"Disana ada hati yang tak mengenal benci sekalipun telah kau lukai, namun disana juga ada hati yang tak mengenal cinta walaupun engkau telah melakukan apapun deminya" - (Shakespeare).
Entah, saya tidak mengerti bagaimana orang sebesar Shakespeare harus menulis pernyataan seperti itu. Jika maksudnya bahwa memahami manusia sangat tidak mudah, dan tentu saja (apalagi) memahami hakekat cinta, maka pernyataan dia diatas bisa di mengerti. Sebab, pada diri manusia hanya ada dua sisi terbesar yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari manusia: (1) Cinta. (2) benci. Maka, hati dan Jiwa memiliki dua ruang utama yang masing masingnya di isi oleh benci dan cinta. Ruang dimana "benci" bertahta di kenal dengan nama "syahwat atau Ego". Ruang dimana "cinta" bertahta di kenal dengan nama "nurani" tempat dimana rasa empati dan kasih sayang meliputi.
Bagi mereka yang manjadikan "kebencian" dan "syahwat atau Ego" sebagai motor penggerak hidupnya. dia akan menjadi "wali Iblis" (angkara murka) dan sulit menemukan bekas-bekas penuh Rahmat pada hampir seluruh perbuatan manusia ini, kecuali kerusakan, kebusukan dan kesengsaraan. baik bagi dirinya sendiri dan (terutama) pada orang lain. Sebaliknya, ketika seseorang menjadikan "nuraninya" sebagai motor penggerak kehidupannya. maka, seluruh bekas-bekas perbuatannya di liputi Rahmat, kasih sayang, manfaat, perbaikan, kesehatan jiwa dan akhlak, ketulusan serta kebahagiaan baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Kelompok kedua diatas umumnya di panggil sebagai "kekasih Allah" (wali Allah). Manusia, apapun dan siapapun dia, akan selalu berada di antara dua pertarungan abadi diatas : menjadi Wali Iblis atau Wali Allah, sesederhana apapun bentuknya. Maka, (menurut saya) pernyataan Shakespeare di atas yang dikutip seseorang, telah membawa saya pada satu kesimpulan sederhana bawah manusia seperti itu ; "Yang tidak memiliki benci dan cinta" di hatinya (adalah) manusia yang hakekatnya sudah "mati" sebelum "kematiannya".
Sebab, bagaimana mungkin dia akan mampu memiliki rasa Empati dan sense of sensitivity (merasakan derita orang lain) sepenuh hatinya. (entah), akibat perbuatan dia sendiri atau perbuatan orang lain. (jika), dirinya sendiri tak miliki "benci" dan "cinta" dalam kehidupannya?. Bagaimana mungkin dia akan mampu memiliki rasa keadilan, penghargaan dan penghormatan pada orang lain?. Pada janji-janji dan komitmen yang di buatnya, Juga keberpihakan pada kebenaran dan menolak kedzaliman?.
Bagi saya (pribadi) penggambaran William Shakespeare tentang manusia seperti isi pernyataan dia, diatas itu tidak lebih hanyalah seonggok "mayat hidup" belaka. Mayat hidup belaka.
**
Cinta sebagai sebuah energi yang menggerakkan. Lantas, Cinta itu apa ?. Apakah Cinta itu bersifat pasif atau Aktif?. Manakah yang lebih didahulukan, mencintai atau dicintai?.
Kebanyakan kita belakangan ini dan mungkin saja yang lalu-lalu pun sama, bahwa mendefenisikan Cinta itu adalah ekspresi dari Rasa suka pada sesuatu, seperti rasa yang tetiba datang, sebagaimana banyak diksi-diksi yang berseliweran. Maka, yang acap kali kita gunakan untuk mendeskripsikan hal itu adalah "Jatuh cinta". Apakah cinta seperti itu?.
Kata Eric From, "Cinta itu seni". maka, ia mesti dipelajari. konsekuensinya harus di aplikasikan. Sehingga urusannya bukan kamu mencintai siapa. tetapi, bagaimana caramu mencintai.
