Salah satu hal yang paling ektrem dalam hidup saya adalah saya pernah dan barangkali masih menjadi Agnostik. dalam terminologi yang lebih keren dan tidak terlalu horor, lebih tepatnya mencari jati diri dan mencari tahu Tuhan, yang sampai detik ini belum juga tuntas ku temukan.
Agnostik itu tidak sama dengan atheis. anggapan yang menyebutkan bahwa Atheis itu memusuhi Tuhan, maka hal itu tidak logis. Sebab, bagaimana mungkin dia memusuhi Tuhan sementara Ia tidak punya Konsep tentang Tuhan. Atheis itu orang yang tidak punya konsep tentang Tuhan. Sedangkan Agnostik adalah mereka tidak tahu apakah segala perbuatan baiknya bisa masuk surga atau tidak. Karena mereka menganggap berbuat baik itu adalah tuntutan manusia. Bukan tuntutan agama.
Semua orang yang berada didalam kondisi agnostik - Tidak tahu, selalu berupaya mencari Tahu ; mengapa yang tidak ada itu selalu di kejar. Artinya orang Agnostik selalu berada di dalam kondisi bertanya, bertanya dan bertanya.
Bukankah sesuatu yang kita tidak tahu, bisa di cari tahu. Tetapi, mengapa Agnostik ini tidak mencari tahu?.
"justru, agnostik selalu mencari tahu, tentang status manusia, status alam semesta dan kondisi Ketuhanan. Jika mereka tahu sesuatu itu ada, maka tidak mungkin mereka menjadi agnostik - tidak tahu. karena mereka anggap, jika mereka "Tahu". Maka, mereka telah sampai - Final. Tetapi, Mereka menduga orang lain menginginkan mereka (Orang agnostik) sudah sampai. Padahal, orang yang menduga tersebut, tidak bisa juga menjelaskan apakah mereka telah sampai di titik puncak. Karena itulah, agar aman, maka orang agnostik menyatakan dirinya belum Tahu atau - Belum sampai Final".
Apa yang membuat orang agnostik Belum tahu?.
"Siapa yang pernah pergi ke hari akhirat. Iya, ada di Kitab suci menjelaskan hal itu. Tapi, kita sendiri belum punya pengalaman dengan hal itu. Pun kalau ada orang yang pernah mengalami hal itu, Tidak bisa dia subsidikan pegalamannya kepada Orang lain".
Hari akhir - Surga dan neraka, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Dia menjadi ada, karena ada yang mengadakannya, yaitu Tuhan. Maka, sebelum kita percaya Surga dan neraka, kita harus percaya Tuhan terlebih dahulu. Apakah orang agnostik sudah mencari Tahu, kira-kira Tuhan itu ada atau tidak?.
"Sekarang pertanyaannya adalah, kenapa harus di jawab sekarang. Padahal orang sedang mencari tahu. Sebab, kalau ada pilihan, mengapa harus di jawab sekarang. Misalnya, jika orang sedang berupaya membayangkan Gunung itu puncaknya, ada es. Maka, dari sekarang dia siap-siap memakai baju Es. Di perjalanan, dia lihat ada matahari, lalu otaknya berpikir. Pasti ada pencairan es diatasnya. Maka, dia mulai lepas baju yang terlalu panas. Artinya, mereka menemukan keindahan itu di dalam perjalanannya.
Demikian juga cara orang agnostik melihat akhirat. Maka, selama perjalanan itu, semua hal dia lihat, kecuali puncaknya karena mereka sedang berjalan menuju puncaknya. Sekalipun dalam pandangan Orang yang tahu dan percaya, bahwa di puncak gunung itu akan selamanya mempunyai es".
**
Barangkali saya perlu ceritakan, logikanya : "ada saya dan ada milik saya". Misalnya, Hp, jam atau motor. Hal di sebut milik saya, karena saya mengakuisisinya dari luar diri saya, ke dalam diri saya. Sedangkan, diri saya, bukan sesuatu yang saya aquisisi. Karena, saya adalah sesuatu yang di Ciptakan oleh Tuhan.
ketika saya melihat daging dibadan saya. Ini sesuatu dari diri saya atau sesuatu yang saya akuisisi dari luar diri saya?. ternyata, itu sesuatu yang saya aquisisi dari luar diri ke dalam diri saya, (saya makan, dan minum, kemudian berproses menjadi darah, daging dan tulang).
Lantas, jika demikian, apakah pengetahuan di akal saya adalah benar dari diri saya atau sesuatu yang saya akuisisi dari luar diri saya. Ternyata, pengetahuan tersebut, saya dengar dan dapatkan dari luar diri saya. sumbernya, tentu banyak, seperti membaca dan mendengarkan. Semua itu, saya akuisisi ke dalam diri saya.
Jika kita konstruksi pada segmen agama, sampai saya bisa bersyahadat. Bukankah hal itu juga merupakan sesuatu yang saya dapat dari luar diri saya. Jika tidak, saya bertanya lagi pada diri saya. Apakah Yang bersyahadat itu saya atau sesuatu yang saya akuisisi (Milik saya). Kalau yang bersyahadat adalah milik saya. maka, sesungguhnya saya tidak pernah bersyahadat. Karena, saya hanya meng-akuisisi syahadat itu dari luar diri saya.
Jadi, sebenarnya saya belum beragama atau berislam. Saya hanya mengadopsi konsepsi keagamaan atau Keislaman. Saya belum bersaksi, saya hanya mengadopsi konsepsi bersaksi dari luar diri saya. Sebab, kalimat persaksian yang benar-benar adalah bukan hanya sekedar percaya pada Tuhan atau Nabi Muhammad SAW. Bukan mengakuisisi kalimat persaksiaan tersebut. Tetapi, benar-benar kita menyaksikan Tuhan dan Nabi Muhammad SAW.
Waktu itu, Saya benar-benar berangkat dari ketidakTahuan. Karena, semua yang membuat saya percaya, bukan dari diri saya. Tetapi, saya mengakuisisinya dari luar diri saya. Saya sampai pada pertanyaan : "apakah Yang bersaksi adalah saya atau sesuatu dari luar diri (saya mengakuisisinya)?.
Proses ini cukup panjang. Di bawah saya akan mengurainya pertanyaan-pertanyaan yang lebih seksi. Karena, analisis waktu harus menggunakan akal. Tidak menggunakan rasa. Sebab, Triggernya akal adalah Kausalitas (Sebab akibat).
Gegara pertanyaan itu, saya menggelandang dari satu tempat kajian ke tempat kajian lainnya di makassar, cukup lama. Karena pikiran Utilitarianisme, sehingga kadang-kadang pulang rumah. saya pulang rumah itu bukan urusan saya mau masuk islam, ini murni urusan survive, daripada menggelandang, seperti orang tidak jelas. Singkat cerita, setelah cukup lama saya menggelandang, akhirnya saya bertemu dengan banyak orang untuk diajak berinteraksi Dan sering mendengarkan kajian-kajian kakak dan teman kakak saya, bahkan guru kakak saya, seorang ustadz dan sampai kini saya cukup Takzim pada beliau, saya pun memanggilnya Guru juga.
Setelah ada kesempatan saya bertanya padanya, untuk di beritahukan Logikanya. Sebab, saya cukup lama membaca dan belajar logika dan filsafat.
Saya tanya, salah satu kegamangan yang menganggu : "benarkah, Tuhan Maha Adil. Sebab, saya melihat agama sebagai suatu sistem. Sedangkan, Syarat dari sebuah sistem untuk menjadi benar, Ia harus valid atau kongruen. Maksudnya, tidak ada dua steatmen yang saling berlawanan (Kontradiktif). Saya tanya, tema besarnya dulu pada Beliau : "Tuhan itu Maha adil atau Tidak?. Jawab, guru saya ia, maha adil. Setan itu Masuk neraka atau tidak?. Jawabnya, Masuk neraka. Setan berkembang biak atau tidak?. Jawabnya, iya, berkembang biak. Nanti ada hari akhir atau tidak?. Jawab Guru saya, Iya ada.
