Terma umum kebanyakan kita, bahwa 'hijrah' berarti 'pindah - bergerak dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Padahal, Hijrah berbeda dengan Migrasi, hijrah adalah term khas Islam yang landasanya adalah keimanan kepada Allah. Selain itu juga, Hijrah Nabi tidak terjadi di Bulan Muharrom. Tetapi, Hijrah Nabi di Jadikan sebagai kerangka Acuan dalam menentukan kalender Islam - Hijriyah.
Saya uraikkan sedikit, mengapa sampai di namakan Tahun Hijriyah. Saat Nabi Muhammad menjadi Presiden, menjadi Khalifah, menjadi pemimpin negara, belum ada kalender Hijriyah. Begitu Nabi Meninggal, Sayidina Abu Bakar menjadi Khalifah, selama 2 Tahun. Masih Belum ada juga Kalender. Abu Bakar meninggal, di gantikan oleh Umar Bin Khottab sebagai Khalifah, selama 5 tahun. Saat Sayidina Umar Menjadi Khalifah, datanglah Gubernur, Abu Musa Al Asya'ari membawa surat dan menyatakan, "Wahai Khalifah - Umar, kami Malu sebagai Gubernur menerima surat dari Gubernur tetangga karena mereka memakai Kalender, sedangkan surat kita tidak ada tanggal dan tahunnya.
Bertolak dari itulah, spirit pembuatan kalender Islam di Mulai, yang prosesnya melewati berbagai dialog.
Sayidina Umar Mengumpulkan sahabat-sahabat senior - Kibarus sahaba untuk bermusyawarah. Hal itu menunjukkan bahwa Sayidina Umar bukanlah pemimpin diktator. Memang sayidina Umar, jika lewat di sebuah jalan, setan akan putar balik lewat jalan lain. Kalau kita, mungkin akan satu rute dengan setan. Itu pun kita masih saja sombong, tidak mau bermusyawarah jika memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan Ummat. Sayidina Umar saja masih meniscayakan untuk bermusyawarah sebelum mengambil keputusan. karena dulu, Nabi berpesan, Jika hendak mengambil keputusan, lihat di dalam Al Qur'an. Kalau tidak ada dalam Al qur'an, ambil di hadist. Kalau tidak ada di dalam Hadist, tanya sahabat-sahabatku. Mungkin kamu tidak tahu hadistnya, sahabatku tahu.
Saat Umar mengumpulkan sahabat dan menanyakan kapan kita mulai penanggalan Islam. Pendapat yang pertama menyatakan, kita ambil dari mulai lahirnya Nabi Muhammad SAW. Pendapat pertama ini di tolak, karena 40 tahun Nabi sudah lahir, tak ada perubahan signifikan terhadap pelaku maksiat. Maka, pendapat pertama tidak cocok untuk di jadikan acuan penanggalan islam. Karena 40 tahun nabi setelah lahir, dia hanya melakukan kebaikan untuk dirinya saja.
Pendapat kedua menyatakan, kalender Islam di mulai ketika turun Al-Qur'an. Pendapat kedua pun di tolak, karena Al qur'an telah turun 13 tahun, tetapi tidak ada perubahan, sama seperti pendapat pertama. Hal itu menunjukkan, bahwa kitab suci jika tidak di amalkan, tidak akan membawa apa-apa. Maka tidak bisa kita mulai kalender islam dengan turunnya al qur'an.
Ada lagi yang berpendapat, masih ada. Jadi, dialog yang terjadi seperti sidang paripurna. Cuman musyawarah yang terjadi saat itu, tidak seperti yang musyawarah sekarang. Maka, kalau di katakan siapa yang paling hebat menerapkan gagasan demokrasi dalam sejarah dunia adalah Islam. Sebab, Islam menghormati manusia bukan karena apa casingnya, tetapi, apa Isi kepalanya - pikirannya. Sebagaimana Bilal bin abi rabah, berkulit Hitam, budak, hamba sahaya. Tetapi, di pakai Nabi mengumandangkan adzan.
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa kalender islam di mulai dari meninggalnya Nabi Muhammad. Pendapat ini pun di tolak. Sebab, tidak bisa di bayangkan jika pendapat ini di terima, kita akan menyambut tahun baru islam sekaligus kita berTa'ziah.
