Mengenai Saya

Minggu, 02 Mei 2021

HAKIKAT PUASA ADALAH MENGAPAI DERAJAT TAQWA (JALAN SUNYI) - Bagian Pertama-



Alkisah, ada seorang Kiai yang memiliki empat santri dengan Tabiat dan karakter yang berbeda-beda. Pak Kiai pun memberi penilaiaan yang berbeda-beda.

Suatu hari, ketiga dari empat santri tersebut menghadap Pak Kiai untuk mengutarakan keluh kesahnya. Kata salah satu dari ketiga Santri tersebut, "Pak kiai, sebelumnya kami mohon maaf, kami mau bicara. Begini Kiai, kami bertiga merasa di bedakan oleh Kiai dengan Si Fulan (Santri yang satunya). Bukankah, kita sama-sama santri. Tetapi, mengapa Pak Kiai lebih perhatian dan lebih dekat dengan Si Fulan?".

Dengan wajah lembut dan sinar mata redup, yang menambah kewibawaan, Pak Kiai berkata, " aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Tetapi, tolong sembelilah burung merpati ini, kapan saja dan dimana saja, asal tidak ada yang tahu".

Akhirnya keempat santri tersebut masing-masing mendapat satu ekor burung merpati. Santri A, ia masuk hutan dan memastikan, bahwa tidak ada seorang pun yang melihatnya. Maka, di sembelilah burung merpati itu. Santri B, ia turun ke dasar jurang sambil menengok ke kiri dan kanan dan merasa tidak ada yang melihat, di sembelihlah merpati tersebut. Santri C, ia naik ke atas gunung dan merasa aman, serta tidak ada yang melihatnya, maka Di sembelilahlah burung merpati tersebut.

Anehnya, Santri D (Yang di Prioritaskan oleh Kiai), tampak kebingungan. Ia menapaki gunung, keluar masuk Hutan dan menuruni dasar jurang. Tetapi, burung merpati yang di bawahnya masih tetap hidup. Si santri tersebut, akhirnya duduk termenung dengan merasakan beban yang berat, mungkin merasa kecewa dan sedih, karena tidak bisa melaksanakan perintah sang Kiai.

Kemudian, keempat santri tadi kembali menghadap sang Kiai. Ketiga santri tersebut menghadap Kiai dengan wajah ceria dan gembira, barangkali karena telah melaksanakan perintah sang Kiai dengan baik. Sedangkan, santri yang satunya hanya diam dengan perasaan bersedih.

Tanya Kiai, " bagaimana, sudahkah kalian menyembelih burung merpati tersebut?".

Jawab ketiga Santri : "Sudah, kiai". "Apakah ada yang melihat kalian?", tanya kiai Lagi. "Alhamdulillah, Insya Allah tidak ada, Kiai. Sebab, kami sudah menapaki Gunung, turun lembah, serta masuk hutan dan semak belukar", pungkas ketiga santri.

Tiba giliran Kiai bertanya pada Santri yang tetap membawa burung merpati dalam keadaan Hidup : "mengapa burung merpati itu tidak kamu sembelih?".

"maaf, kiai. Saya sebenarnya sudah naik turun jurang, menapaki gunung, masuk hutan dan semak belukar. Serta sudah ku pastikan bahwa tidak ada seorang pun disana. Tetapi, dimanapun saya berada, dimanapun saya sembunyi : Allah SWT pasti melihat Saya".

Dengan senyum sumringah yang sejuk, akhirnya Kiai berkata dan memberi Nasihat kepada semua santrinya, "itulah yang membedakan diantara kalian".

Berdasarkan Kisah imajiner diatas, sebenarnya ada dua kategori kepatuhan manusia :

1. kepatuhan Primitif, artinya manusia takut berbuat dosa dan kedzoliman, bukan karena Allah SWT melihatnya. Tetapi, mereka takut hanya karena di lihat manusia, sehingga ketika tidak ada manusia yang melihat, pasti timbul Niat jahat.

Menurut 'Habib Abdullah Haddad' dalam Kitabnya 'Risalatul Mudzakaraah', bahwa orang yang hidupnya penuh kepura-puraaan adalah orang yang terperdaya, sehingga ketakutannya bukan karena Allah. Tetapi, karena Manusia.

2. Kepatuhan Objektif, artinya manusia takut berbuat dosa dan kedzoliman, serta patuh menjalankan tuntunan agama atas dasar kesadarannya yang tumbuh dari keimanan dan ketaqwaannya. Sehingga akhlaknya selalu terjaga, baik di lihat maupun tidak di lihat. Perilakunya selalu terkontrol oleh keyakinannya, karena Tujuan hidupnya semata-mata mencari ridho Allah dan penuh kehati-hatian.