Bukankah, Semua pertanyaannya saya merupakan steatment agama. Beliau menjawab iyaa.
Jika setan berkembang biak. Lalu dia punya anak. Setelah setan punya anak. Tetapi, Kurang satu detik terjadi kiamat, sedangkan anak setan belum melakukan dosa. Apakah dia masuk neraka atau surga?. Jika anak setan itu masuk surga, maka Tuhan salah dengan steatment awalnya. Jika anak setan masuk neraka, maka Tuhan tidak adil, karena anak setan belum melakukan dosa.
Jawaban Ustadz tersebut luar biasa membuat kepala saya sedikit Puas. jawabannya tidak menggunakan logika hitam putih (Dogmatis). Jawaban Guru saya tersebut, menggunakan logika murni.
"Oke, adinda telah mengkonstruksi sebuah logika yang sangat valid. Tetapi, semua logika itu berdasarkan data yang engkau miliki". Betul ustadz, jawab saya. "Tetapi, jangan lupa semua data itu punya asumsi, baik yang di sadari atau tidak disadari". Betul ustadz, jawab saya.
"Jika demikian, Saya tanya balik pada adinda, menurutmu, setan berkembang biak seperti apa?". Wkwkwkw... Dijungkir balikkan logika saya. Sebab, saya berasumsi, proses perkembang biakan setan itu seperti proses perkembang biakan manusia. Saya juga tidak tahu, ustadz. bagaimana setan berkembang biak. "Nah, itu masalahmu, misalnya setan berkembang biak dengan membelah dirinya, bagiamana?. Jadi, mahkluk baru yang melakukan dosa seperti mahkluk sebelumnya".
Saya seperti ditampar, saat mendengarkan penuturan tersebut. Artinya, ketidaktahuan saya mengetahui komperhensi agama, waktu itu, tidak datang dari limitasi agama. Tetapi, datang dari pemahaman dan data yang saya miliki.
Dalam sistem agama, kita harus masuk pada aksioma. Ihwal Itulah, sehingga dalam agama, yang saya tinggikan posisinya sampai detik ini ialah Al-Qur'an. Kalau hadist, saya kadang-kadang masih ragu. Di banding hadist, saya lebih percaya Piagam madinah. Sebab, piagam madinah di pegang lansung oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga saya bisa melihat bagaimana keputusan Nabi disitu. Sedangkan Hadist, punya rentan waktu sekitar 1500 tahun baru dikumpulkan. Hal itu tidak menutup kemungkinan, terjadi distorsi, saya tidak menyebut hal itu salah. Tetapi, ada probability yang tidak akurat. Sekalipun, saya punya data Soal Hadist yang kevalidannya tidak diragukan.
Tetapi, kalau bicara Al-qur'an dan Piagam madinah. Al-Qur'an pasti lebih tinggi. Probability akurasinya sangat tinggi. Saya hanya perlu percaya 100 persen terhadap Al-Qur'an, yang perlu saya ragukan adalah pemahaman saya terhadap Al-qur'an. Jadi, interpretasi saya terhadap tafsir, itu berbeda terhadap interpretasi saya terhadap Al-Qur'an. Sebab, Tafsir itu produk pemahaman, dan saya juga punya hak untuk menafsirkan. Tetapi, belakangan saya tidak begitu tertarik pada tafsir, saya lebih tertarik untuk mentadabburi Al-Qur'an.
Saya umpamakan seperti wudhu : kalau Al qur'an itu air mutlak. Kalau tafsir itu air Musta' mal (air bekas orang). Jadi, saya harus mengumpulkan banyak lagi air untuk bisa berwudhu, jika menggunakan Air musta'mal. Tetapi, saya juga mempertimbang apa yang diberikan Tuhan kepada saya, yaitu akal, pengalaman dan pemahaman Dan saya harus bisa berubah setiap saat, serta siap menjadi salah.
Makanya, pemahaman agama saya Dinamis. Bukan Tauhidnya, yah. Demikianlah, kalau kita mencari koherensinya, Sebab, Al-qur'an menurutku representasi utamanya adalah representasi trust (kepercayaan). Bukan soal data saja.
