang dengan Struktur Logika Yang Tidak jelas dan Kacau bisa di jadikan sebagai Gubernur Lemhanas. 

Pertama, Gubernur Lemhanas Ini, masih terjebak pada Tafsir Feodalistik, antara Kemanunggalan Rakyat dan Presiden. Sebagaimana Adab sosial Bangsa Nusantara dahulu. Padahal itu Pemahaman manipulatif untuk keperluan feodalisme budaya dan kekuasaan politik. 

Rakyat itu Bukan hamba dan Presiden bukan Tuhan. 

Kedua, Dia lupa, kalau Presiden itu dipilih oleh Rakyat. Lalu, Presiden memilih Panglima TNI. Jadi, sesungguhnya Panglima TNI adalah Representasi Dari Rakyat. Sama seperti Silogisme Soekarno, yang sangat mencerahkan, " saudara-Saudara Tentara, Kalian adalah alatnya negara Dan negara adalah alatnya Rakyat. Jadi, Kalian adalah Alatnya alat". 

Jika pun TNI tidak punya kewenangan untuk berpihak pada Rakyat. Maka, kewenangan tersebut dibikin tidak berlandaskan kejernihan ilmu, kejujuran demokrasi dan jiwa kasih sayang kepada rakyat.

Gubernur Lemhanas itu Lupa, dengan Pekikan Jendral Soedirman, bahwa "Pemimpin negara boleh berganti, kabinet pun boleh berganti tiga bulan sekali. Namun, Tentara tetap berjuang terus bersama rakyat sampai kemerdekaan tercapai 100%. Lebih baik di atom sama sekali daripada tak merdeka 100%".

HORMAT KOMANDAN, pilihan itu sederhana. Menjadi kafir karena takut selain Tuhan atau menjadi Gila, karena berdiri dengan berani dalam keadaan sadar.

**

Pembungkaman sejumlah kritik yang disampaikan melalui mural beberapa waktu lalu, mengajari kita satu hal ; oligarki dan pandemi ini ternyata bukan hanya telah dikorupsi, tapi juga telah diperalat untuk mengerdilkan demokrasi.

Pembatasan sosial kemarin, sebagai bagian dari protokol kesehatan, misalnya, oleh rezim oligarkis banyak disalahgunakan untuk membatasi kebebasan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. 

Jika hal ini dibiarkan terus, apa yang semula hanya merupakan krisis kesehatan, pelan-pelan akan segera berubah menjadi krisis demokrasi yang serius. Atau sudah kah?.

Ada yang bilang, saya kehilangan akal sehat?. Jika saya kehilangan akal sehat, Tidak mungkin saya mempromosikan sesuatu yang tidak saya punya.

Orang bilang itu arogan?. Sebenarnya bukan arogan. Sebab, hal itu adalah determinasi kita untuk menghasilkan generasi baru. Jika kita tidak memiliki determinasi, tidak ada gunanya kita hidup sebagai warga negara, yang ingin melihat perubahan kedepan. 

Duhaii, adinda, Kepekaan itu identitas aktivis, jika kepekaan mati dan kamu masih hidup?. Itu Mirip mobil mogok, akibat kempes semua bannya.

Ada tapi tidak berguna. Saat ini, kita surplus gerombolan aktivis. Tapi defisit kepekaan. 


**


Diprancis sekitar 100 – 125 tahun silam, sebelum ada pemerintahan. Eropa, masih dalam bentuk aristokrasi (berkuasa sendiri). Seorang raja pernah ditanya; Raja, apakah state itu?. Raja menjawab State adalah "saya sendiri”.

Jika hal ini, diterjemahkan secara cepat. maka, semua perilaku raja dianggap perilaku negara. raja sendiri adalah aturan mutlak. jadi, ada pemutlakan secara subjektifitas (raja) dalam kehidupan atau dalam sistem negara (Monarki).

Kehidupan negara-negara dizaman kegelapan eropa itu seakan-seakan hidup di Indonesia dalam bentuk yang lain. Semua carut marut, kealpaan negara dalam beberapa soal yang fundamental: ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan, tersembunyi atau disembunyikan dalam bangunan subjektifitas pemimpin yang begitu kokoh.

Sosok yang dibranding sedemikian rupa dan menjadi mutlak dalam persepsi publik tentangnya. Misal, ada anak SMK yang melakukan demonstrasi atas kebijakan rezim yang dianggap tidak relevan dengan apa yang dia pelajari. Mengaku di Intimidasi (disetrum) oleh oknum penyidik kepolisian untuk mengakui, bahwa ia melempar batu. Kemudian, beberapa penangkapan akibat Mahasiswa-mahasiswa yang mengorganisir diri melawan kebijakan pemerintah yang sudah tidak berpihak pada rakyat kecil, Atau Perampasan hak hidup yang dilakukan pengusaha yang bekerja sama dengan penguasa.