Haji Agus Salim, dalam bukunya, 'Filsafat Tauhid (Takdir dan Tawaqqal)', menerangkan bahwa Taqwa lebih tepatnya di intepretasi dengan kata "ingat", dengan makna "awas atau hati-hati".

Imam Al-Ghazali, dalam Hujjahnya berkata : "Tujuan puasa ialah supaya orang Berakhlaq dengan Allah dan dapat meniru Malaikat dalam hal menguasai Syahwatnya semampu mungkin. Sebab, manusia derajatnya lebih diatas dari hewan, karena sinar Akalnya sehingga Ia mampu menguasai Syahwatnya. Tetapi, manusia juga di bawah malaikat, karena syahwatnya itu menguasai dirinya" (Ihya Ulumuddin).

Dari gambaran diatas, tampak jelas bahwa menjadi orang Bertaqwa itu syaratnya adalah Iman dan membutuhkan proses pematangan jiwa. Apalagi, di zaman sekarang yang hampir semua Fasilitas atau Inter-relasi kemaksiatan ada dimana-mana. Tetapi, bagi Hamba yang bersungguh-sungguh dalam menempuh Jalan sunyi, insya Allah di berikan jalan keluar, sebagaimana Firman Allah, "barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya dia akan membukakan Jalan keluar baginya", (Q. S. Ath-Thalaq :2).

Untuk meneguhkan persepsi kita, Coba kita uraikan akar Kata Taqwa itu, dengan mengeluarkan ayat dalam Q. S. Al-Baqarah : 183

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Pada Q. S. Al- Baqorah ayat 183 tersebut Allah memanggil orang-orang yang beriman untuk di beritahukan bahwa Puasa itu wajib. Lantas timbul pertanyaan mendasar, Mengapa Allah tidak memanggil dengan seruan: " Yaa Ayyuhal muslimun (Wahai orang-orang muslim). Mengapa, justru Allah menggunakan seruan Wahai Orang-orang beriman. Apakah seruan Wahai Orang-orang Muslim telah menegasikan bahwa ia Beriman atau belum tentu seseorang Yang menyatakan dirinya " Islam" adalah berimana?. 

Sependek pengetahuanku, dalam Hirarki Teologis, level keimanan (Mukmin) lebih diatas ketimbang seorang Muslim. Begitupun dengan Level Muttaqin, lebih diatas ketimbang Seorang Mukmin. 

Dalam Al-Qur'an Surat Al Hujurat ; 14, Allah menceritakan, Tentang beberapa Sahabat yang datang menemui Rosulullah SAW dan menyatakan diri mereka beriman, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

قَا لَتِ الْاَ عْرَا بُ اٰمَنَّا ۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰـكِنْ قُوْلُوْۤا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِ يْمَا نُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ ۚ وَاِ نْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ اَعْمَا لِكُمْ شَيْئًــا ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

"Orang-orang Arab Badui berkata, "Kami telah beriman." Katakanlah (kepada mereka), "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah "Kami telah tunduk (Islam)," karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

Secara sederhana, Maksud Ayat diatas, Seseorang yang beriman berarti telah selamat dari keraguan dan dapat mentransformasi manusia menjadi insan yang menyatukan ilmu dan amal. Iman mentransformasi kesadaran Ilahianya sebagai subjek yang menyaksikan dan pada tingkatan yang lebih tinggi, telah melebur (fana) dengan-Nya dan di saat yang sama merasakan hakikat-hakikat dari kebenaran mutlak yang termanifestasi dalam setiap Perintah-Nya. iman adalah elixir yang mentransformasi manusia dari lumpur badani menjadi gemerlap dan benderang cahaya Ilahi di semesta raya.

Demikianlah iman yang paripurna, bukan iman yang keluar-masuk dan bukan iman yang masih memungkinkan mengalami degradasi. Sebagaimana pernyataan iman yang ditolak oleh Allah seperti yang diisyaratkan dalam QS. 49:14 diatas.

Iman bukan hanya dalam pikiran atau perkataan saja. Melainkan menyebar di seluruh kesadaran sebagai ilmu dan menyatu dengan amal melalui perbuatan. Disebut ilmu karena berada pada lokus jiwa dan disebut amal karena menjadi tindakan jiwa yang spontan (malakah). 

