Mengenai Saya

Senin, 31 Agustus 2020

HIJRAH ; BUKANLAH PERFORMA SIMBOLIK



Terma umum kebanyakan kita, bahwa 'hijrah' berarti 'pindah - bergerak dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Padahal, Hijrah berbeda dengan Migrasi, hijrah adalah term khas Islam yang landasanya adalah keimanan kepada Allah. Selain itu juga, Hijrah Nabi tidak terjadi di Bulan Muharrom. Tetapi, Hijrah Nabi di Jadikan sebagai kerangka Acuan dalam menentukan kalender Islam - Hijriyah.  

Saya uraikkan sedikit, mengapa sampai di namakan Tahun Hijriyah. Saat Nabi Muhammad menjadi Presiden, menjadi Khalifah, menjadi pemimpin negara, belum ada kalender Hijriyah. Begitu Nabi Meninggal, Sayidina Abu Bakar menjadi Khalifah, selama 2 Tahun. Masih Belum ada juga Kalender. Abu Bakar meninggal, di gantikan oleh Umar Bin Khottab sebagai Khalifah, selama 5 tahun. Saat Sayidina Umar Menjadi Khalifah, datanglah Gubernur, Abu Musa Al Asya'ari membawa surat dan menyatakan, "Wahai Khalifah - Umar,  kami Malu sebagai Gubernur menerima surat dari Gubernur tetangga karena mereka memakai Kalender, sedangkan surat kita tidak ada tanggal dan tahunnya. 

Bertolak dari itulah, spirit pembuatan kalender Islam di Mulai, yang prosesnya melewati berbagai dialog. 

Sayidina Umar Mengumpulkan sahabat-sahabat senior - Kibarus sahaba untuk bermusyawarah. Hal itu menunjukkan bahwa Sayidina Umar bukanlah pemimpin diktator. Memang sayidina Umar, jika lewat di sebuah jalan, setan akan putar balik lewat jalan lain. Kalau kita, mungkin akan satu rute dengan setan. Itu pun kita masih saja sombong, tidak mau bermusyawarah jika memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan Ummat. Sayidina Umar saja masih meniscayakan untuk bermusyawarah sebelum mengambil keputusan. karena dulu, Nabi berpesan, Jika hendak mengambil keputusan, lihat di dalam Al Qur'an. Kalau tidak ada dalam Al qur'an, ambil di hadist. Kalau tidak ada di dalam Hadist, tanya sahabat-sahabatku. Mungkin kamu tidak tahu hadistnya, sahabatku tahu. 

Saat Umar mengumpulkan sahabat dan menanyakan kapan kita mulai penanggalan Islam. Pendapat yang pertama menyatakan, kita ambil dari mulai lahirnya Nabi Muhammad SAW. Pendapat pertama ini di tolak, karena 40 tahun Nabi sudah lahir, tak ada perubahan signifikan terhadap pelaku maksiat. Maka, pendapat pertama tidak cocok untuk di jadikan acuan penanggalan islam. Karena 40 tahun nabi setelah lahir, dia hanya melakukan kebaikan untuk dirinya saja. 

Pendapat kedua menyatakan, kalender Islam di mulai ketika turun Al-Qur'an. Pendapat kedua pun di tolak, karena Al qur'an telah turun 13 tahun, tetapi tidak ada perubahan, sama seperti pendapat pertama. Hal itu menunjukkan, bahwa kitab suci jika tidak di amalkan, tidak akan membawa apa-apa. Maka tidak bisa kita mulai kalender islam dengan turunnya al qur'an. 

Ada lagi yang berpendapat, masih ada. Jadi, dialog yang terjadi seperti sidang paripurna. Cuman musyawarah yang terjadi saat itu, tidak seperti yang musyawarah sekarang. Maka, kalau di katakan siapa yang paling hebat menerapkan gagasan demokrasi dalam sejarah dunia adalah Islam. Sebab, Islam menghormati manusia bukan karena apa casingnya, tetapi, apa Isi kepalanya - pikirannya. Sebagaimana Bilal bin abi rabah, berkulit Hitam, budak, hamba sahaya. Tetapi, di pakai Nabi mengumandangkan adzan. 

Pendapat ketiga, menyatakan bahwa kalender islam di mulai dari meninggalnya Nabi Muhammad. Pendapat ini pun di tolak. Sebab, tidak bisa di bayangkan jika pendapat ini di terima, kita akan menyambut tahun baru islam sekaligus kita berTa'ziah. 

Pendapat ke empat yang menyebutkan bahwa Kalender Islam mengacu pada peristiwa Hijrahnya Nabi, datang dari Sayidina Ali yang di terima oleh Sayidina Umar, sekalipun belakangan Ihktilaf, yang menyebutkan bahwa usulan kaleder Islam mengacu pada peristiwa Hijrahnya Nabi atas Usulan Umar sendiri, yaitu Hijrahlah yang memisahkan Mana yang Hak, mana yang bathil, yang di setujui oleh seluruh sahabat. 

Terlepas dari siapa yang mengusulkan, baik Umar Bin Khottab atau Sayidina Ali bin abi thalib R.A. yang pastinya Gagasan mereka menamakan tahun-tahun kehidupan yang di jalani oleh orang-orang Islam dengan mengikutkan pada peristiwa-peristiwa hijrahnya Nabi, yang dengan itu setiap orang islam bisa belajar. 

Tahun yang melekat dalam kalender Islam di sebut dengan Tahun Hijrah. Kata Hijrah berasal dari kata Hajarah ; Ha Jim Ro. Jika di tambahkan Alif, maka menjadi Haajaroh. Bentuk sifatnya Adalah Hijrah. Kata Hajaroh secara bahasa artinya Berpindah secara cepat, pada keadaan yang lebih baik menurut Allah. Perpindahan ini hampir tidak ada hambatan dan tantangan. Sedangkan kata Haajaroh, berpindahan dengan proses (alif), yang tidak mudah di raih. kadang tidak semudah mengucapkan kalimatnya, butuh perjuangan dan proses yang teramat panjang. 

Jika kita bisa melewati itu, maka kita dapat menyebut dengan Hijrah. 

Kalau kita perhatikan di dalam Al-Qur'an atau di Hadist-hadist Rosulullah, umumnya, walau tidak semuanya, kalimat-kalimat Hijrah di bentuk menggunakan kata kerja atau menggunakan kata Hiijrah (menggunaka Alif - Panjang), baik dalam bentuk Fi'il madi, fi'il amar atau Fi'il mudhori. Misalnya dalam Q.S. An -nisa ; 100, "waa may yuhaajir fi sabilillah - dan siapa yang berkeinginan untuk berhijrah jadi lebih baik dalam pandangan Allah". Mengapa kalimatnya menggunakan alif, karena merubah keadaan untuk menjadi lebih baik dalam ukuran Allah, tidak semudah dengan apa yang kita ucapkan. 

Kalau kita kembalikan ke kalimat Hijrah, ada banyak sahabat-sahabat Nabi yang berhijrah dari mekkah ke Yastrib. Apakah di kira hanya lansung datang saja, lantas mendapatkan kenikmatan?. Tidak. mereka harus melewati tantangan-tantangan dan proses yang panjang, bahkan Nabi Di kejar-kejar, sampai bersembunyi di Gua tsur bersama Abu bakar selama 3 hari 3 malam, menghadapi ribuan pasukan yang siap, bahkan bertaruh nyawa. Jika malam itu Rosulullah wafat, maka Mustahil - kecil kemungkinan kita bisa memeluk islam. 

Selama 3 hari 3 malam rosulullah bersembunyi di Gua Tsur bersama Abu Bakar, sedangkan beberapa sahabat lainnya mejalankan perannya masing-masing. misalnya yang membawakan makanan adalah Asma. Yang membawakan berita atau perkembangan informasi, bahwa Nabi telah hilang di Mekkah adalah Abdullah - anak Abu bakar. Yang menjadi Stund Men - pengganti tempat Tidur Nabi adalah Sayidina Ali. Ada juga yang berpura-pura mengembala kambing di bawah Gunung Tsur untuk memberi kode atau Intel, bernama Amir Bin Fuhaira. Ada juga yang menjadi penunjuk jalan, agar melewati Jalur Khusus dari mekkah ke Yastrib, bernama Abdullah Bin Khuraiqin.

Hijrah itu Kata Nabi, "wal muhajir man hajara manakallahu an - orang hijrah itu adalah orang yang meninggalkan yang di larang oleh Allah". 

Sebagaimana yang saya sampaikkan diatas, salah satu ayat tentang Hijrah. Kalau kita tinjau Dalam Al qur’an tidak kurang dari 31 kata yang berasal dari kata Hajara - Hijrah. Dari jumlah itu tidak kurang dari 6 ayat yang menyebutkan kata "Haajaruu" bergandengan dengan kata "Aamanuu" dan "Jahaduu". Belum lagi kata Haajaruu diiringi dengan kata "Fillah" atau "Fi Sabiilillah" 

Artinya Hijrah, sebagai sebuah gerakan secara fisik sangat berkaitan dengan gerakan yang bersifat spiritual. Dalam konteks modern saat ini, bahkan kegandrungan kita. hijrah, dipahami sebagai upaya untuk mengubah performa simbolik - material saja. 

Jika hal itu sedang kita lakukan, maka itu yang di maksud dengan Chaos - Kontradiktif. Ia hidup secara biologis dan melakukan rutinitas. tetapi mati secara spiritualitas. Akibatnya ia kehilangan kesadaran eksistensialnya - dalam terma Moh Iqbal (Penyair asal pakistan) menyebutnya sebagai " Mati sebelum ajalnya tiba (Mayat Hidup)". 

Padahal Hakikat Hijrah meniscayakan kita (paling tidak) memadukan antara performa simbolik dengan perpindahan Kesadaran (Spiritual), Karena sungguhnya yang di Harapkan adalah Hijrah Spiritualitas (Kesadaran) yang mengantarkan kita untuk kembali ke titik nol - Normal Sciene dalam Terminologi "Thomas Kuhn". 

Jika melacak Tipologi manusia modern, dalam ungkapan sayyid Hossein Nasr, "manusia moderen "sedang berada di wilayah pinggiran eksistensinya, dan bergerak menjauhi pusat dirinya. Sedangkan pusat - esensi diri itu bersifat spiritual". Kondisi yang sama juga dicemaskan oleh Arnold J. Toynbee. Menurutnya, setidaknya ada dua hal yang melanda manusia modern dewasa ini, yaitu kosongnya jiwa dari nilai-nilai spiritual dan tegarnya dimensi matrealitas pada kehidupan mereka. 

Ihwal itulah, sehingga Menurut Murtadha Mutahahari, Hijrah Rosulullah SAW Ke Yastrib, Islam di tegakkan dengan dua 2 pilar ; Hijrah dan Jihad. Hijrah yang di maksud bukanlah perubahan simbolik dari performa yang "Salah" menuju tampilan yang "Shaleh". Tetapi, sebuah gerakan insani menuju ilahi - perpindahan dari egoisme menuju Alturisme - perjalanan menuju Tuhan dengan bakti pada Manusia. Sedangkan, Jihad bukanlah pertarungan dimedan perang melawan mereka yang kita anggap musuh. Tetapi, pertarungan melawan sifat-sifat hewani yang dishumanis, sehingga diri kita kerap tersingkir ke pinggiran eksistensi. 

Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Mekah tidak bisa kita identifikasikan - kategorikan dengan kerangka berpikir lucu seperti zaman sekarang: bahwa beliau akan “mendirikan Negara Islam” di Madinah. Beliau bukan akan “menegakkan Khilafah” dan menjadi Khalifah di Madinah - kalau kita memakai pola pikir seperti manusia abad 21. 

Beliau ke Madinah tidak untuk melakukan “kudeta”, memobilisasikan “revolusi” - menguasai “Parlemen” agar bisa mengubah konstitusi Madinah. Sepanjang beliau hidup di Madinah juga tidak pernah “nyapres”, tidak menjabat sebagai Khalifah sebagaimana para penerus di generasi berikutnya. 

Peradaban yang beliau bangun di masyarakat Madinah bukanlah politik dongok, libido kekuasaan, nafsu menjadi pejabat, rendah diri kepemimpinan, apalagi penyamaran kepemimpinan yang tujuan tersembunyinya adalah penumpukan harta dan megalomania eksistensi. Nabi Muhammad manusia rendah hati, bukan rendah diri seperti kebanyakan tokoh di kurun yang berlagak modern. Nabi Muhammad tinggi budi, bukan tinggi hati sebagaimana atmosfer ketokohan di banyak Negeri 14 abad sesudahnya. 

Hijrah beliau ke Madinah adalah hijrah “menjaga keharomonisan Alam semesta”. Mengajak semua penduduk yang heterogen untuk memperjanjikan perilaku di antara mereka menuju ketentraman, perdamaian, kesuburan, keadilan, kemakmuran, dsb dengan acuan “Kerelaan dan Keridhoan kepada Allah”. Mempersaudarakan Kaum Anshor dengan Kaum Muhajirin. Memperkeluargakan tuan rumah dengan pendatangnya. Tidak ada kekuasaan manusia atas manusia. Bahkan tidak ada otoritas bikinan Golongan Pandai yang mengikat rakyat banyak sebagaimana semua Konstitusi di abad modern. 

Semua penduduk, dari kalangan apapun, dari golongan, latar belakang, Suku, Agama atau jenis kepercayaan apapun, diajak menanamkan Hikmah atau Kebijaksanaan di dalam kesadaran pikiran dan nurani mereka. Bukan Hikmat Kebijaksanaan, tidak perlu berlebihan: cukup Hikmah, atau Kebijaksanaan: presisi terhadap manfaat bersama dan kemashlahatan kolektif. Maka rakyat Madinah sendiri yang berinteraksi langsung, berdialektika, berdiskusi, berdebat, menemukan keseimbangan di antara keperluan-keperluan. 

Rakyat langsung yang menyusun 47 Pasal Perjanjian di antara mereka. Piagam Madinah. Yang berlaku konstitusional di antara mereka. Bukan hukum kaum Cendekiawan mengikat rakyat. Melainkan rakyat sendiri yang mengikat diri mereka sendiri. Mereka taat tidak kepada Negara atau Khilafah, apalagi Kerajaan. Mereka taat kepada kesepakatan mereka sendiri. Tidak ada atasan yang besar kepala dan tidak ada bawahan yang hatinya kecil dan merasa berada di tataran terbawah. 

Sebagaimana Q.S. Asy-Syura ; 38 , Allah Berfirman - " Dan bagi orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. Kata “mereka” itu oleh perpolitikan dunia dari zaman ke zaman dipersempit menjadi hanya monopoli Kaum Cerdik Pandai. Memang mereka ini juga “mereka”, tapi bukan “mereka rakyat”. Hanya di Negara Madinah “mereka” itu bermakna seluruh rakyat langsung. 

Di dalam sistem Demokrasi yang mewah di Negeri manapun, tidak berlangsung “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan” serta “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagaimana di Negara Madinah yang diasuh dan diayomi, bukan dikuasai, oleh Muhammad saw. Itulah sesungguhnya Negara - Khilafah - Islam. 


**


Belakangan ini marak kita temui kampanye gerakan Hijrah dari media social sampai Dunia Nyata. Di instargam misalnya, sampai tulisan ini ku buat. jika menuliskan tagar (#) hijrah, akan keluar postingan lebih dari 10 juta, bahkan bisa lebih, seiring dengan perkembangan zaman.