Tidak jarang membawa aparat bersenjata. Bahkan, kadang-kadang preman. Salim Kancil contohnya. nyawannya hilang, akibat protes terhadap hak hidupnya yang dirampas. Berapa nyawa Aktivis WALHI yang hilang, akibat protes terhadap tambang, pengrusakan lingkungan dan masih banyak yang lain.

Upaya untuk menciptakan dominasi. sama halnya dengan memaksa semua orang, berpendapat sama terhadap penguasa.

Dalam Relasi kekausaannya "Michael Foucault": kekuasaan ada dimana-mana, menyebar dimana-mana. Karena bagi Foucault, Kekuasaan bukanlah milik subyek tertentu, melainkan ada dalam diri setiap orang sebagai sebuah strategi.

Foucault menolak konsep dan praktek kekuasaan seperti yang dimaksud "Thomas Hobbes", tentang harus menjadi serigala bagi yang lain atau "Machiavelli", tentang kekerasan sebagai jalur kekuasaan untuk menaklukkan, ataukah maksud "Marx" tentang kekuasaan mendominasi, dari kaum borjuis terhadap kaum buruh.

Dimana ada kuasa, selalu ada resistensi. Namun, resistensi ini tidak pernah ada dalam posisi eksterior dalam hubungan dengan kuasa. Disinilah pengaruhnya Nietzsche tampak jelas pada Foucault. Menurut Nietzsche, kuasa seperti ini sangat lekat dengan dominasi atau represi dan karena itulah kuasa seperti ini selalu menuntut korban atau target.

Semua yang berbeda dianggap bertabrakan. kritik yang terorganisir di labeli anti pancasila, hingga dibubarkan dengan produk perundang-undang yang agak memaksa dan premature. Seolah-olah ada kegentingan yang memaksa. Perlawanan verbal dianggap hate speech terhadap pemerintah (penguasa), diancam bahkan dipidanakan.

Di zaman autokrasi eropa, ada kekuatan yang membentengi kerajaan. Pertama adalah kelompok ningrat (bangsawan) dan kedua adalah kelompok agamawan.

kaum agamawan inilah yang melegitimasi berdasarkan doktrin teologis terhadap praktek autokrasi eropa. Agama, oleh para agamawan menjadi alat untuk mengabsolutisasikan perilaku raja dan pemerintahannya. Titah raja selalu berimpresi absolut. karena, dianggap wakil Tuhan di bumi dalam bangunan doktrin teologis.

Artinya, agama dan agamawan hilang daya kritisnya terhadap kekuasaan yang menyimpang.

Sama persis dengan kondisi indonesia saat ini. kekuasaan, yang selalu mencari pembenaran dalam fatwa, dalam dalil yang di Interpretasi secara serampangan dan ambisius oleh sekolompok ormas dan segelintir Ulama. dalam bingkai itu, kelak pemimpin bisa saja dibikin Ma’sum (suci). Bebas dari dosa politik dalam bernegara. Ada proses tukar tambah: materi dan fatwa agama.

Dulu, Soviet di Era Stalin, juga seperti itu. Dia menyumbat mulut penantangnya dan memasukkannya ke dalam goa. Stalin menginginkan persamaan pendapat, pembungkaman semua yang berbeda dengannya. tetapi, menggunakan kemasan persatuan. Tapi, pada akhirnya kebenaran tetaplah terungkap. Siapapun, tidak bisa mengatur orang berbicara. meski sebagai penguasa. Sebab, kita sudah memilih demokrasi sebagai sistem bernegara.

Setali tiga uang dengan Stalin. rezim Hitler yang Fasis pun demikian, ada Gestapo yang kerjanya mengintai dan menangkap orang-orang yang tidak sepaham dengan NAZI. Yang melawan, yang tak se-Ide adalah musuh. harus di habisi, karena dianggap tidak seirama dengan semangat yang di bangun oleh Hitler. Sebagai Polisi keamanan negara, Gestapo berusaha menangkal jaringan mata-mata atau orang yang dianggap berbahaya bagi negara.


Semuanya, tentu dilakukan atas nama negara, sebab negara boleh mencurigai. Tapi, pada akhirnya Rezim Hitler yang dibangun dari “Ras Unggul” itu kalah.