Menurut "Mulla Shadra", iman adalah rangkaian dari ilmu yang tertinggi. Iman membutuhkan waktu dan proses. Iman bukanlah keyakinan yang dapat dibentuk atau terbentuk secara instan. Iman membutuhkan metode spesial yang ketat. Metode itu menjadi bagian integral dalam membentuk iman yang niscaya, tanpa hal tersebut, iman hanyalah konsep absurd dan lemah. Metode meraih iman yang sempurna bukan dengan doktrinasi, pengajaran konseptual dan taklid. Tetapi, melalui pencerahan pemikiran dan penyucian jiwa.

Iman sejatinya berkelindan dengan capaian ilmu yang mentransformasi kesadaran untuk tunduk, pasrah dan berserah diri (Islam). aspek kesadaran batinnya adalah senantiasa membersamai Tuhan (ihsan). Menurut "Fritjouf Schoun", ihsan inilah merupakan esensi dari esoterisme Islam, karena prinsipnya adalah senantiasa melihat Tuhan atau setidaknya dalam kesadaran bahwa Tuhan senantiasa melihat dirinya. Iman, Islam dan Ihsan menurut Allahu Yarham "Cak Nur" adalah trilogi yang tak terpisahkan, karena satu dan lainnya menjadi bagian yang integral dan organik.  

Pada titik itulah, orang Mukmin, sudah pasti seorang Muslim dan Orang Muslim belum tentu seorang Mukmin. Itulah sebabnya Ibadah Puasa hanya di khususkan untuk orang Yang beriman. Makanya, iman adalah intan paling Mahal, mutiara paling berharga. jika bukan karena Nilai Iman. Maka, mustahil kita gembira menyambut datangnya ramadhan. Kita menyingsingkan lengan baju, kita menghamparkan Sajadah. Kita melakukan pendekatan intensif kepada Allah. Kenapa?, karena kita mengerti nilai Ramadhan.

Misalnya, di tangan kanan kita ada Berlian. Di tangan kiri kita ada rumput. Jika di taru di depannya kambing, kira-kira mana yang di pilih kambing?. Pasti Rumput. Kenapa?. Karena, kambing tidak mengerti nilai berlian. Andaikan, kambing mau sedikit pakai Akal. Dia bisa memilih berlian, lalu dia jual Berlian tersebut dengan Harga 30 juta. Setelah itu, dia beli rumput. Maka, kambing bisa dapat rumput se-Provinsi.

Tetapi, kambing tidak tahu nilai berlian. Yang dia tahu kambing, cuman rumput. Kenapa?, karena hidup kambing cuman melayani perut. Itulah sebabnya, kata Sayidina Ali, "Orang Yang hidupnya hanya untuk melayani perut saja, maka dia Kambing".

Maka, jaga iman baik-baik. Lalu, wariskan pada generasi kita. Sebab, merekalah harapan kita semua. Merekalah harapan indonesia. Akan jadi apa republik ini, bahkan akan jadi apa Islam di republik ini, 20 sampai 40 tahun kedepannya, generasi kitalah jawabannya. Persilahkan generasi kita mau menjadi apa, asalkan Iman landasan hidupnya. Generasi kita Boleh jadi Jendral, asal jendral beriman. Boleh jadi pejabat, asal pejabat beriman. Boleh jadi pengusaha, asal pengusaha beriman. Sebab, kalau Iman landasannya, pasti aman.

Apakah dengan Melafazdkan dan Menyakini Rukun Imam yang ada 6 itu, sehingga seseorang Dikatakan beriman atau belum tentu dengan hanya sekedar Menyakini Rukun Iman tersebut.

Suatu ketika, Al- Hasan ditanya oleh seorang lelaki "(Al-Mu'mu'minun anta (apakah engkau seorang mu'min)". Orang ini menjawab ; jika yang di maksud mu'min itu yang beriman kepada Allah, beriman Malaikat-Malaikatnya, beriman Nabi-Nabinya, beriman Kitab-Kitabnya, beriman kepada Takdir baik dan buruknya dan hari akhir. Yah, saya mu'min. Tetapi kalau Mu'min yang di maksud Allah dalam Q.S.Al-Anfal ayat 2-3: "saya belum tau apakah saya Mu'min atau bukan?". Allah SWT berfirman:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal," (Q.S.Al-Anfal :2).

الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ

"(yaitu) orang-orang yang melaksanakan sholat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka." (QS. Al-Anfal:3).

Maka dari itu, kita tidak memiliki Standar yang cukup untuk memberikan Legitimasi Bahwa Kita adalah Orang yang Beriman. Sebab, Otoritas yang bisa memastikan bahwa Kita Beriman adalah Allah, dengan beberapa variabel yang di kemukakan Q.S. An -Nahl diatas. 