Pendapat ke empat yang menyebutkan bahwa Kalender Islam mengacu pada peristiwa Hijrahnya Nabi, datang dari Sayidina Ali yang di terima oleh Sayidina Umar, sekalipun belakangan Ihktilaf, yang menyebutkan bahwa usulan kaleder Islam mengacu pada peristiwa Hijrahnya Nabi atas Usulan Umar sendiri, yaitu Hijrahlah yang memisahkan Mana yang Hak, mana yang bathil, yang di setujui oleh seluruh sahabat.
Terlepas dari siapa yang mengusulkan, baik Umar Bin Khottab atau Sayidina Ali bin abi thalib R.A. yang pastinya Gagasan mereka menamakan tahun-tahun kehidupan yang di jalani oleh orang-orang Islam dengan mengikutkan pada peristiwa-peristiwa hijrahnya Nabi, yang dengan itu setiap orang islam bisa belajar.
Tahun yang melekat dalam kalender Islam di sebut dengan Tahun Hijrah. Kata Hijrah berasal dari kata Hajarah ; Ha Jim Ro. Jika di tambahkan Alif, maka menjadi Haajaroh. Bentuk sifatnya Adalah Hijrah. Kata Hajaroh secara bahasa artinya Berpindah secara cepat, pada keadaan yang lebih baik menurut Allah. Perpindahan ini hampir tidak ada hambatan dan tantangan. Sedangkan kata Haajaroh, berpindahan dengan proses (alif), yang tidak mudah di raih. kadang tidak semudah mengucapkan kalimatnya, butuh perjuangan dan proses yang teramat panjang.
Jika kita bisa melewati itu, maka kita dapat menyebut dengan Hijrah.
Kalau kita perhatikan di dalam Al-Qur'an atau di Hadist-hadist Rosulullah, umumnya, walau tidak semuanya, kalimat-kalimat Hijrah di bentuk menggunakan kata kerja atau menggunakan kata Hiijrah (menggunaka Alif - Panjang), baik dalam bentuk Fi'il madi, fi'il amar atau Fi'il mudhori. Misalnya dalam Q.S. An -nisa ; 100, "waa may yuhaajir fi sabilillah - dan siapa yang berkeinginan untuk berhijrah jadi lebih baik dalam pandangan Allah". Mengapa kalimatnya menggunakan alif, karena merubah keadaan untuk menjadi lebih baik dalam ukuran Allah, tidak semudah dengan apa yang kita ucapkan.
Kalau kita kembalikan ke kalimat Hijrah, ada banyak sahabat-sahabat Nabi yang berhijrah dari mekkah ke Yastrib. Apakah di kira hanya lansung datang saja, lantas mendapatkan kenikmatan?. Tidak. mereka harus melewati tantangan-tantangan dan proses yang panjang, bahkan Nabi Di kejar-kejar, sampai bersembunyi di Gua tsur bersama Abu bakar selama 3 hari 3 malam, menghadapi ribuan pasukan yang siap, bahkan bertaruh nyawa. Jika malam itu Rosulullah wafat, maka Mustahil - kecil kemungkinan kita bisa memeluk islam.
Selama 3 hari 3 malam rosulullah bersembunyi di Gua Tsur bersama Abu Bakar, sedangkan beberapa sahabat lainnya mejalankan perannya masing-masing. misalnya yang membawakan makanan adalah Asma. Yang membawakan berita atau perkembangan informasi, bahwa Nabi telah hilang di Mekkah adalah Abdullah - anak Abu bakar. Yang menjadi Stund Men - pengganti tempat Tidur Nabi adalah Sayidina Ali. Ada juga yang berpura-pura mengembala kambing di bawah Gunung Tsur untuk memberi kode atau Intel, bernama Amir Bin Fuhaira. Ada juga yang menjadi penunjuk jalan, agar melewati Jalur Khusus dari mekkah ke Yastrib, bernama Abdullah Bin Khuraiqin.
Hijrah itu Kata Nabi, "wal muhajir man hajara manakallahu an - orang hijrah itu adalah orang yang meninggalkan yang di larang oleh Allah".
Sebagaimana yang saya sampaikkan diatas, salah satu ayat tentang Hijrah. Kalau kita tinjau Dalam Al qur’an tidak kurang dari 31 kata yang berasal dari kata Hajara - Hijrah. Dari jumlah itu tidak kurang dari 6 ayat yang menyebutkan kata "Haajaruu" bergandengan dengan kata "Aamanuu" dan "Jahaduu". Belum lagi kata Haajaruu diiringi dengan kata "Fillah" atau "Fi Sabiilillah"
Artinya Hijrah, sebagai sebuah gerakan secara fisik sangat berkaitan dengan gerakan yang bersifat spiritual. Dalam konteks modern saat ini, bahkan kegandrungan kita. hijrah, dipahami sebagai upaya untuk mengubah performa simbolik - material saja.
Jika hal itu sedang kita lakukan, maka itu yang di maksud dengan Chaos - Kontradiktif. Ia hidup secara biologis dan melakukan rutinitas. tetapi mati secara spiritualitas. Akibatnya ia kehilangan kesadaran eksistensialnya - dalam terma Moh Iqbal (Penyair asal pakistan) menyebutnya sebagai " Mati sebelum ajalnya tiba (Mayat Hidup)".
Padahal Hakikat Hijrah meniscayakan kita (paling tidak) memadukan antara performa simbolik dengan perpindahan Kesadaran (Spiritual), Karena sungguhnya yang di Harapkan adalah Hijrah Spiritualitas (Kesadaran) yang mengantarkan kita untuk kembali ke titik nol - Normal Sciene dalam Terminologi "Thomas Kuhn".
Jika melacak Tipologi manusia modern, dalam ungkapan sayyid Hossein Nasr, "manusia moderen "sedang berada di wilayah pinggiran eksistensinya, dan bergerak menjauhi pusat dirinya. Sedangkan pusat - esensi diri itu bersifat spiritual". Kondisi yang sama juga dicemaskan oleh Arnold J. Toynbee. Menurutnya, setidaknya ada dua hal yang melanda manusia modern dewasa ini, yaitu kosongnya jiwa dari nilai-nilai spiritual dan tegarnya dimensi matrealitas pada kehidupan mereka.
Ihwal itulah, sehingga Menurut Murtadha Mutahahari, Hijrah Rosulullah SAW Ke Yastrib, Islam di tegakkan dengan dua 2 pilar ; Hijrah dan Jihad. Hijrah yang di maksud bukanlah perubahan simbolik dari performa yang "Salah" menuju tampilan yang "Shaleh". Tetapi, sebuah gerakan insani menuju ilahi - perpindahan dari egoisme menuju Alturisme - perjalanan menuju Tuhan dengan bakti pada Manusia. Sedangkan, Jihad bukanlah pertarungan dimedan perang melawan mereka yang kita anggap musuh. Tetapi, pertarungan melawan sifat-sifat hewani yang dishumanis, sehingga diri kita kerap tersingkir ke pinggiran eksistensi.
Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Mekah tidak bisa kita identifikasikan - kategorikan dengan kerangka berpikir lucu seperti zaman sekarang: bahwa beliau akan “mendirikan Negara Islam” di Madinah. Beliau bukan akan “menegakkan Khilafah” dan menjadi Khalifah di Madinah - kalau kita memakai pola pikir seperti manusia abad 21.
Beliau ke Madinah tidak untuk melakukan “kudeta”, memobilisasikan “revolusi” - menguasai “Parlemen” agar bisa mengubah konstitusi Madinah. Sepanjang beliau hidup di Madinah juga tidak pernah “nyapres”, tidak menjabat sebagai Khalifah sebagaimana para penerus di generasi berikutnya.
Peradaban yang beliau bangun di masyarakat Madinah bukanlah politik dongok, libido kekuasaan, nafsu menjadi pejabat, rendah diri kepemimpinan, apalagi penyamaran kepemimpinan yang tujuan tersembunyinya adalah penumpukan harta dan megalomania eksistensi. Nabi Muhammad manusia rendah hati, bukan rendah diri seperti kebanyakan tokoh di kurun yang berlagak modern. Nabi Muhammad tinggi budi, bukan tinggi hati sebagaimana atmosfer ketokohan di banyak Negeri 14 abad sesudahnya.
Hijrah beliau ke Madinah adalah hijrah “menjaga keharomonisan Alam semesta”. Mengajak semua penduduk yang heterogen untuk memperjanjikan perilaku di antara mereka menuju ketentraman, perdamaian, kesuburan, keadilan, kemakmuran, dsb dengan acuan “Kerelaan dan Keridhoan kepada Allah”. Mempersaudarakan Kaum Anshor dengan Kaum Muhajirin. Memperkeluargakan tuan rumah dengan pendatangnya. Tidak ada kekuasaan manusia atas manusia. Bahkan tidak ada otoritas bikinan Golongan Pandai yang mengikat rakyat banyak sebagaimana semua Konstitusi di abad modern.
Semua penduduk, dari kalangan apapun, dari golongan, latar belakang, Suku, Agama atau jenis kepercayaan apapun, diajak menanamkan Hikmah atau Kebijaksanaan di dalam kesadaran pikiran dan nurani mereka. Bukan Hikmat Kebijaksanaan, tidak perlu berlebihan: cukup Hikmah, atau Kebijaksanaan: presisi terhadap manfaat bersama dan kemashlahatan kolektif. Maka rakyat Madinah sendiri yang berinteraksi langsung, berdialektika, berdiskusi, berdebat, menemukan keseimbangan di antara keperluan-keperluan.
Rakyat langsung yang menyusun 47 Pasal Perjanjian di antara mereka. Piagam Madinah. Yang berlaku konstitusional di antara mereka. Bukan hukum kaum Cendekiawan mengikat rakyat. Melainkan rakyat sendiri yang mengikat diri mereka sendiri. Mereka taat tidak kepada Negara atau Khilafah, apalagi Kerajaan. Mereka taat kepada kesepakatan mereka sendiri. Tidak ada atasan yang besar kepala dan tidak ada bawahan yang hatinya kecil dan merasa berada di tataran terbawah.
Sebagaimana Q.S. Asy-Syura ; 38 , Allah Berfirman - " Dan bagi orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. Kata “mereka” itu oleh perpolitikan dunia dari zaman ke zaman dipersempit menjadi hanya monopoli Kaum Cerdik Pandai. Memang mereka ini juga “mereka”, tapi bukan “mereka rakyat”. Hanya di Negara Madinah “mereka” itu bermakna seluruh rakyat langsung.
Di dalam sistem Demokrasi yang mewah di Negeri manapun, tidak berlangsung “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan” serta “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagaimana di Negara Madinah yang diasuh dan diayomi, bukan dikuasai, oleh Muhammad saw. Itulah sesungguhnya Negara - Khilafah - Islam.
**
Belakangan ini marak kita temui kampanye gerakan Hijrah dari media social sampai Dunia Nyata. Di instargam misalnya, sampai tulisan ini ku buat. jika menuliskan tagar (#) hijrah, akan keluar postingan lebih dari 10 juta, bahkan bisa lebih, seiring dengan perkembangan zaman.
Di Facebook, halaman atau akun hijrah telah di ikuti lebih dari 100 ribu orang-orang. Terlebih setelah berlangsungnya event hijrah Festival 2018 maupun 2019 di JCC Senayan Jakarta. fenomena hijrah ini semakin marak.
Fenomena hijrah juga ditampakan dalam hal berpenampilan, semisal dari tidak berhijab menjadi berhijab. dari hijab ala kadarnya menjadi hijab syar'i dan semisalnya.
Fenomena ini merupakan kelanjutan dari dekade sebelumnya, saat masyarakat Muslim urban melakukan pencarian identitas atau pemaknaan ulang terhadap agama, yang kemudian melahirkan sejumlah ekspresi kesalehan.
Greg Fealy dalam Ustadz Seleb, Bisnis Moral & Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer (2012) menyebutnya sebagai “mencari kepastian moral, pengayaan spiritual, dan identitas yang saleh", sebab “tergoncangnya kemantapan identitas keagamaan" akibat mengalami transformasi sosial dan budaya.
Globalisasi dan modernitas di perkotaan yang kerap menghamparkan kehidupan yang gersang secara spiritual mendorong masifnya gerakan ini. Di sisi lain, tumbuhnya kelas menengah perkotaan menjadikan fenomena ini berkelindan dengan bisnis seperti lahirnya Hijrah Fest.
Keterkaitan ini memang sulit dihindarkan, karena bagaimana pun kumpulan massa adalah pasar. Dalam konteks ini, mereka adalah pasar bagi produk-produk Islam yang tengah mereka gandrungi.
Fealy menjabarkan hal ini berdasarkan respons masyarakat dan para intelektual yang fokus pada kajian tersebut. Pertama, sebagian dari mereka menilai “konsumsi Islam" ini sebagai sesuatu yang bisa dipuji. sebab, membawa makna baru dalam kehidupan keagamaan Muslim, yakni membantu menciptakan masyarakat dengan pelaksanaan prinsip-prinsip Islam yang lebih ketat.
Kedua, ada pula yang menganggapnya sebatas komersialisasi Islam yang dangkal. sebab, hanya memperlihatkan perilaku luar. alih-alih membangun sisi spiritual dan keindahan iman lebih mendalam. Secara harfiah, 'hijrah' berarti 'pindah atau bergerak dari satu lokasi ke lokasi lainnya'.
Lantas, Bagaimana makna hijrah dalam tradisi Rasulullah SAW yang dikontekstualisasikan dalam kehidupan modern saat ini?. Beberapa kalangan, terutama anak muda yang memiliki kesadaran baru tentang Islam, mencoba mempromosikan gerakan hijrah. Sebagaimana yang saya utarakan diatas, Hijrah sebagai sebuah gerakan secara fisik sangat berkaitan dengan gerakan yang bersifat spiritual. Artinya, keberhasilan berhijrah tidak semata-mata ditentukan oleh perpindahan fisik, tapi juga ditentukan oleh niat dan gerakan kesadaran dari seseorang untuk melakukan perpindahan.
Dalam konteks modern saat ini dan yang riuh bertebaran. hijrah, dipahami sebagai upaya untuk mengubah performa simbolik dan semangat ke-Islam-an yang baru. menariknya adalah jika semua orang menafsirkan arti baru itu serupa dengan perubahan. Bahwa perubahan waktu bukanlah pergantian waktu secara material an sich. Tapi, pergantian waktu sebenarnya berporos pada aspek mikro kosmik manusia. Sebagaimana, Jalaludin Rumi, mengartikan rotasi atau siklus waktu sesngguhnya berporos pada inti kesadaran manusia. Maka di sini, perubahan bermakna transformasi kesadaran sifat dan laku manusia. Dari sifat lama yang buruk dan biadab ke sikap baru yang lebih hanif. Meminjam istilah Dr Abdul Munir Mulkan, sebagai proses trans-human. Atau gerak kesadaran dari manusia lama yang bobrok dan busuk ke manusia baru yang lebih ilahia.
Setiap jiwa senantiasa Baru. dunia dan kita, tidak di ketahui kebaruan itu dalam keabadian. Sebab, umur bagai arus. baru dan baru senantiasa berlansung dalam jasad. Maulana Rumi menafsirkan diri (manusia) dan alam yang senantiasa baru. meskipun anehnya kita tidak pernah menyaksikan kebaruan itu. Yang kita saksikan hanya perubahan, seperti perubahan waktu dari proses gerak.
lantas kebaruan mana yang kita maksud?. kita memaknai baru, jika ada suatu hal baru yang melekat pada diri kita, seperti saat kita memakai baju baru. bagaimana jika hal ini di sematkan pada diri, bahwa ada hal yang senantiasa baru pada diri. apa yang baru pada diri?. Tidak mudah menjawabnya, namun ada yang menarik, yang di katakan "Mulla Sadra, bahwa wujud mumkim yang disebut Sadra sebagai wujud faqir.
Wujud faqir adalah wujud yang senantiasa bergantung pada Ilahi. bahkan lebih dari itu, bukan wujud yang bergantung, melainkan wujud kebergantungan. apa yang di maksud wujud kebergantungan?.
wujud faqir tidak memiliki independensi wujud sama sekali, satu-satunya yang dia miliki ialah kefaqiran eksistensi. kita tidak bisa mengatakan diri kita ada dimana diri kita bergantung, namun yang bisa kita katakan adalah diri kita kebergantungan itu sendiri, bukan ada yang bergantung pada sesuatu yang menunjukkan suatu independensi eksistensi pada diri kita. Jika demikian apa konsekuensinya?, jika wujud kita adalah wujud faqir. maka, diri kita senantiasa meminta kepada wujud penyebab segala wujud yang dalam term teologi di sebut Tuhan. bukan hanya kita, bahkan segala entitas-entitas mumkim, termasuk alam semesta meminta pada Ilahi. konsekuensinya, jika meminta pada wujud ilahi. konsekuensinya ialah wujud kita senantiasa Baru dan Baru. kita senantiasa dalam penciptaan yang baru.
Menariknya, kata Rumi, kita tak sadar akan kebaruan itu ada dalam keabadian. artinya meski senantiasa eksistensi kita baru, namun tak meniscayakan identitas yang di sebut "aku" ikut berubah.
Jika perubahan itu adalah sesuatu yang berpindah dari titik 0 ke titik 100. maka, demikian pun manusia, dalam kaitannya dengan perubahan mikro kosmis. perubahan mengandung arti perubahan sikap lama (yang buruk) menuju sikap baru (yang hanif) dan seterusnya menuju kearifan puncak manusia. Di sinilah, kita semestinya membenamkan dan mencelupkan diri dalam arti baru yang sesungguhnya.
Sementara Yang terjadi selama ini kita cenderung menjadikan waktu sebagai objek yang disyukuri. Padahal, waktu cuman tanda (sign). Rasa sukur mestinya ditujukan pada realitas puncak dari waktu atau yang menciptakan waktu. Akibat, persepsi yang keliru inilah terkadang kesyukuran terhadap waktu atau semisal "tahun baru" diisi dengan perilaku yang hedon dan terkadang berlebihan.
Musuh yang sesungguhnya adalah egoisme diri hingga enggan berbagi. musuh yang sesungguhnya adalah Ke-Aku-an sehingga abai pada cita-cita kemanusiaan. Sebab Tujuan sejati, agama adalah agar kita mengkuduskan Tuhan dan memuliakan manusia.
Manusia di ciptakan bukan untuk kalah dan menang atas manusia. Kecuali, sepak bola, tinju, bulu tangkis, dsb. Itu memang untuk menang atau kalah dari orang lain. Tetapi, dalam hidup ini, kita tidak di suruh untuk mengalahkan orang lain. Sebab, sependek pengetahuanku, semua nilai ; baik agama atau yang pencaharian manusia. Hidup adalah mengalahkan diri sendiri. Jadi, mohon maaf, saya ini tidak pernah mau ikut kompetisi kalah dan menang ; baik itu pilpres, Pilgub, pilwalkot sampai pildes. Karena, saya sangat sibuk, berperang melawan diri saya sendiri. Agar, saya tidak terlalu kalah dengan diri saya sendiri. Itu pun tidak pernah selesai-selesai peperangan ini. Sehingga, saya tidak punya waktu untuk ikut kompetisi kalah dan menang. Sebab, saya tidak pernah tega menang lawan manusia dan saya juga tidak mau kalah.
Selain itu, Hijrah itu bukan perpindahn Performa Simbolik. sebab, yang paling mengagumkan di mata Tuhan, kata Nabi adalah Imannya orang yang hidup jauh setelahku dan tidak pernah bertemu denganku, begitu bunyi Hadistnya. Logika (Sederhana); Secara geografis dan kultur, orang indonesia sangat berjarak, jika di bandingkan dengan saudara-saudara kita di timur tengah sana, yang secara historis dianggap sebagai Pusat Islam?.
Lantas, mengapa kita harus terus-terusan memperdebatkan aksesoris terbaik yang di pakai adalah pakaian, makanan, gaya Minum, gaya bicara, dll. Adalah Orang Timur tengah sana?, Ini hanyalan Tafsiran contoh saja, silahkan setuju dan tidak setuju. Asbabul wurud hadist ini pun belum di kaji. Konteks historis dan jarak Nabi Muhammad pun, belum saya ketahui. Saya hanya ingin melihat "Serat atau Benang merahnya saja". mengapa Harus, bahkan sampai pada kadar; Mutlak. Meniru aksesoris Arab. Seakan-akan semua yang asli itu semua yang berbau dan berasal dari pusat.
Misalnya, saya datang dengan pakaian gamis dan berkopiah, tidak ada salahnya. Cuman saya takut semua orang termasuk kawan-kawanku berkesimpulan saya lebih pandai dari yang lainnya. Parahnya lagi, jika mereka berkesimpulan bahwa saya lebih alim. Itu kan tidak benar. Itukan penipuan namanya. Begitupun sebaliknya : pakaian compang camping, kumal, dan lusuh adalah berandalan dan jauh dari dari nilai-nilai keTuhanan. Hati-hati saja berkesimpulan. Sebab, acap kali kita kurang adil pada seseorang, sejak dalam pikiran.
Itulah sebabnya sering saya sampaikkan bahwa Mana yang mesti lebih dulu di upayakan, ustadz yang harus berdakwah dengan tingkat keilmuan layak atau ummat yang tidak boleh asal percaya dengan dakwah asal-asalan para Ustadz?.
Hal ini memang semacam kemanajaan, Taqlid pada ummat dalam ilmu agama. Sebahagian besar mengira yang penting sepenuhnya ikut ulama atau ustadz lalu menjadi ummat itu boleh bodoh. Memang ummat, itu dididik oleh ulama. namun, ulama itu terlahir dari ummat. Ada orang yang tingkat keilmuannya rendah, tapi berani menjadi ustadz. Pertanyaannya, ada pada Ummat sendiri, mengapa bisa muncul dan di terima?.
Seolah-olah dunia ini adalah kesia-Sian. Bukankah yang demikian, telah membonsai kegenitan Nalar kita.
Padahal Hakekat dari semua ajaran spritualisme : entah sufistik atau irfani Ialah aktif total dalam kehidupan ini, tetapi secara sadar memilih "berjarak" dengan segala gemerlap pesona dan godaan Matrealitas. memilih menekan keinginan dan Hasrat kepemilikan yang menjadi Laku dan Sikap Manusia Moderen.
Dalam Terminologi Filsafat Mistisisme Islam disebut sebagai Zuhud. Zuhud itu "bukan ketiadaan Harta, melainkan ketiadaan hubungan hati dengan Harta, Dengan Ego, dengan kepemilikan".
Selama ini, kita salah kaprah menilai kaum Sufi-Pejalan Sunyi. Padahal Sufi yang sesungguhnya bukan hanya bertekuk lutut di kesunyian, tetapi juga menjadi pemenang dikeramaian. olehnya mengejar kesenangan untuk membahagiakan badan-Tubuh (performa simbolik). sesungguhnya, telah menjauhkan kita dari hakikat kesempurnaan kemanusiaan. Dalam teori Kimiya al-Sa'adat Al-Ghazali " menyatakan bahwa hakikat kebahagiaan dan kesempurnaan kemanusiaan itu berada di wilayah hati.
Hijrah adalah perjalanan menuju Allah dengan bakti pada Manusia. maka, saya teringat dengan satu Hal yang menarik, di deskripsikan sedikit dari Muhammad Al-Baqir (W.743. M). Dari buku " The venture Of Islam (edisi Terjemahan, di terbitkan oleh mizan, 1999). Seorang Ulama besar, memiliki banyak pengikut. Memiliki garis Trah Genitik dengan Rosulullah SAW. Cucu dari Husain Bin Ali Bin Abi Tholib. Husain adalah kembaran Hasan, anak dari Ali Bin Abi Thalib dengan Fatimah az-Zahra. Az-Zahra adalah puteri Nabiullah Muhammad SAW dan Siti Khodijah Binti khuwailid.
Ketika dinasti Ummayah menuju senjakala kekuasaan, banyak kelompok-kelompok kecil yang mencoba menghimpun kekuatan dan mengumpulkan pasukan untuk merebut kekuasaan serta berusaha mewujudkan khilafah versi kelompok masing-masing. Namun, Muhammad Al-Baqir, tidaklah seperti itu. Ia, tidak mengundang Prajurit. Tidak memperturutkan dendam, justru ia mengundang murid. Pedang tidak di asah. justru ia, mengasah pikiran dan kalam. Ia tidak berniat membangun istana, tapi ia membangun madrasah. Bukan bertempur melawan musuh, tapi bertempur memberantas kebodohan. Bahkan ia Tidak berniat menjadi Raja maupun Sultan. Sekalipun Dinasti umayyah dari Jalur Abu Sofyan berhenti di Yazid, setelah itu dilanjutkan oleh Marwan bin Hakam.
Melalui Muhammad Al-Baqir, cucu Kesekian dari Rosulullah SAW menginginkan Islam menjadi Guru. Bukan sebagai penguasa. tapi, sebagai Suluh. Islam yang tidak identik dengan imajinasi kekuasaan. tapi, karena Ilmu yang berbasiskan peradaban yang Rahmatan.
* PENULIS ADALAH LELAKI PANGGILAN YANG BERUSAHA MENGHIJRAHKAN ISLAM SEBAGAI SULUH DAN ISLAM SEBAGAI GURU.
* PENA RST
* NALAR PINGGIRAN



Tidak ada komentar:
Posting Komentar