Jika Ras unggul itu di konversi ke indonesia ialah mereka yang merasa paling pancasilais dan orang lain tidak. mereka yang paling cinta NKRI dan orang lain tidak. Mereka yang paling religius dan menuduh orang lain tidak. mereka yang paling berhak masuk surga dan orang lain masuk neraka.

Kenapa Stalin dan Hitler melakukan itu?. Karena, paranoid terhadap rakyatnya. Persis sama dengan yang dilakukan oleh Fir’aun, Sebagaimana yang kita mahfum dalam beberbagai riwayat di tuliskan, Kisah Fir'aun, yang despotik itu membunuh bayi-bayi. Karena Ia bermimpi akan lahir seorang bayi, yang kelak akan tumbuh besar dan Mengancam kekuasaannya.

Begitupun dengan beberapa Oknum penyidik yang memaksa Lutfi, anak SMK yang melakukan demonstrasi, terpaksa mengakui perbuatan yang dia tidak lakukan.

Rakyat yang pro status qou dianggap kawan, yang melawan dianggap musuh. demikianlah tabiat Rezim Totaliter bekerja sejak dahulu bahkan masih subur hingga sekarang.

Dalam konteks ini, saya melihat ada gejala kediktatoran yang mulai dipraktekkan oleh rezim ini, meski belum cukup “mengganas”. Tapi, jika dibiarkan. maka, akan menjadi “Trend” karena dianggap biasa-biasa saja.

Semua yang memimpin dengan tangan besi akan menghilang seiring perjalanan waktu. Siapapun dan sistem apapun yang digunakan. Saddam Tumbang, Khaddafi Di habisi, Soeharto Turun, Pahlevi melarikan diri, Marcos berakhir.

Dari semua rentetan kejadian ini, faktornya kira-kira satu, yakni memposisikan Rakyat sebagai Musuh. jika rakyat tidak lagi sepakat dengan keputusan penguasa.

Mereka membikin Pemimpin kita, ma'sum, setelah itu di sekitarnya disesaki penjilat yakni orang-orang yang selalu membenarkan pemimpin, meski terang benderang salah. Lalu, berpura-berpura membela derita dan nestapa Rakyat. Pemimpin negeri ini harus sadar bahwa pemujinya, yang ada di sekitarnya itu adalah penggali kuburannya.

Pengkritik itu tidak boleh di bungkam dengan asumsi ini dan itu. Di rezim sebelumnya, kita tidak perlu tunjuk hidung siapa-siapa yang paling lantang berteriak sampai pita suaranya mau putus. entah itu jalur jalanan atau parlemen. Kan tidak mesti, toh sekarang zonannya telah nyaman. siapa yang tidak doyan di kursi goyang sambil menyeruput kopi dan menghisap kretek.

Jika hari ini, Ada juga yang lantang meneriakkan kritik. Tidak perlu marah dan gunakan hipotesa ini dan itu untuk cuci tangan. Harusnya, kita lebih arif bahwa masih ada yang memainkan fungsi control di tengah lemahnya peran legislatif sebagai juru kunci pengawasan. Berkenaan dengan itu, saya ingat penuturan, mantan presiden Zimbabwe, Robert Mugabe ; "ketika Seekor ayam hilang, aroma sup tetangga menjadi penuh kecurigaan. Maka, perlakukan bagian handukmu dengan baik. Karena, bagian yang menyeka pantatmu hari ini, akan menyeka Mukamu esok".

Jika sinisme publik semakin menganga lebar. itu pertanda, ada ketidak percayaan pada kita. Introspeksilah, sebab Kritik adalah evaluasi Pikiran terhadap kenyataan. Kritik berfungsi membongkar, mengurai dan menjelaskan duduk persoalan dengan jelas, agar tidak ambigu.

Namun, Sebelum Kritik, harus melewati Fase inKoherensi dalam Ide. Berat memang, tetapi itu lebih baik ketimbang bertepuk tangan di belakang pantat penguasa. Harusnya kita lebih alergi dengan sandiwara orang yang berpura-pura peduli di layar depan dan mengenakan topeng serba sempurna padahal menginjak.

Kita harus memberi dua jempol pada kejujuran generasi yang apa adanya, sekalipun sedikit genit-genit. Tidak apa-apa, Tiap generasi punya pola dan cara mengekspresikan pendapatnya sendiri. Tidak perlu tegang, sekarang Era digital. Perlakukanlah mereka sesuai zamannya.