Setelah kita mengetahui, bahwa Syarat Puasa adalah Keimanan. Maka, kita coba mengukur kedudukan puasa. Sekurang-kurangnya ada tiga Diksi yang menunjukkan diksi "wajib" dalam Al-Qur'an. Pertama, Fardhu. Kedua, Wajabah Dan ketiga Kutiba.

Pada perintah Puasa, Allah justru menggunakan Diksi "Kutiba" untuk untuk menunjukkan kewajiban berpuasa. Padahal, bisa saja Allah menggunakan Diksi "Fardhu" atau "Wajabah" untuk menunjukkan perintah puasa. Tetapi, mengapa Allah tidak menggunakannya. Ini barangkali Asumsi, dari Hadist Qudsi, yang berbunyi, " PuasaMu untukku dan aku sendiri yang mengganjar balasannya", yang sekaligus membedakannya dengan Ibadah Esoteris lainnya, seperti Syahadat, Sholat, Zakat dan Haji. 

Kita coba sederhanakan, tentang mengapa Allah justru menggunakan kata Kutiba pada perintah Puasa, bukan Fardhu atau Wajabah. Perbedaan ini, tidak sedang menunjukkan, bahwa "Fardhu" tidak lebih utama ketimbang "kutiba". Tidaklah demikian maksudnya. Misalnya, perempuan yang sedang Haid (Tidak suci), tidak di wajibkan baginya untuk sholat dan tidak ada perintah untuk mengganti sholatnya, jika sudah suci kembali. Lain soalnya dengan puasa, bagi Perempuan yang sedang Haid, tidak ada juga kewajiban baginya untuk berpuasa. Tetapi, ada perintah untuk mengganti atau Mengqoda Puasanya di waktu yang lain.

Dari hal itu, kita bisa mengetahui, bahwa kedudukan puasa itu tinggi.

Dalam tradisi Islam, puasa itu disebut sebagai tradisi purbakala, "kama kutiba alalladzina min qoblikum". Artinya puasa adalah Aktivitas yang juga di lakukan oleh umat manusia sebelum kita. Puasa ini merupakan Tradisi purbakala atau di semua entitas masyarakat Tradisi Puasa ini telah ada, bahkan di semua agama, Puasa itu ada. Sebagaimana, sebelum Puasa di perintahkan kepada Nabi Muhammad SAW.  Nabi-Nabi sebelum Rosulullah SAW pun berpuasa, seperti yang kita tahu ada Puasa Daud, Ada Puasa Nabi zakariah, ada Puasa Ibunda Maryam.

Di Amerika, khususnya pada suku Indian, mereka berpuasa selama 12 hari Atau Suku Eskimo, mereka berpuasa Selama 15 Hari. Tetapi, tradisi ini belakangan sudah tidak di lakukan lagi, apalagi kalau sudah memasuki musim semi-dingin. Artinya, puasa ini bukanlah Peristiwa yang baru. Melainkan, aktivitas purbakala. 

Puasa adalah metode Untuk meningkatkan kualitas ketaatan dan diri untuk mencapai " la' allakum tattakun" (Derajat Taqwa). Diatas telah saya paparkan sedikit tentang Makna Taqwa itu, bahkan saya telah mengangkat Kisah imajiner untuk menyederhanakan Maksud Taqwa itu. Sekalipun, Sebenarnya " La Allaqum Tattaqun", selama ini keliru Di pahami. Kita menganggap dengan metode Puasa, mudahan-mudahan kita akan bertaqwa (Tattaqun). Menurutku Pemaknaannya tidaklah demikian. Sebab, Kita di suruh berpuasa, karena kita sudah bertaqwa. Bukan Berpuasa supaya Bertaqwa.

Bukankah, sebelum perintah puasa dalam Rukun Islam, ada perintah Sholat, yang juga merupakan sebuah sarana untuk mencapai derajat ketaqwaan Atau jika kita hendak memperluas pemaknaannya, bukankah kita telah Shodaqoh, infaq dan berbuat baik. Apakah itu tidak cukup untuk mencapai Kualitas ketaqwaan. Sehingga, kita perlu menunggu Ramadhan, supaya kita bertaqwa lagi?. Jika demikian, cara kita mwmaknai Taqwa itu. maka benarlah bahwa "laa allaqum tattaqun", selama ini tidak membuat kita maju dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. karena, kita menerjemahkan "laa allaqum tattaqun" - nya salah. Padahal, "Laa Allaqum tattaqun" itu bukan "supaya" atau "akan" . Tetapi, "telah".

Kita tidak bisa menandaskan persepsi kita, bahwa Derajat Taqwa atau jalan sunyi itu berat, sehingga kita perlu menunggu Ramadhan datang untuk membuat kita menjadi Bertaqwa. Sehingga boleh tidak bertaqwa setelah Ramadhan usai. Beginilah, akibatnya Jika kita menerjemahkan Taqwa itu salah. Akibatnya, kita berusaha mencapai taqwa pada ruang dan waktu yang sempit (hanya di Bulan Ramadhan). Nanti selesai ramadhan boleh tidak bertaqwa lagi, karena nanti akan ada ramadhan berikutnya lagi. Begitu seterusnya.

Bila kita menggunakan pemahaman Umum atau kebanyakan orang, bahwa Tujuan puasa adalah mencapai derajat Taqwa. Nah, sekarang kita lacak Taqwa dalam kaidah Bahasa Arab?. Menurut defenisi paling umum dari para Fuqaha, taqwa adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Artinya Puasa menjadi metode untuk membuat kita melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan Allah. 

Sekarang kita bertanya, adakah diantara kita (manusia) di dunia ini atau khususnya di indonesia, selain Rosulullah SAW, yang telah benar-benar melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah?. Dengan jujur, kita harus menjawab, Tidak ada. Jika tidak ada, mengapa persepsi kita terkungkung bahwa Tujuan puasa agar kita melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. 

Akibatnya dari persepsi yang salah, sehingga Kongklusi dan apalikasi kita pasti salah. Kenapa?. karena tradisi kita, terlalu terbiasa mengunyah makanan jadi, jarang mengolah dan meramunya sendiri, Atau mencopy paste pikiran orang lain. Padahal masing-masing kita telah di beri metode untuk mentadabburi Teks. 

"laa allaqum tattaqun" itu berasal dari kosa kata : "Waqo - yaqi - wiqoyatan", maknanya adalah Berhati-hati atau waspada. Sebagaimana yang saya sampaikkan diatas. Dalam peribahasa Arab di sebut, "Al wiqoyatun khoirum minal ilaj". Maksudnya prenventif atau pencegahan itu lebih baik daripada Kuratif atau mengobati. Secara sederhana kita bisa menelaah, bahwa Taqwa itu adalah meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian. Bukan melaksakan perintah dan meninggalkan larangannya. 

Mengapa?. Karena "Waqo yaqi" itu adalah 'lafif mahluq'. 'Fa fi'il' dan 'an fi'ilnya' di pisah dengan 'ainul Fi'li'. 'Waqo yaqi' di ikutkan dengan 'Idzan if ta'al' menjadi 'Iw taqo'. Jadi, Tattaqum itu adalah Waspada. 

Misalnya kita sederhanakan lagi, saat kita keluar dari rumah, lalu tetiba hujan rintik-rintik. Kita kembali ke rumah mengambil payung Ataukah kita menprediksi hari akan hujan, lalu kita mempersiapkan payung atau mantel sebelum kita keluar rumah. Artinya, Taqwa itu preventif (pencegahan), "barangkali akan hujan". 

Adapun ketika kita telah berjalan, lalu membuka buka payung, ternyata payungnya sobek.  Hal itu di sebut kelalaian atau Alfa, bukan dosa. Karena, Allah menyatakan, " la junaha alaikum fi ma akhto ta' tu (tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu melakukan kekeliriuan seperti itu). Yang dosa itu :" wa la kima tad ma qulubukum" (ketika ada kesengajaan untuk melawan).


***

Puasa, siapa yang berpausa?, apa yang berpuasa?”, “menahanlah, siapa yang menahan?, apa yang ditahan?.

Sepintas pertanyaannya tersebut terlihat sederhana. tetapi, inilah ultimate question yang menukik pada radixnya ritual yang kita kenal dengan puasa dan aktivitas yang kita sebut sebagai menahan.

“Siapa yang berpuasa?, apa yang berpuasa?. Ini bukan sekadar pertanyaan retoris atau normatif. Secara normatif menurut hukum syariat bahwa yang diperintahkan berpuasa adalah orang yang beriman dan yang dipuasakan adalah aktivitas makan, minum dan seksual, serta aktivitas tercela lainnya. 

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa manusia secara Natural, menurut "Prof. DR. Yusuf Qardhawi, "tercipta dari dua hirarki yang saling berdialektika dan berhimpitan, yakni Potensi Nasut (Tanah) dan Potensi Lahut (Ruh)".

Ketika potensi Nasut menjadi gaya hidup dalam kehidupan, Menurut "Sayyed Hossein Nasser" itu akan menjadi " Petaka yang harus diratapi". Namun Jika Pontensi Lahut yang aktual. maka itu adalah simbol kemenangan dan Differensiasi kita terhadap Mahkluk-Mahkluk lainnya. Karena, Mahkluk-Mahkluk lain, selain Manusia tidak dibebani hukum Tanggung jawab sehingga ia selalu berada dalam kenasutannya. Jika Dikembangkan lebih Jauh, maka puasa merupakan sarana untuk menekan Metafora empat ekor unggas atau empat anasir kesemestaan (Tanah, air, angin dan api) yang senantiasa mengaktual dalam diri kita (Manusia) yang acap kali merusak potensi uluhiyahnya, Agar senantiasa memiliki kesadaran untuk selalu berproses menjadi "Human Being" Atau menurut Ali Syari'ati, "mengaktivasi nilai-nilai hanif kita yang kerap terpasung oleh keinginan-keinginan nasut" . 

Segenap jasmani (Nasut) dan rohani (Lahut) sejatinya melakoni aktivitas puasa dan niscaya dipuasakan. Puasa jasmani adalah menahan Hasrat instingtif pada makan, minum dan naluri seksual. Kenapa jasmani harus dipuasakan?, karena sebagai proses pembebasan atas rohani dari penjara jasmaniah yang cenderungan pada kesenangan material-duniawi.

Bila jasmani dipuasakan dari hal-hal yang sebenarnya mubah (boleh) dan dipuasakan pun hanya sementara waktu. Maka, hakikat puasa bagi rohani adalah memantangkan dari segala yang berkaitan dengan "fujur", agar perjalanan kita menggapai derajat takwa Mulus. Bila jasmani dipuasakan hanya sepanjang hari dalam sebulan, maka rohani sejatinya dipuasakan sepanjang tahun. Rohani dipuasakan dari kefujuran, agar manusia selamat dari kehancuran spiritual dan moralitas, yang menyebabkan manusia mengalami kejatuhan eksistensial (asfala safilin).

Manusia adalah makhluk dua dimensi, penggabungan antara jasmani dan rohani. Jika ditanya, manakah yang lebih sejati, diantara kedua potensi tersebut, tentulah potensi rohani lebih hakiki. Sebagaimana yang digambarkan oleh "Ali Syari'ati" bahwa manusia adalah lumpur + Roh Ilahi. Lumpur yang rendah merepresentasikan jasmani dan Roh Ilahi yang tinggi adalah penggambaran keagungan manusia sebagai “Citra Diri” dari Sang Khalik dalam representasi makhluk terbaik-Nya.

Jika manusia dipandang sebagai jasmani an sich, maka manusia tidak lebih berharga dari seonggok materi, bahkan lumpur yang rendah. Apa yang membuat manusia bernilai, bahkan menjadi tak ternilai adalah rohaninya yang melangit meski jasmaninya membumi. Jasmani dapat menjadi penjara bagi rohani yang menahannya untuk meraih kebebasan untuk berkelana pada alam-alam suci hingga menghampiri Sang Khalik, Sang Asal dari semua muasal. Jasmani yang diperturutkan membuat rohani terbenam dalam kubangan kehinaan. Namun, jasmani bukanlah musuh bagi rohani, sebaliknya jasmani adalah medan kreatif yang harus dikendalikan agar rohani bisa melesat tinggi menghampiri Sang Ilah Yang Maha Tinggi.

Demi membebaskan rohani yang terpenjara itulah, Ramadhan dihadirkan oleh Allah kepada manusia sebagai implementasi Kasih Sayang-Nya. Ramadhan adalah bulan pendidikan yang mendidik rohani agar mampu mengendalikan jasmani, melatih rohani agar dapat menjadi tuan bagi jasmaninya. 

Manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baik bentuk, namun sebagian dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya, sebagaimana yang tertuang di Dalam QS. 7:179,  Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلَـقَدْ ذَرَأْنَا لِجَـهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَا لْاِ نْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَا ۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَا ۖ وَلَهُمْ اٰذَا نٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَا ۗ اُولٰٓئِكَ كَا لْاَ نْعَا مِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰٓئِكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

"Dan sungguh, akan Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah."

Pada ayat diatas, Allah menyamakan manusia yang terhina laksana binatang ternak, bahkan lebih buruk lagi. 