Saya melihatnya sebagai sebuah sistem. maka, saya bisa menemukan bentuk Al-qur'an dalam alam semesta. Yang kerap membuat saya takjub, hal itu acap saya lakoni saat Traveling dan mendaki ke gunung, ke pantai dan kemana saja. saya menemukan : Ohh, ini ayat Al- qur'an betulan ini. Jadi, hal itu membentuk sebuah kaca mata paradigma. saya melihat agama ini sebagai model paradigma untuk memandang jagat diluar diri saya. Artinya, bukan kepercayaan kepada data saja. Tetapi, sebagai sebuah komperhensi yang menjadi kaca mata untuk melihat dunia lebih apa adanya.
Lebih apa adanya ini adalah garis bawah sadar. Karena, jika saya melihat dunia dengan pendapat, berarti itu bukan saya. Misalnya, kata Al-Qur'an : "orang yang paling baik adalah orang paling bermanfaat untuk orang lain". Ini kalimat yang sederhana. tetapi, kalimat ini kunci dalam membangun sebuah peradaban.
Kita melipir sejenak, pada analisis Sosiologi. Kenapa tatanan sekarang rusak, karena Society itu adalah emergency dari society. Maksudnya, society itu baru bisa terjadi jika ada komunikasi atau Sosial itu baru akan terjadi jika ada percakapan. Mau dia 2 atau 3 orang atau 10 orang. Nah, hasil dari percakapan itulah disebut trust distribusi (distribusi kepercayaan). Misalnya, kalau urusan bikin kopi, si A orangnya. Kalau urusan bengkel, si B orangnya. Kalau urusan teknis Si C orangnya. Begitu seterusnya.
Dalam sosial, agar berjalan stabil. Kita perlu distribusi kepercayaan. Nah, yang paling banyak mendapat kepercayaan, itulah yang akan menjadi pemimpin. Efek lainnya ialah generasi selanjutnya akan mencopy pada orang yang paling di percaya. Artinya, siapa yang saya percaya akan mempengaruhi diatasnya dan akan mempengaruhi generasi selanjutnya, serta akan mempengaruhi evolusi peradaban.
Dulu, di dalam sebuah komunitas kecil. Kita ketemu orang secara lansung, kita bisa tahu mana orang baik dan tidak baik. Sehingga komunitas kecil tersebut, relatif lebih sehat jalannya. Tetapi, kalau komunitasnya sebesar indonesia, pasti kita pusing. Kita tidak bisa tahu, tokoh A itu baik atau tidak. Tokoh B itu baik atau tidak. Kita perlu parameter lain.
Nah, Sekarang parameter kebanyakan orang diruang publik adalah "like, follow dan subsribe". Misalnya, kalau kita punya Twitter, ada yang mentions kita, dengan Followers 10 ribu dan followers 1000. Yang kita balas yang mana?. Berdasarkan riset saya, Tentu yang dibalas adalah yang 10 ribu. Artinya, kita didorong untuk mendistribusi kepercayaan pada yang punya populisme. Efeknya, yang lebih diatas yang lebih populer. Akibatnya generasi berikutnya, akan lebih pandai mencari popularitas ketimbang menjadi bermanfaat. Jadi, jangan kaget, jika society semakin hancur. Jangan kaget, jika semakin pintar orang bersolek, bukan semakin pintar bermanfaat.
Saya justru berpikir, kenapa kita tidak membuat sebuah sistem seperti itu. Sebab, kita tinggal hanya membuat parameternya secara universal, yang kita setujui, untuk bisa mengukur kebermanfaatan. Saya tidak bermaksud, bahwa ketepatan akurasinya seperti ketepatan akurasi Malaikat Roqib dan atib, tidak harus seperti itu juga. Tetapi, etis kita untuk dijadikan sebagai gaet kebermanfaatan orang, ketimbang sekedar populisme.
Jika Kita melakukan itu, insya Allah 3 generasi akan lebih baik. Society akan berjalan sehat.