Dalam negara Komunis dan Totaliter. Ada kesempatan menyebut "Negara adalah Aku". Karena rezim tidak berganti. Mereka tidak di beri batas waktu. Mereka subjektif, tangan besi, anti kritik dan anti pikiran. Indonesia bukan negara Komunis atau totaliter. Tolong singkirkan pikiran dan paham totaliter dari bumi ini.

Mereka menyangka kritik merupakan letupan kemarahan. Padahal sesungguhnya, kritik adalah sikap mencintai sesuatu dengan tidak menerimannya serta merta. Jadi, jika saya pernah mengkritiki salahmu. Itu adalah isyarat yang mengindikasikan bahwa saat itu, saya sedang mencintaimu sedalam-dalamnnya. Tapi, ajaibnya banyak yang tak tahu itu.

artinya Mengkritisi itu boleh bahkan harus. Menganggap diri paling benar, jangan. Menghina juga, jangan. Mungkin kita, termasuk saya. baru pandai mengendarai motor 150 cc. Tapi, sudah menepuk-nepuk dada, ingin mengajak balap mereka yang mengendarai motor Ducati 1.500 cc. Congkak itu, kebanggaan semu.

Entah sudah berapa banyak kitab yang mereka baca, banyak masa yang mereka lalui untuk berguru dengan khidmat. Lalu, kita yang baru siuman dan menganggap diri sudah hijrah, berani menghina mereka hanya karena merek odol gigi yang berbeda. Berbasis remeh temeh.

Kita Niscaya memberi Semangat kepada generasi. Sebab, kepedulian memang tidak bisa dipelajari di ruang kelas. Ia hanya bisa dipahami di panas terik jalanan. panjang umur perjuangan. Karena pada cara bernalar, terletak kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka, manusiawilah sejak dalam pikiran.

memang banyak aktivis yang bermetamorfosis menjadi penjaga kekuasaan yang timpang. Dengan cara itulah mereka merusak bangsa ini. Aktivis jadi pragmatis. Kampus jadi kuburan massal. Feodalisme masuk ke kantong-kantong pemulung Ilmu. Kritisisme hilang ditelan tsunami oportunisme. OKP jadi lembaga arisan, ketua-ketua umumnya memperkosa kekuasaan. 

Lunglai. Dunia jalanan jadi sepi. Ruang kelas tidak lagi dialektis, diskusi hilang. Jika ada yang mengidentifikasi dirinya adalah pancasila atau bukan. Soal pengamalan pasal-pasalnya nanti dulu. Keadilan sosial mejadi yatim piatu. 

(Tulisan pernah diMuat diSalah Satu Media On Line).

**

Saya ulang beberapa pernyataan diatas, bahwa Kritik adalah evaluasi Pikiran terhadap kenyataan. Kritik berfungsi membongkar, mengurai dan menjelaskan duduk persoalan dengan jelas, agar tidak ambigu. Selain itu, Kritik pada Dasarnya berdimensi cinta. Sebab, Hanya Cinta Butalah yang menerima sesuatu secara serta merta. (Baca : Taqlid).

Mengurai, menerangkan dan mendudukkan Problem adalah Tujuan kritik. Namun, kritik itu niscaya berurat akar pada inkoherensi dalam alam pikir. Jika tidak, maka bunyinya nyaring. Tapi, kosong melompong. 

Hal itu tidak mudah, sungguh berat. Apalagi, diera Big Data, Medsos dan jejaring Maya  yang mewabah ke hampir semua Lapisan. Namun hal itu, masih lebih bermartabat ketimbang bertepuk tangan dibelakang pantat kekuasaan. 

Tapi ingatlah, yang mesti dijadikan alas pikir argumentasi : pertama, Setiap orang berpotensi sebagai guru kita. Kedua, semua orang, darimana pun ia berasal, dari berbagai latar belakang pendidikan apapun, yang ia miliki. bila ia menyampaikkan hikmah atau kebenaran. maka, harus kita terima. 

Dua kalimat diatas adalah dua kalimat yang sering sekali kita dengar. Maknanya universal. Semua komunitas manusia dibumi yang bulat ini, dipastikan akan setuju. Anjurannya sangat baik dan inspiratif. Mengajak kita untuk "haus" kebenaran dan mengajarkan kita untuk rendah diri. Tidak sombong dalam melihat, siapa yang menyampaikkannya. 

Namun, kita juga harus mempertimbangkan hal lain, yakni Otoritas. Kewenangan keilmuan. Kelayakan sumber dan bisa dipertanggung jawabkan berdasarkan kompetensi yang dimiliki.

Tersebabkan itulah, ketika ada audisi lagu dangdut. maka, penyanyi hebat, seumpama Elvy Sukaesih dan Bang Oma Irama, dianggap lebih layak memberikan "Peniliaan". Dibandingkan Ermi Kulit dan Iga Mawarni. Walaupun dua nama terakhir ini juga penyanyi hebat. Sama-sama punya nama besar. Tapi, Ermi Kulit yang punya suara "Mendesah" dan Iga Mawarni si suara "berat" itu lebih memiliki kopetensi dimusik pop, khususnya Jazz.

Maka, bila ingin mendebati dan mengkritisi ekonom indonesia, khususnya berkaitan dengan Rasio hutang negara ini. yah, perbanyak membaca pendapat-pemdapat ekonom indonesia yang otoritatif. Lalu, apapun kesimpulannya, terserah.

Bila ingin menelaah Suriah. maka, perbanyak membaca tulisan-tulisan pakar yang konsen dengan Geopolitik Timur tengah. Apapun kesimpulannya nanti, terserah anda. 

Itulah Tugas Anak Muda, Tugas Intelektual. Maka, jangan terlalu cepat berfikir arif dan bertindak bijaksana. Tugas anak muda, memang mendobrak kejumudan dan menjebol kemapanan. Jika mereka salah. toh, mereka masih muda. 

Biarlah yang arif dan bijaksana itu para orang tua. Yang belakangan terjadi, justru dalam Terma Gus Mus " banyak anak-anak muda yang terlalu cepat "mengkiaikan diri". Akhirnya, mereka sibuk mematut-matut diri agar tampak seperti seorang kiai, mulai dari cara bicara hingga cara berpakaian".

Bangsa ini butuh anak-anak muda yang bertenaga, disamping orang tua yang bijaksana.

Pikiran itu bukan aurat. hingga, niscaya dihijabi. Biarkan, ia telanjang. Sebab, tidak seorangpun dapat dihukum karena pikirannya dialam demokrasi. 

Pikiran yang dihijabi. hanya, akan melahirkan tikus, kucing, anjing, sapi, babi. Bukan Manusia. Pikiran yang Telanjang itu Inklusif, ia Niscaya Terbuka. Terbuka dan bebas itu berbeda. Bebas sama dengan Nir Nilai sedang terbuka berurat akar pada Nilai. 

Olehnya, Janganlah menentang Kritisisme. sebab, itu adalah kanal pikiran dan perbedaan. Apabila disumbat, itu seperti membuat tanggul bagi air yang selalu mengalir yang mencari titik terendah untuk diisi dan dikoreksi.

Lihat saja tanggul, bisa jebol dan tumpah ruah menjadi bencana bagi kita semua. 

Perlunya kekuasaan yang dewasa dan berwajah ramah. Buat apa menggunakan kekuasaan untuk mengancam dan menekan. Sadarlah, bahwa rakyat adalah tenaga yang permanen dalam sejarah bangsa ini. Kalau ditekan, akan berbalik dengan keras.

Disamping itu juga, Menghilangkan perbedaan demi alasan persatuan sekalipun, adalah alasan salah secara logis dan berbahaya secara sosiologis. Karena, bukan persatuan yang penting, tapi dasar yang melandasinya yaitu perbedaan. Persatuan adalah alat keamanan negara. Sedang perbedaan adalah dasar hidup warga negara.

Sebab, Kejujuran itu ada dalam perbedaan. Itulah mengapa, Pendahulu kita menamakan Negeri Zamrud Khatulistiwa ini sebagai INDONESIA.

**

Peradaban dimana pun selalu diawali, dengan kemerdekaan berfikir. kemerdekaan berfikir, hanya bisa terlahir dari orang-orang yang tercerahkan (insan kamil). siapakah orang yang tercerahkan itu?. Ia  adalah anak manusia, yang tidak mengkapling kebenaran dan kesucian. selalu membaca dan berdialektika dengan semua ilmu pengetahuan, yang bermanfaat bagi ummat manusia. lalu, endingnya yang ia temukan adalah kebijaksanaan. kebijaksanaan adalah dimana kita damai dengan segala perbedaan pendapat. 

Berialah terus nutrisi dengan membaca pada akal secara terus menerus, hanya dengan begitu kita menunda kematian dini.

Lawan. Sebab, berani tidak akan mengurangi umur. begitu pun, dengan takut tidak akan membuat umur bertambah. kisah orang berani dan pecundang, tetap di kubur di dalam tanah yang sama. Jika demikian, kenapa Kita pro terhadap Status qou?.


(1)

* Pustaka Hayat
* Rst
* pejalan Sunyi
* Nalar Pinggiran













Tidak ada komentar:

Posting Komentar