Di Facebook, halaman atau akun hijrah telah di ikuti lebih dari 100 ribu orang-orang. Terlebih setelah berlangsungnya event hijrah Festival 2018 maupun 2019 di JCC Senayan Jakarta. fenomena hijrah ini semakin marak.

Fenomena hijrah juga ditampakan dalam hal berpenampilan, semisal dari tidak berhijab menjadi berhijab. dari hijab ala kadarnya menjadi hijab syar'i dan semisalnya.

Fenomena ini merupakan kelanjutan dari dekade sebelumnya, saat masyarakat Muslim urban melakukan pencarian identitas atau pemaknaan ulang terhadap agama, yang kemudian melahirkan sejumlah ekspresi kesalehan.

Greg Fealy dalam Ustadz Seleb, Bisnis Moral & Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer (2012) menyebutnya sebagai “mencari kepastian moral, pengayaan spiritual, dan identitas yang saleh", sebab “tergoncangnya kemantapan identitas keagamaan" akibat mengalami transformasi sosial dan budaya.

Globalisasi dan modernitas di perkotaan yang kerap menghamparkan kehidupan yang gersang secara spiritual mendorong masifnya gerakan ini. Di sisi lain, tumbuhnya kelas menengah perkotaan menjadikan fenomena ini berkelindan dengan bisnis seperti lahirnya Hijrah Fest.

Keterkaitan ini memang sulit dihindarkan, karena bagaimana pun kumpulan massa adalah pasar. Dalam konteks ini, mereka adalah pasar bagi produk-produk Islam yang tengah mereka gandrungi.

Fealy menjabarkan hal ini berdasarkan respons masyarakat dan para intelektual yang fokus pada kajian tersebut. Pertama, sebagian dari mereka menilai “konsumsi Islam" ini sebagai sesuatu yang bisa dipuji. sebab, membawa makna baru dalam kehidupan keagamaan Muslim, yakni membantu menciptakan masyarakat dengan pelaksanaan prinsip-prinsip Islam yang lebih ketat.

Kedua, ada pula yang menganggapnya sebatas komersialisasi Islam yang dangkal. sebab, hanya memperlihatkan perilaku luar. alih-alih membangun sisi spiritual dan keindahan iman lebih mendalam. Secara harfiah, 'hijrah' berarti 'pindah atau bergerak dari satu lokasi ke lokasi lainnya'. 

Lantas, Bagaimana makna hijrah dalam tradisi Rasulullah SAW yang dikontekstualisasikan dalam kehidupan modern saat ini?. Beberapa kalangan, terutama anak muda yang memiliki kesadaran baru tentang Islam, mencoba mempromosikan gerakan hijrah. Sebagaimana yang saya utarakan diatas, Hijrah sebagai sebuah gerakan secara fisik sangat berkaitan dengan gerakan yang bersifat spiritual. Artinya, keberhasilan berhijrah tidak semata-mata ditentukan oleh perpindahan fisik, tapi juga ditentukan oleh niat dan gerakan kesadaran dari seseorang untuk melakukan perpindahan.

Dalam konteks modern saat ini dan yang riuh bertebaran. hijrah, dipahami sebagai upaya untuk mengubah performa simbolik dan semangat ke-Islam-an yang baru. menariknya adalah jika semua orang menafsirkan arti baru itu serupa dengan perubahan. Bahwa perubahan waktu bukanlah pergantian waktu secara material an sich. Tapi, pergantian waktu sebenarnya berporos pada aspek mikro kosmik manusia. Sebagaimana, Jalaludin Rumi, mengartikan rotasi atau siklus waktu sesngguhnya berporos pada inti kesadaran manusia. Maka di sini, perubahan bermakna transformasi kesadaran sifat dan laku manusia. Dari sifat lama yang buruk dan biadab ke sikap baru yang lebih hanif. Meminjam istilah Dr Abdul Munir Mulkan, sebagai proses trans-human. Atau gerak kesadaran dari manusia lama yang bobrok dan busuk ke manusia baru yang lebih ilahia.

Setiap jiwa senantiasa Baru. dunia dan kita, tidak di ketahui kebaruan itu dalam keabadian. Sebab, umur bagai arus. baru dan baru senantiasa berlansung dalam jasad. Maulana Rumi menafsirkan diri (manusia) dan alam yang senantiasa baru. meskipun anehnya kita tidak pernah menyaksikan kebaruan itu. Yang kita saksikan hanya perubahan, seperti perubahan waktu dari proses gerak.

lantas kebaruan mana yang kita maksud?. kita memaknai baru, jika ada suatu hal baru yang melekat pada diri kita, seperti saat kita memakai baju baru. bagaimana jika hal ini di sematkan pada diri, bahwa ada hal yang senantiasa baru pada diri. apa yang baru pada diri?. Tidak mudah menjawabnya, namun ada yang menarik, yang di katakan "Mulla Sadra, bahwa wujud mumkim yang disebut Sadra sebagai wujud faqir.

Wujud faqir adalah wujud yang senantiasa bergantung pada Ilahi. bahkan lebih dari itu, bukan wujud yang bergantung, melainkan wujud kebergantungan. apa yang di maksud wujud kebergantungan?.  

wujud faqir tidak memiliki independensi wujud sama sekali, satu-satunya yang dia miliki ialah kefaqiran eksistensi. kita tidak bisa mengatakan diri kita ada dimana diri kita bergantung, namun yang bisa kita katakan adalah diri kita kebergantungan itu sendiri, bukan ada yang bergantung pada sesuatu yang menunjukkan suatu independensi eksistensi pada diri kita. Jika demikian apa konsekuensinya?, jika wujud kita adalah wujud faqir. maka, diri kita senantiasa meminta kepada wujud penyebab segala wujud yang dalam term teologi di sebut Tuhan. bukan hanya kita, bahkan segala entitas-entitas mumkim, termasuk alam semesta meminta pada Ilahi. konsekuensinya, jika meminta pada wujud ilahi. konsekuensinya ialah wujud kita senantiasa Baru dan Baru. kita senantiasa dalam penciptaan yang baru. 

Menariknya, kata Rumi, kita tak sadar akan kebaruan itu ada dalam keabadian. artinya meski senantiasa eksistensi kita baru, namun tak meniscayakan identitas yang di sebut "aku" ikut berubah.

Jika perubahan itu adalah sesuatu yang berpindah dari titik 0 ke titik 100. maka, demikian pun manusia, dalam kaitannya dengan perubahan mikro kosmis. perubahan mengandung arti perubahan sikap lama (yang buruk) menuju sikap baru (yang hanif) dan seterusnya menuju kearifan puncak manusia. Di sinilah, kita semestinya membenamkan dan mencelupkan diri dalam arti baru yang sesungguhnya.

Sementara Yang terjadi selama ini kita cenderung menjadikan waktu sebagai objek yang disyukuri. Padahal, waktu cuman tanda (sign). Rasa sukur mestinya ditujukan pada realitas puncak dari waktu atau yang menciptakan waktu. Akibat, persepsi yang keliru inilah terkadang kesyukuran terhadap waktu atau semisal "tahun baru" diisi dengan perilaku yang hedon dan terkadang berlebihan.

Musuh yang sesungguhnya adalah egoisme diri hingga enggan berbagi. musuh yang sesungguhnya adalah Ke-Aku-an sehingga abai pada cita-cita kemanusiaan. Sebab Tujuan sejati, agama adalah agar kita mengkuduskan Tuhan dan memuliakan manusia.

Manusia di ciptakan bukan untuk kalah dan menang atas manusia. Kecuali, sepak bola, tinju, bulu tangkis, dsb. Itu memang untuk menang atau kalah dari orang lain. Tetapi, dalam hidup ini, kita tidak di suruh untuk mengalahkan orang lain. Sebab, sependek pengetahuanku, semua nilai ; baik agama atau yang pencaharian manusia. Hidup adalah mengalahkan diri sendiri. Jadi, mohon maaf, saya ini tidak pernah mau ikut kompetisi kalah dan menang ; baik itu pilpres, Pilgub, pilwalkot sampai pildes. Karena, saya sangat sibuk, berperang melawan diri saya sendiri. Agar, saya tidak terlalu kalah dengan diri saya sendiri. Itu pun tidak pernah selesai-selesai peperangan ini. Sehingga, saya tidak punya waktu untuk ikut kompetisi kalah dan menang. Sebab, saya tidak pernah tega menang lawan manusia dan saya juga tidak mau kalah. 

Selain itu, Hijrah itu bukan perpindahn Performa Simbolik. sebab,  yang paling mengagumkan di mata Tuhan, kata Nabi adalah Imannya orang yang hidup jauh setelahku dan tidak pernah bertemu denganku, begitu bunyi Hadistnya. Logika (Sederhana); Secara geografis dan kultur, orang indonesia sangat berjarak, jika di bandingkan dengan saudara-saudara kita di timur tengah sana, yang secara historis dianggap sebagai Pusat Islam?.

Lantas, mengapa kita harus terus-terusan memperdebatkan aksesoris terbaik yang di pakai adalah pakaian, makanan, gaya Minum, gaya bicara, dll. Adalah Orang Timur tengah sana?, Ini hanyalan Tafsiran contoh saja, silahkan setuju dan tidak setuju. Asbabul wurud hadist ini pun belum di kaji. Konteks historis dan jarak Nabi Muhammad pun, belum saya ketahui. Saya hanya ingin melihat "Serat atau Benang merahnya saja". mengapa Harus, bahkan sampai pada kadar; Mutlak. Meniru aksesoris Arab. Seakan-akan semua yang asli itu semua yang berbau dan berasal dari pusat.

Misalnya, saya datang dengan pakaian gamis dan berkopiah, tidak ada salahnya. Cuman saya takut semua orang termasuk kawan-kawanku berkesimpulan saya lebih pandai dari yang lainnya. Parahnya lagi, jika mereka berkesimpulan bahwa saya lebih alim. Itu kan tidak benar. Itukan penipuan namanya. Begitupun sebaliknya : pakaian compang camping, kumal, dan lusuh adalah berandalan dan jauh dari dari nilai-nilai keTuhanan. Hati-hati saja berkesimpulan. Sebab, acap kali kita kurang adil pada seseorang, sejak dalam pikiran.

Itulah sebabnya sering saya sampaikkan bahwa Mana yang mesti lebih dulu di upayakan, ustadz yang harus berdakwah dengan tingkat keilmuan layak atau ummat yang tidak boleh asal percaya dengan dakwah asal-asalan para Ustadz?.

Hal ini memang semacam kemanajaan, Taqlid pada ummat dalam ilmu agama. Sebahagian besar mengira yang penting sepenuhnya ikut ulama atau ustadz lalu menjadi ummat itu boleh bodoh. Memang ummat, itu dididik oleh ulama. namun, ulama itu terlahir dari ummat. Ada orang yang tingkat keilmuannya rendah, tapi berani menjadi ustadz. Pertanyaannya, ada pada Ummat sendiri, mengapa bisa muncul dan di terima?.

Seolah-olah dunia ini adalah kesia-Sian. Bukankah yang demikian, telah membonsai kegenitan Nalar kita.

Padahal Hakekat dari semua ajaran spritualisme : entah sufistik atau irfani Ialah aktif total dalam kehidupan ini, tetapi secara sadar memilih "berjarak" dengan segala gemerlap pesona dan godaan Matrealitas. memilih menekan keinginan dan Hasrat kepemilikan yang menjadi Laku dan Sikap Manusia Moderen.

Dalam Terminologi Filsafat Mistisisme Islam disebut sebagai Zuhud. Zuhud itu "bukan ketiadaan Harta, melainkan ketiadaan hubungan hati dengan Harta, Dengan Ego, dengan kepemilikan".

Selama ini, kita salah kaprah menilai kaum Sufi-Pejalan Sunyi. Padahal Sufi yang sesungguhnya bukan hanya bertekuk lutut di kesunyian, tetapi juga menjadi pemenang dikeramaian. olehnya mengejar kesenangan untuk membahagiakan badan-Tubuh (performa simbolik). sesungguhnya, telah menjauhkan kita dari hakikat kesempurnaan kemanusiaan. Dalam teori Kimiya al-Sa'adat Al-Ghazali " menyatakan bahwa hakikat kebahagiaan dan kesempurnaan kemanusiaan itu berada di wilayah hati.

Hijrah adalah perjalanan menuju Allah dengan bakti pada Manusia. maka, saya teringat dengan satu Hal yang menarik, di deskripsikan sedikit dari Muhammad Al-Baqir (W.743. M). Dari buku " The venture Of Islam (edisi Terjemahan, di terbitkan oleh mizan, 1999). Seorang Ulama besar, memiliki banyak pengikut. Memiliki garis Trah Genitik dengan Rosulullah SAW. Cucu dari Husain Bin Ali Bin Abi Tholib. Husain adalah kembaran Hasan, anak dari Ali Bin Abi Thalib dengan Fatimah az-Zahra. Az-Zahra adalah puteri Nabiullah Muhammad SAW dan Siti Khodijah Binti khuwailid.

Ketika dinasti Ummayah menuju senjakala kekuasaan, banyak kelompok-kelompok kecil yang mencoba menghimpun kekuatan dan mengumpulkan pasukan untuk merebut kekuasaan serta berusaha mewujudkan khilafah versi kelompok masing-masing. Namun, Muhammad Al-Baqir, tidaklah seperti itu. Ia, tidak mengundang Prajurit. Tidak memperturutkan dendam, justru ia mengundang murid. Pedang tidak di asah. justru ia, mengasah pikiran dan kalam. Ia tidak berniat membangun istana, tapi ia membangun madrasah. Bukan bertempur melawan musuh, tapi bertempur memberantas kebodohan. Bahkan ia Tidak berniat menjadi Raja maupun Sultan. Sekalipun Dinasti umayyah dari Jalur Abu Sofyan berhenti di Yazid, setelah itu dilanjutkan oleh Marwan bin Hakam.

Melalui Muhammad Al-Baqir, cucu Kesekian dari Rosulullah SAW menginginkan Islam menjadi Guru. Bukan sebagai penguasa. tapi, sebagai Suluh. Islam yang tidak identik dengan imajinasi kekuasaan. tapi, karena Ilmu yang berbasiskan peradaban yang Rahmatan.


* PENULIS ADALAH LELAKI PANGGILAN YANG BERUSAHA MENGHIJRAHKAN ISLAM SEBAGAI SULUH DAN ISLAM SEBAGAI GURU.

* PENA RST
* NALAR PINGGIRAN












Minggu, 30 Agustus 2020

ANTARA PERAYAAN KEBERKAHAN DAN PERINGATAN CINTA, LUKA DAN AIR MATA DI 10 MUHARROM



Bila tidak musim wabah, mungkin tahun baru ini akan semarak dengan beragam kegiatan. Mulai dari pawai keliling hingga show para agamawan dipanggung-panggung Terbuka.

Bisa dipahami karena riwayat yang beredar adalah kejayaan, kegemilangan dan kesuksesan saat itu yang berpuncak di 10 muharram. Penanggalan ini pun dianggap prestasi karena jadi pembeda dengan agama-agama sebelumnya.

Sementara kisah serombongan manusia-manusia mulia dari keluarga Nabi dibulan muharram, luput dari ingatan Kita. Kisah tragis yang memilukan pada tahun 61 hijriyah, cukup tercatat rapi di teks-teks sejarah. Memperingatinya bukan saja tidak umum, tapi bisa dianggap berlebihan dan di nisbatkan sekelompok muslim saja.