Suatu ketika, kita terfokus pada apa yang kita sukai, pada apa yang kita cintai. kata Eric From, itu salah. Sebab, Untuk menjadi seorang pecinta, Fokuslah pada Cara mencintai yang baik. Berhentilah menguras energi mencari cinta. Mulailah Berperilaku sebagai pecinta, agar segala sesuatu layak dan tanpak untuk dicintai.
Jika kita terfokus pada Apa yang harus kita cintai. maka, tak ayal jika kita kerap memilah-milih. (Suka yang ini, tidak suka yang itu. Seleraku yang ini, yang itu bukan seleraku). Itu kan egois namanya.
Problem cinta kita, selama ini adalah, kita salah mengidentifikasinya, menganggap bahwa mencintai itu harus ada yang di cintai. Padahal, yang harus kita dahulukan adalah bagaimana cara mencintai yang baik dan benar. Misalnya, kita mau menulis; pertama-tama, yang kita harus tahu bagaimana cara menulis. Sebab, sebagus apapun objek dari sesuatu yang kita mau tulis, jika kita tidak tahu menulis, hasilnya pasti tidak jelas. Begitulah kebanyakan kita yang mencintai. tetapi, tidak sadar bahwa kita telah merusak yang dicintai atau merusak dirinya sendiri yang mencintai.
Ada Idiom dalam Terma pejalan sunyi, yang bertutur : "belajarlah cara mencintai". Mengapa?. sebab, Hampir semua ilmuan dan Filsuf berkata, bahwa relasi paling agung antar manusia ialah relasi Cinta Dan hal itu yang di identifikasi saat Filsafat itu lahir.
Di titik itulah, cinta itu aktif. tidak pasif. Karena, cinta itu seni bukan Jatuh. Olehnya, ia Niscaya dipelajari dan dipraktekkan.
Mungkin inilah yang dimaksud dengan Cinta Platonic. Di level tersebut, Kita tidak perlu khawatir, kita bisa jatuh cinta kepada siapapun. Kalau mencintai, yah cintai saja. Tidak ada urusan dengan fisik. Tidak ada urusan dengan apakah Di terima atau di tolak Atau saya menyebutnya, mencintai tanpa diketahui bahwa kita mencintainya.
Cinta yang di maksudkan adalah Cinta tanpa keterikatan emosional. Sebab, Sumber keterikatan emosional adalah keterasingan pada Diri. Sementara kondisi Keterikatan, sependek pengetahuanku, dalam Kaca mata Teologis, hanya berpangkal pada Allah. Sedangkan, keterikatan emosional selain kepada Tuhan, hanya akan melahirkan harapan dan keinginan. harapan dan keinginan ini, jika tidak di penuhi. maka, akan melahirkan kekecewaan. Sehingga pola yang kita petakan adalah yang tidak berharaplah yang tidak akan pernah kecewa. Sebab, yang banyak harapan dan keinginanlah yang akan merasakan kekecewaan. Pinjam istilah sayidina Ali, "Aku sudah merasakan seluruh kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia".
Cinta yang emosional, menurut plato, ibarat cinta serigala kepada domba. Cintanya Membelenggu, memasung. Sebab, tidak akan mungkin serigala jatuh cinta pada domba. Sedalam apapun cintanya, jika sudah lapar, pasti di mangsa juga.
Implikasi Keterikatan Emosional adalah ketakutan pada rasa kehilangan. Akhirnya, kita bergantung. Sebab, tidak ada sesuatupun di dunia ini yang terikat, yang tidak akan terpisah. Pasti terpisah. Olehnya, Janganlah mengikutkan Emosi dan Ketergantungan dalam sebuah hubungan, agar Cinta tidak menjadi sumber kesedihan. Setiap hubungan yang tidak melibatkan EGO (beban psikologis dan emosional) umumnya, lepas apa adanya dan mengalir begitu saja. Entah, itu sifatnya negatif atau positif, (terutama) di awal-awal interaksi.
Berkenaan dengan itu, saya juga kembali teringat dengan pemikir bermazhab Frankfrut "Eric From" dalam buku yang berjudul The Art Loving, Yang menegaskan bahwa pentingnya relevansi cinta dalam masyarakat kapitalis, yang terdisentegrasi dengan ketimpangan sosial. bagi From, disentegrasi itu adalah cerminan dari eksistensi manusia yang tidak dapat mengatasi keterpisahan. Cinta itu tidak akan mungkin di bahas tanpa menganalisis eksistensi manusia. menurut From, teori apapun tentang cinta harus di mulai dengan teori tentang manusia (eksistensi).
Cinta adalah jawaban dari problem eksistensi manusia yang berhasil secara alamiah dari kebutuhan manusia untuk mengatasi keterpisahan dan penjara kesepian. tetapi, penyatuan di dalam cinta melebihi suatu simbiosis. karena, cinta yang dewasa ialah penyatuan di dalam kondisi dengan tetap terpelihara integritas seseorang. Cinta adalah kekuatan yang aktif di dalam diri manusia, kekuatan yang meruntuhkan tembok yang memisahkan manusia dengan sesama.
Sayang dan cinta kasih di era kapitalisme hanya menjadi komoditas (dagangan). begitu banyak kisah cinta, yang murah yang umbar dalam lagu-lagu, sinetron, hikayat, puisi, dsb. Sebab, komersialisasi cinta yang demikian, akan menunjukkan kata cinta dan prakteknya mengalami degradasi.
Hal inilah yang di sampaikkan oleh "Nuraini Soyumukti" dalam filsafat cintanya. beliau yang konsen dalam menggugat budaya kapitalis, sekalipun seorang psikoanalisis. Ia menyuguhkan bagaimana "Karl Marx" adalah seorang yang sangat Romantis dan Humanis. sebagaimana yang kita ketahui bahwa Marx banyak bicara soal cinta dan kepercayaan yang dibangun manusia dalam filsafatnya. Bahkan Marx mencita-citakan bahwa cinta hanya bisa di tukar dengan cinta dan kepercayaan hanya bisa di tukar dengan kepercayaan.
Urusan mencintai itu sebenarnya bukanlah urusan Falling In Love. Tetapi, lebih kepada urusan Stunding For Love. Sebab, Kalau Falling In Love itu Intuitif - punya dorongan jiwa Untuk mencintai, sebagaimana Fitrah kita sebagaimana manusia.
Maka, semua orang Bisa. Tetapi, kalau Cinta adalah Urusan Stunding For Love - ketika rasa itu muncul dan kita sudah mengalami jatuh cinga, maka apa yang harus kita lakukan, agar cinta dapat menegakkan cinta.
**
Ada banyak persepsi soal cinta. Banyak sekali Dan kerap kali yang kita maksudkan tentang cinta, kadang kala, cuman urusan lawan jenis saja. Kalau saya melihatnya, bahwa cinta itu sangat Fundamental. Misalnya, "Karena cintanya Allah kepada Nur Muhammad. maka, Allah menciptakan jagat raya". Berarti cinta itu sangat fundamental Atau, ini agak lebih abstrak, Kalau benda untuk bisa (Eksis) berada, membutuhkan ruang. tanpa ada ruang, tidak mungkin ada benda. Relasinya, Kata Kerja : dinamika, bergerak, melakukan sesuatu. Itu hanya akan ada, jika ada cinta. Jadi, ruangnya kata kerja adalah cinta.
Selain itu juga, Cinta itu bertingkat-tingkat. Saat kita kecil dulu, cinta selalu kita ekspresikan berkaitan dengan "AKU" - mainanku, punyaku, bapakku, ibukku, dsb. Untuk berbagi saja, kita tidak mau. Karena, pelajaran pertama kita adalah ketika kita punya watak. maka, kita harus mencintai watak kita agar bertahan hidup.
Setelah menginjak remaja sampai dewasa sedikit. Kita Mulai terganggu dengan hormon-hormon. Cinta kita seolah-olah berkembang ; "Aku Cinta Padamu". Pada kondisi ini, kerap kali yang terjadi ialah ketika kita mengutarakan,"aku cinta padamu". Lantas, cinta kita di tolak. akhirnya cintanya hilang, berubah menjadi benci. Sebenarnya, pada dasarnya kita masih mencintai diri kita sendiri. Hanya saja, obejeknya ke orang lain. Kita Mencoba mengekspresikan cinta melalui objek orang lain. Sehingga, cinta dinding-dinding syarat dan alasan.
Kemudian berkembang menjadi dewasa lagi. Punya anak. Pada level ini, cinta sejatinya sudah tanpa syarat. Contoh, tidak mungkin seorang bapak, saat di kencingi atau air liur anaknya menempel dipipinya. Bapaknya lansung memutuskan hubungannya dengan anaknya. Tetapi, faktanya Akan berbeda jika hal itu terjadi pada pacar kita, misalnya. Apakah hal itu membuat kita senang?. Pasti kita menjawab, gila kamu.
Ihwal itulah, menurut saya cinta itu berkembang Dan perkembangan cinta juga meningkatkan kesadaran tentang AKU. Artinya, kita cinta tidak sama tangan kita?. Ataukah pernahkah kita mengikrarkan cinta pada tangan kita?. Ya, tidak pernah. Mengapa?. Karena, kita tahu bahwa tangan kita adalah bagian dari diri kita. Kita mencintai tangan kita, tanpa dinding-dinding syarat. Bahkan ketika tangan kita sakit, kita secara natural mengobatinya. Atau, misalnya Ibu kita tiba-tiba jatuh, kita menolongnya memakai alasan atau tidak (saya harus menolongnya, agar bisa masuk surga, kira-kira begitu alasannya)?. Tentunya, Tidak ada lagi pikiran atau dinding-dinding syarat dan alasan demikiam. Sebab, secara otomatis, kita lansung menolongnya. Karena, kita menolong ibu kita, seperti kita menolong diri kita sendiri. Mengapa?. Karena, Aku-Nya telah berkembang.
Point Lain dari Tulisan ini, ketika semua Manusia di muka bumi. Aku-Nya terekspresikan. Maka, kita tidak perlu belajar toleransi, menghormati, menghargai, siapakatau, siapaka'inga kepada orang lain. Karena, kita otomatis akan melakukannya. Sederhannya begini ; ada cewek, tetiba di kandatto (jitak) kepalanya. Apakah kita merasa sakit juga. Yah, tidaklah. Kenal saja tidak. Tetapi, kalau cewek itu adalah pacar atau istri kita, tetiba dikandatto. Kita marah atau tidak?. Secara spontanitas, kita akan marah, bahkan mungkin kita akan Hantam orang tersebut. Mengapa?. Karena, kita merasakan sakitnya juga.
Ummat Islam, seharusnya demikian. Jika satu sakit. Maka, semuanya ikut merasakan sakit. Karena, satu badan ini adalah AKU Dan seharusnya tidak berhenti di situ, karena bedanya manusia dengan hewan. Wataknya, sama-sama butuh makanan, sama-sama butuh tidur, sama-sama butuh berkembang biak. Bedanya, yang paling mendasar pada konteks ini ialah naluri pada hewan adalah memberi batas (ini daerahku). Sedangkan Manusia, Ia ingin mengembangkan diri, sehingga tidak ada batasnya, (kalau sudah paham, mau di kembangkan. Kalau sudah cinta, mau lebih cinta lagi). Kadang-kadang arahnya Paralel, bukan seri.
Jika pertanyaan begini, apakah percaya dulu atau cinta dulu?.
Nah, ini lagi-lagi ada limitasi bahasa. Percaya itu, paling sedikit ada dua jenisnya. Pertama, percaya pada sesuatu yang kita tidak tahu. Misalnya ; ada kambing terbang, percaya atau tidak?. Pun kita mempercayainya, hal itu percaya pada sesuatu yang kita tidak ketahui. Kenapa?. Karena, tergantung siapa yang memberikan informasi. Kalau saya yang memberi informasi, pasti orang tidak percaya. Tetapi, kalau Ustadz-Ustadz yang tersohor yang berikan informasi. Masa, ustadz-Ustdaz mau berbohong.
Kedua, percaya pada sesuatu yang pasti terjadi dan tidak akan bergeser. Ini dua jenis percaya yang berbeda. Misalnya, kita percaya tidak, pada gaya gravitasi?. Walaupun, kita tidak mengikrarkan bahwa kita percaya. Tetapi, di alam bawah sadar kita percaya. Sebab, Sedetik saja kita tidak percaya pada gravitasi, maka kita tidak akan berani untuk kencing. Jangan-jangan arah kencing kita tidak kebawah, tapi muncrat keatas.
Jadi, percaya dulu atau cinta dulu?. Saya yakin bahwa Percaya dulu. Bukan, percaya pada sesuatu yang belum terjadi. Tetapi, percaya pada sesuatu yang sudah kita alami terjadi dan kita tahu. Karena, yakin kepada sesuatu yang kita tidak ketahui, kita hanya bisa mempercayainya. Tetapi, sesuatu yang kita alami, kita menjadi tahu, tidak hanya percaya.
Tetapi, Kalau percaya, belum tentu dialami. Misal, kita percaya ada salju?. Iya percaya. Kita pernah mengalaminya?. Nah, itu hanya pengetahuan. Bukan pengalaman.
Pointnya adalah : Banyak orang kecewa karena cinta, bukan karena cintanya. Tapi, Karena dia percaya pada imajnasi apa yang terjadi setelah cinta ini berjalan. Dia percaya pada imajinasinya, bukan pada kenyataan yang sudah terjadi. sebab, Kita tidak bisa keluar dari cinta. kita pasti mengalami cinta, sejak berada di dunia. Karena, dunia, di ciptakan oleh cinta. Hanya saja, kesadaran kita pada cinta, seberapa intensifikasinya?. Dan tentunya, pandangan kita pada cinta, sebersih apa?. Untuk level cinta tertentu, tidak bisa lansung kita tahu. Kita perlu belajar.
Makanya, jika masih kecil, belajar dulu cinta sama mainan, cinta sama game, cinta sama teman. Lalu, tumbuh dan memahami bahwa ada kausalitas (sebab akibat) di dunia ini, yang bisa saya yakini. Karena saya mengalaminya atau menyakini kebenarannya. Setelah itu meningkat, ke level pacaran. Kita harus berdasarkan pada sesuatu yang kita alami.
***
Cinta merupakan kekuatan dan blue print bagi keberlansungan hukum kosmis. Sebab, Menafikan realitas cinta, sama artinya Mendistorsi harmoni jagat raya. Cinta adalah kekuatan Maha dahsyat yang dapat meluluhkan arogansi. cinta pula dapat mendamaikan hati yang sedang nanar.
Cinta bermakna memberi kasih sayang. Cinta melimpah, mengalir dari Bahasa "diam" ke bahasa "diam", sebab bahasa tak akan mampu bertutur secara Objektif dari Narasi jiwa. Maka, bahasa diam adalah cara terbaik mendialogkan Hati. tanpa tendensi, ikhlas, damai dan rebah dalam kedamaian cinta.
Kekuatan cinta terletak pada pengalaman bukan pada pembahasan dan dialektika. Cinta tidak akan menjadi nanar dan menjauh. hanya, karena ketidakmampuan pengungkapan. Sebab, cinta bertumpu pada Hati, bukan pada Rasio.
Cinta menurut Abraham Harold Maslow adalah "energi yang menakjubkan". Orang yang kehilangan cinta pasti telah lama kehilangan Harga diri. Orang yang ketiadaan cinta, maka jiwanya gelisah. Kehampaan dan ketiadaan cinta akan mengantarkan seseorang mengalami resesi dan akan jauh dari kebaikan.
Cinta sejati menghendaki kebenaran yang utuh. Karena, ia telah melampaui logika dan Rasionalitas. Cinta membutuhkan tindakan dan menafikan logika. Sebab, logika hanyalah rajutan gagasan yang acap berlalu tanpa makna.
Maka, rajutlah cinta sejati dengan bertumpu pada hati. sebab, hati tidak akan pernah membohongi realitas Dan rasio seringkali mempreteli fakta tanpa mempertanggung jawabkan di akhir narasi.
AKU MENCINTAIMU DAN ITU URUSANKU. BAGAIMANA KAMU TERHADAPKU ITU URUSANMU
Alor, 11 Januari 2019
*Rst
*Pejalan sunyi
*Nalar Pinggiran


Tidak ada komentar:
Posting Komentar