Harus diakui secara jujur, Memang sekarang belum ada ruang publik yang membangun itu, karena memang publik digital tidak di desain untuk membangun bahwa kita niscaya bermanfaat untuk orang lain. Karena, publik digital dibangun untuk cari cuan, duit.
Padahal, Sebenarnya, orang masih menyakini bahwa yang paling baik adalah yang paling bermanfaat. Tetapi, masalahnya adalah orang-orang mencitradirikan dirinya sebagai yang paling bermanfaat. Makanya, give away itu paling enak cari followers dan Like.
**
Dalam kondisi Bingung tersebut, pertanyaan-pertanyaa sejenis bermuculan secara simultan. Misalnya, Allah yang kita sembah, yang kıta sujudi, yang kita mengangkat tangan kepada-Nya, sebenarnya apa dan siapa?. kalau Dia hakikat, hakikat itu isinya apa?. materi atau non-materi?. kalau non-materi, seperti apa? Kalau Dia Esensi, esensi itu maksudnya apa? ada unsur-unsur apa di dalam Esensi itu?. katanya Dia dzat, kalau dzat isinya apa? ada unsur-unsur apa aja di dzat itu? Dia adalah wujud (bukan mawjud), ada unsur apa di dalam wujud itu? Kalau Dia wujud ada bentuknya atau tidak? Masa wujud ada bentuknya. Kalau begitu wujud itu apa? Kekosongan? Kalau Dia dianggap energi, karena Dia ada di mana-mana, energi itu bentuknya seperti apa? ada unsur apa aja di dalam energi itu? Katanya Dia tidak serupa dengan seluruh ciptaannya, Ya, tapi harus ada penjelasan, maksudnya tidak serupa dengan makhluk, karena Dia dzat, esensi atau hakikat, itu apa?
Kita sering dengar "tenang saja, ada Allah, Allah bersama kita", "Allah tidak tidur", "Allah melihat kita, (tapi melihatnya Allah tidak sama dengan kita)", "Allah pasti mendengar kita (tapi mendengarnya Allah tidak sama dengan kita)", atau ungkapan "Allah punya rencana yang lebih baik untuk kita". Hal Itu akan memunculkan persepsi atau pemahaman bahwa Allah itu semacam "entitas" atau wujud (berbentuk?) atau semacam "supra-makhluk" atau "ekstra-makhluk". Ataukah Allah itu semacam "kekosongan abadi" atau "kehampaan abadi", betulkah begitu? tapi kehampaan abadi itu maksudnya apa? bagaimana menjelaskannya?.
Saya Mengingat dan menuliskan semua Kegamangan pencaharian tersebut. Tetapi, beberapa kawan menyatakan, tidak apa-apa asal tidak mengurangi keimanan kita kepada Eksistensi-Nya. Lantas, Eksistensi itu apa? Apakah kita sudahi saja dan memilih mengimaninya saja?
Setelah pertanyaan-pertanyaa begitu menganggu di kepala, saya membuka ruang diskusi dengan beberapa kawan. Kata kawan saya, yang juga cukup lama membersamai Literatur - literatur Filsafat dan Khazanah Islam, "Setiap kita menyakini, kalau kita dilahirkan oleh seorang ibu dari percampuran ovum ibu dan sperma bapak kita (begitu setidaknya tesis ilmiah tentang asal mula kita). pertanyaan tentang sebuah keyakinan kadang wajar saja ; apa benar kita anak biologis kedua orang Tua kita?. Bagaimana proses awal kejadiannya, pembuhan dan terbentuknya?. Pengetahuan tentang proses, cerita, rasa bahkan tentang organ-organ yang terkait, masih bisa dijawab secara ilmiah. Tetapi apa perlunya kita menyaksikan bentuk kelamin real mereka, tempat kita brojol, bukti artefak kelahiran kita dan hal-hal yang saya yakin tidak menambah apapun dari rasa hormat, bakti dan khidmat kita kepada mereka, justru akan menjadi su'ul adab pada mereka. Ada ungkapan dari orang-orang arif menyampaikan pertanyaaan-pertanyaan yang justru tida menambah keimanan atau ketakwaan kita itu termasuk bisikan - bisikan yang bisa jadi menjauhkan kita dari esensiNya".
Kawan saya Abai, bahwa ilmu pengetahuan selalu berangkat dari pertanyaan - pertanyaan kritis. Di dalam dialektika Kritis, ada diskusi, ada debat, bahkan dengan Guru - Guru kita sekalipun (tentu saja dengan cara yang baik). Nah, soal memvalidasi gen kita, tidak perlu repot-repot melihat tempat kita Di lahirkan. tinggal tes dna saja.
Pertanyaan soal mahiyah (ke-apa-an) dalam ketuhanan memang sejauh ini dalam pemikiran filsafat islam dan tasawuf pun tidak bisa menjawab pertanyaan itu layaknya menunjukkan bercak hitam di atas kertas putih (via positiva). Alih-alih menjawab, yang ada kita diajak mendiskusikan itu oleh pemikir Islam terdahulu, melalui via negativa (teologi negatif), seperti di kasus Ibn Arabi dengan "tasybih dan tanzihnya". Bahkan, Moh Iqbal pun dengan filsafat Khudi nya (ego) yang sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan itu person, hanya bisa mendiskusikan keber-ada-an dan ke-apa-an Tuhan dengan proses penciptaan (kreasionisme-non-kreasionisme). Lagi-lagi, saya kurang puas atas jawaban-jawaban tersebut. Hanya saja, karena ini berada di ranah Ontologi, keberadaan itu "ada" meski kita melihatnya seperti kehampaan.
Sependek pengetahuanku, untuk sementara, hanya itu saja jawabannya (asy’ari, ghazali, muktazila, Ibn rusyd dan Ibn arabi). tapi, banyak orang modern belum puas atas jawaban tersebut. ketidakpuasan demikian merupakan ciri dan atau keharusan revolusi yang dibicarakan "Thomas Kuhn"., bahwa Hadirnya banyak ilmu pengetahuan modern menyebabkan pergeseran pradigma. Sufi-sufi terdahulu pada masanya, seperti Ibn Arabi, diklaim mampu menjelaskan secara rasional pengalaman sufistiknya sehingga oleh ibn arabian disebut tidak subjektif lagi. Tapi sekarang, pengalaman kasyaf demikian dianggap neurosis oleh Barat, karena memang Barat bertolak dari epistemologi yang berbeda, sehingga prinsip ontoloisnya berbeda, dan aksiologisnya pun akan beda.
Artinya, Keilmuan keislaman saat ini apakah bisa menemukan metode baru untuk bisa 'memuaskan' pertanyaan soal ketuhanan kepada manusia modern?. Saya pikir inilah tantangannya, mengingat setiap orang (di luar Islam) dan ruang mempunyai horison dan praunderstanding yang berbeda-beda (bahasa Gadamer).
Sebab, Semua pertanyaan itu sudah dijawab oleh ahli kalam dari ahlussunnah wal jama'ah. Bermula dari firman Allah, "Tidak ada yang menyerupainya segala sesuatu apapun". Sehingga apa saja yang terpikirkan atau yang diduga oleh pikiran manusia terhadap dzat Allah dipastikan itu bukan dzat Allah. Karena akal manusia adalah hadits (sesuatu yang baru), maka semua yang terekam di dalam akal, semuanya tentang mahluk. Sedangkan dzat Allah tidak serupa dengan mahluk. Sehingga kosong pun adalah mahluk. Bentuk pun ciri mahluk. Hampa juga mahluk.
Ihwal itulah, Sehingga para ahli kalam berkata : "Dzat Allah ada dengan tidak ada kaif". Tidak ada kaif maksudnya tidak bisa digambarkan secara visualisasi dan tidak bisa dideskripsikan secara verbal. Karena akal manusia itu hadits sedangkan dzat Allah qodim. Akal manusia belum memiliki pengalaman merekam sesuatu yang qodim.
*Pustaka Hayat
*RST
*Nalarpinggiran