Padahal peringatan hari pahlawan, haul para tokoh sangat umum di peringati. Bahkan di lakukan besar-besaran. Tapi, kenapa peringatan perjuangan dan kepahlawanan puncak para tokoh ini tak dilakukan?. Misal, Ketika kita menangis tersedu sedan, karena menonton film sedih itu dianggap hal yang wajar. Tapi, ketika kita bersedih atas peristiwa Karbala kita dicap Syi'ah dan dianggap lebay.

Common sense saja, hati siapa yang tidak sedih melihat keluarga dan Anak keturunan Manusia Agung, yang kelak hanya Syafaat-nya kita Harap, di bantai dengan keji oleh umat yang mengaku pengikutnya. Kita saja sedih apalagi Rasulullah SAW sendiri, seperti apa perasaannya?.

Ihwal itulah, sehingga "Syekh Shaduq" meriwayatkan dari Maitsan Tammar Ra, ”Demi Allah pada hari kesepuluh bulan Muharam, umat ini telah membunuh putra Nabi-nya sendiri dan setiap aliran yang memusuhi Risalah Nabi menganggap bahwa hari ini adalah hari yang penuh berkah”. Syekh Shaduq berkata, "bagaimana umat ini bisa menjadikan hari di bantainya Sayyidina Husain sebagai hari yang berkah?".

Padahal Hanya berselang 50 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, ummat yang mengaku pengikut ajarannya secara terbuka, berani membunuh cucunya. Bahkan murid Nabi Isa as saja tidak berani mengganggu kuda tunggangan gurunya tersebut, apalagi ini adalah Cucu seorang Nabi Muhammad SAW.

Karbala 61 hijriyah menjadi pusat duka, prahara, tragedi sekaligus Cinta. Tragedi kemanusiaan terbesar, bertemunya puncak pengorbanan vs puncak kejahatan. Duka tidak terperi keluarga Nabi. Sekaligus pembuktian cinta dan kesetiaan tulus para sahabat Sayyidina Husein.

Karbala bukan perang, karena ribuan orang pasukan lengkap berhadapan dengan 72 orang berisi sebagian besar anak-anak dan perempuan. Karbala jadi ladang pembantaian terbuka. Karbala membuktikan Nabi tidak berambisi menjadikan anak keturunan dan kerabatnya sebagai penguasa setelahnya. Sebaliknya, memberikan pengorbanan agung atas misi suci agama yang dibawahnya. Gugurnya Husein melengkapi kematian ayahnya Sayyidina ali yang dibunuh dengan pedang, melengkapi Kematian Sayyidina Umar juga dengan Belati, Sayyidina Utsman dan kakaknya Husain yakni Hasan yang diracun.

Tragedi Karbala adalah tolok ukur yang harus diperhatikan dan direnungkan, betapa mudahnya ummat ini tergelincir dari agama. tapi, merasa paling beragama. Asyura dan Karbala adalah dua kata penghancur bahwa berHati-Hatilah membicarakan kekuasaan. Kepala cucu Rasulullah SAW dipenggal karena ambisi Kuasa.

10 muharram 61 hijriyah, salah seorang penerang kitabullah menemui kesyahidan-nya. Bersama keluarga dekatnya. Mereka telah membunuh guru, dokter dan teknisi yang menjadi pengajar, penerang dan penjelas isi Al-quran. Petunjuk apapun selalu punya Dua (2) bentuk : barang dan orang. Misal, Untuk mengoperasikan mesin baru, ada buku manual dan teknisinya. Penyembuhan medis perlu obat-obatan dan dokter yang memberi resep. Belajar di sekolah ada buku teks dan guru yang menerangkan. Begitupun dalam agama, ada Dua (2) petunjuk: kitabullah & ithrati. Kitabullah ini adalah Al-quran. Sementara ithrati adalah keluarga Nabi yang menjadi penerang dan penjelas kitabullah.

Tanpa dokter, guru, teknisi dll, Kita tidak akan tahu fungsi dan kegunaan obat-obatan, buku teks dan alat mesin. Begitupun tanpa keluarga Nabi, Kita akan sulit memahami isi kitabullah. Ajaibnya, sebahagian dari kita sibuk menebarkan bahwa peringatan-pembunuhan Cucu Rosulullah SAW adalah berlebihan dan Kehinaan.

Kita meyakini seorang pelacur bisa masuk surga hanya karena memberi minum seekor anjing sambil meyakini bahwa kita akan masuk surga dengan membiarkan cucu Rasulullah SAW mati kehausan. Putra al-Husein yakni 'Ali Zainal 'Abidin berkata kepada orang-Orang yang akan menyembelih hewan kurban, "beri minumlah hewan-hewan itu sebelum kalian menyembelihnya, cukuplah ayahku yang disembelih dalam kehausan." Padahal kita yakin dengan memberi minum seekor anjing saja sudah bisa menghantarkan kita ke surga. Tapi, yang mereka cegah untuk minum itu adalah orang yang diciumi oleh Rasulullah SAW.

Kita Sudah yakin bisa membunuh cucu Rasulullah SAW dengan pedang, tapi tetap mencegah air seteguk masuk ke kerongkongan orang yang akan dibunuhnya. Kita cintai ampas dzuriyah yang berlisan api, tapi kita alergi mendengar Peristiwa Karbala, dengan Korbannya adalah Al-Husain, orang yang berkata lembut kepada gerombolan yang akan membunuhnya. bila kita tidak percaya akan adanya hari pembalasan, setidaknya jadilah manusia yang merdeka (terbebas dari doktrin-doktrin yang menyesatkan).

Meminjam perkataan Rumi yang Maulana itu bertutur : "Penuhilah diri dengan kesedihan. Sehingga kamu bisa menjadi bukit suka cita. menangislah, supaya kamu dapat tertawa".


***


Menyikapi pembunuhan terhadap Sayyidina Husain, kita hanya bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Bersama al-Husain, memerangi al-Husain, tidak melakukan apa-apa alias jadi penonton saja. Untuk itu, coba kita bantu untuk membuka ruang dialektika di nalar kita, Mengapa begitu pentingnya memperingati Syahidnya Husain dan 72 Syuhada Lainnya, bukan merayakan keberkahan?.

Diantara manusia-manusia utusan Tuhan, ada 5 orang utama yang dikenal dengan ulul azmi. Ujian, ketabahan, kesabaran dan penentangan yang mereka terima diatas rata-rata utusan Tuhan yang lain. Keempat Nabi terdahulu punya tugas dengan mujizat besar yang mereka terima. Sekaligus menandai berakhirnya ujian yang diterima.

Nabi Nuh as, Misalnya, dengan kapal besar yang berisi para pengikut setianya. Nabi Ibrahim as terbukti tidak mampan dibakar api raja namrud. Nabi Musa as membelah lautan sekaligus menenggelamkan firaun dan bala tentaranya. Nabi Isa as diangkat ke langit dan digaibkan.

Bagaimana dengan Sayyidina Nabi Muhammad saw?. Penolakan, pertentangan, intimidasi, caci maki, ancaman pembunuhan hingga serangan fisik ditujukan pada diri Nabi, seperti yang terjadi di Thoif,  Misalnya, setelah ajaran ini tersebar luas, sebahagian orang-orang dekatnya ada yang tidak menerimanya sepenuh hati. Peristiwa kamis kelabu dan sikap berat atas penunjukkan Usamah bin zaid pimpinan ekspedisi adalah faktanya.

Di kuburnya jasad mulia Nabi Muhammad Saw tidak berarti ujian selesai. Masih berlanjut pada keluarganya. Fatimah az-zahra putri Nabi, wafat beberapa bulan berselang tanpa diketahui dimana makamnya. Ali bin abi Thalib, suami fatimah, ditikam belati beracun saat sedang mengimami Shalat subuh. Sayyidina Umar Bin Khottab juga Meninggal akibat Sayatan Luka Tikaman abu Lu'luah. Ustman Bin Afwan juga meninggal akibat pembunuhan. Cucu Nabi, Sayyidina Hasan, meninggal karena diracun. Menyusul kemudian, Sayyidina Husain gugur dengan kepala dipenggal dipadang Karbala.

Apakah sudah Selesai?, Belum.

Episode masih berlanjut, setelah kesyahidan Sayidina Husein, para anak-anak dan perempuan-perempuan Bani Hasyim digiring dengan kaki dirantai dan bertelanjang kaki di arak dari Karbala-Irak menuju Damaskus. Tangis kehausan dan ketakutan perempuan dan anak-anak Bani Hasyim, banyak yang wafat di Damaskus, makamnya ada dan sering di ziarahi sampai sekarang.

Mereka digiring dan di arak dengan Jarak antara Karbala dan Damaskus sejauh 848 km Dan diantara rombongan tersebut adalah Sukainah, salah satu putri dari Sayyidina Husein, usianya saat itu berumur 7 tahun. Beberapa sumber menyebutkan Sukainah wafat di Damaskus setelah diperlihatkan kepala ayahnya. Inilah drama adegan paling memilukan sepanjang sejarah umat manusia itu berlangsung.  Disinilah harga risalah kebenaran yang di minta Tuhan untuk dibayar. namun, ummat enggan melunasinya dan darah Husain beserta kurang lebih 20 anggota keluarga Nabi sebagai tebusannya.

Memang benar, Tiada ujung pena yang mampu menggambarkan kisah itu. Sesungguhnya tepat ungkapan seorang penyair, " Andaikata aku tulis musibah ini secara rinci untuk makhluk, niscaya akan mengalir air mataku yang akan menghalangi tulisan ini. Hatiku akan berkata, ”Kasihanilah aku, demi Allah aku bukan batu.” Sebab, Bumi dan langit menangis atas musibah itu. Diantara keduanya Membanjiri linangan air mata darah.

Lalu, Masih ada orang-orang dekat menganggap mengenang kesyahidan Al-Husain sama artinya menghidupkan kembali kebencian, dendam dan permusuhan kepada Yazid dan sekutunya. Padahal dalam cinta kepada Dzurriyah Rosulullah SAW - Al-Husain tiada lagi ruang bagi kebencian kepada siapapun.

Tidak, bukan dendam, ada ibrah yang hendak kita dedah dibalik peristiwa tersebut, misalnya : ketika Al-Quran berulang-ulang mnceritarakan peristiwa Nabi Musa vs Fir'aun, atau Peristiwa Nabi Ibrahim Vs Raja Namrud, ataukah Peristiwa Nabi Nuh dan Kaumnya, bahkan anaknya menjadi pembangkang. apakah karena Allah hendak mengabadikan dendam dan permusuhan?. Atau karena Allah memerintahkan kepada kita yang untuk mendedah ibrah, memetik hikmah Serta meneladani uswah dibalik serangkain peristiwa tersebut.

Lalu, dengan dasar apa orang-orang menghubungkan Asyura dengan peristiwa Karbala yang mengharu biru itu, dan mengabadikannya sebagai ritus adalah Syiah?. Kita saja kurang tamasya dan berselancar, sebab Sebahagian kalangan Sunni juga ada yang mengabadikannya sebagai ritus. Cek dan baca saja Dalam tradisi Arbain di Karbala bahkan diikuti oleh orang-orang non Muslim.

Peringatan tragika Asyura bukan untuk mengoyak kembali luka yang telah lebih satu milenium berlalu. Mengenang tragika Asyura setiap tahunnya adalah ekspresi cinta, luapan rindu, gelora semangat, sublimasi harapan, dan inspirasi untuk terus bangkit demi mempersembahkan diri yang tak berarti ini demi kebenaran yang penuh arti.

Heroisme Asyura adalah ide absolut yang menyejarah diruang pikir dan kedalaman sanubari pecinta kemanusiaan dan pembenci kedzoliman. Tragika Asyura dibumi Karbala 10 Muharram 61 Hijriyah adalah selebrasi dan pagelaran yang indah bagi 73 arwah syuhada suci yang dengan bahagia menghadap Ilahi dengan membawa kesempurnaan bakti.

Mengenangnya berarti mengambil bagian untuk mengabadi dalam gelora cinta dan pengorbanan tanpa batas yang melampaui ruang, waktu, dan sekat primordial. Tragika Asyura adalah pagelaran bagi persembahan dan cinta pada Tuhan, pada agama, pada manusia, pada semesta, dan pada sejarah.

Mencintai Sayyidina Husain itu tidak selalu dan harus Syiah, Bacalah pelan pelan kejadiannya. Suatu waktu pernah seorang berceramah disiarkan di youtube video. Mengklarifikasi tentang tuduhan-tuduhan pada Yazid, sampai menyebut radiallahu anhu terhadapnya berkali kali, tetapi hampir tidak menyebut Husain dengan tambahan serupa. Menurutnya fitnah pembunuhan diarahkan pada Yazid, menarik sekali beliau itu, jalan ceritanya berbeda sendiri. Cuma jika beliau muliakan Yazid, bahkan pendukungnya menyebut Husain sebagai kaisar persia, memperhadapkan dengan Bani Arab, lupa tentang sislsilah, maka perlu disebut pelan-pelan:

Yazid ibunya tidak masyhur, Husain ibunya adalah Fatimah binti Muhammad. Yazid anaknya Muawiyah. Husain anaknya Ali bin Abi Thalib, kelebihannya dan keutamannya terlacak, karya keilmuannya banyak luar biasa, cek saja sendiri. Muawiyah konon banyak kelebihannya, jelas ahli perang dan politisi, kalau tidak mana mungkin mengalahkan Sayyidina Ali, selain itu Muawiyah juga Salah satu Penulis Wahyu.

Yazid neneknya bernama Hindun, yang memakan jantung Hamzah bin Abdul Muthalib. Husain neneknya adalah Khadijah (alkubro), wanita utama yang luar biasa bagi Nabi Muhammad SAW. Yazid kakeknya adalah Abu Sofyan, pemimpin terkemuka Quraisy yang masuk Islam dalam keadaan kepepet (Baca Siroh Kaum Thulaqa). Husain kakeknya adalah Nabi Muhammad, Rasulullah SAW.

Bagaimana mungkin seorang bisa merampas kemuliaan Husain dihadapan ummat Islam?. Jika itu karena kekuasaan, maka ambillah, tapi tidak dengan memutar balik Fakta. Cukup diam saja terhadap peristiwa tragis itu, sudah lebih dari cukup.


***


Sepanjang sejarah, pendukung kebenaran berasal dari orang-orang kecil dan terpinggirkan. Sebaliknya, pertentangan dan penolakan dari golongan pembesar dan aristokrat. Golongan elit yang terganggu kepentinganya. Termasuk para elit agamawan yang kehilangan pengikut. Sejarah itu ditulis oleh para pemenang. Amat sangat sedikit sejarah ditulis bagi orang-orang kalah. Tahukah kita mengapa?,

Karena sifat dasar manusia itu adalah pemenang, sehingga tidak menarik mengikuti kisah orang-orang kalah. Dunia ini dipenuhi cerita-cerita Nabi, Rasul, kaisar demi kaisar, raja berganti raja, hikayat negeri-negeri unggul yang agung bahkan kisah-kisah kolosal tentang kemenangan seorang pemenang. Cerita orang kalah selalu ada. Tapi yakinlah, kekalahan di kisahkan untuk memperkuat kisah si pemenang, untuk mendukung kebesaran sang pemilik syahibul hikayat. Kisah tentang orang-orang kalah (selalu) di tempatkan di footnote - catatan kaki. Sebagai penyedap rasa - bumbu menarik - untuk memperkuat kisah si pemenang. Meminjam Istilah Si Flamboyan Fidel Castro : Historia Me Absolvera (Biarlah Sejarah Yang membuktikan dirinya).

Drama karbala memunculkan tokoh john bin huwai. Kemuliaan dirinya melesat jauh tinggi, karena pembelaan dan keberpihakannya pada sayyidina Husain. Dengarlah kata-kata john pada cucu Nabi tersebut sebelum menjemput syuhadah. "Aku terlahir sebagi budak dengan kulit hitam legam. Nasabku tidak mulia. Aku mengikutimu dan rela hidup-mati bersamamu meraih kemuliaan".

Artinya, Hari Asyuro, 10 Muharram merupakan duka seluruh kaum muslimin diseluruh dunia, tidak perlu dilekatkan dengan kelompok tertentu. Pun sebahagian Kelompok, Ratapan kesedihannya mendalam sampai melukai diri sendiri di karenakan Trah Genetik Sayyidina Husain. Sayyidina Husain memiliki Istri dari seorang anak Raja Persia.

Awalnya, Sayyidina Ali lah yang di tawarkan oleh Raja Persia. Namun Fatimah Tidak mengizinkannya untuk menerima pinangan Raja Persia, sehingga Sayidina Husainlah yang di nikahkan dengan Anak Raja Persia, yang Notabenenya beragama Majuzi - Penyembah Api (zoroaster), Nabinya bernama Zarathustra. Karena menikah dengan Sayyidina Husain, maka Mereka memeluk Islam. Maka lahirlah Sayid Ali Zainal Abidin, lalu Sayid Al Baqir, lalu Sayid Abu Ja'far as-Shiddiq, dst.

Jika Ada perasaan kurang senang di sebahagian kalangan menganggap cara kelompok tertentu memperingati 10 Muharrom yang langsung terlalu berlebihan dan mengada-ada, bahkan ada kelompok Tanpa ragu menuduh ritual 10 Assyuro itu sesat, itu Hanya karena mereka tidak tahu saja bahwa Ikatan Emosional Bangsa Persia dan Sayidina Husain sangat dekat, sebab Istri Dari Sayidina Husain berasal dari Persia yang melahirkan generasi yang terbentang di berbagai penjuru sampai ke indonesia.

Ketika Sayidina Ali Bin Abi Tholib bersama keluarganya di persia, terjadi konflik politik di madinah. Membahas siapa pengganti Rosulullah SAW sebagai Khalifah. Disinilah Cikal bakal perpecahan diantara sahabat Rosulullah SAW itu berawal, saat meninggalnya Rosulullah, maka sampai di masa Kepemimpinan Sayidina Ali, ia terbunuh akibat Konflik politik. Sehingga keluarga Rosulullah yang berada di Baghdad kala itu pulang kembali ke madinah.

Saat Hasan dan Husain pulang ke madinah, animo masyarakat Madinah menyambutnya terlalu besar, sehingga membuat Yazid bin muawiyah Marah dan geram. Akhirnya, di kejarlah Cucu-Cucu Rosulullah yang mengakibatkan terbunuhnya Sayyidina Hasan dengan Racun dan Terbunuhnya sayyidina Husain di padang Karbala, bertepatan pada tanggal 10 Asyuro pada Bulan Muharrom.

Inilah dalil dan Kerangka Argumentasi bahwa banyak Ulama yang mengajurkan kepada kita agar Berhati-hatilah dalam membahas kekuasaan dan peristiwa Karbala, karena peristiwa tersebut merupakan mata rantai dari peristiwa sebelumnya. Sebab, sebahagian dari kita belum siap menerima fakta sejarah, silang sengketa para sahabat Rosulullah SAW. Muawiyah termasuk sahabat Nabi, karena ia juga salah satu penulis Wahyu ( jika Terma sahabat yang kita Pakai adalah terma Sahabat dalam Pandangan Sunni, sedang di Syiah tidak menganggapnya sebagai sahabat), ribut sampai berperang dengan Sayyidina Ali. Makanya, Banyak kalangan memilih membungkam fakta-fakta tersebut, karena dianggap sensitif, sekalipun pilihan membungkan fakta sejarah tersebut tidak selamanya benar. Karena, sahabat saja Khilafiah, Makanya menyebutnya adalah Khalifah : Pengganti.

Sayyidina Umar sendiri tidak menggunakan Terma Khalifah dalam melegitimasi Kedudukannya. tetapi, menggunakan Terma Amirul Mukminin. Sekarang Amirul mukminin diadaptasi oleh negara Qatar menjadi Ameer.

So, mengapa Hari Asyuro Pada Bulan Muharram, dianggap monumen pengingat atas peristiwa paling bersejarah, sepanjang sejarah islam, Karena peristiwa tersebut merupakan mata rantai dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Peristiwa Karbala merupakan akumulasi dari rangkaian kebencian dan keserakahan, yang sudah berlansung lama. Puncaknya pada Pembataian Sayyidina Husain dan keluarganya di padang karbala. Etape sejarah ini, mesti dilihat dengan jeli. sebab, untuk sampai pada peristiwa pembantaian ini, ia tidak terjadi secara kebetulan, tidak datang secara tiba-tiba. 

Semenjak Wafatnya Nabi, penganut oligarki Jahiliyah, terus menerus merongrong elit muslim dan mencari kesempatan untuk kembali membangun dominasi kekuasan lama mereka. Secara jeli kita melihat, ada upaya merebut kekuasaan dari Bani Hasyim (Keluarga Nabi) yang dilakukan oleh Bani Umayyah. Wallahu a'alam.

Momentum terbaiknya saat pembunuhan umar bin Khottab. mereka menemukan skema ideal untuk membangun lebih jauh friksi kelas Arab dan ajam, kelas Majikan dan Budak dan berbagai kelas lainnya. Dengan luasanya Wilayah penaklukan dimasa Amirul mukminin Sayidina Umar bin Khottab yang membentang dari Syam hingga Yerusalem, Afrika utara sampai Persia. Elit Oligarki membutuhkan Isu untuk mengukuhkan superioritas bangsa arab dalam rangka melakukan konsolidasi, kontrol dan dominasi.

Skema ini puncaknya pada Masa kekhilafaan ustman. 7 tahun Bani umayyah Menciptakan benih-benih kebencian dan pemberontakan di kelas akar rumput. Abu sofyan justru mengusulkan agar bani umayyah mewariskan kekuasaannya kepada anak turunannya kelak, itu fakta sejarah yang tidak bisa dibantah. Akibatnya sahabat terbaik Nabi, Ustman bin afwan meninggal akibat pemberontakan terhadap superioritas Bani Umayyah, juga mempengaruhi setiap kebijakan khalifah.

Dimasa kahlifah Ali, justru khalifah Ali melakukan antitesa dari apa yang dilakukan sebelum-sebelumnya. Sayidina Ali memulihkan kesetaraan, mengurangi ketegangan arab dan Non Arab, serta menahan gerak laju Oligaki jahiliyah yang mencoba kembali. Sayidina Ali memecat semua gubernur Korup yang diangkat oleh Sayidina ustman. Akan Tetapi, lagi-lagi Oligarki jahiliyah tidak kehilangan akal dan cara untuk mengkosolidasikan diri. Kali ini mereka menemukan figur yang tepat, yakni muawiyah Bin Abu Sofyan.

Kematian sayidina Ustman adalah Momentum dan arus balik bagi Muawiyah Bin abu Sofyan untuk membangkitkan ikatan kekerabatan di bani Umayyah. Akhirnya perang Shiffin terjadi, Muawiyah beralasan bahwa Sayidina Ali tidak mampu mengusut peristiwa pembunuhan Sayidina Utsman. Meski perang berakhir dengan perundingan damai, tetapi muawiyah telah menemukan Ritme dan sukses mendeklarasikan diri sebagai pemimpin kelompok anti pemerintahan Sayidina Ali.

Akibatnya sayidina Ali, meregang Nyawa, dibunuh oleh Ibnu Muljam, seorang kelompok khawarij (ini ada pembahasan sejarahnya sendiri). Muawiyah tidak membuang kesempatan, dia lansung mendeklarasikan diri sebagai khalifah, tetapi jalan belum mulus karena masih ada cucunya Nabi, putera-Putera Sayidina Ali : Hasan dan Husain, yang tentu memiliki pengaruh besar di jazirah. Ujungnya Hasan terbunuh, juga Husain terbunuh di Karbala.

Sayidina Ali mungkin menjadi khalifah yang tepat pada masa yang tidak tepat. Sebab, Muawiyah telah menggenggam dunia. dan Sayidina Ali sudah tidak didengar lagi karena berpegang teguh pada Agama. Sehingga Sayidina Ali perlu bersabar bahwa Ia tidak sendiri.

70 tahun setelahnya, yaitu Masa Umar Bin Abdul Aziz, seorang khalifah dimasa Bani Umayyah. Setelah satu setengah abad masa Umar bin Abdul azis, datang seorang Khalifah Abbasiyah bernama Al-Muhtadi Billah. Ia mengikuti jejak Umar bin Abdul Azis, ia menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran. Jadi Fase Sayidina Ali adalah Fase pemisah sekaligus jembatan menuju masa sesudahnya. Sejak itulah khalifah tidak lagi berhubungan dengan Islam kecuali pada Nama. Hanya sekitar 2 tahun diMasa Umar bin Abdul azis dan Al-Muhtadi billah selama 11 bulan, mereka meregang nyawa akibat di bunuh. Selebihnya hanya Fase kekuasaan dan urusan Dunia.

Demikianlah silang sengketa Cara memandang terhadap peristiwa karbala, adalah tidak lain merupakan ambisi Kuasa angkara murka.

Mengapa Harus Husain dan Bukan Hasan, atau Anak Sayidina Ali yang Lainnya?. 

Kenapa?, karena hanya ada hadist Nabi tentang Husain, yakni "Husain minni wa Ana min Husain" (Husain dariku dan Aku dari Husain)?. Atau teks lengakapnya adalah " Husain bagian dariku dan aku bagian dari al-Husain. Allah mencintai orang yang mencintai al-Husain. Husain adalah cucu(ku) (sibth) dari anak cucu(ku) (al-asbath).” [Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, jil.3, hal. 177].  

Sumber Hadis diatas dalam urutan paling shahih dalam ahlu sunnah: (1). Imam Ahmad dalam Fadhâil:505, hadis 398. Ahmad juga meriwayatkan dalam Musnadnya,4/172. (2). Bukhari dalam at Târîkh al Kabîr,8/418 dan al Adab al Mufrad,1/455. (3). Al Hakim dalam Mustadrak,3/177 dan ia mensahihkannya. (4). Ad Dûlabi dalam adz Dzurriyyah al Kuna,1/88. (5). Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf,7/515. (6). Ath Thabarani dalam al Kabîrnya,3/33 dengan dua jalur dari Rasyid ibn Sa’ad dari Ya’la dan dari Said dari Ya’la dan dalam Musnad asy Syâmiyyîn,3/184. (7). Ibnu Asakir dalam Târîkh Damasykus14/149 dan64/35.

Berkenaan dengan hadist diatas, Seseorang bertanya kepada Syekh Yusri, "Apa maksud perkataan Husein minni wa ana min husein (Husein dariku dan saya dari husein), wahai Syekh?. Syekh Yusri menjawab, "Maksud dari perkataan Rasul adalah: Husein merupakan bagian (darah dagingku atau bernasab) dariku dan saya (akan mendapat kehormatan dan kecintaan lantaran) darinya. Jawaban beliau diambil dari perkatan sang guru, Syekh Abdullah Shidiq al-Ghumari dalam Al-Kanzu At-Tsamin.

Bukan itu saja, Secara jujur tokoh-tokoh dunia barat dan timur mengakui heroisme Sayidina Husein dalam peristiwa di medan Karbala. Kekaguman para tokoh dunia terhadap kepahlawanan al-Husain telah ditunjukkan lewat berbagai bentuk apresiasi, entah lewat tulisan berupa buku, artikel, syair-syair pujian, kutipan-kutipan singkat (quotes), hingga dalam bentuk aksi sosial.


Sependek pengetahuanku, Apapun Motif yang melatar belakangi Tragedi Karbala dengan terbunuhnya Sayidina Husain, merupakan sebuah kebiadaban yang tak bisa di ukir dengan pena sepanjang sejarah ummat Manusia. Apapun Motifnya, Siapa yang bisa Membayangkannya bagaimana perasaan seorang Ibunda Fathimah Azzahra. Ada Banyak ibu yang mengkhawatirkan bagaimana anaknya bila dia meninggal, tapi hanya satu ibu yang mengkhawatirkan siapa yang akan menguburkan "jasad seorang anak tanpa kepala" yang ditinggal di gurun sepi.

Bayangkan bila suatu saat kita mati, lalu orang-orang memenggal kepala cucu kita, lalu mereka minta syafaat kita?. Apakah kita tidak punya Rasa Malu pada Kekasih Allah, Rosulullah SAW. Manusia Agung yang kelak hanya padanyalah kita menaruh harap atas setiap peluh dan penantian di padang Mahsyar. Namun, memilih membungkam Fakta, enggan membicarakan hanya, karena alasan sensitif, padahal yang terbunuh adalah Cucu tersayang, dari anak seorang perempuan Suci (Sayyidatuna Fatimah Az Zahra), buah hati, belaian Jantung seorang Nabi Yang di Langit di kenal dengan sebutan Ahmad, di bumi disebut Muhammad SAW.

Apakah Pantas, kita mendapatkan Syafaat dari Datuk Husain-Nabiullah Muhammad SAW, yang dihari Ia wafat secara Sadis kita merayakan keberkahan?. Ya Robb Ampuni Kami. Hal ini juga bukan membanding-bandingkan Anak keturunan Rosulullah diantara yang lainnya.

Pada hari terbunuhnya Husain, Imam Suyuthi mengatakan dunia seakan berhenti selama tujuh hari. Mentari merapat laksana kain yang menguning. Terjadi gerhana matahari dihari itu. Langit terlihat memerah selama 6 bulan. Imam Suyuthi juga mengutip dari Imam Tirmidzi yang meriwayatkan kisah dari Salma yang menemui Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad, yang saat itu masih hidup (Ummu Salamah wafat pada tahun 64 H, sementara Husein terbunuh tahun 61 H). Salma bertanya: “Mengapa engkau menangis?”. Ummu Salamah menjawab : “Semalam saya bermimpi melihat Rasulullah yang kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Saya tanya ‘mengapa engkau wahai Rasul?’, Rasulullah menjawab : “saya baru saja menyaksikan pembunuhan Husain.’”

Begitulah dahsyatnya pertarungan kekuasaan di masa kekhilafaan dulu. Mereka tidak segan membunuh cucu Nabi demi kursi khalifah. Apa mereka sangka Rasulullah SAW tidak akan tahu peristiwa ini?. Lantas, apakah mereka yang telah membunuh Sayidina Husain kelak masih berharap mendapat syafaat  Rasulullah SAW di padang mahsyar?, Dalam kisah yang memilukan ini sungguh ada pelajaran untuk kita semua.

Konstalasi politik di madinah, akhirnya membuat keturunan Rosulullah SAW, dari trah genetik Sayidina Husain- Sayyid Ali zainal abidin menjauh. Menikah dan mempunyai putera Bernama Sayyid Al Baqir. Sayyid Al-Baqir memiliki putera bernama Sayyid Jafar As-Shiddiq,dst. Digenerasi ke sekian dari Rosulullah SAW, tidak lagi hidup di Arab dan memilih keluar dari arab karena tidak tahan dengan konstelasi politik arab. Hal itu tertuang dalam Curhatan Sayyid Jafar as-Shiddiq yang kerap kali kita baca namun mungkin tidak kita ketahui : "Allahumma Sholli ala Muhammad waa ala alihi muhammad waass ghili dzolimin bi dzolimin waa akhrijina mim baini waa ala alahi muhammad".

Satu hal lagi bahwa Kesyahidan Al Husian murni demi ummat Kakeknya Rosulullah SAW. Itulah sebabnya Mahatma Gandhi merasa mendapatkan Vitamin setelah mendedah atau menapak tilas perjalanan Sayidina Husain yang berujar : "Ya, Husain ajari aku bagaimana menjadi pemenang dalam keadaan tertindas".
 

***





KETIKA SEPASANG SUAMI ISTRI NASRANI MEMBELA CUCU NABI MUHAMMAD DARI MUSUH-MUSUHNYA

Pemuda itu bernama Wahab. Baru beberapa hari ia menikah dengan Haniyah. Wahab hidup bersama ibu dan istrinya. Mereka berasal dari kabilah Bani Kalb yang beragama Kristen. Ketika rombongan Sayidina Husein melewati tempat bernama Tsa'labiyah, nampak sebuah kemah kecil dan sederhana di kejauhan sana. Sayidina Husain bertanya, "Siapa yang mendirikan kemah di tengah padang pasir ini?, Mungkinkah dia memerlukan bantuan?".

Beliau segera memacu kudanya menuju kemah itu. Di sana, beliau bertemu dengan wanita tua yang sedang duduk menanti datangnya seseorang. Sayidina Husain menanyakan kesendirian perempuan itu. Ia menjawab, "Aku sedang menantikan putraku, Wahab. Kami hidup di kemah dan berpindah-pindah tempat. Kemah ini milik anakku. Ia pemuda yang gagah berani dan baru saja menikah. Ia sedang pergi ke tengah gurun bersama istrinya, Haniyah. Tak lama lagi mereka akan kembali."

Sayidina Husein bertanya lagi, "Adakah yang bisa saya bantu?". Wanita tua itu menjawab, "Aku haus. Persediaan air kami sudah habis."

Sayidina Husein sejenak memperhatikan tempat itu. Beliau menyingkirkan batu-batuan yang ada di sekitar itu. Mendadak mata ibu Wahab menyaksikan sebuah mata air yang jernih di depannya. Sayidina Husain mengambil air itu dengan sebuah wadah lalu menyerahkannya kepada ibu Wahab yang masih terheran-heran. Setelah meminum air itu, dia bertanya, "Siapakah engkau dan apa yang kau lakukan di gurun ini?".

Sayidina Husein menjawab, "Aku Husein, cucu Nabi Muhammad SAW dan anak dari putri utusan Allah. Aku sedang menuju Karbala. Sampaikan salamku kepada anakmu dan katakan kepadanya bahwa putra utusan Allah yang terakhir memintanya untuk ikut menolongku."

Kafilah Sayidina Husein bergerak meninggalkan tempat itu. Ada perasaan yang aneh di hati ibu Wahab. Pandangan Husein bin Ali dan kemurahan hatinya tak bisa lepas dari pikirannya. Saat Wahab datang, wanita tua itu menceritakan kedatangan Sayidina Husein dan pesan beliau kepadanya. "Anakku, jika kau mau menyertainya, bawa aku bersamamu," kata sang ibu.

Wahab seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia bertanya, "Ibu, siapakah yang bersamanya?", Ibu Wahab menjawab, "Ia bersama rombongan kecil termasuk anak-anak dan perempuan."

Pemuda itu langsung teringat akan pasukan besar pimpinan Umar bin Saad yang ia lihat di Nukhailah beberapa hari lalu. Ia mendengar bahwa ribuan orang itu sedang bergerak untuk membantai Husain bin Ali. Wahab melihat sumber air yang dengan karomah Sayidina Husain muncul di dekat kemahnya. Ia sudah sering mendengar kebesaran dan kemuliaan Sayidina Husain. Wahab yakin bahwa cucu Nabi itu adalah hujjah Allah di atas bumi. Iapun memutuskan untuk memenuhi panggilan Sayidina Husain.

Kepada istrinya, Wahab menjelaskan apa yang ia putuskan. Mendengar itu, Haniyah tertegun dan berkata, "Bawa aku bersamamu. Aku tak bisa hidup tanpamu." Wahab tak kuasa menolak keinginan ibu dan istrinya untuk bersamanya menyertai kafilah Sayidina Husain. Malam hari, ketiga orang itu bergerak menuju Karbala melalui jalur yang sulit. Mereka akhirnya berhasil menyusul rombongan keluarga Nabi Muhammad SAW. Melihat pemuda gagah dari kabilah Bani Kalb itu, Sayidina Husain menyambut dan merangkulnya.

Hari Asyura pun tiba. Pertempuran tak seimbang sudah dimulai. Wahab mendatangi kemah ibunya untuk mengucapkan salam perpisahan. Sang ibu berkata, "Anakku! Kau tentunya tahu hak besar ibu atas anaknya. Ibulah yang telah mengalami kesulitan besar saat membesarkan anaknya. Masa mudaku telah kulewatkan untuk mengasuh dan membesarkanmu. Menatapmu memberi ketenangan tersendiri di hatiku."

Air mata menetes dan isakan tangis mengikuti kata-katanya. Haniyah berpikir, ibu Wahab hendak mencegah anaknya bertempur dan mati di medan laga. Sang ibu melanjutkan, "Untuk membalas semua derita yang kualami dalam mengasuhmu aku hanya punya satu permintaan. Aku mohon, supaya kau pergi ke medan tempur dan mengorbankan dirimu untuk Husein."

Wahab bangga mendengar kata-kata itu. "Ibu, inilah yang aku inginkan. Aku akan segera pergi ke medan perang untuk mempersembahkan jiwa dan ragaku," ujarnya. Haniyah yang sebelumnya hanya menyaksikan percakapan itu ikut menyela. "Aku juga punya satu permintaan," katanya. Haniyah melanjutkan, "Bawa aku menghadap junjunganmu. Aku minta kau berjanji kepadaku di depan beliau."

Ketiganya lalu mendatangi Sayidina Husein. Kepada sang Husain, Haniyah berkata, "Suamiku berniat terjun ke medan laga. Aku minta ia berjanji di depanmu untuk tidak meninggalkanku di hari kiamat kelak."

Di depan Sayidina Husain, Wahab mengucapkan janji seperti yang diminta istrinya. Setelah mendapat izin dari Sayidina Husain, pemuda itupun pergi ke tengah medan. Postur tubuhnya yang tinggi besar dengan lengan yang kokoh dan dada yang bidang membuatnya berbeda dengan kebanyakan orang di padang itu. Wahab menyerbu pasukan musuh. Sabetan pedangnya membuat musuh tercerai berai. Semakin banyak prajurit lawan yang mengepungnya. Kepunganpun kian ketat. Wahab roboh dengan satu tangan yang terpisah dari badannya. Melihat itu Haniyah segera berlari ke arah suaminya dengan berbekal kayu penyangga kemah. Tiba di sana, Wahab sudah kehilangan kaki. Haniyah duduk bersimpuh di sisi suaminya. Tangannya membelai dan membersihkan wajah Wahab dari darah yang membasahinya.

"Suamiku, selamat atasmu karena surga yang telah kau raih. Kau korbankan nyawamu membela orang-orang suci. Ku mohon kepada Allah untuk membawaku bersamamu," kata Haniyah.

Haniyah mengucapkan kata-kata duka menyayat hati yang bahkan mengguncang hati pasukan musuh. Umar bin Saad memerintahkan pasukannya untuk menghentikan senandung duka istri Wahab. Tiba-tiba seorang dari pasukan Syimr datang mengayunkan pedang ke arah tubuh perempuan itu. Haniyah memekik, dan ia pun gugur syahid bersama suaminya.

Beberapa saat setelah itu, pasukan musuh memenggal kepala Wahab dan melemparkannya ke perkemahan Sayidina Husein. Ibu Wahab mengambil kepala putranya itu lalu mencium keningnya. Semua mata menyaksikan pemandangan itu. Mendadak wanita tua itu bangkit membawa kepala anaknya lalu melemparkannya ke tengah medan sambil berseru, "Kami tak pernah mengambil lagi apa yang sudah kami berikan di jalan Allah."

Ia lalu bergerak ke tengah medan sambil berkata, "Walaupun tua dan lemah tapi selama ada nyawa aku siap membela putra Fatimah."

Sayidina Husein memerintahkannya untuk kembali ke kemah. Kepadanya Husain berkata, "Semoga Allah membalas budi baikmu dengan pahala yang besar atas pembelaanmu untuk Anak keturunan Nabi Muhammad SAW. Tak ada kewajiban bagimu untuk berjihad."

Kata-kata Sayidina Husein membuat hatinya tenang. Surga merindukan kedatangan Wahab dan istrinya.

Setali tiga Uang dengam Wahab, Pemuda yang kedua adalah John atau Jaun bin Huwai adalah salah satu dari para Martir Karbala dan seorang budak kulit hitam milik Abu Dzar Al Ghiffari. Di hari Asyura, Sayidina Husain mencegah Jaun untuk pergi ke medan perang, tetapi ia berkata kepada Imam: “Demi Allah, aku tidak akan pernah berpisah darimu, sehingga darahku bercampur dengan darahmu.” [A’yan al-Syiah, jld.1, hlm.605]

Dia adalah salah satu dari mereka yang setelah kemartirannya, Sayidina Husain datang ke sisinya dan mendoakannya. [A’yan al-Syiah, jld.1, hlm. 605; Nafasul Mahmum, Syaikh Abbas Qummi, hlm.263]

John berasal dari Naubah (sebuah wilayah di Afrika dekat negara Sudan) dan dia merupakan budak dari Fadhl bin Abbas bin Abdul Mutthalib, yang dibeli oleh Sayyidina Ali as dan diberikan kepada Abu Dzar. Dia tetap bersamanya sampai ke Rabazah hingga Abu Dzar wafat (tahun 32 H/652) dan kemudian dia kembali kepada Sayidina Ali dan tinggal di bersama. Tampaknya dia ahli dan mahir dalam memperbaiki serta mempersiapkan senjata dan dalam satu nukilan dari Imam Sajjad as : Di malam Asyura, John berada di dalam kemah Sayidina Husain as dan dia mempersiapkan pedangnya. [Al-Irsyad, jld.2, hlm.93; Tarikh al-Thabari, jld.4, hlm.420]

John syahid setelah Amr bin Qarzhah dan menurut nukilan lain setelah didirikannya shalat berjamaah bersama Sayidina Husain, ia meminta izin pergi ke medan perang dan dengan suara lantang berseru kepada musuh kemudian setelah berhasil membunuh 25 orang [Manāqib Ibnu Syahr Asyub, jld.4, hlm.103] ia pun mati di jalan Allah.

Telah dikutip bahwa Sayidina Husain datang ke sisinya dan memanjatkan doa untuknya: “Ya Allah, putihkanlah wajahnya dan harumkanlah bau badannya dan kumpulkanlah ia bersama orang-orang baik dan perkenalkanlah dia dengan Muhammad dan keluarga Muhammad ” [A’yān al-Syiah, jld.1, hlm.605; Nafas al-Mahmum, Syaikh Abbas Qummi, hlm.263]

Jasadnya dikuburkan bersama dengan para Syuhada Karbala lainnya di bawah kaki Sayidina Husain. Namun, Allamah Majlisi menukil sebuah riwayat bahwa tubuhnya ditemukan sepuluh hari setelah penguburan para martir dan bau harum menyambar ke lubang pernafasan. [Bihar al-Anwar, jld.45, hlm.23] Namanya dimuat dalam ziarah para syuhada sebagai berikut: “Salam sejahtera atas Jaun budak Abi Dzar al-Ghiffari”.


***

BRAHMANA HUSAINI: KOMUNITAS HINDU YANG MENCINTAI SAYIDINA HUSAIN

Brahmana Husaini adalah komunitas Hindu yang memiliki keterkaitan yang erat dengan Islam. Diceritakan bahwa leluhur mereka, Rahab Sidh Datt pernah berperang untuk Sayidina Husain dalam pertempuran Karbala pada tanggal 10 Muharram tahun 680 M, mengorbankan tujuh orang putranya. Dari peristiwa tersebut, kemudian dikenal sebagai Brahmana Husaini. Mereka sekarang tersebar di Sindh di Pakistan, Maharastra, Rajasthan, Kashmir, Delhi dan bagian lain India, Pakistan dan Arab.

Asal usul Brahmana Husain adalah berasal dari kelompok Datt atau Dutt, sebuah klan prajurit di antara tujuh klan di dalam kelompok etnis Mohyal Brahmana yang berasal dari wilayah Punjab atau Haryana di utara India. Datt adalah seorang kepala suku dari kalangan Brahmana yang mampu menghentikan perlawanan Alexander Agung ketika menaklukkan India. Lalu mereka mengawal Alexander Agung kembali ke Macedonia. Ketika Alexander wafat, Datt bersama pengikutnya pindah ke Arab.

Sejarah lain menyebutkan, bahwa setelah perang Mahabarata, Aswata yang merupakan leluhur Datt mengungsi ke wilayah Arab bersama pengikutnya. Datt sendiri berasal dari bahasa Hindi, daatt, yang berarti dermawan. [1]

Versi lain mengisahkan tentang bagaimana Dutt dari Punjab kemudian dikenal sebagai Brahmana Husaini. Salah satu istri Sayidina Hussain yaitu Sahhr Banu adalah saudara perempuan dari Chandra Lekha atau Mehr Banu, istri seorang raja India, Chandragupta. Ketika sudah jelas bahwa Yazid akan berperang dengan Sayidina Husain, maka anak Imam bernama Ali Ibn Hussain menulis surat kepada Chandragupta untuk meminta pertolongan melawan Yazid.

Setelah menerima surat tersebut, Chandragupta segera memberangkatkan pasukannya ke Irak untuk membantu Sayidina Husein. Pada saat mereka tiba, Sayidina Husein ternyata telah terbunuh.

Di kota Kufah, Irak saat ini, mereka bertemu dengan Mukhtar Saqaffi, seorang murid Sayidina Husain, yang mengatur tempat tinggal bagi mereka di bagian khusus kota yang sekarang dikenal sebagai Dair-i-Hindiya atau kampung orang India. Al-Hindiya atau Hindiya adalah sebuah kota di Irak di tepi Sungai Efrat yang masih termasuk provinsi Karbala. Di bawah kepemimpinan Bhurya Dutt, beberapa Brahmana Dutt ikut berperang bersama dengan Mukhtar Saqaffi melakukan pembalasan atas kematian Imam Husain. [2]

Setelah bergabung dengan Mukhtar Saqoffi yang dikenal dengan kelompok At - Tawaabun dan berhasil menuntut balas kepada orang-orang yang telah membunuh Sayidina Husain. Brahmana Dutt menemui anggota keluarga Sayidina Husain. Dia memperkenalkan dirinya dengan mengatakan, “ Saya seorang Brahmana dari Hindustan.” Kemudian dijawab, “Sekarang kamu adalah Brahman Husaini. Kami akan selalu mengingatmu.”

Selanjutnya Brahmana Dutt pergi dari Kufa ke Afghanistan, dan dari sana kembali ke India di mana dia tinggal selama beberapa hari di Nankana. Di distrik Sialkot ada sebuah kota yang dikenal sebagai Viran Vatan. Tempat itu adalah rumah leluhur Brahmana Husaini. Konon disitu tersimpan sehelai rambut Sayidina Husain, yang disimpan di tempat suci Hazratbal di Srinagar, Kashmir bersama dengan sehelai rambut Nabi Muhammad. [3]

Sampai saat ini, kelompok Datt yang memperingati Tragedi Karbala bersama ummat Islam demi mengenang pengorbanan leluhur mereka yang berjuang bersama Sayidina Husain, menyebut diri mereka sebagai Brahmana Husaini. Salah satunya Sunil Dutt aktor India yang terkenal tersebut keturunan Brahmana Husaini.

Purn. Kolonel Ramsarup Bakshi, salah seorang anggota Brahmana Husaini, menyatakan kepada Pune Mirror bahwa komunitasnya bangga karena memiliki ikatan dengan Imam Husain dan menghormati Asyura. “Kami merupakan komunitas yang sangat kecil di Pune. Tapi bagian kecil sejarah ini begitu penting dalam hidup kami. Kami menjadi lambang ikatan berabad-abad antara Hindu dan muslim.” [4]

Sangat ironis sekali ketika sebagian besar mayoritas ummat Islam alergi terhadap peringatan Asyura yaitu terbunuhnya Sayidina Husein di Karbala. Bahkan takut dianggap sesat, justru di India ada komunitas Hindu yang disebut Brahmana Husaini dengan bangga menyebut pengikut, pencinta dan pembela Sayidina Husain dan memperingati tragedi Karbala.


Tahukah kita Bahwa jauh hari Rosulullah memberi alamat atas peristiwa Karbala tersebut Pada Fatimah :

Suatu hari Sayyidina Husain kecil menangis dan datang menemui ibunya, Sayyidah Fathimah. Husain kecil lalu berkata; “Ya Ibu, mengapa kakek (Nabi Kita Muhammad Saw) lebih mencintai kakakku Hasan ketimbang aku”. “Mengapa engkau berbicara seperti itu wahai anakku”. Jawab Sayyidah Fatimah.

Sayyidina Husain kecil lalu mengutarakan sebab kecemburuannya : “ Kakek sering mencium Kakak Hasan di bibirnya sedangkan aku, kakek hanya menciumku di leherku”.

Kemudian Sayyidah Fathimah membawa Sayyidina Husain kecil kepada kakek mereka, Nabi Kita Muhammad Saw dan menceritakan kecemburuan cucunya Husain. Rasulullah Saw menatap tajam dan lama, lalu bersabda; “ Wahai Anakku Fatimah, Hasan selalu aku kecup di bibirnya, karena dia akan mati diracuni oleh orang terdekatnya, dan seluruh isi perutnya akan keluar lewat mulutnya. Sedangkan engkau (Husain).” Rasulullah Saw sejurus menatap Husain kecil, cucunya lama sekali. Beliau Saw tidak bisa meneruskan ucapannya, dan pingsan beberapa saat. Setelah siuman Rasulullah Saw kembali menatap tajam sambil terus menangis berguncang dadanya.

Rosulullah Saw lantas berkata, “Sedangkan engkau (Husain), sering aku cium di lehermu karena engkau akan syahid dengan leher terputus”.

Mendengar penuturan Ayahandanya, Baginda Rasulullah Saw, Sayyidah Fatimah lalu menahan ledakan tangisnya sambil memeluk putranya Sayyidina Husain yang kelak akan Syahid seperti yang telah Rosulullah Saw paparkan. Keluarga kecil penuh cahaya surgawi itu pun pecah oleh tangisan Rasululloh Saw yang mengguncangkan alam semesta.

Sayidina Husain adalah seorang pemenang, seorang Pemberani, sebab ia tau, Ia akan Kalah dalam perang dan Mati terbunuh?.

Pada malam hari Tāsu’a, Al-Husain mengumpulkan pengikut setia dan keluarganya, lalu berkata : " Aku tidak mengenal keluarga dan penolong yang lebih baik dari pada kalian dan karena besok adalah hari perang, maka aku tidak dapat menjamin kalian, aku menarik baiat dari kalian, oleh karenanya aku mengizinkan, jikalau kalian akan memilih jalan kalian pada kegelapan malam dan pergilah.”

Al Husain memberikan kesempatan Kepada mereka untuk meninggalkannya di kegelapan malam dengan menutup wajah agar mereka tidak ada beban malu serta saksi ketika meninggalkannya. Setelah menyelesaikan ucapannya, sahabat dan penolong setianya secara bergantian satu per satu berdiri untuk menyatakan solidaritas dan dukungannya kepada Al-Husain. Mereka pun menyatakan kesetiaannya dan kebersamaan kepada Husain Bin Ali dalam semua aspek terhadapnya. Mereka juga menegaskan akan kesetiannya kepada baiat yang telah diberikan dan menjelaskan tentang kemantapan mereka dalam baiatnya kepada Imam Husain.

Pertama yang melakukan hal itu adalah Abbas bin Ali, kemudian para pemuda Ahlulbait yang lainnya menyatakan dukungannya dan akan selalu menyertai Imam Husain. Kemudian Imam Husain as menoleh kepada putra-putra Aqil dan berucap : “Wahai putra-putra Aqil!, Cukuplah pengorbanan kalian dengan kematian Muslim, karena itu pergilah kalian, Aku mengizinkan kalian untuk pergi.”

Namun mereka menjawab, “Demi Tuhan!, Aku tidak akan melakukan hal itu. Jiwa, harta dan keluarga kami menjadi tebusan bagimu dan kami akan berperang bersamamu.” Setelah perkataan keluarga aqil, Muslim bin Ausajah, Sa’id bin Abdullah Hanafi, Zuhair bin Qain kemudian disusul oleh penolong setia al Husain yang lain juga berbicara tentang perang dan pertolongan kepada Al Husain hingga menemui kesyahidan.

Kemudian Al Husain bin Ali berkata kepada sahabatnya, “Sesungguhnya besok Aku akan terbunuh dan semua dari kalian yang bersamaku juga akan terbunuh.”

Para sahabat berkata, “Demi AllAh, bahwa kami dikaruniai kesempatan untuk menolongmu dan dengan cara syuhadah kami diberi kemuliaan bersamamu. Wahai putra Rasulullah saw!, Apakah Anda tidak rela jika kami juga bersama denganmu berada dalam satu derajat di surga?”.

Sayid As Sajjad meriwayatkan bahwa setelah orasi dan mendengarkan jawaban penuh semangat dan gairah mereka, Sayyidina Husain pun mendoakan mereka.

Sebelum menuju Karbala Aba Abdillah Husain menziarahi Makam Abangnya Sayyidina Hasan, Beliau duduk disamping Pusara itu dan mengingatkan Kembali Peristiwa ketika detik-detik Beliau bersama Hasan Bin Ali, Disaat menjelang ajal Kesahidanya karena Diracun oleh Istrinya yang bernama Ja'dah, Husain menangis terseduh-seduh sambil memangku kepala Hasan Bin Ali.

"wahai Adiku Husain janganlah Engkau menangis, Apakah kau masih ingat ketika Kakek kita Rosululloh wafat, diatas pangkuan siapa Beliau wafat?, Tanya Hasan. "Dipangkuan Ayah (Ali Bin Abi Thalib)", jawab Husain.

Hasan bertanya lagi : "Dipangkuan siapa ketika Bunda kita (Sayidah Fatimah) Wafat ?". "Dipangkuan Ayah", jawab Husein.

Lanjut Hasan : "Dipangkuan siapa ketika Ayah wafat akibat sabetan pedang?". "Diatas Pangkuanmu wahai Abangku", Jawab Husein.

Sayidina Hasan menegaskan " (menjelang Ajal) kini kepalaku berada Diatas Pangkuanmu, Lalu di diatas Pangkuan siapa Kepalamu yang Terlepas dari tubuhmu ketika Engkau Terbunuh di Karbala. Sontak Tangisan kedua Bersaudara itu menggetarkan Langit dan Bumi.

Lelaki itu berusia sekitar 58 tahun. Pada hari kesepuluh bulan Muharram, di tahun 61 H, selepas menunaikan shalat subuh Husain Bin Ali keluar dari tenda dan menaiki kuda kesayangannya. Ketika itu sebagian besar musuh telah hadir, Husain Menghampiri sambil menatap pasukan yang tengah mengepungnya. Mulailah Sayidina Husain berpidato yang begitu indah dan menyentuh hati, yang tertuang dalam kitab-Kitab Sunni Tarikh at-Thabari (5/425) dan Al-Bidayah wan Nihayah (8/193):

“Lihat nasabku. Pandangilah siapa aku ini. Lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan menciderai kehormatanku.

Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu?. Bukankah aku ini anak dari washi dan keponakan Nabimu, yang pertama kali beriman kepada ajaran Nabimu?.

Bukankah Hamzah, pemuka para syuhada, adalah Pamanku?. Bukankah Ja’far, yang akan terbang dengan dua sayap di surga, itu Pamanku?.

Tidakkah kalian mendengar kalimat yang viral di antara kalian bahwa Rasulullah berkata tentang saudaraku dan aku: keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga?.

Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku, maka tanyalah kepada Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Sahl bin Sa’d, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik, yang akan memberitahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi Muhammad SAW sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku.

Tidakkah ini cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?". Sungguh Kata-kata yang begitu elok.

Lalu Al-Husain melanjutkan Orasi yang menggetarkan Seumpama gelegar Guntur, Dihadapan Musuh ;

"Celakalah kalian!, Adakah kalian hendak menuntut darahku sedangkan aku tidak pernah membunuh siapa pun di antara kalian?. Adakah kalian akan meng-qisasku sedangkan aku tidak pernah mengusik harta benda kalian atau melukai seseorang dari kalian?.

Semua orang terdiam mendengar kata-kata Sayidina Husein. Saat itulah Sayidina Husain melanjutkan pidatonya,

"Tidak!, Aku bersumpah demi Allah, aku tidak akan tunduk pada kehinaan dan tidak akan lari seperti para budak."

Namun mereka yang telah terkunci hatinya tidak akan tersadar. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidullah bin Ziyad (Gubernur Kuffah) itu memaksa pria yang bernama Husein bin Ali itu untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu’awiyah.

Tidakkah ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pertarungan di masa Khilafah dulu itu menelan korban nyawa seorang Cucu Nabi Muhammad SAW. Percaturan Kekuasaan, demi ambisi kursi Kekhilafaan?. Itulah sebabnya dalam membicarakan kekuasaan, Berhati-hatilah karena sekelas sahabat Rosulullah saja bisa konflik, apalagi sekelas kita Ini.

Pandangam Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah bercerita bagaimana Sayidina Husein terbunuh di Karbala pada 10 Muharram (asyura). Pasukan memukul kepala Husein dengan pedang hingga berdarah. Husein membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya. Dan dengan cepat balutan kain terlihat penuh dengan darah Husein. Ada yang kemudian melepaskan panah dan mengenai leher Husein. Namun beliau masih hidup sambil memegangi lehernya menuju ke arah sungai karena kehausan. Shamir bin Dzil Jawsan memerintahkan pasukannya menyerbu Husein. Mereka menyerang dari segala penjuru. Mereka tak memberinya kesempatan untuk minum.

Masih menurut Ibn Katsir bahwa “Yang membunuh Husein dengan tombak adalah Zinan bin Anas bin Amr Nakhai, dan kemudian dia menggorok leher Husein dan menyerahkan kepala Husein kepada Khawali bin Yazid.” (Al-Bidayah, 8/204).

Nah, Disinilah titik persilangan itu dua mazhab besar dalam Islam itu terjadi bahwa Saat Terbunuhnya Husein, "Yazid sedang di Kuffah, Husein di Karbala, kenapa Yazid yang dituduh membunuh Husein, padahal yang membunuh Husein adalah Zinan bin Anas dan Zill bin Jauzan?.

Sementara kelompok yang lain menganggap bahwa saat pembunuhan terhadap Husein, Yazid ada di Syams (Damaskus) bukan di Kuffah dan Yang memenggal Imam Husein adalah Syimr bin Zil Jauzan, bukan Bapaknya Yaitu Zil Jauzan, sebab Bapaknya Syimr tidak datang ke Karbala.

Perbedaan pandangan dalam melihat Siapa yang memerintahkan Pembantaian Sayidina Husain dan Pasukannya dipadang Karbala, memang sangat Menganga lebar. Bahkan Sebahagian Kelompok menganggap bahwa Sesungguhnya Yazid bin Muawiyah adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pembantaian Sayidina Husein dan 72 Syuhada lainnya di Karbala. Jika Ada persepsi yang mengatakan bahwa Yazid tidak ada di lokasi saat peristiwa tersebut terjadi, itu seperti mengatakan Netanyahu tidak bertanggung jawab atas pengeboman Gaza Palestina karena dia tidak ada di sana.

Ibn Katsir mencatat 72 orang pengikut Sayidina Husein yang terbunuh hari itu. Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa mencata 4 ribu pasukan yang mengepung Husein, dibawah kendali Umar bin Sa’d bin Abi Waqash.

Benarkah Ubaidilah bin Ziyad, Symir bin Zil Jauzan, Sinan bin Anas adalah kerabat atau keturunan dari Muawiyyah bin abu Sufyan?. Dan apakah peran dari Umar bin Saad bin Abi Waqas dalam peristiwa Karbala?.

Dalam beberapa literatur yang pernah saya baca, Komando tentara pasukan yang pada hari Asyura bercokol di hadapan Sayyidina Husain berada di bawah kendali Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqas dan karena itu jugalah dikenal sebagai laskar Umar bin Sa'ad.

Sederhananya pada Peristiwa Karbala silang pendapat itu, tentang Siapa sebenarnya Yang membunuh Sayidina Husain dan siapa yang memerintahkan pembunuhan tersebut terjadi?. Ada yang menganggap Yazid bukanlah Otak peristiwa Karbala terjadi, sedangkan ada juga yang menganggap bahwa Yazid lah otak intelektual pembunuhan Sayidina Husein. Ada yang Menganggap Kepala Husein tidak di seret dengan Kuda dari Dari Karbala ke Damscus, sedangkan yang lainnya menyebutkan Kepala Sayidina Husein di seret dari Karbala menuju Damascus.

Terlepas dari kedua silang pendapat yang telah berlansung sangat lama. Satu titik persamaan kedua kelompok besar ini adalah mereka mengakui Bahwa Sayidina Husein kepalanya di penggal. Mereka mengakui bahwa Peristiwa tersebut merupakan peristiwa paling kelam dari Siroh Perjalanan Islam yang Paling berdarah karena Ambisi kuasa angkara murka menelan korban seorang cucu manusia agung-Rosulullah SAW.

Antara Lain : Silang Pendapat tentang 10 Asyuro yang tak berkesudahan ini kian menganga lebar.

Syiah menganggap bahwa ulama-ulama Yang mendongakkan kepalanya pada pantat kekuasaan Bani Umayyah, membuat berbagai macam narasi cerita atau riwayat tentang keutamaan bulan Muharrom dan keistimewaan hari ke 10 Muharrom. Mereka membuat cerita dan agenda 10 Muharrom tandingan yang diperingati sebagai hari raya kemenangan para Nabi atas musuh-musuhnya yang juga sekaligus hari kemenangan Yazid atas Husein, kemenangan Bani Umayyah atas Bani Hasyim, kemenangan Sunni atas Syiah, hari raya kemenangan anak-anak yatim.

Dengan terus menyebarkan riwayat-riwayat tersebut, ummat Islam lama kelamaan melupakan tragedi terbengis sepanjang sejarah peradaban manusia, pembantaian keluarga Nabi di padang Karbala yang terjadi pada 10 Muharrom 61 H. Inilah diantara pendapat-pendapat ulama Sunni mengenai tragedi Karbala

Sementara sebahagian kelompok didalam Sunni menganggap, Sayidina Husein terjebak kedalam provokasi politik orang-orang Kufah yang terkenal tidak jujur, merekalah orang-orang Kufah sebenarnya yang telah menyeret keluarga Nabi ke ladang pembantaian. Sayidina Husain Tidak seperti abangnya Sayidina Hasan yang menempuh cara-cara damai dan musyawarah, Sayidina Husein justru melakukan serangkaian agitasi politik yang berpotensi menyulut api pemberontakan terhadap penguasa sah. Tragedi Karbala bukan salahnya Khalifah Yazid bin Muawiyah tapi murni kesalahan Gubernurnya di Kufah Yakni Ubaidillah bin Ziyad yang bertindak melampaui batas, dalam kasus ini Yazid justru jadi korban kambing hitam. Dan Apa yang menimpa keluarga Nabi di padang Karbala bukanlah urusan agama melainkan ambisi politik semata, perebutan kekuasaan dan persaingan antara trah Umayyah vs trah Hasyim.

Sedangkan Kelompok Pecinta Ahlul Bait menganggap bahwa Apakah mereka lebih mengerti dan lebih paham tentang situasi kala itu bagaimana agama semestinya diperankan daripada Sayidina Husein?. mengapa mereka menyalahkan orang-orang Kufah, padahal sebelumnya orang-orang Madinah dan Makkah terlebih dahulu menolak memberi dukungan politiknya kepada Sayidina Husein?, Madinah dan Makkah lebih pantas disalahkan lebih dahulu sebelum Kufah. Jangan salahkan penduduk Kufah saja yang tidak memberi pembelaan terhadap Sayidina Husein. kesalahan terbesar justru pada orang-orang Madinah dan Makkah yang sedari awal enggan memberikan dukungan politiknya kepada Sayidina Husein. padahal mereka lebih mempunyai kedekatan dan kekerabatan.

Sayidina Husein adalah sosok yang memahami apa itu al-Islam. bagaimana agama ini seharusnya bertindak menghadapi penguasa bejat semacam Yazid bin Muawiyah. Husein telah bertindak sebagaimana dulu Muhammad kakeknya harus pergi mencari dukungan politik kaum Anshor di Madinah guna menghadapi tirani kekuasaan Makkah yang bernama Abu Sofyan dan Abu Jahal.

Kurang lebih 20 tahun Agama ini dipermainkan oleh Muawiyah dan Yazid hingga yang tersisa pada agama tinggallah Dogma Pemujaan Tuhan belaka, agama hanya dipakai sebagai baju kesalehan pribadi oleh para penipu, agama dimitoskan sebagai kebenaran tunggal milik penguasa, agama dikenakan sebatas aksesories gengsi sosial semata, Syariat agama dijadikan alat tipu-tipu. Maka keluarlah Husein untuk sekali lagi mengibarkan panji kebenaran bendera agama kakeknya. Inilah bendera al-Islam yang dikibarkan Husein, bendera agama Muhammad yang sejati. Agama yang melawan tirani kekuasaan. Agama yang menentang setiap bentuk penindasan. Agama yang menjadi garda terdepan pembela orang-orang lemah. Agama yang mengajarkan bahwa Surga hanya bisa ditebus dengan darah dan airmata, dengan penderitaan dan pengorbanan.

Kira-Kira begitulah silang sengketa pahaman yang tidak memiliki titik temu. Padahal Pertanyaan yang paling mendasar dan tanpa melekatkan pada embel-embel Kelompok-Kelompok Islam, sekalipun Motif pembantaian Di 10 Asyuro adalah kekuasaan ialah Siapa yang tidak berduka dengan terbunuhnya Sayyidina Husain?. Siapa yang tidak berduka atas Terbunuhnya seorang Anak dari, anak kesayangan Khatamul Ambiya?. Siapa yang tidak bersedih atas terbunuhnya Cucu seorang manusia agung yang kelak Hanya Syafaatnya kita harpakan atas peluh penantian Di Yaumil Mahsyar?. Kita berduka sebagai Ummat Rosulullah, Tanpa embel-enbel Kelompok Manapun dalam Islam.

Olehnya Mari kita inap-inapkanlah pesan Mahatma Gandhi : “Aku belajar dari Hussein bagaimana menjadi pemenang, aku belajar dari Husain meraih kemenangan dalam keadaan tertindas. Kemajuan Islam tidak bertumpu pada pedang pemeluknya, namun hasil dari pengorbanan agung Hussein.”

Imam Syafi'i ra bersenandung meratapi derita Husein sang penghulu surga :

"Siapa gerangan yang akan menyampaikan pesanku kepada al-Husain, sungguh jiwa dan hatiku sedih dan merana.

Dia tersembelih, tanpa dosa, Bajunya seakan-akan tercelup basah dengan warna merah darah.

Pedang yang berkilau, tombak yang gemerincing , dan kuda yang meringkik, kini meratap.

Bumi bergetar karena derita keluarga Muhammad, demi mereka gunung-gunung yang kukuh seakan- akan runtuh.

Benda-benda langit rontok, bintang-bintang berguguran, cadur-cadur terkoyak-koyak, demikian juga hati.

Alangkah mengherankan bagi orang yang bershalawat kepada Nabi yang diutus dari kalangan Bani Hasyim, namun dia juga memerangi anak cucunya.

Jika aku dianggap berdosa karena cinta kepada keluarga Muhammad, maka aku tidak akan bertaubat dari dosaku itu". [5]


Daftar Pustaka:

[1] https://hussainibrahmin.tumblr.com/brahminsinkarbala

[2] https://www.jagranjosh.com/general-knowledge/muharram-brief-history-of-hussaini-brahmins-1568031343-1

[3] https://www.imamreza.net/old/eng/imamreza.php?id=11294

[4] https://timesofindia.indiatimes.com/city/patna/Hindus-participate-in-Muharram/articleshow/2716459.cms

[5] Kitab Dīwan al-Imīm asy-Syāfi'i ra, at-Thab’ah Dārul-Kiāab al-’Arobiy, Beirut- Lebanon, Syair ke 15, halaman: 48). [5].



***





ALI AKBAR HUSAIN BIN ALI

Ketika musuh bersama-sama menyerang ‘Ali Akbar, salah seorang dari mereka menusukkan tombak tepat di dada Ali Akbar. Tombak itu menembus dada Akbar. Pegangannya patah. sebilah tombaknya menancap di dada Akbar. Ali Akbar jatuh dari kudanya. Ia berteriak: "Wahai Ayah, terimalah salam terakhirku untukmu." Ali Akbar tidak memanggil ayahnya untuk datang menemuinya, Ali Akbar tidak ingin hati ayahnya lebih terluka.

Namun Al-Husain bergegas ke medan perang. Husain melihat putranya, ‘Ali Akbar. Putranya terbaring di pasir Karbala 'dengan kedua tangan di dada. Ali Akbar masih bernapas meski tersengal. Oh Apa yang akan Husain lakukan sekarang?, Seorang ayah menghadapi putra kesayangannya dalam kondisi mengenaskan.

Al-Husain menempatkan kepala Ali Akbar di pangkuannya. “Anakku,‘ Ali Akbar, sayangku, ‘Ali Akbar, mengapa engkau tutupi dadamu?. Anakku, apakah dadamu sakit?, Biarkan aku melihatnya, anakku. ”

Al-Husain dengan lembut menggeser tangan Ali Akbar, Akbar semula menahannya, Al-Husain kembali menggeser tangan Akbar.

Allahu Akbar, Allahu Akbar! Apa yang dilihat Al-Husain?. Bilah tombak tertancap dalam di dada Ali Akbar. ‘Ali Akbar sangat kesakitan.

Al-Husein meletakkan kedua tangannya di atas bilah tombak di dada Ali Akbar dan memandang ke arah Najaf. Ia berteriak dengan keras: "Ayah Bantu Aku!. Ayah! Mudah bagimu untuk menarik gerbang Khaybar.  Ayah! Sulit bagiku untuk mencabut bilah tombak dari dada putraku.




ABU FADHAL ABBAS : PURNAMA BANI HASYIM

Padang pasir karbala telah memerah. Aroma debu bercampur anyir darah menebar aroma mencekam. Di dekat sungai itu tergeletak sesosok tubuh pemuda, darah terus mengucur dari tubuh yang penuh luka-luka tak terhitung jumlahnya. Sosok itu tak lagi memiliki lengan, anak panah menancap hampir di sekujur tubuhnya. Napasnya tersengal naik turun seolah menandakan ketidak berdayaan. Meski begitu, tampak ia seperti mengharapkan seseorang datang. Walupun lehernya bagai tercekat, lirih sosok itu masih berusaha menyebut nama seseorang. Ya, al-Abbas mengharapkan tuannya datang menghampiri sebelum ia meninggalkan hidup menyusul saudara, kerabat dan sahabat yang telah mendahuluinya meneguk cawan syahadah.

Dikatakan bahwa sebelum kematian seseorang, kejadian-kejadian masa lalu tergambar bagaikan terulang kembali dalam pikirannya. Di saat-saat terakhirnya, al-Abbas pun mengalami hal yang sama. Bagaikan ia melihat kembali dirinya sebagai seorang anak kecil yang selalu ingin mengikuti dan mengabdikan diri untuk abangnya al-Husain as. Pengabdian yang oleh siapapun dianggap unik kala itu. Bahkan jika pengabdian itu dilakukan oleh seorang saudara sekalipun.

Seolah ia dikembalikan pada moment disuatu siang yang sangat panas di kufah. Kala itu ayahnya yang mulia Sayidina Ali as tengah menyampaikan khutbah di masjid kufah. Ia yang kala itu masih kanak-kanak memandang wajah abangnyanya al Husain yang serius menyimak khutbah ayahnya. Al-Abbas memang kerap berlama-lama memandang al-Husain seperti itu. Karenanya, saat melihat bibir abangnya kering, ia langsung menyadari bahwa pastilah abangnya itu tengah sangat kehausan.

Al-Abbas ingat, bagaimana ia segera melesat keluar meninggalkan masjid kufah. Ia berlari untuk mengambil air guna melegakan rasa haus al-Husain. Karena begitu tergesa membawa segelas air dingin dengan tangannya yang kecil, sebagian air tumpah membasahi bajunyanya.

Seolah al-Abbas kembali menyaksikan bagaimana kejadian itu seketika membuat ayahnya Sayidina Ali as menghentikan khutbah dan memandangnya dengan linangan air mata. Dalam napas tersengalnya, al-Abbas kembali teringat jawaban ayahnya atas pertanyaan para sahabat yang terheran mengapa ayahnya tiba-tiba menghentikan khutbah dan menangis, kala itu ayahnya menjawab, " Al-Abbas yang hari ini membasahi tubuhnya dengan air demi meredakan rasa haus abangnya, kelak tak lama lagi, akan membasahi tubuhnya dengan darahnya sendiri demi berusaha meredakan kehausan putra-putri al-Husain as".

Kematian lebih mudah baginya daripada meminum air yang ada di tangannya dalam keadaan haus di hari yang begitu panas. Dialah Abbas ibn Ali ibn Abi Thalib as.



AL-QOSIM BIN HASAN

"Wahai Paman! Tolonglah aku! " teriak Al-Qasim saat terjatuh dari kudanya. Al-Husain dan Al-Abbas bergegas memacu kuda mereka ke medan perang.

Peristiwa mengerikan kemudian terjadi. Musuh-musuh Islam berpikir bahwa Husain dan Abbas datang untuk menyerang mereka. Mereka menjadi ketakutan dan kebingungan, memacu kuda-kudanya kesana kemari.

Kuda-kuda berlari dari satu sisi ke sisi lain, dari sini ke sana! Dari sana ke sini!

Kuda-kuda itu menginjak-injak tubuh Qasim, yang terbaring terluka di tanah. Putra Sayidina Hasan itu diinjak-injak begitu rupa. Sementara Al-Husain dan Al-Abbas terus mencari-cari dimanakah Al- Qasim.

Sayangku Qasim, dimanakah engkau?, Qasim! bicara pada pamanmu! Qasim! Qasim! Di mana engkau anakku? ".

Qasim tidak bisa menjawab. Napasnya telah terhenti.

Ketika musuh yang kacau mulai mundur, apa yang dilihat Al-Husain?. Tubuh Qasim yang tak lagi utuh. Kuda-kuda telah menginjak dan mencabik-cabiknya.

Bayangkan perasaan Al-Husain! putra saudaranya, Hasan, tercabik-cabik, terinjak-injak.

Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Apa yang akan Al-Husain lakukan sekarang?, Apa yang harus dilakukan Al-Husain sekarang?.

Tubuh Qasim hancur berserakan! Lengan dan kakinya tersebar di padang pasir Karbala'. Husain melepas abayanya dan membentangkannya. Ia mengumpulkan potongan-potongan tubuh Qasim dan menempatkannya ke dalam abayanya.

Al-Abbas membantu Husain membawa tubuh Qasim yang terinjak-injak.

Ketika Husain sampai di kemah, ia berteriak: “Z-A-I-N-A-B! Bantu aku Zainab. Hatiku hancur, Zainab. Aku tak punya kekuatan lagi membawa tubuh Qasim ke tenda. Zainab, mintalah Fidzah untuk membantumu membawa tubuh Qasim ke tenda." Para wanita menangis dan meratapi Qasim. “Wa Qasima! Wa Qasima! Wa Qasima! "

Inna Lillahi Wa Inna Ilaih Roji’un!

Diterjemahkan dari Buku: Tears for Karbala. Sumber: Al-Islam.org.




SYAHIDNYA ALI ASGHAR

Adakah penolong yang akan menolongku?, Adakah yang bisa membantu cucu Nabi? ”.

Dengan panggilan ini, cucu Nabi saw, memberikan satu kesempatan terakhir kepada anak buah Yazid, orang-orang yang menyebut diri mereka Muslim, pengikut Nabi.

Tidak ada yang menjawab panggilan terakhir Al-Husain. Tapi Al-Husain mendengar suara tangisan datang dari kemahnya.

Husain berbalik dan kembali ke tendanya. “Zainab, saudaramu masih hidup. Mengapa engkau menangis?".

“Saudaraku Husain, ketika kamu berteriak,“ Adakah yang bisa membantuku? ” Ali Asghar jatuh dari ayunannya. ”

Husain tahu apa yang 'Ali Asghar coba katakan. Husain pergi ke Umm Rubab. 'Ali Asghar ada di pangkuannya. Dia menangis dan Umm Rubab berusaha menghiburnya.

Sayidina Husain menggendong bayi Ali Asghar. Al-Husain membawa 'Ali Asghar ke medan perang. Saat itu sangat panas. 'Ali Asghar haus. Sayidina Husain menutupi bayi Asghar dengan jubah-nya, untuk melindunginya dari terik matahari. Anak buah Yazid melihat Husain mendekati dengan sesuatu di tangannya.

“Lihat, Husain datang dengan Quran. Dia tidak punya siapa-siapa lagi untuk membantunya. Dengan bantuan Quran dia berharap menang. "

Al-Husain menuju ke arah tentara Yazid. Dengan membuka Jubahnya, terlihatlah 'Ali Asghar. Ia mengangkat tinggi 'Ali Asghar dengan kedua tangannya dan berkata:

“Wahai tentara Yazid, jikalah kalian merasa aku telah menyinggung kalian, tapi apa yang telah dilakukan anak kecil ini padamu? ASI ibunya sudah mengering. Ia tidak mendapat setetes air pun selama tiga hari. Dia kehausan. Berikanlah air kepada anak kecil yang tidak bersalah ini. "

Tidak ada satupun tentara Yazid yang membawakan air untuk Ali Asghar.

Imam Husain mengangkat 'Ali Asghar. Itu menyentuh hati tentara Yazid yang memiliki anak sendiri. Mereka menjadi gelisah. Beberapa mulai menangis.

Mereka berbicara di antara mereka sendiri: “Husain mengatakan yang sebenarnya. Apa yang telah dilakukan anak ini pada kita? Mengapa dia dihukum seperti ini? Mari kita beri dia air. ”

Umar bin Saad khawatir tentaranya akan berbalik melawannya. Segera ia memerintahkan pemanah terbaiknya: “Harmallah! Apa yang kamu tunggu? Bungkam anak kecil itu! Apakah kamu tidak tahu dia adalah cucu dari 'Ali? Cepat, tembak panahmu, sebelum terlambat. ”

Harmallah mengarahkan panah ke 'Ali Asghar. Apakah itu anak panah kecil karena untuk menyerang anak kecil? Tidak! Anak panah itu bukan anak panah kecil, bukan dengan satu mata panah, bukan dengan dua mata, tetapi dengan tiga mata panah yang tajam.

Pada saat itu Sayidina Hussain Ibn Ali (as) dalam penderitaan, kesuraman, dan kesedihan, mengangkat bayi Asghar di tangannya dan sedang berbicara dengan musuh ketika ia merasakan sesuatu yang aneh! Dia melihat bayinya, yang terkulai dan diam, karena haus dan lapar, tidak bisa lagi menahan kepalanya, kepalanya tertunduk ke satu sisi. Tiba-tiba ia mulai menggelepar di tangan ayahnya.

Sayidina Hussain memandangnya, Ia melihat anak panah musuh telah mengenai sang putra tepat di tenggorokan dan darah mengalir dari tenggorokan Ali Asghar.

Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Husain yang malang, ayah yang malang, yang datang untuk mengambilkan air untuk anak kecilnya.

Alih-alih air, Ali Asghar mendapatkan panah di lehernya.

Apa yang harus dilakukan Al-Husain sekarang?, Apa yang harus dilakukan Sayidina Husain sekarang?.

Sayidina dengan lembut menarik anak panah dari leher mungil 'Ali Asghar. Oh, seorang ayah harus mengeluarkan anak panah dari leher anaknya. Oh, sungguh memilukan!. Darah mengucur dari leher 'Ali Asghar. Semoga Allah mengutuk para penindas!




SAYIDAH ZAINAB BIN ALI

Sayyidah Zainab, anak perempuan Sayidina Husain, Menyaksikan Abang, keponakan-Keponakan, saudari, adik dan sanak saudaranya dibantai di depan mata. Selamat dari peristiwa pembantaian para Ahl Bayt, Sayyidah Zainab ditawan, berjalan kaki menjadi tawanan dari Karbala menuju Kufah, dari Kufah menuju Damaskus, disertakan dengan saudara-saudara lain yang masih hidup, beserta penggalan kepala Sayyidina Hussein yang diletakan diatas tombak lembing.

Wanita tangguh inilah penyaksi bagaimana kepala Sayyidina Hussein diarak, diludahi, dipermainkan oleh para musuh-musuhnya, dan oleh para penguasa saat itu, dari Ubaidillah Ibn Ziyad (Gubernur Kuffah) hingga Yazid Bin Muawiyah (Khalifah Bani umayyah) di istananya.

ketika kepala Husein dipenggal di bawa ke Ubaidullah Bin Ziyad, kemudian Ubaidullah memainkan ujung mulut Husein dan hidungnya, Anas Bin Malik yang melihatnya berkata: “ Demi Allah! sungguh aku pernah melihat Rasulullah mencium tempat yang engkau memainkan tongkatmu ke wajah Husein ini.”

Seusai dihina-hinakan di istana Yazid ibn Muawiyah di Damaskus, Sayyidah Zainab dibebaskan. Perempuan kokoh ini membawa beberapa ponakan, sanak keluarga yang selamat kembali ke Madinah.

Namun, Gubernur Madinah kala itu ketakutan dengan antusiasme warga Madinah terhadap pembelaaan mereka pada kondisi Sayyidah Zainab pasca Karbala.

Sayyidah Zainab inilah yang mengkabarkan dengan sahih berbagai kekejaman peristiwa paling “histeris” di dunia Islam sepeninggal Baginda Rasulullah ini.

Akhirnya Sayyidah Zainab diusir keluar dari Madinah, dari tanah leluhurnya, dari tanah Datuknya, Baginda Rasulullah.Risalah yang di bawa para Nabi dalam rangkaian panjang sejarahnya tidak hanya diabadikan oleh kebesaran nama laki-laki, namun juga oleh ketegaran jiwa perempuan.

Misal, Ada Siti Hajar yang terasing demi membesarkan Ismail. Ada bunda Maryam yang rela dicemooh demi melahirkan Isa. ada Asiyah yang menjaminkan hidupnya demi Nabi Musa. Ada Khadijah yang membela Nabi Muhammad dengan seluruh harta dan jiwa nya. Ada Fatimah yang mendukung Ali serta hak-Haknya yang di renggut. dan di sisi Husain ada Zainab yang tegar dan menjadi pewarta tragedi Karbala.

Sehingga adegan demi adegan yang terjadi pada peristiwa Asyura terekam dalam sejarah dan kita bisa mengambil ibrah, bukan dendam didalamnya.

Dibalik keperihan hatinya, melihat jasad saudaranya disayat-sayat pedang dan terinjak kaki-kaki kuda, Zainab bertutur lirih, "Aku tidak melihat apapun, kecuali keindahan."

Beliau berdiam di Mesir hingga wafatnya. Namun, dimanakah makam sosok perempuan tangguh ini?.

Jika bukan karena Sayyidah Zainab maka Islam Muhammad hanya tinggal nama tanpa sejarah. Hal itu seumpama perbuatan Siti Hajar dengan berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, Allah swt menganggap perbuatan tersebut sebagai bentuk kesempurnaan sehingga menjadikannya sebagai bagian dari syariat manasik haji. Berdasarkan hal ini kesempurnaan perempuan mampu menjadi sebuah hukum dalam syariat.


***


Banyak yang bertanya tanya, kenapa Sayidina Husain tidak mengumpulkan simpatisan dulu sebelum melangkah ke Karbala?.

Kenapa Sayidina Husain berangkat hanya dengan sedikit sekali serdadu, dan beberapa keluarganya?.

Sebagaimana yang kita tahu dalam berbagai macam literatur sejarah, Sayisdina Husein melangkah ke Karbala, semata mata untuk mengembalikan lagi Risalah yang dibawa kakeknya, Rasulullah saw. Apa yang terjadi dengan Risalah Nabi sepeninggal beliau?.

Banyak pengamat, ahli sejarah mengatakan bahwa kualitas moral ummat saat itu begitu hancurnya. Penyebabnya banyak, tapi yang paling kentara adalah karena faktor kekuasaan.

Ekspansi besar besaran umat islam saat itu sampai ke wilayah Romawi menyebabkan kehausan akan kekuasaan demi pundi pundi uang. Orang rela menjual agamanya demi uang.

Kita mulai dari zaman Sayidina Ali. Beberapa peperangan terjadi saat itu. Dan yang paling menguras tenaga dan mental adalah perseteruan Sayidina Ali dan Muawiyah.

Agak susah memang dicerna akal, ada orang yang tega dan rela memerangi orang yang telah dijamin masuk surga, (kita pake satu hadis saja yang menyebutkan bahwa Sayidina Ali adalah 1 dari 10 sahabat yang dijamin masuk surga). Lalu dari prajurit Sayidina Ali terjadi pembangkangan sampai pembunuhan Sayidina Ali terjadi oleh orang yang tahajjudnya tidak pernah telat. Pelaknatan terhadap Sayidina Ali semakin santer terjadi setelahnya hingga masuk dan melalui mimbar mimbar masjid.

Lalu Sayidina Hasan dibunuh oleh istrinya atas perintah pemimpin yang sebelumnya berdamai dengan Imam. Istrinya hanya dengan janji akan dikawinkan dengan anaknya rela melakukan perbuatan bejat itu.

Hujr bin Adi yang dikenal sebagai
pengikut setia Sayidina Ali dan Sayidina Hasan dikubur hidup hidup karena menentang penguasa. Menariknya seorang bernama Malik bin Hubairah al-Sukuni, marah atas pembunuhan Hujr dan menyiapkan perlawanan. Namun hanya dengan 100 ribu dirham ia mengurungkan niatnya. 

Praktek praktek seperti ini sering terjadi. Menunjukan terjadinya moral hazard, kebangkrutan moral secara sistematis hingga muncul perasaan tak bersalah dan menjadi hal biasa saat itu. 

Sebuah syair menggambarkan mentalitas umat saat itu : " Teriakan Banu Syakam dibungkam Dengan dinar dinar emas Dan nurani pun Dihancurkan dengan jabatan. Begitu bobroknya mentalitas ummat saat itu membuat Sayidina Husein harus turun tangan mengembalikan Risalah Kakeknya yang hanya tinggal nama". 

Tapi ini mungkin jawaban pertanyaan diatas, tentu Imam tak lagi menemukan orang yang bisa menolong dia. Kecuali sedikit sekali. Surat yang dikirim warga Kufah pun sebagai bentuk dukungan awal kepada Imam, menjadi tak jelas setelah warga kufah, ciut nyalinya diancam ibnu ziyad. Ada yang bilang ummat saat itu terbagi tiga. Ada yang terang terangan berpihak pada penguasa, dan karena itu, pundi- pundi harta melimpah dikantongnya. Ada yang tidak peduli dengan penguasa, mereka tahu dan sadar penguasa salah dan zalim, tapi mereka tidak peduli. 

Mereka hanya menyibukan diri berzikir disudut-sudut masjid. Menenggelamkan diri dalam penghambaan kepada Allah. 

Golongan yang lain adalah Sayidina Husein dan para sahabatnya yang tidak bisa diam melihat kezaliman yang merajalela.

Di Madinah, Walid bin Utbah atas perintah Yazid meminta baiat dari Sayidina Husein. Lalu Sayidina husein berkata yang intinya, "Mitsli la yubayi'u mitslahu (Orang seperti ku tak akan mungkin berbaiat kepada orang seperti yazid)". 

Sayidina tidak menggunakan kata "Aku", tapi menggunakan preposisi "mitslahu" yaitu orang seperti Aku. 

Artinya, sayidina Husein ingin mengajarkan kepada kita untuk menjadi dirinya ketika berhadapan dengan kezaliman. Sayidina Husein sebagai representasi dari Nabi Muhammad sebagaimana sabdanya "Husein minni wa ana min Husein", tak akan diam saja ketika Risalah kakeknya dihancurkan, setelah dengan berdarah darah Rasulullah memperjuangkan kebenaran Risalah Ilahi, Pengorbana Imam Husein tak lain dan tak bukan adalah untuk itu. 

Jadi tak perlu menunggu siapa yang akan mendukungnya. Antoine Bara seorang sejarawan berujar bila tak ada revolusi Asyura, Jika tak ada pengorbanan agung Alhusain, maka karakter moralitas dan spritualitas Islam yang hakiki sebagaimana yang diajarkan Rasulullah akan sirna dari sejarah. (Sumber : di tulis secara singkat dengan apik oleh Abu Bakr Saleh Ba'syir )


***

KAUM THULAQA

Pada saat keluarga "Bani Hasyim" dan beberapa Orang Sahabat sedang sibuk mengurusi pemakaman jenazah sucinya Rasulullah Saw, tetiba terlihat datang seorang dari kejauhan dalam keadaan berlari tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Orang tersebut bermaksud ingin melaporkan kepada Sayidina Ali tentang peristiwa yang sedang terjadi di Balai ruang "Saqifah Bani Saidah". 

Saat itu Sayidina Ali masih sibuk menggali liang lahat bagi jenazah suci Rasulullah Saw dengan Sekopnya. “setelah melihat keadaan serta kondisi yang sudah memungkinkan. lalu Orang itu mulai menceritakan kepada Sayidina Ali , " Wahai Amirul Mukminin aku baru saja menyaksikan kejadian di Sqifah bani Saidah beberapa Orang telah berkumpul dalam rangka bermusyawarah untuk memilih dan menetapkan siapakah Pemimpin kaum Muslimin setelah Rasulullah Saw.?", Dan saat ini mereka telah menetapkan Abu bakar sebagai "Khalifah" pemimpinya dan telah membai'atnya. Sementara aku melihat bagaimana dari "kaum ANSHOR" pada akhirnya hanya pasrah dan menyerah terhadap tekanan atas kehendak "kaum MUHAJIRIN" di karenakan adanya perselisihan di dalam mereka sendiri. 

Adapun "Kaum THULAQA Makkah" yang di pimpin oleh Abu Sofyan mengambil sikap untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan menyambut untuk memberikan baiatnya kepada Abu bakar. karena mereka sangat khawatir bila mereka tidak bersegera ikut dalam memberikan bai'atnya. maka, mereka yakin bahwa Andalah yang pasti akan di bai'at kaum Muslimin untuk memimpin mereka. sebagaimana yang telah di tetapkan Allah Swt melalui Rasulullah Saw”, lapor orang tersebut pada Sayidina Ali .

Lalu setelah mendengar semua itu Sayidina Ali berhenti sejenak sambil menancapkan ujung sekopnya itu ke tanah lalu berkata, “Alif lam mim". Apakah manusia itu mengira bahwa mereka di biarkan saja mengatakan: ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak di uji?. Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Dia mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari azab Kami?. Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu.” (QS al Ankabut: 1-4), [Tafsir Nur ats Tsaqalain. Jilid 4. Hlm 149; Syaikh al Mufid, al Irsyad. Hlm 184]

Abu Bakar dan Umar tidak menghadiri pengebumian Rasulullah saw. Urwah meriwayatkan: "Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak menyaksikan pengebumian Nabi saw, keduanya bersama dengan Ansar (di balai Saqifah Bani Sa'idah). Baginda saw dikebumikan sebelum mereka kembali." - Sumber (Sunni): Al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah, Cet. Dar at-Tāj, Jilid 7, hal. 432.



* PENULIS BUKAN SUNNI, BUKAN SYIAH. BUKAN NU, BUKAN MUHAMMADIYAH. BUKAN SEMUA ALIRAN-ALIRAN, TETAPI SEORANG MUSLIM.

* TANAH DAENG - MAKASSAR.

* RST - PENA NALAR PINGGIRAN