Demi menyelamatkan manusia dari kejatuhan eksistensialnya. Ramadhan dihadirkan sebagai madrasah rohani, untuk menjalani riyadhah (pelatihan), agar menggeser perhatian berlebih pada ego manusia untuk di alihkan pada Sang Maha Ego. Sebagaimana firman Allah Dalam QS. 4:100, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَمَنْ يُّهَا جِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَ رْضِ مُرٰغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً ۗ وَمَنْ يَّخْرُجْ مِنْۢ بَيْتِهٖ مُهَا جِرًا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ اَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗ وَكَا نَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

"Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di Bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

Allah memberikan isyarat orang yang meninggalkan rumahnya untuk berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya. Itulah hijrah sesungguhnya, yaitu keberanjakan substansial ( _harakah jauhariyah_ ) meninggalkan rumah kita yang sempit (ego) demi menuju Allah dan Rasul-Nya, “rumah semesta raya” yang merupakan rumah sejati bagi rohani kita. 

Kesempitan ego telah terbukti menyita perhatian kita pada keluasan Sang Maha Ego. Maka, Ramadhan dihadirkan sebagai bulan pendidikan untuk memberi pencerahan ilmu, iman dan amal pada Rohani yang rindu “menuhan”. Ketiganyalah bekal terbaik untuk  menanggalkan egosentrisme dan mengafirmasi Sang Maha Ego sebagai sentrum (teosentrisme). Implikasinya adalah altruisme, sebuah karakter di mana kita sangat peduli dan begitu memperhatikan kemaslahatan sesama. seperti ungkapan yang disampaikan oleh guru saya, “belajar melangit untuk membumi”.

Rohani yang tidak dewasa membuat kita terlena pada kenikmatan material dan tertahan akan kebutuhan yang lebih abstrak, yaitu iman, ilmu dan amal. Itulah rohani infantil (kekanak-kanakan) yang terkurung pada jasmani yang dewasa, sehingga merasa kebutuhan spiritual (Imana), intelektual (ilmu) dan moral (amal) tidaklah penting, karena yang dianggap berharga hanyalah kenikmatan untuk memperturutkan keinginan hawa nafsu. Ramadhan dihadirkan untuk mendidik rohani dan membebaskannya dari fiksasi masa kanak-kanak, menuju fase pendewasaan rohani atau "al-takamul al-ruhani". Secara rohaniah, semakin dewasa seseorang, maka semakin abstrak kebutuhannya, sehingga merasa penting pada pemenuhan kebutuhan rohani (Iman, Ilmu dan amal), karena itulah kebutuhan manusia yang sesungguhnya.

Menurut "Murtadha Muthahhari", sebagaimana yang saya kutip dari Allahu Yarham Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat, "tahapan awal dari kewalian adalah ketika mampu mengendalikan hawa nafsu. Jiwanya tenang, emosinya stabil, keinginannya terkendali, hatinya lapang penuh ketulusan dan pemaaf". Perintah menahan bagi kita yang bukan kalangan khusus adalah pendidikan rohani yang menuntun kita menghampiri tahapan pertama _maqam_ kewalian. Melalui perintah menahan, kita dididik untuk menjadi wali-wali Allah pada tingkatan yang paling elementer.

Selain itu, Dua dimensi manusia, jasmani (material) dan rohani (spiritual) menghadirkan dua potensi, yaitu "fujur dan taqwa". Kecenderungan pada dimensi jasmani menggelincirkan manusia pada fujur, yang secara normatif adalah melakukan perbuatan yang menyalahi syariat Allah. Sebaliknya taqwa adalah kecenderungan pada dimensi rohani yang memantik ketaatan pada ketentuan-Nya. Fujur adalah buah dari kebiasaan yang memperturutkan hawa nafsu jasmaniah, sebaliknya taqwa adalah capaian dari nafsu yang dikendalikan akal hingga taat pada hukum-hukum syariat.

Potensi fujur dan taqwa ini, Allah isyaratkan dalam QS. 91:8, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

فَاَ لْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰٮهَا 

"maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya,"

Fujur adalah gerak menurun sedangkan taqwa adalah gerak menaik. Kenapa kata fujur lebih dahulu disebutkan daripada taqwa (fujura ha wa taqwa bukan taqwa wa fujur) dalam ayat tersebut?. Karena lebih mudah untuk turun ketimbang naik, untuk naik energi yang dibutuhkan jauh lebih besar dibandingkan turun. untuk jatuh, syaratnya mudah, bersikaplah ceroboh, jangan berhati-hati. Sebaliknya untuk menanjak butuh energi yang besar, mensyaratkan kesabaran, kehati-hatian dan perjuangan. Taqwa mensyaratkan ketaatan dan ketundukan, kesabaran dan konsistensi sedangkan fujur hanya mensyaratkan pengingkaran atau sikap tak peduli atas perintah Tuhan. Itu sebabnya, manusia jauh lebih mudah terperosok dalam kefujuran ketimbang menanjak meraih predikat ketaqwaan.

Masih dalam QS. 91 pada ayat 9-10, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰٮهَا 

"sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu),"

وَقَدْ خَا بَ مَنْ دَسّٰٮهَا 

"dan sungguh rugi orang yang mengotorinya."

Pada sambungan ayat Q.S. 91, Allah menyatakan beruntunglah orang yang menyucikan jiwa dan merugilah orang yang mengotorinya. Lebih mengutamakan kecenderungan jasmaniah, berarti mengotori jiwa dengan lumpur badani. Akibatnya terjadilah kejatuhan eksistensi, karena secara hakiki turun derajat, menjadi bukan lagi sebagai manusia, melainkan dibenamkan di tempat yang serendah-rendahnya (asfala safilin) (QS. 95:5). Sebaliknya orang-orang yang menyucikan jiwa adalah orang yang beruntung karena ia kembali sebagai manusia dengan sebaik-baik bentuk penciptaannya (fitrah).

Masih berkenaan dengan fujur dan takwa, ada dua golongan manusia menurut Allahu Yarham Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat, yaitu orang-orang yang lebih mendahulukan keinginannya di atas keinginan Allah dan golongan kedua adalah orang-orang yang lebih mendahulukan keinginan Allah di atas keinginannya. Setiap harinya kita diperhadapkan pada dua pilihan ini, apakah memenuhi keinginan Allah ataukah memenuhi keinginan kita sendiri. Misalnya, Allah berkeinginan kita bangun di waktu Subuh untuk menunaikan kewajiban shalat, namun keinginan kita tak mau beranjak dari pembaringan. Allah berkeinginan agar kita tak berbuat mubzair, namun keinginan kita menggunakan harta untuk memuaskan hasrat konsumtif kita.

Itulah sebabnya, Orang yang masih mendahulukan keinginannya di atas keinginan Allah, berarti belum menyadari benar akan keabsolutan Kehendak Allah sebagai kreasi yang paripurna untuk manusia. Golongan ini disebut orang yang zalim, dalam pengertian generik zâlim berarti gelap, kata zhulm menjadi lawan dari nûr atau cahaya yang juga berarti terang. Gelap berarti ketiadaan cahaya, sebagaimana fujur berarti ketiadaan cahaya iman. Menurut Allahu Yarham, Prof. Nurcholish Madjid, Pengertian yang demikian itu, sesungguhnya, erat kaitannya dengan sumber kezaliman itu sendiri, yakni hati yang tidak lagi memiliki nurani atau hati yang gelap. Dikatakan hati yang gelap, karena hati tersebut jauh dari pencerahan, karenanya tak mampu lagi membedakan antara baik dan buruk atau benar dan salah.

Golongan yang mendahulukan keinginan Allah atas keinginannya adalah orang yang keyakinannya akan keabsolutan Allah bukan sekedar pepesan kosong. Terang baginya antara yang benar dan salah, nyata untuknya antara baik dan buruk, jelas baginya mana yang hak dan mana yang batil. Kesadaran penuh akan kemutlakan Allah dan kerelatifan dirinya. Karena itulah mendahulukan keinginan Allah di atas keinginan sendiri berarti menanggalkan egosentrisme dan mengafirmasi teosentriesme, Bukankah kebebasan sejati adalah freedom from desire atau bebas dari rasa ingin, karena keinginannya telah menyatu dengan keinginan Allah, keinginannya telah lenyap, karena yang diikuti hanya keinginan Allah.

Ramadhan dihadirkan Allah sebagai bulan pendidikan, puasa yang disyariatkan dalam bulan Ramadhan adalah pendidikan bagi jiwa untuk membiasakan diri tunduk pada keinginan Allah. Dengan berpuasa kita menempatkan keinginan Allah di atas keinginan kita. Ketika siang hari  kita berkeinginan untuk makan dan minum, tapi kita mengikuti keinginan Allah agar kita tidak makan dan minum. Orang lapar biasanya emosinya sensitif, sehingga mudah tersinggung. Namun, dalam lapar (Puasa), kita dididik untuk menstabilkan emosi dan menahan amarahnya.

---BERSAMBUNG---

Coret _ By. Rst (Da'i Pinggiran)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar