Mata Saya Berkaca - kaca saat Membaca Tesis Ibu Prof. Dr. Nurhayati Rahman - Dosen Filologi Unhas. Perempuan Bugis yang saya Kagumi. Beliau salah satu yang Mentranslate di skripsinya, Isi Gubahan ulama - ulama Dahulu di Sulawesi selatan yang persis sama dengan Isi Kitab Paling Tua dan terpanjang Di dunia, Yaitu La Galigo.
La galigo sendiri terdiri dari 5 suka Kata dan ada beberapa episode yang terdiri dari 8 suku kata. Makanya Tesis dan Disertasi Ibu Nurhayati Rahman tentang La Galigo, sempat di larang oleh Co Promotor Doctornya - Prof. Dr. Mattuladda, karena jangan sampai disertasinya tidak selesai dan terlalu rumit membaca naskahnya, karena sebahagian huruf-huruf (kosa kata) di dalam naskah kuno tersebut telah hilang.
Bahasa Bugis Kuno berbeda dengan bahasa Kawi (bahasa jawa kuno). Sekalipun ada beberapa suku kata yang mirip, karena terserap dari bahasa sangsakerta. Seperti, diksi "palguna" (Bahasa Sangsakerta). Karena di bugis tidak ada huruf mati, maka penyebutan verbalnya di sebut "palaguna". Atau seperti Dewat Langit, Sang hiyang, dsb.
Teks Kuno kitab La galigo memang belum banyak di bahas, padahal di dunia barat (Inggris dan belanda). Kitab La galigo sudah pernah di salin.
Pada pertengahan abad ke 19, belanda mengirim orang - orang untuk belajar budaya - budaya penduduk setempat. Lalu, menerjemahkan Bibel (Injil) ke dalam bahasa dan huruf - huruf tua. Tidak hanya di sulawesi selatan, tetapi di seluruh indonesia. Di sulawesi selatan sendiri, yang di tugaskan untuk mempelajari budaya penduduk setempat adalah "Doctor Benjamin Frederic Matthes" - Kolektor la galigo dari belanda yang mempelajari bahasa bugis.
"Matthes" ini datang di sebuah kabupaten Si sulawesi selatan yaitu Kabupaten Pinrang, ia melihat ada orang sekarat (sudah mau meninggal). Tetapi, bukan Al Qur'an yang di dendangkan padanya, padahal seseorang tersebut adalah seorang muslim. Melainkan gubahan La galigo yang masih Tertulis dari huruf Lontara. Disitulah pertama kali Matthes berjumpa dengan huruf - huruf Kuno di sulawesi selatan dan tertarik mempelajari.
Namun saat itu belum ada masyarakat yang memiliki naskah La Galigo secara utuh. Hanya tersebar 1 jilid - 1 Jilid saja. Naskah yang tersebar 1 jilid saja itu sudah sesuatu yang sangat Luar biasa.
Obsesi Matthes untuk mengumpulkan semua naskah La Galigo secara Keseluruhan dan menyusunnya secara Kronologis. Akhirnya ia meminta Bantuan seorang bangsawan bugis, yang saat itu menjadi Tapol (Tahanan Politik) di makassar, di bayar secara profesional dan kita tidak bisa membayangkan betapa rumitnya pengerjaannya, karena hampir 10 tahun dengan jumlah 12 Jilid. Di tulis secara manual - dalam terma Bugis di sebut Kallank (Qolam : Bahasa Arab).
Genre La galigo menyangkut banyak hal - Tentang Etos dan semangat, tentang ritual, Tentang Alam semesta di ciptakan, tentang Cinta, tentang manusia pertama, tentang pengembaraan, dsb.
La Galigo adalah kitab suci orang Bugis makassar. Sebelum menjadi seorang yang beragama (Muslim dan Kristen). Ihwal itulah mengapa isi kitab La Galigo cukup di sucikan dan punya Sakralitas, sekalipun orang bugis makassar telah memeluk Agama.
Salah satu gubahan di dalam La Galigo bercerita tentang Para dewa dan dewi yang ada di langit, yang bernama Kerajaan "Boting Langiq" (kerajaan langit). Di kerajaan "Boting langiq", ada dewa tertinggi bernama "Patotoe" (Sang Penentu Nasib) dan Ratunya "Palinge". Selain itu, Di dunia bawah atau Laut di sebut "Peretiwi", di pimpin oleh Seorang Dewi (Saudara PatotoE) "Dewi Sinauq Toja" Dan Suaminya Guru Ri Selleq Dan dunia tengah - antara Dunia langit dan dunia bawah (laut), di sebut "Kawaq, alelino" - Bumi.
Suatu Waktu "Patotoe", dewa tertinggi sangat marah karena penjaga ayamnya tidak ada di tempat. Yang mengakibatkan ayam Patotoe berkeliaran di istana boting langiq. Di panggil-lah penjaga ayamnya, dari mana engkau selama tiga hari ini?. Jawab penjaga ayamnya, "saya dari Bumi Tuanku. Ternyata bumi kosong. Apalah arti Tuanku sebagai dewa, jika tidak ada manusia yang menyembahMu. Makanya, lebih baik Tuanku menurunkan keturunan di dunia untuk berkembang biak, agar ada yang menyembahmu".
Jawaban Penjaga ayam Patotoe logis dan masuk akal dalam benak Patotoe. Akhirnya, patotoe mengadakan musyawarah besar. Patote mengundang saudara perempuannya di dunia bawah (laut), yang menjadi Dewi di sana untuk naik ke langit, dengan menggunakan pelangi sebagai tangga untuk naik ke langit.
Dari hasil musyawarah di Istana Langit, di putuskanlah bahwa harus ada putra "Patotoe" dari Langit yang di turunkan ke bumi dan putri "Datu Sinauq Toja" di naikkan ke Bumi. Lalu, mereka di kawinkan, agar mereka berkembang biak dan bumi Tidak kosong.
Kalau kita mengkomparasi Cerita tentang penciptaan langit dan Bumi dalam Naskah kuno La Galigo ini, dengan beberapa cerita dalam agama - agama. Misalnya dalam Kristen - Yudhaisme, bahwa pelangi adalah bukti janji Tuhan dengan manusia setelah membuat dosa. Sedangkan, Di La Galigo pelangi adalah Tangga yang di gunakan oleh dewa dan dewi untuk naik dan turun ke bumi.
Dari cerita epos di Sulawesi selatan kita bisa mengetahui pertama kali proses penciptaan langit dan bumi.
Dewa Patotoe sebagai Dewa Tertinggi langit dan Dewi Sinauq Toja sebagai dewi Tertinggi di dunia bawah (laut), sesungguhnya bersaudara. Anak mereka yang pertama yang di turunkan ke bumi dan di naikkan ke bumi. Lalu, di nikahkan.
Tokoh utama dalam Naskah Kuno La Galigo adalah SAWERAGADING. Yang terkenal dengan Petualangan Lautnya. Mengapa?. Karena Karajaan - kerajaan harus di bina, dengan cara berlayar. Dari proses pelayaran tersebut, saweragading bertemu dengan beberapa tokoh - Tokoh di dunia. Artinya, cerita ini telah Kosmopolit. Karena di gambarkan, Ada China, ada india, ada sriwijaya, dsb.
Hal itu yang membuat para sejawaran dan budayawan memperkirakan bahwa Cerita ini lahir, pada saat kejayaan Hindu di nusantara, tetapi tidak berakar secara keseluruhan di Sulswesi selatan, hanya sepintas saja. Tidak seperti di jawa, bali, dsb. Yang Konstruksi hindu dan Budhanya sangat kuat.
Sejarawan berbeda pendapat soal abadnya, Prof Mattuladda menyebutkan sekitar abad ke 7 - 10. Prof Noer Daeng di Belanda memperkirakan sekitar abad ke 10. Sedangkan Cristian Pelras - Penulis buku manusia Bugis, menyebut sekitar abad Ke 11. Tetapi, yang pasti sebelum Islam masuk.
Di dalam La Galigo, semua episodenya menceritakan. Seseorang tidak akan di lantik menjadi Raja, sebelum ia berlayar. Hal ini sangat bertautan dengan etos masyarakat bugis makassar untuk berlayar, sekaligus bentuk penghargaan terhadap laut. Makanya, dalam La Galigo Buaya tidak di sebut Buaya. Tetapi, sang Pemilik air - "Datu Palingeq".
Cerita La Galigo ini, orang tahu bagaimana bumi di ciptakan, bagaimana kepahlawanan Saweragading, bagaimana hubungan antara manusia dan alam.
Secara Kosmogoni, Dunia kita ini berada di tengah - tengah. Antara langit dan Laut. Beberapa mitos di dunia ini, laut dianggap tempat gelap dan hitam (tempat para setan). Tetapi, dalam tradisi masyarakat Bugis makassar, laut adalah tempat para dewa dan dewi yang hidup di dasar laut. Makanya harus di hargai dan di hormati. Itulah sebabnya, cara menghormatinya sebelum masyarakat bugis makassar menjadi Muslim, ada dua : Jika ia hendak menyembah ke langit, ia naik gunung. Jika, ia menyembah kepada laut, maka mereka mendatangi laut atau pinggir laut, sungai atau danau.
Secara Filosofis, manusia tinggal dan hidup di dunia tengah, Tidak di langit dan laut atau tergantung. Maka, meniscayakan bagi mereka untuk berlayar. Dan fungsi pelayaran, untuk menjaga keseimbangan - Harmoni.
Hal inilah yang di representasikan di dalam kehidupan Masyarakat bugis makassar. Misalnya, dalam Sistem pemerintahan orang bugis makassar, menurut Prof Dr. Zainal abidin, Orang bugis makassar, satu - satunya yang memiliki bentuk pemerintahan di dunia ini yang tidak melalui Penaklukkan. Tetapi melalui kontrak sosial dan kontrak sosial yang mengikat masyarakat bugis makassar dianggap sebagai Kontrak sosial tertua Di dunia.
Sebelum jauh, saya sebutkan dulu : Saweragading adalah Cucu dari Batara Guru. Batara Guru adalah Anak Pertama (Manusia pertama di dunia) dari PatotoE yang turun dari langit. Di nikahkan dengan Putri Dari Dunia bawah (Laut), yaitu We Nyili Timoq".
Batara guru dan We Nyili Timoq menikah dan punya anak bernama "Batara lattu". "Batara Lattu" menikah dengan We Tenriyabeng" dan memiliki anak bernama Saweragading. Saweragading yang kelak menikah dengan I we Cudai (Saudara Kembar). Sekalipun dalam Fakta sejarah yang tertulis dalam naskah tersebut di sebutkan bahwa Saweragading memang beberapa kali menikah.
Saweragading sendiri memang di lahirkan kembar (Kembar emas). Kembar Emasnya Bernama "We Tenriyabeng". Agar ia tidak jatuh cinta kepada saudara kembarnya ketika kelak besar. Maka, di pisahkan lah tempatnya. Tetapi, dalam sebuah momentum, Saweragading melihat perempuan cantik, yang ia sendiri tidak tahu bahwa itu adalah saudara kembarnya. Saweragading Terkesima dan jatuh cinta sebagaimana layaknya orang jatuh cinta. Akhirnya ia berkeinginan untuk menikahinya.
Namun menikahi Saudara kembar dapat mendatangkan bencana bagi kehidupan di tanah tersebut.
Rapat dewan adat di laksanakan untuk membicarakan persoalan Saweragading, yang keputusannya berisi rekomendasi untuk menanyakan kepada Raja - Batara Latuq, " apakah engkau memilih anakmu atau RakyatMu". Batara Latuq menjawab, "Saya memilih Rakyatku. Kendati saya harus mengorbankan keinginan anakKu".
Akhirnya saweragading Di perintahkanlah untuk mencari Saudara sepupu saudara kembarnya yang berada di negeri Cina - Tanete (Bone) perawakan, paras dan kecamtikannya mirip dengan saudara kembarnya - We Tenriyabeng. Dari situlah Saweragading melakukan pelayaran Ke Cina. Proses ini sangat panjang, karena beberapa kali lamarannya di tolak. Sekalipun pada akhirnya ia menikahi dengan Sepupunya yaitu I We Cudai dan melahirkan keturanan bernama La Galigo.
Salah satu point yang bisa kita ambil, bahwa di masa itu sudah ada dewan adat. Sehingga sang raja tidak serta merta memberikan titah dan dewan adat tersebut di ceritakan secara detail dalam Naskah La galigo, bagaiamana mereka memutuskan suatu perkara.
Artinya pemisahan kekuasaan - Raja tidak memegang kekuasaan absolut, yang di jabarkan dalam Trias Politika. sudah di Praktekkan dalam bentuk kerajaan dalam masyarakat bugis makassar.
Kalau kita mau mencoba mengkomparis hal ini, misalnya Kontrak sosial tentang pemisahan kekuasaan yang kita kenal hari ini. Di mulai oleh Jhon Locke atau Thomas Hobbes sejak abad 17 - 18. Atau di tarik ke belakangan sedikit di Masa Jhon Calvin di eropa, ketika mereka bingung tentang kekuasaan gereja yang mengatasnamakan Tuhan menjadi kekuasaan yang Mutlak. Maka, mulailah ada pergerakan untuk memisahkan kekuasaan (Eksekutif, Yudakatif dan Legislatif).
Tetapi, hal itu telah di bahas dan di laksanakan dalam Praktek kerajaan di Sulawesi selatan di abad ke 7 - 8.
Diatas saya sedikit menyinggung tetang musyawarah agung di boting langiq, saudara perempuan Patotoe di hadirkan dan di mintai pendapat. Pendapatnya diperhitungkan. Dalam beberapa tradisi kita, agama atau budaya - budaya kita, kebanyakan pendapat perempuan tidak di perhitungkan. Selain itu, Raja juga menerima pendapat dan mengikuti saran dari Penjaga ayamnya.
Artinya dalam Naskah La Galigo ada semacam panduan untuk memperlakukan Gender yang berbeda dan kelas sosial yang berbeda. Sekalipun saat itu belum ada terma Kelas sosial. Bahkan, Terma "Hamba" waktu itu di sebut sebagai "Bissu patudang - Mahkluk Suci yang melayani". Saking di hargainya manusia waktu itu.
Makanya menurut Prof Fredie dari belanda menyatakan, "Dulu tidak ada di sulawesi selatan. Kelak, kita kenal terma hamba ketika Akulturasi Hindu masuk yang membagi kelas - kelas sosial secara Tajam".
Tesis dari dunia eropa, bahkan Dunia timur, sebelum pergerakan feminisme yang mungkin terjadi setelah abad 19 - 20. Memang wanita tidak di perhitungakan dalam ranah - ranah publik dan tidak punya hak memilih. Mereka belum paham tentang peran dunia perempuan dalam ruang - ruang publik.
Secara antropologis di dunia ini, sistem kekeluargaan secara garis besar di bagi tiga : 1. matriarki - sistem kekeluargaan berdasarkan garis Ibu, seperti yang di praktekkan orang Minang, sebahagian di India dan Afrika. 2. Partiarki - Sistem kekeluargaan berdasarkan garis ayah. Seperti, di barat. 3. Bilateral - Keseimbangan berdasarkan Negosiasi dan kompetensi.
Point ketiga inilah yang sangat di rindukan oleh kaum Feminisme dan gerakan - gerakan gender yang ada di barat.
Hampir semua peneliti, baik barat maupun indonesia mengatakan bahwa sistem kekerabatan Yang di anut oleh masyarakat bugis makassar adalah sistem kekerabatan Bilateral - Keseimbangan.
Keseimbangan antara lelaki dan perempuan di dalam Naskah La Galigo, memang belum diatur secara terperinci. Kelak, di aplikasikan ke dalam sistem pemerintahan Tradisional, yang hampir mirip dengan Konsep demokrasi, perempuan - perempuan mendapat tempat yang istimewa. Seperti lelaki.
Tidak ada di dunia ini yang memberikan lima Tempat kepada gender seperti yang tertuang dalam naskah La Galigo di sulawesi selatan. Bukan dua dan tiga saja, tetapi lima : 1. Lelaki. 2. Perempuan. 3. Calabai - Lelaki yang berperilaku seperti perempuan. 4. Calalai - perempun yang berperilaku seperti lelaki. 5. Bissu - bukan lelaki dan bukan perempuan.
Mengapa Bissu harus independen, karena ia berfungsi menghubungkan manusia dengan Tuhan. Kapan Bissu menjadi independen, ia akan menjadi partisan.
Semua gender tersebut di berikan tempat dalam struktur Khusus di masyarakat Bugis makassar, yang di praktekkan selama ratusan tahun yang lalu.
Kalau kita baca sejarah - sejarah di sulawesi selatan. Bagaimana perempuan - perempuan menjadi raja dan memimpin perang. Makanya, James Bruck saat datang Di Sulawesi Selatan tahun 1812, la kaget melihat perempuan bugis makassar keluar rumah tanpa meminta izin suami. Berkuda, memimpin perang.
Perang paling dahsyat yang di hadapi belanda sampai mereka meminta bantuan ke batavia, yang di pimpin oleh seorang perempuan Bugis bernama Sultana Sitti Aisyah ummul Hadi Ilal Hadi - Raja Bone ke 22.
Tetapi, konsep demokrasi barat dan Konsep demokrasi Sulawesi selatan berbeda. Konsep demokrasi barat sangat liberal - Suara Rakyat adalah Suara Tuhan (Fox Populi Fox Dei). Kalau dalam La Galigo, di sebut "Solo mpawawoi dan Mangelleqpasang (air yang mengalir dari atas ke bwan dan air yang menghempas ke darat)". Pertautan antara suara dari atas dan dari bawah inilah yang di godok oleh dewan adat yang berfungsi sama dengan DPR. Dewan adat inilah yang mengeluarkan UU - Aturan.
Selain itu, Dalam merumuskan aturan, juga di anut perbandingan Hukum yang tidak statis, melainkan dinamis. Makanya di anjurkan untuk berlayar, karena ia bisa menemukan sistem adat dan tradisi di tempat-tempat lain, serta hal itu memungkinkan untuk di adopsi, sepanjang hal itu memenuhi unsur - unsur keadilan. Setelah dia dapatkan Kearifan lainnya yang berbeda tersebut, di praktekkan dan di Ekspor lagi keluar. Seperti itulah cara Masyarakat bugis makassar menyebar kearifan Peradaban mereka.
Betapa dalamnya apa yang tersirat dan tersurat di dalam La Galigo.
Di dunia barat menganggap, pertama manusia di ciptakan, karena manusia adalah manifestasi dari Tuhan. Maka ia punya kebebasan berbicara. Lahirlah Etos Individualisme dan Liberalisme. Manusia di tempatkan di dunia untuk menjaga dunia sebagai representasi kekacauan. Itulah sebabnya, pertanyaan manusia dan alam atau manusia dan budaya selalu menjadi penting bagi budaya - budaya barat.
Tetapi, dalam Penciptaan manusia dalam La Galigo, merupakan Produk dari langit dan Laut untuk mencri keseimbangan antara order dan Chaos dengan cara berlayar. Dari situ kita bisa temukan etos tentang lingkungan Hidup (Alam semesta) dan manusia bugis makassar menyadari betul posisi di dunia dan seperti apa cara dia memperlakukan alam semesta.
Mengapa Masyarakat Bugis makassar begitu demokratis dan hak - hak individu sudah di atur, bahkan memberi tempat kepada semua manusia tanpa memandang kelas sosial dan gendernya. Hal itu di kenal dengan terma : "pada idi, pada elo, sipatuo, sipatokkong" (Seiya, Sekata, Saling membantu, saling menguatkan). Secara individu, semua manusia punya kemauan. Namun, secara sosial manusia harus saling menghidupi dan saling memanusiakan.
Secara Umum tiga tema besar dalam La Galigo adalah Demokrasi - keseimbangan antara suara raja dan suara Rakyat. Gender - keseimbangan antara semua jenis kelamin. Hak asasi manusia - keseimbangan antara hak individu dan solidaritas sosial.
Semua hal itu baru di sahkan oleh PBB di tahun 1920. padahal, telah lama di tulis dan di praktekkan oleh masyarakat Bugis makassar di abad ke 7 - 11 M.
Hubungan manusia dengan konteks sosialnya benar benar menjadi cikal bakal liberalisme dan nasionalisme, Thomas Hobbes dan Jhon locke adalah peletak kontrak sosialnya di barat. Bahwa manusia adalah mahkluk individu. Tetapi, tidak bisa setuju satu sama lain. Sehingga Butuh negara untuk mengarbitrase permasalahan diantara mereka. Lalu, memberikan kepada negara sedikit dari Hak individu mereka, supaya mereka semua bisa berada di dalam sistem yang stabil.
Namun, ada pandangan Lokal yang menuntun bagaimana seharusnya manusia bernavigasi diantara sistem sosial dengan manusia manusia yang lain, Yaitu La Galigo.
Salah satu Kearifan Masyarakat Bugis makassar adalah Pelaut. Ihwal itulah, masyarakat Bugis makassar secara otomatis sangat kosmopolit. Bertemu dengan banyak bangsa dan satu - satunya yang bisa menjaga keseimbangan tersebut dengan saling menghargai antara hak - hak individu dan hak -- hak sosial.
La galigo sebenarnya di tulis bukan untuk di baca sebagai Individu seperti di barat. La Galigo di tulis untuk di abadikan yang berfungsi untuk di dendangkan di muka publik. Sebab, tidak semua masyarakat punya Naskah La Galigo. Makanya nilai yang terkandung di dalamnya Harus di sebar. Cara mendendangkan Gubahan - Gubahan di dalam La Galigo di sebut dengan "Ma sureq". Bayangkan saja 360 ribu bait. baitnya tidak tersusun seperti puisi. Setiap bait dalam La Galigo saling bersambung. 360 ribu bait inilah yang di kukuhkan oleh Unesco sebagai Memori of the world.
Salah satu Penyalin La Galigo yang berisi 12 Jilid adalah "Retna Kencana Colliq Pujie" - Bangsawan Bugis yang berketurnan Melayu dari jalur Ibunya dan ayahnya adalah Raja Tanete.
Dalam Struktur penulisan La Galigo mereka benar - benar telah memikirkan bagaimana caranya mempreservasi pengetahuan tersebut, karena di dendangkan. Sebenarnya tidak banyak Gubahan yang di dendangkan dengan Per-Lima suku kata.
Mungkin tidak banyak di kebudayaan - kebudayaan timur tengah. Mungkin, seperti Song of solomon - Kidung agung. Hal itu juga berirama.
Saya cuman mau bilang betapa tetua kita dahulu sangat dalam cara berpikirnya, bukan hanya menyampaikkan isi dari kata - kata di Kitab La Galigo. Tetapi, juga cara mempreservasi penyampaiannya. Sebab, sangat penting untik generasi selanjutnya untuk tahu isinya dan tidak lupa dengan cara mendengdangkannya.
Hanya dengan cara Mendendangka lah cara mensosialisasikan nilai - nilai kitab tersebut kepada masyarakat umum. Makanya, biasanya kalau anak raja menikah. Mereka mengundang "Pa sureq (Pendendang)" atau kalau ada yang mau pergi berlayar, ada tradisi "Ma Sureq" di pinggir laut atau kalau mau menanam padi, 1 hari 1 malam orang akan Ma sureq.
**
Cara manusia memperlakukan alam, hari ini telah mendominasi isu - isu geopolitik, yang dalam waktu bersamaan mempengaruhi isu - isu domestik. Karena bumi ini untuk di pakai bersama - sama. Bagaimana orang menyikapi alam, sangat memiliki akar dengan kebudayaan. Dulu, Barat menganggap Indonesia adalah orang Oriental atau Alam kacau dan mereka (barat) adalah Manusia. Jadi kedatangan mereka ke indonesia untuk memberi ketaraturan agar tidak lagi mejadi buas.
Karena ada perubahan paradigma, iklim dsb. Hal itu berbalik, bahwa alam itu di pandang sebagai perawan yang suci dan manusia itu seperti kangker atau orang jahat. Dunia ini telah berbalik.
Ada satu episode tentang "Meong Paloe" bercerita tentang Petualangan Putri Batara Guru yang meninggal ketika Berusia 7 hari. Seminggu kemudian, Batara Guru dan Istrinya meninjau kuburannya. di kuburan tersebut tumbuh padi yang sangat banyak. Ternyata anak Batara Guru tersebut di takdirkan sebagai "Sangiang sri" (Pengaruh Hindu mulai masuk ke sulawesi Selatan sekalipun hanya sebatas istilah verbal) : Dewa padi - Simbolisme Kesuburan.
Memang di dalam petualangan dalam La Galigo, saat pertama kali ia meninggalkan kerajaan Luwu. Ia marah, karena orang Luwu hanya memakan sagu (Saat ini makanan paling populer di dunia, bernama Kapurung).
Tersinggunglah Dewi Sangiang sri, karena mereka tidak makan padi. Akhirnya ia pergi ke enrekang. Tetapi, manusia sangat jahat karena kucingnya di pukuli. Akhirnya ia meninggalkan lagi tempat tersebut. Hampir semua kabupaten ia lewati, bukan berlayar seperti Tokoh - Tokoh La Galigo yang lainnya. Semua yang di lewati oleh Dewi Sri, mendeskripsikan Hubungan antara manusia dan alam.
Mengapa Kucingnya Dewi Sri di pukul kepalanya saat mengambil ikan di soppeng, karena memang di soppeng tidak ada laut - Susah ikan. Begitu seterusnya sampai di Kabupaten Barru. Di situ ia di jamu dengan Ikan, di jamu dengan beras, masyarakatnya Ramah, tidak menaikkan harta di tengah malam - Mencuri.
Di kabupaten barru inilah ia mendapatkan semua yang dia inginkan. Tetapi, karena ia sudah terlalu lelah dari satu kampung ke kampung lain. Akhirnya ia raib ke langit melapor kepada kakeknya, " Saya sudah tidak mau hidup dunia. Karena manusia sudah tidak lagi memperlakukan alam dengan seimbang". Tetapi, kakeknya di langit mengatakan, "Engkau saya ciptkan memang untuk memberi kehidupan kepada manusia".
Dewi Sangiang Sri memilih kabupaten barru sebagai daerah tempat menetapnya, Yang secara kebetulan di situlah lahir penyalin Kitab La Galigo tersebut. Di Barru memang secara Topografi alamnya mewakili : Ada Lautnya, ada Gunungnya, ada daratannya sebagai salah satu penghasil beras. Ternyata tokoh - tokoh dalam La Galigo hanya mau menetap kepada orang - orang yang mau menghargai alam.
Ada makna tersirat sebenarnya, Bahwa manisfestasi dari alam di sebut dengan Dewi Sangiang sri - Sosok Feminisme. Kalau di komparatif kebudayaan Yunani, memang alam itu di representasikan sebagai Feminim atau Bumi Pertiwi - Perempuan.
Tidak hanya itu, Respectnya tidak hanya kepada tumbuhan. Melainkan kepada binatang juga.
Stunding poin dari narasi Meong Paloe diatas : Pertama Hubungan, antara sesama manusia. Hubungan manusia dan alam kedua, semacam penalti sosial - Tidak pantas dan tidak punya malu.
**
Di dalam La galigo itu adalah sistem Nilai. Salah satu nilai yang di pegang orang bugis makassar adalah Siri' na Pacce (Kesadaran Emosional untuk menanamkan budi Pekerti yang sesuai tuntunan alami dan kodrat manusia sebagai ciptaan Tuhan). Filosofi tertinggi bagi manusia Bugis makassar adalah "siri" - Harga diri dan martabat. Kalau hal ini yang di sentuh memang bisa menimbulkan image negatif dan Bisa Fatal akibatnya.
Pacce adalah solidaritas. Tetapi, solidaritas masyarakat Bugis makassar berbeda dengan apa yang kita pahami dari barat atau tempat lainnya. Pacce - solidaritasnya orang bugis makassar itu rela berkorban. Bahkan nyawanya sekalipun ia akan korban untuk melindungi sistem sosial yang dianut.
Siri' Na Pacce memang adalah satu kesatuan yang tidak bisa di dikotomi. Dalam bisnis misalnya, memang sangat individualis. Karena mereka punya prinsip, " ma sili sure wa rampa wa ta (badan ini boleh bersaudara secara biologis. Tetapi, harta kita jangan bersaudara). Ihwal itulah mengapa Orang Bugis makassar sangat di kenal sebagai Saudagar. Tetapi, ketika "Pacce" bicara, jangankan harta, nyawapun bisa saya berikan. Harta yang di kumpulkan banyak, Dapat di distribusikan demi solidaritas tersebut.
Orang Bugis makassar itu senang sekali bersaing dan satu - satunya yang mengikat persaingan tersebut adalah solidaritas yang sangat tinggi.
Begitu pun dengan konsep keadilannya berbeda dengan konsep keadilan yang di anut oleh barat. "Kalau terpaksa menempuh jalan kesulitan, beri di lawan seimbang". Dalam La Galigo di sebut, "apabila engkau bertemu dengan musuh di tengah laut, maka palingkanlah perahumu tujuh kali ke kanan, tujuh kali ke kiri. Kalau sudah tidak ada jalan yang di berikan kepada perahumu. Barulah engkau menempuh jalan kesulitan. Tetapi, sekali menempuh jalan kesulitan. Maka, jangan pernah mundur selangkah pun".
Inilah yang kerap membuat orang bugis makassar selalu nekat. Sebab, kalau sudah Siri'nya yang terganggu atau di ganggu. Nyawanya sekalipun akan dia korbankan.
Menarik sekali sebenarnya, sebab ada semacama cara orang Bugis makassar mamahami individualisme dan solidaritas. Artinya kebebasan individu tidak tumbuh liar kemana - mana dan mencederai kesenjangan sosial, karena di pagari oleh solidarisme yang original sebagai cara mereka memaknai manusia yang lain.
Selain itu misalnya, kalau bertemu musuh di laut. Hindrilah dulu untuk melihat ke kiri dan kanan. Kalau sudah mentok dan tidak ada jalan lain, maka harus di hadapi. Hal ini semacam stoicisme - sebuah mental pantang mundur menghadapi masalah, yang membuatnya punya karakter khas yang kita kenal dengan Keras.
Dulu sebelum raja di lantik ada kontrak sosial. Hal inilah yang di maksud Prof Zainal Abidin mendahului barat. Kontrak sosial inilah yang di tuliskan secara formal dan di baca pada saat pelantikan raja secara turun temurun sampai tahun 1901. Jadi sulawesi selatan hanya 44 Tahun di jajah belanda, tidak seperti wilayah lainnya.
Selain itu, waktu belanda berkuasa, kita jangan lupa bahwa mereka membuat UU yang salah satu pointnya adalah melarang perempuan mencampuri wilayah publik. Dari situlah perempuan - perempuan Bugis makassar mulai di domestifikasi.
Di tahun 1928, kita sepakat menjadi indonesia - satu bahasa, satu wilayah. Yang berpuncak ketika 1945 yang menjadi satu bangsa dan menjadikan pancasila sebagai Dasar hukum tertinggi.
Sayangnya, ketika semua rentetan ini terjadi dan berpuncak di Proklamasi, dengan 1000 lebih suku. Satu - satunya di dunia yang begitu banyak sukunya. Afganistan saja hanya 4 suku tapi perang terus. Sayangnya yang saya maksud adalah ketika kita menjadi Indonesia, kita berbondong - bondong meninggalkan rumah kecil kita (kearifan sebagai kekayaan Dan Khazanah yang sangat luar biasa).
Berbeda dengan Jepang dan Korea, mereka punya kearifaan yang terus di konstruksikan kepada generasi ke dalam semua segmen kehidupannya.
Sementara kearifan budaya kita di indonesia terputus, tidak di manej dengan baik saat kita menyatakan Untuk Bersatu sebagai sebuah bangsa?. Kita mengindonesia, tetapi kita tidak punya karakter, menjadi bangsa yang Inferior. Bahkan segala sesuatu yang datang dari barat kita kagun dan kita anggap kehebatan yang sangat luar biasa.
Saya tidak menyalahkan indonesia. Tetapi, sistem kita tidak menyajikam keseimbangan untuk tetap mempertahankan kearifan kita menjadi Nilai yang menubuh dan menyejarah, sehingga menjadi sikap dan karakter yang menghiasi manusia indonesia.
Misalnya kita ke daerah - daerah, Banyak sekali terpampang tulisan, mari berbahasa indonesia yang baik baik dan benar. Pernah kah ada keseimbangan yang meniscayakan atau Pamflet yang menyebutkan, "marilah menggubakan bahasa ibu dengan baik dan benar sekalipun itu di rumah saja". Tidak ada.
makanya, Di perkirakan dari 1000 suku yang mendiami indonesia, setengahnya akan Punah. Kenapa di sebut 1000 suku, karena bahasanya berjumlah 1000. Apa indikatornya?. Semua ibu muda tidak ada lagi berbahasa Ibu kepada anak - anaknya. Jadi salah satu yang bertanggung jawab kehancuran peradaban bangsa ini adalah para Ibu.
Kita mengindonesia, tetapi ketika kita tanya yang mana indonesia itu?. Hal itu yang di sebut Ben Anderson, bahwa sebenarnya Indonesia itu adalah Just Imajinations - hanya imajinasi. Mana ada indonesia, sebab ketika kita keluar, yang terkenal hanya Jawa, sunda, makassar, bugis, timur, minang, dsb.
Kita ini memang kebablasan akibat Eforia kemerdekaan saat lepas dari penjajahan, sehingga melupakan bahwa Kita adalah indonesia. Sebab, tidak ada peristiwa sejarah se-Cermerlang indonesia yang mampu merangkum 1000 suku, bahasa dan wilayah yang begitu memukau seperti indonesia. Riak dan konflik itu ada, tetapi eskalasinya tidak separah yang terjadi di balkan, timur tengah, soviet, dsb.
Para petinggi bangsa kita ini mulai gelisah, melihat kebablasannya kebebsan yang melanda Generasi kita, sudah tidak ada sistem filter terhadap katakter dan perilakunya. Sehingga mereka berkeinginan untuk mengembalikan Pelajaran P4, seperti di zaman orba. Padahal, mereka - mereka yang telah mendapatkan penataran P4 di zama orba itulah semua para koruptor dan palukka.
Artinya apa, penataran P4, hanya mengahsilkan manusia - manusia penghafal. Bukan manusia yang Original dalam laku dan sikap atau Semua Sumber nilai yang kita anut tidak menubuh dan menyejarah.
Lantas apa?. Kembalikan Pancasila ke rumah - rumah kecil orang indonesia. Orang Bugis makassar punya sistem nilai sendiri dalam mendidik anak-anaknya. Orang Papua punya sistem nilai sendiri, orang sumatera punya sistem nilai. Oramg timur Punya sistem nilai sendiri, orang jawa, orang sunda, orang kalimantan dan sumatera punya sistem nilai Hidup sendiri. Jangan simpan semua sistem nilai hidup tersebut di jakarta, baru anda - anda semua mau menatar generasi sampai pelosok - pelosok.
Anak - anak muda yang menggantikan generasi sebelumnya pun tidak memahami bahwa kekayaan terbesar kita adalah kita punya Rumah - rumah kecil yang lahir dari akar kebudayaan yang begiru kuat.
Rumah kecil - Rumah Kecil Kita di Indonesia adalah Kekayaan yang tiada tandingannya di dunia dan Betapa Bangganya saya menolak semua Konsep Westernisasi.
SEKIAN...!
Makassar, 10 Mei 2025
*Rst
*Pejalan sunyi
*Nalar Pinggiran

.jpeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar