Mengenai Saya

Sabtu, 22 Agustus 2020

UMAN DANG



Jika di artikan secara cepat bahasa kapung saya ini  "Uman artinya siput. "dang" artinya bakar, maksudnya "uman dang" adalah tempat pembakaran siput.

Leluhur kami dulu orang-orang Alila menamakan suatu tempat atau lokasi berdasarkan aktivitas yang mereka lakoni saat itu. Di tempat itu ada banyak nama-nama yang menggunakan bahasa ibu, salah satunya ialah "Uman Dang". Saya agak kewalahan mengingatnya setelah bercerita tentang sejarah Nama lokasi yang kita sambangi setelah beridul fitri. sambil menyeruput kopi dengan Paman saya, beliau menuturkan beberapa frasa Leluhur, lengkap dengan  artinya. Yah, yang santer dalam sebutan orang-orang kampung kami bahwa Uman Dang merupakan salah satu tempat yang paling favorit bagi orang kampung kami untuk menangkap ikan saat bulan sedang baik.

Hal Itu juga menampik pemahaman tabu kita, bahwa orang gunung pasti tidak tahu berenang, tidak paham membubuh, menjaring, menembak dan memancing ikan. Orang gunung di tempat lain, mungkin saja benar. Tapi orang gunung di Alila, di kampung kami, mereka bisa. Jangankan berenang, mereka mahir menyelam sambil menembak ikan di malam hari.

Memang menyelam sambil menembak ikan di malam hari saat air sedang surut adalah pilihan terbaik, sebab waktu-Waktu seperti itulah ikan sedang terlelap. Ada juga yang memilih menyuluh ikan, kerang, gurita, keong, siput, cumi-Cumi, kepiting dan lain sebagainnya dengan tombak. barangkali karena phobia terhadap laut saat malam dan deburan ombak saat air surut.

Lokasi "uman dang" berada diantara Pantai batu putih dan pantai Bota. Mengikuti Jalur darat dengan menapaki garis pantai, bisa di lakukan, hanya saja kita harus tahu persis kapan air laut surut. Jika, tidak sangat susah mengikuti garis pantai untuk sampai di lokasi tersebut. Selain karena arusnya sangat deras, Konsttruk pantainya dalam. 

Menggunakan jalur darat adalah akses yang paling sering di gunakan orang kampung kami dengan menuruni Gunung "Ar".

Dulu saat kendaraan - sepeda motor masih langka, masih 1 atau 2 orang yang memilikinya, orang-Orang tua kami harus menempuh jalur darat dengan menuruni gunung sekitar 15 kilo dari kampung dimana mereka bermukim sampai ke pantai, kembalinya pun dengan berjalan kaki namun harus naik gunung. jarak itu sudah menggunakan jalur kompas, dengan melewati Kali (sungai).

Salah satu alasan, mengapa aktivitas itu begitu di gandrungi orang-Orang tua kami dulu. Karena di pantai "uman dang", orang-Orang tua kami dulu melakukan barter anatara "ikan yang di tangkap Orang-Orang pulau dengan jagung, beras dan ubi yang di pikul turun gunung orang-Orang tua kami". Pertukarannya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup -Satu blek (Wadah berisi beras) di tukar dengan 3 ikan.

Aktivitas barter itu berlansung cukup lama, sekitar 1 atau 2 generasi. Kini, sudah tidak ada lagi aktivitas barter di temukan di pantai Umandang. sebab generasi setelah orang-Orang tua kami pun sudah tau cara menyelam untuk menembak ikan dan menyuluh ikan saat air laut surut.

Kini, jarak yang di tempuh melalui jalur darat pun sudah tidak sejauh dulu. sebab kendaraan motor dan mobil sudah bisa mengaksesnya, sehingga jarak tempuh yang dulunya sekitar 15 kilo dari kampung, kini sudah bisa di tempuh dengan 2 sampai 3 kilo setelah bermotor atau bermobil, lalu di lanjutkan dengan berjalan kaki dari lokasi kebun-kebun orang kampung kami. Kenapa tidak bermotor saja sampai ke pantai, tentu semua mengingkan itu, namun jalur menuju pantai harus menuruni gunung "Ar", yang jalurnya sangat menukik dan terjal untuk kebawah sampai ke bibir pantai.


Sengaja saya mengantarnya diawal Tulisan dengan menginterpretasi sejarahnya, sebab hakikatnya, sejarah manusia itu ibarat sepatu. Semuanya tentang dimana ia berpijak dan meninggalkan jejak. 

Ada sebuah Tradisi di Alor setelah lebaran atau idul Fitri berselang sehari dengan istilah piknik, Mungkin saja istilah ini pun terdapat di belahan bumi lainnya. Saat seperti itu Orang-orang akan berbondong-Bondong menuju lokasi-lokasi destinasi, yang dianggap Favorit. Tua, muda, lelaki, perempuan, anak-anak, orang dewasa, tujuannya tidak bisa di seragamkan. Ada yang datang karena ingin menyegarkan akal, ada yang hendak ketemu kerabat, handai taulan. ada yang mau berkumpul keluarga, ada juga yang reunian, ada juga yang mau ketemu pacar, mungkin. namun lazimnya yang terjadi saat piknik justru kerumunan Hura-hura, hura hara dan mabuk-mabukan adalah kelas yang paling tidak bisa di elakan, acap tak terhindarkan juga adalah adu jotos antar kelompok dan kampung di lokasi destinasi. Entah elan juang dan spirit apa yang hendak di rengkuh setelah sebulan penuh menempa diri dalam kurikulum ramadhan.

Bias paradigma tentang piknik ini telah lama mengakar dengan istilah piknik sebagai bungkusan, padahal isinya bukan. Anehnya ialah tidak sedikit kelompok terdidik yang menceburkan dirinya kedalaman kubangan mainstream (Zeitgeist dalam istilah Mohammad Arkoum).

Artinya harus ada yang berani merekonstruksi pemaknaan ini saat Ramadhan akan usai di tahun-tahun berikutnya, mungkin saja menjadi tema sentral ceramah Taraweh 10 malam Ramadhan yang akhir. Agar lebih kontekstual. Sebab saya melihat, ada spirit yang terdegradasi secara berkerumunan. 

Piknik itu harusnya reflektif dan pra reflektif. Reflektif maksudnya ialah menjauhkan manusia dari pesan-pesan moral, hikmah, falsafah. karena kesibukan praktis yang membuat kita jauh dari kontemplasi. Sehingga akal budi kita tidak jernih memandang jutaan hikmah pada hal-hal yang tampak.

Akhirnya yang terjadi, dunia keseharian tidak membuat kita bergerak untuk memahami hakikat sesuatu, tapi hanya untuk menikmati sesuatu. Makan, minum, bekerja, berbisnis, berselancar di internet, memasak, berbelanja, berpesta, mengurusi anak, seks. Semua itu kita kerjakan untuk memenuhi kebutuhan badaniah. Namun juga sekaligus memutus kita dari kebutuhan Permenungan. Padahal, diantara kedangkalan itu terdapat pesan-pesan akan intisari kehidupan, jika kita bersedia menghayatinya secara mendalam.

Sedangkan Pra-Reflektif, "Martin Heidegger", pernah membicarakannya secara serius; Manusia (Dasien), Semakin tenggelam dalam kesehariannya, semakin gagal memasuki penghayatan guna menyingkap Ada (sein/Being). Hingga manusia terasing dari adanNya. Padahal, ada bisa menyingkap diri, saat manusia bisa keluar dari penjara kesehariaan dan menceburkan diri dalam penghayatan susana hati. Pada momen itu, percakapan eksistensial dengan diri sendiri terjadi di sela-sela kecemasan yang mengaduk batin, untuk memahami kembali makna keberadaan dan kemenjadian kita. 

Piknik harus di mulai dari situ. Di Uman dang, adalah pilihan orang kampung kami, selain itu destinasi yang belum terjamah, juga  ada aktivitas menangkap ikan di malam hari di sela permenungan dan penghayatan akan diri. Bahwa ada akar sejarah kita yang kapan saja akan termakan oleh zaman, di gilas oleh waktu jika tak di ajarkan pada generasi bagimana menghayatai dan memaknainnya.

Maka Di sela-sela perbincangan ringan, saya menawarkan beberapa buah pikir pada beberapa tetua kampung bahwa Yang paling pokok adalah jangan buka akses jalan umum untuk menjadi destinasi wisata. sebab itu akan mengundang kerumunan orang yang menjamah keontentikan Uman Dang yang syarat akan nilai sejarah leluhur kita dulu. Biarkan ia tetap demikian dengan keasliannya agar ratusan Tahun anak cucu dan generasi kita bisa merasakan seperti saya yang merasakan desiran ombak yang mencium bibir pantai,  tiupan angin sepoi yang menerpa badan, juga senja yang malu-malu berpamitan pada malam yang tak dapat ia elakan.  



- Topbang, 10 juni 2019 -


* Pustaka hayat
* Rst
* Pejalan Sunyi
* Nalar Pinggiran 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar