JANGAN TERTAWA DIATAS KECEMASAN ORANG LAIN - DARI COVID19 SAMPAI AVIECIENNA
Virus Corona jenis baru tengah menyerang masyarakat dunia saat ini, yang dalam Istilah kedokterannya disebut 'Novel Corona Virus' (2019-nCov). Dikutip dari Center For disease control and prevention,cdc.gov, virus corona merupakan jenis virus yang diidentifikasi sebagai penyebab penyakit pada saluran pernapasan yang pertama kali terdeteksi muncul pada hewan di Kota Wuhan, Tiongkok-China.
Virus ini, Menurut Para Ahli bahkan otoritas Kementerian Luar Negeri China telah menegaskan bahwa Covid-19 adalah senjata biologis yang diluncurkan Amerika Sebagai mata rantai dari percaturan perdagangan Internasional yang melibatkan Amerika Vs China selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Siapa yang menyangka serangan Virus Corona atau Covid-19 efektif memukul ekonomi China dan banyak Negara di dunia telah Lockdown akibat mewabahnya Covid-19 ini.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), telah menetapkan Virus Corona atau Covid-19 sebagai Pendemi Dunia. Itu artinya penyakit ini telah menyebar diberbagai negara dalam waktu bersamaan.
Berdasarkan Informasi data Real Time Worldometers, Sabtu (14/03/2020), total kasus positif Virus Corona Covid -19 didunia mencapai 145.637 kasus. Sedangkan 70.931 orang dinyatakan sembuh dan 5.416 meninggal dunia akibat Virus corona dan telah menginfeksi 139 Negara di dunia.
Ada sebuah Diktum dalam dunia Intelejen yang cukup santer, yaitu ”perang dagang adalah awal dari perang militer. Jika perang dagang menang, maka tidak akan berlanjut ke perang (militer). Tetapi, jika perang dagang kalah. maka, akan berlanjut pada perang selanjutnya. mungkinkah perang selanjutnya tersebut adalah serang virus Covid-19 sebagai War Tool (alat perang) yang digunakan untuk memukul ekonomi China?.
Jika Virus Covid-19 adalah War Tool, tentu ada pihak-pihak yang mendapat manfaat dari peristiwa tersebut?. Tentang siapa yang mendapat manfaat dari sebuah peristiwa tersebut, maka sebenarnya dialah yang memainkan skenario virus ini. Beberapa pertanyaan kritis yang diuraikkan Para Ahli tentang mewabahnya Covid-19 :
1. Mengapa virus Corona (wabah 14 hari), pertama kali dilaporkan setelah 300 personel AS tiba di Wuhan dalam pertandingan dunia militer pada tanggal 19 oktober. Bagaimana mereka bisa tau bahwa masa Inkubasi Covid-19 adalah 14 hari?.
2. Mengapa dan bagaimana pengiriman virus yang sangat mematikan dari Laboratorium NML Canada tersebut bisa berakhir di China pada bulan Maret 2019?.
3. Mengapa AS menarik dan mengevakuasi seluruh pekerja dan stafnya yang berbasis di Wuhan segera setelah pertandingan militer pada akhir oktober?.
4. Mengapa Yayasan Bill dan Melinda Gates memprediksi hingga 65 juta kematian via Covid-19 ditahun 2018?.
5. Virus ini, menyerupai virus kelelawar Afrika Selatan yang langka. Bagaimana virus semacam ini berakhir di Wuhan?.
6. Bagaimana virus tersebut melompati penghalangan spesies, lebih dari 3 hewan tanpa bantuan manusia?.
7. Siapa yang menyebarkan dan menyerang babi di Tiongkok. Dimana laporan menyebutkan : ada droid yang digunakan untuk menyemprot virus babi tadi?.
8. Mengapa ini terjadi di China, ketika AS memegang hak paten untuk “Anonaen Corona Virus” yang diarsipkan pada tahun 2015?.
Silahkan kita mendedah dan menjawabnya sendiri, apakah memang benar covid-19 adalah alat perang yang digunakan untuk memukul ekonomi China, dimana selama 10 tahun terakhir China merajai jalur perdagangan dunia, ataukah virus Ini adalah ujian yang ditimpakan Tuhan Yang Maha Esa kepada ummat manusia yang lalai.
Tentang hal itu, saya teringat dalam Filem The Pshysician, ada beberapa segmen yang mengisahkan kehidupan Ibnu Sina (Aviecenna). Film yang diangkat dari 'Novel Noah Gordon', "Der Medicus" ini, salah satunya menceritakan bagaimana Ibnu Sina (diperankan Ben Kingsley) dan murid-muridnya (dengan fokus pada seorang murid, pemuda Inggris Kristen bernama Robert Cole atau diperankan Tom Payne). Yang berasal dari berbagai agama (Islam, Kristen, Yahudi, Zoroaster) dan berbagai suku bangsa bahu membahu melakukan kerja ilmuan atau medis berbasis riset untuk mengatasi musibah Pes (Black Death) yang menjangkit Isfahan, Ibu Kota Kerajaan Persia.
Kota Isfahan yang dilindungi benteng kokoh tetap ditembus oleh wabah Pes, dimana Bani Seljuk mengirim seorang budak yang terjangkit penyakit Pes. Satu orang dalam waktu singkat mampu menjangkit ribuan orang bak Tentakel Gurita, benteng kokoh jebol. Bani Seljuk yang ingin menjatuhkan Shah Ad-Daulah, melakukan hal ini karena sadar, kekuatan militer mereka tak bisa mengalahkan Persia. Moral masyarakat persia runtuh seketika, khususnya diIsfahan. Wabah Pes menjadi menakutkan, bak malakul maut. Para kaum agamawan yang membenci Shah ad-Daulah terus memprofokasi dengan membangun narasi : Wabah penyakit ini sebagai bentuk bala dan azab dari Tuhan karena kedzoliman Shah/Sultan”.
Sementara Ibnu Sina bersama para muridnya bekerja terus menerus tanpa mengenal lelah. Beberapa eksperimen mereka lakukan. Mengobati dan melakukan riset sampai akhirnya Isfahan dinyatakan bebas dari Pes. Lalu kaum agamawan bertutur : Ini adalah kebaikan dari Tuhan, yapi hanyalah sementara, nanti akan datang lagi wabah seperti ini”.
Tuhan mereka hadirkan sebagai Maha Pemarah. Mereka memprovokasi, tidak memberikan Optimisme. Sedangkan Ibnu Sina Justru menghadirkan optimisme, memberikan kesiapan. Antisipasi.
Dulu, “Alfin Toffler” mengemukakan teori tentang, "Respon and Challenge", asumsi dasarnya adalah semakin besar tantangan yang dihadapi maka semakin besar juga jawaban yang harus diberikan dalam mengatasi tantangan tersebut. Jawabannya tentu bukan verbal, melainkan aksi dan Ikhtiar. Dalam sejarah peradaban yang maju adalah mereka-mereka yang mampu memberikan respon yang baik dalam menghadapi tantangan yang ada.
Pelajaran baik yang bisa kita ambil adalah kita kutip saja pernyataan aktor Watak Hollywood ' Danzel Washington', "kualitas seseorang itu terlihat dari cara ia merespon sesuatu".
Kita harus mengakui secara jujur bahwa Pemerintah Indonesia dalam memitigasi penyebaran Corona jenis baru yakni Covid-19 merupakan kelalaian, sehingga menyebabkan 2 WNI yang pertama kali terjangkit virus (3 Maret 2020) karena berinteraksi lansung dengan pelancong asal Jepang yang baru diidentifikasi mengidap corona setelah meninggalkan Indonesia (di Malaysia). Padahal WHO telah memberikan peringatan pada Indonesia, ditengah kecemasan yang melanda penduduk dunia. dari 2 orang WNI tersebut kini telah bertransmisi menjadi 96 orang, bahkan sudah ada beberapa yang meninggal sampai Menteri Perhubungan juga telah terjangkit.
Sedangkan kita yang masih dalam zona aman ini, bantulah dengan Doa dan Harapan. Bukan cacian dan rasa benci yang keterlaluan. Seperti kata Ahli Hikmah, "bila engkau tak sanggup menjadi pohon kehidupan yang memberi buah dan keteduhan, setidaknya Jangan jadi benalu". Doakan agar semua yang terdampak bisa mengatasi musibah ini. Dan yang terpenting adalah mendoakan para Ilmuan agar mampu menciptakan Penawar virus Covid-19 ini agar kita semua tidak dalam kecemasan yang membabi buta.
Berkenaan dengan hal itu, Saya teringat juga dengan seorang Pelawak 'Charlie Chaplin', yang Bertutur: "Rasa sakitku bisa jadi alasan untuk orang lain tertawa, tapi tawaku tidak akan pernah jadi alasan untuk rasa sakit orang lain". Jika ada yang bertepuk tangan dan tertawa di atas musibah ini, tidakkah mereka sadar bahwa kita tidak hidup dibalik tembok yang menghambat penyebaran virus ini. Meminimalisir, mungkin, tapi tidak ada yang bisa menggaransikan 1-2 bulan kedepan Virus itu akan mengatakan pada kita, "Hallo I Comming with you, Bro and sista.!"
Tidakkah mereka sadar bahwa Virus tersebut bukan hanya dikhususkan Tuhan untuk komunitas dan pemeluk agama tertentu saja, tapi bagi mereka yang tidak siap dan enggan mengantisipasi?. Antisipasi yang terukur berbasis ilmiah. Maka, ” bila takut anakmu dilamun ombak, jangan tembok kau bangun disepanjang Pantai. Tetapi ajari anakmu berenang”.!. Sebab orang yang mampu berenang, biasanya berpotensi besar bercengkrama dengan Ombak. Bahkan menjadi Hobi, menyehatkan bahkan bisa mendatangkan uang bila dilakukan dengan serius serta berbasis kompetensi dan profesionalitas.
Salah satu antisipasi itu adalah berharap agar secepat mungkin para ilmuan menemukan anti virusnya. Siapapun yang menemukannya, Mau orang Kutub Utara, Kutub Selatan, Kutub tengah (bila ada), kutub Timur (bila ada) atau mahkluk astral atau alien sekalipun. Bila itu terjadi, kita akan bahagia dengan penuh Takzim kita (selayaknya) mengucapkan terima kasih.
Semoga kelak Covid-19 atau Corona menjadi catatan sejarah, dimana ada suatu fase kehidupan ummat manusia, ada episode mencemaskan dan menakutkan, seperti kisah "Black death" bagi orang Eropa. Corona (hanya) menjadi cerita "kelam" kisah histori kehidupan manusia. Seumpama musibah Cacar, Lepra, Flu, Ebola, Sars dan Mers tempo dulu yang pernah menghantui kehidupan manusia. Sekarang, penyakit itu sudah dianggap biasa, bisa ditangani semaksimal mungkin. Nanti Corona demikian pula hendaknya. Kami dan generasi yang akan datang tinggal membeli pil anti Corona dikedai-kedai pinggir jalan dalam bentuk tablet.
Semoga Para Ilmuan secepatnya menemukan Anti Virus Corona ini. karena, Pepatah Persia memberikan Kearifan kepada kita, bahwa" Doakan lampu tetanggamu terang benderang, niscaya pekaranganmu akan ikut terang".
Ibnu sina adalah Sarjana kedokteran Persia (Iran), Ibnu Sina (980-1037), Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Hussein Ibnu Abdullah Ibnu Sina. Di barat ia juga dikenal dengan versi Latin dari namanya yaitu Avicenna. Ia menemukan bahwa beberapa penyakit bisa disebarkan oleh mikroorganisme?. Untuk mencegah kontaminasi antar manusia, ia menemukan metode mengisolasi orang selama 40 hari. Ia menyebut metode ini al-Arba'iniya ("empat puluh").
Pedagang dari Venesia (Italia) mendengar metode suksesnya dan membawa pengetahuan ini kembali ke Italia. Mereka menyebutnya "quarantena" (empat puluh dalam bahasa Italia). Dari sinilah kata "karantina" berasal. Jadi asal usul metode yang saat ini digunakan di banyak negara di dunia untuk memerangi pandemi berasal dari dunia Islam.
Diatas saya telah mengurai Tentang Ghiroh yang tetap dikobarkan oleh Ibnu Sina, disaat Kota Isyfahan Dilanda Wabah. Kaum agamawan yang tidak sejalan dengan Shah Ad-Daulah memproduksi Ujaran bahwa " Wabah tersebut adalah kutukan dari Tuhan karena Raja berlaku Dzolim. Ibnu Sina Dan murid-muridnya tetap bergumul dalam eksperimen dan percobaan-percobaan sampai menemukan penawarnya dan Kota Isyfaham dinyatakan bebas dari Wabah, Kaum agamawan kembali bertutur bahwa Kesembuhan ini adalah Kebaikan dan Kasih Tuhan, tetapi ini hanya sementara dan akan kembali lagi (Nonton : The Phsycian).
Pola Pemuka agama dalam sejarah, memiliki banyak kemiripan, sekalipun tidak semua. tetapi banyak, mereka kerap bersembunyi dibalik Qolam Tuhan yang diterjemahkan secara Parsial. Tuhan Dihadirkan sebagai Maha Pemarah. Sudah sepatutnya, kita rindu pada generasi Aviecienna-(Ulama yang Ilmuan, ulama yang Intelektual).
Nb ; Coretan Pena Nalar Pinggiran - Makassar, 14/03/2020 - Telah Di Publikasi Di Media On Line
***
BUKAN MEDAN KUSETRA ; DISINFORMASI DAN KEGELISAHAN YANG BERLEBEIHAN
Dulu, penyakit cacar dan kusta begitu menakutkan, Ia ibarat kutukan. Sekali kena, harapan untuk berinteraksi dengan kehidupan, punah. Khusus kusta, penderitannya akan diisolasi, kelas sosialnya akan turun drastis. Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia bahkan membentuk organ birokrasi tersendiri untuk mengatasi masalah ini- Mantari Cacar (termasuk kusta) dan seterusnya.
Lalu, beberapa dekade setelah Indonesia merdeka. Indonesia dinyatakan bebas cacar dan kusta karena memiliki penawar dengan tingkat penyembuhan yang tinggi.
Ketika saya masih kecil, penyakit polio menjadi sesuatu yang menakutkan dikalangan Ibu-Ibu yang memiliki anak balita. Hari ini Indonesia sedang menuju pada bebas polio. Hal ini tidak terlepas dari penemuan vaksin polio oleh anak Imigran Yahudi kelahiran New York, Jonas Salk. Penemuan Vaksin polio oleh Salk dianggap sebagai “Pekerjaan Ajaib”. Vaksin ini kemudian disebarkan ke seluruh dunia. Dunia pantas berterima kasih pada Salk.
Lalu, kanker menjadi penyakit yang paling ditakuti. Kanker darah, kanker serviks, kanker liver, kanker getah bening, kanker paru-paru sampai pada kanker prostat adalah kumpulan kata-kata indah yang juga teramat menakutkan. Beberapa tahun silam, Mantan Presiden Barack Hussein Obama menugaskan Wapresnya “Joe Biden” untuk memimpin proyek medis mengalahkan Kanker. Dana yang dikucurkan dalam jumlah yang teramat besar, terlepas dana itu didapatkan dari hasil penjualan senjata di Timur Tengah sana. Menurut CNN, teknologinya sudah hampir selesai. Target 5 tahun kedepan, penyembuhan kanker bukan dengan Kemoterapi dan sejenisnya, tapi meningkatkan sistem imun tubuh.
Belakangan, bulan-bulan pertama di tahun 2020, penyakit menular Corona Virus jenis baru (Covid-19), disebut sebagai wabah pendemik oleh WHO. Diketahui pertama kali merebak di Wuhan-China akhir tahun 2019. Spekulasi para ahli pun menyeruak dimana-mana, ada yang menyebutnya sebagai evolusi alami per- 100 tahun, ada yang menyebutnya sebagai senjata biologis, dan sebagainnya.
Wabah Covid-19 ini telah menjangkiti hampir semua Negara di dunia dengan tingkatan kematian sangat fantastis. Amerika misalnya, lalu disusul Italia, Iran dan China, akibatnya banyak Negara keteteran menghadapi wabah Corona jenis baru tersebut, termasuk Indonesia.
Diindonesia sendiri, perdebatan meruak dari linimasa sampai media massa. Bertebaran berbagai sharing Informasi tentang penangkal Covid-19, bahkan menjurus ke sampah visual. Apa saja dishare. Kita bisa mengendus sebagai gejala kecemasan yang kian menyengat publik. Bukan cuman sengatan Virus Corona, sengatan disinformasi juga mematikan.
Masyarakat yang kering akan literasi tentang Covid-19, kemudian menelan setiap muntahan kabar burung dan hoaks yang gentayangan di linimasa. Dengan angka kematian yang tinggi dan kesembuhan yang rendah, serta tren kasus yang melonjak, akhirnya pertahanan psikologis masyarakat mulai retak dan jebol. Ibarat orang tenggelam ditengah samudera yang berusaha menggapai jerami sebagai pelampung. Sekarang, apa saja yang menjadi mitigasi terkait Corona disosmed dijadikan pegangan.
Disaat yang sama, agama sebagai piranti kebatinan pun condong getas sebagai pegangan, pasca para Ulama Mendebati soal sholat dirumah Vs sholat berjamaah di masjid. Mau sholat dirumah emoh dibilangi takut pada mahkluk (virus) dan menafikan Tuhan. Sementara mau sholat dimasjid, ada anjuran sosial distancing atau penjarakan sosial.
Tren Covid-19, hampir mirip dengan penyakit cacar dan kusta, yang saya urai dibagian atas tulisan ini. Sekali kena, harapan untuk berinteraksi dengan kehidupan, punah. Ia ibarat kutukan, bahkan orang yang meninggal akibat wabah virus tersebut, tidak layak dikebumikan dan semua yang meninggal pasca wabah ini merebak, justifikasi orang-orang langsung mengarah pada virus. Sekerdil itukah nurani kita sampai mengabaikkan kejernihan rasionalitas. Padahal WHO, telah menyampaikkan bahwa penularan Covid-19 hanya ada 2 yaitu penyebaran melalui Drooplet dan kontak fisik. Penyebaran melalui Airbone (udara) adalah tidak benar.
Beberapa waktu lalu (31/3/2020) di Makassar, ada orang terduga meninggal akibat Corona yang hendak di kebumikan mendapat penolakan dari warga sekitar TPU yang memblokade akses pekuburan dengan kayu dan besi karena panik dengan wabah ini akan menulari masyarakat. Dua hari sebelum kejadian Penolakan penguburan di Makassar, di Gowa-Sulawesi Selatan juga terjadi penolakan penguburan terhadap Pasien Positif Covid-19 oleh masyarakat setempat.
Jika hal ini terus berlanjut maka jebolnya psikologi masyarakat juga bisa menjurus pada Generalized Anxiety Disorder (GAD), dilansir dari halaman Web Webmd.com. GAD adalah gangguan Psikis yang membuat penderitannya mengalami kegelisahan yang berlebihan, atau Panic Attack.
Ada disharmoni informasi publik dan literasi tentang Covid-19 yang tengah menganga di masyarakat. Jika dibiarkan, hal ini bisa jadi pemicu sosial mental disorder. Diakibatkan negara melalui otoritas kesehatan gagap dalam mengedukasi publik terkait literasi Covid-19.
Ditengah kepungan wabah yang mengenjet Psikologi masyarakat sudah selayaknya kita (kembali) rindu dengan IBNU SINA, bukan justru adu otot di medan Kurusetra. Harapan pada sosok yang membangkitkan Ghiroh optimisme, ibarat Oese dipadang Tandus, tentu merupakan penawar dalam mengobati Kegelisahan masyarakat yang kian jebol. Harapan kita, tentunya semoga dalam waktu dekat, ada hamba Tuhan yang mampu menemukan obat untuk menaklukkan Corona.
Saya berharap, sekaligus kata-kata ” semoga” merefleksikan rasa “cemas”. sebab, Corona sudah membuktikan dirinya. Sangat ampuh dan luar biasa daya rusaknya, melebihi nuklir. Siapa yang sanggup perang terus, selama 100 hari?, ini sebaliknya : berdiam diri selama 100 hari?. kapitalisme tanpa gerak, pasti terseok-seok atau minimal lumpuh separuh kaki tangannya.
Tapi siapa yang menggunakannya?, siapa yang di untungkan atau di rugikan, belum tau siapa?. Tetapi, yang memulainnya belum tentu keluar sebagai pemenangnya. Dunia yang global akan dipaksa kembali menjadi komunal.
Islam menyediakan jawabanya, SULTANIYAH. Bukan negara tetapi Masyarakat Muslim yang memiliki pemerintahan, memiliki otoritas terbatas dan di awasi oleh para Muftih. Sultaniyah abad 21 bukan monarki seperti era pra kolonial, tapi lebih komune beragama. Pekerjaan besar di tingkat global sia-sia saja. Obsesi Pan Islamisme dan Khilafah sudah tidak relevan lagi. Pemikiran ala imperium itu sisa aspirasi abad pertengahan. Sudah pernah dicapai (umayyah, abbasiyah, ottoman, mughal, dll) dan tidak bisa di pertahankan.
Pasca corona, dunia Islam harus menemuka formulasi baru secara global. Jika Khilafah sudah tidak relevan. Bisa di wujudkan dengan cara mengukuhkan persaudaran, mempererat kerekatan dengan simbol-simbol islam, merancang bentuk kerjasama Ekslusif. Runtuhnya ottoman, bisa jadi pelajaran, juga Dari Uni Eropa yang kemungkinan bubar pasca Corona pergi. Semua tergantung Dunia-dunia Islam : tetap tumbuh di pinggiran sejarah atau mengulang Kejayaan.
sejarah tengah mencatat, bagaimana watak perjuangan manusia melawan corona. Siapa yang menjadikan politik sebagai upaya penyelamatan manusia dan kemanusiaan. Serta, siapa yang menjadikan politik kekuasaan untuk melibas kemanusiaa . Kelak, ia akan di catat dan di baca anak cucu kita.
Hukum Islam, yang tidak mempersoalkan memelihara burung, selama tidak menzaliminya, memberinya makan dan minum. Tetapi jika makanan tidak tersedia maka berilah dia kebebasan agar mencati rahmat dan karunia Tuhan. Negara juga demikian, rakyat boleh di sangkar. Dilarang bepergian. Asalkan setiap pagi, ada sarapan dideoan rumah mereka yang disediakan negara. Jika tidak, tunggu saja kekacauan besar terjadi. Sebab, lapar akan membuat orang melakukan apa saja. Entah itu perampokan atau pemberontakan. Kecuali mereka pasrah, menanti ajal menjemput.
Revolusi sosial terjadi karena spontanitas akar rumput. Spontanitas lahir karena kesenjangan antara apa yang di harap dan di dapatkan rakyat. Jadi revolusi itu bukan terlahir dari kerja agitasi. Tetapi kerja pengorganisasian spontanitas akar rumput yang serius.
-Makassar, 15 Maret 2020-
***
WABAH MEREBAK : ANTARA KEHENDAK DAN KETELEDORAN MANUSIA SERTA KEAKUAN IMAN
Virus itu karena kutukan Tuhan. Virus itu karena kita tak dekat dengan Tuhan. Dekatkanlah diri pada Tuhan, maka Virus akan teratasi, kata kawan saya.
Bagaimana menurutmu, Ais?, tanya kawan yang satu lagi.
Tidak salah. Dalam Perspektif Teologis - Teosentris sebagai prima kausa, benar. Ada, Ungkapan seorang penyair indonesia, yang menuturkan, bahwa "TUHAN MENCIPTAKAN CAHAYA, MANUSIA MENCIPTAKAN LAMPU". Ada Lampu LeD, ada lampu Strongkeng, ada lilin, ada petromax, batrey, dan berbagai warna lampu-lampu lainnya.
Berkenaan dengan itu, saya teringat dengan 'Margareth Marcus' atau 'Mariam Jameelah' (Murid Kesayangan Abu A'la Al-Maududi) bertutur bahwa memisahkan faktor transendental dari fenomena alam merupakan bentuk sekularisme paling mengkhawatirkan. namun menganggap fenomena alam bukan tanda dari Tuhan, jauh lebih menghkawatirkan. Misal, terjadi kecelakan, kita beranggapan itu kesalahan manusia tanpa ada Takdir Tuhan disitu, maka itu bentuk sekularisme yang menghkawatirkan.
Namun lebih menghkawatirkan lagi, jika kita menganggap bahwa kecelakan itu adalah Takdir Tuhan tanpa melihat kesalahan yang dilakukan oleh seseorang sehingga ia mengalami kecelakaan. sangat bisa terjadi, karena tidak membaca tanda rambu-rambu lalu lintas.
Lantas, bagaimana tanggapanmu tentang Meme yang menjadi Buah Bibir saat pandemi merebak, "Kami Tak Takut Corona, karena kami hanya Takut Pada Tuhan dan Juga Kematian merupakan Takdir dan Kuasa Tuhan".
Dalam Hati saya Membatin, Menyebrang saja, kita Masih menoleh kiri dan kanan. Sok, Bertutur tidak takut mati. Jika memang kita tidak takut mati, mulai sekarang dan Seterusnya, jika memang berani, cobalah kita Menyebrang jalan, jangan Menoleh kiri dan Kanan.
Lantas bagaimana kita menyikapi sikap orang-orang yang berprsepsi demikian?.
Saya sendiri tidak tau dan tidak punya Kuasa atasnya. Tapi satu hal yang sudah pasti, ini adalah dampak buruk dari Pendidikan kita Dimasa lalu. Orang yang berlaku "tidak tertib", bisa segera dibikin "Tertib dan disiplin" dengan ancaman atau Hukuman Pidana. Orang-orang Jahat bisa dibikin baik dengan Pentungan, Borgol dan atau Penjara. Tapi percayalah, ketiga alat tersebut tidak bisa kita Pakai untuk menghadapi kebodohan. Yah, Kebodohan seseorang tidak bisa diubah seketika dan segera menjadi cerdas dengan menggunakan pentungan atau ancaman pemidanaan.
Sungguh, tidak ada orang yang ditampar, Dipetungi kepalanya atau dihukum penjara dapat menjadi cerdas; bahkan untuk sementara waktu. Suspect, ODP, PDP bahkan Positif Covid-19 barangkali akan sembuh saat dikarantina dan itu yang sementara dilakukan. Akan tetapi Kebodohan akan sangat sulit DiLockDown.
Sampai disini, saya berharap anda bisa paham, mengapa saya tetap berkeyakinan bahwa sungguh jauh lebih sulit membuat orang bodoh atau tidak tahu menjadi cerdas, ketimbang membuat orang yang tidak tertib atau jahat menjadi disiplin dan baik. Tapi kita tidak bisa menghukumi orang bodoh sambil berharap ia akan menjadi cerdas. Kalau Tidak percaya?, Silahkan Tampar wajah kita sambil berharap kecerdasanmu akan bertambah karenannya atau buktikan apa yang selama ini kita tidak ketahui akan berubah menjadi kita ketahui setelah kita kandatto (Jitak) kepala kita. Palingan kita cuman tahu satu hal; kepala kita kambang (benjol).
Apakah Corona adalah Kehendak Tuhan ataukah Kelalaian Manusia?. Suatu ketika Rosulullah SAW Pernah ditanya oleh Istrinya - Sayyidatuna Aisyah, dalam H.R Bukhari : Apa Tha'un (Wabah ) itu Ya Rosulullah SAW?. Rosulullah SAW, lalu Berkata, "Wabah itu adalah Azab kepada Orang-orang yang Dia Kehendaki dan Rahkmat bagi orang-orang yang Beriman".
Jika kita Konversi Tutur Rosulullah SAW tersebut, pada Wabah Yang sedang Melanda Kita, saat Ini. maka pertanyaan mendasarnya Ialah Siapa Yang bisa memastikan dirinya Beriman dan Tidak Beriman?. Sehingga terbebas dari Maksud Rosulullah SAW bahwa wabah yang menimpa kita Ini adalah Rahmat dan bukan azab.
Seturut dengan Hal itu, kita menjawab, "Saya Beriman". Timbul Tanya Lagi, Apa Variabel seseorang dikatakan beriman?. Apa dengan Melafazdkan dan Menyakini Rukun Iman yang ada 6 (enam) itu, sehingga seseorang Dikatakan beriman atau belum tentu dengan hanya sekedar Menyakini Rukun Iman tersebut.
Mari kita ketegahkan percakapan ini, untuk menganalisa. Saban Hari, 'Al- Hasan' ditanya oleh seorang lelaki "Al-Mu'mu'minun anta (apakah engkau seorang mu'min)". Orang ini menjawab ; jika yang di maksud mu'min itu yang beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikatnya, Nabi-Nabinya, Kitab-Kitabnya, Takdir baik dan buruknya dan hari akhir. Yaah, saya mu'min. Tetapi, kalau Mu'min yang di maksud Allah dalam Q.S.Al-Anfal ayat 2-3: "saya belum tau apakah saya Mu'min atau bukan?". Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal," (Q.S.Al-Anfal :2). "(yaitu) orang-orang yang melaksanakan sholat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka." (QS. Al-Anfal:3).
Untuk ukuran keimanan saja, kita tidak memiliki Standar yang cukup untuk memberikan Legitimasi Bahwa Kita adalah Orang Beriman. Sebab Otoritas yang bisa memastikan bahwa Kita Beriman Hanyalah Allah, sebagaimana sesuatu adalah Kehendak Allah.
Ditengah kepungan Wabah, kita Menghela Perdebatan menjadi panjang Kali lebar. Gegabah kita yang tak pandai menahan jemari dan tutur, acap membuat Duka semakin Getir dan mengkapitalisasi kecemasan. Mereka berdebat, Apakah Wabah Covid-19 ini adalah Kehendak Allah atau Bukan?. jika Allah berkehendak Apapun bisa terjadi dan tidak ada daya dan Upaya Bagi manusia melainkan Kehendak Allah. Menurut saya, Ayat Al-Qur'an kerap kali ditafsirkan Parsial, dan melupakan Konteks spasial Ayat. Sebahagian kita Menganggap Ayat Allah, hanya sekedar Teks dan mengabaikkan Ayat Konteks. Padahal Banyak Ayat dalam Al-Qur'an dalam Al-Qur'an, menyerukan pada Kita tentang penerapan Ayat secara Konteks: "Afa laa Tatafakkarun" (tidakkah engkau berpikir).
Kita tidak memiliki Standar Yang memadai untuk mengetahui, bahwa Corona (Covid-19) adalah Kehendak Allah atau Bukan?. Sebab, Allah itu Maha Tak terhingga, Terbebas dari Ruang dan waktu. Jika kita Mengetahui bahwa sesuatu itu adalah Kehendak Allah, Maka, kita telah Membatasi Allah yang terbebas Ruang dan waktu, menjadi Terbatas Ruang dan waktu. Jika asumsi diatas dan semua pembenarannya di Gunakan sebagai Sandaran Argumentasi, Maka Allah telah mendistorsi Proses Penciptaanya sendiri.
Jadi, Corona (Covid-19) Bukan Kehendak Allah?.
Saya tidak memiliki Otoritas dan kemampuan yang memadai Untuk menjawab, Iya atau Tidak. Tetapi kita endapkanlah seruan Allah, dalam firmanNya dalam Q.S 91:7-8 : " Waa nafsin waa maa sawwaa ha faa alhama ha fujuraha waa ma taqwaha" (Demi jiwa serta jalan penyempurnaan ciptaannya. Maka Dia mengilhamkan jalan kejahatan dan ketaqwaan )". Berdasarkan ayat diatas, kita bisa mendedah pesan bahwa Allah telah menetapkan, "mana Jalan Kejahatan dan Mana Jalan Ketaqwaan. (Baca : Hukum Sunnatulllah). adapun alat yang dapat kita gunakan Untuk memilih antara kedua jalan tersebut adalah akal, Qolbu dan Nafsu. Ia Potensial pada Manusia.
sebagaimana yang dijelaskan, bahwa siapapun yang melanggar ketetapan (Sunatullah) maka akan menerima Konsekuensinya sendiri. (Q.S. Ar-Rum :41 " Telah nampak kerusakan didarat dan dilautan disebabkan karena perbuatan tangan (Maksiat) manusia : Allah menghendaki agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali ke jalan yang benar").
Bencana Covid-19, tidak melulu soal bencana alam yang misterius. Sebab, Selain Allah tidak ada yang bisa, bahkan layak dipandang misterius, Covid-19 sekalipun. Ia Murni perbuatan Manusia yang terlampau melewati ambang batas kewajaran yang telah ditetapkan sebagai Rute Takdir yang dipilih oleh manusia. Covid-19 adalah kelalaian dan keteledoran manusia.
Terlepas dari perdebatan apakah corna adalah war tol atau politik konspirasi perang dagang negara super power. Pada akhirnya tragedi corona ini meniscayakan satu hal bahwa kesadaran untuk terjadinya perubahan perilaku manusia. ternyata kerakusan (dan semua bentuknya), telah menjadikan manusia lebih buas dari binatang buas. Kita rusak ekosistem alam semesta, kita rusak keteraturannya demi memuaskan ambisi dan hasrat menguasai tanpa batas. Kita menjalankan gagasan machevialisme dengan sangat mahir bahwa tujuan menghalalkan segala cara.
Manusia menciptakan senjata pemusnah massal untuk memuaskan diri manusia sendiri. Manusia menternakkan segala macam jenis virus sebagai senjata yang mematikan dan dalam waktu yang bersamaan tanpa malu mendengungkan perdamaian dunia dan kesejateraan manusia. Manusia membangun tehknologi super canggih, tetapi dalam waktu yang bersamaan merusak atmosfer terluar bumi (ozon) sebagai lapisan, sebagai selimut bumi, yang membuat terjadinya pemasan global, akibatnya kita mengundang ribuan bencana, yang telah maupun yang akan terjadi.
Kini, corona. Akankah ini yang terakhir ataukah masih ada lagi sejenis corona-corona yang akan datang, tidak mustahil akan ada lagi yang lain, bahkan yang lebih membahayakan dan lebih mengerikan dari ini. Dan itu akan selalu menjadi ancaman kemanusiaan, selama manusia tidak pernah menjadikan apa yang terjadi hari ini sebagai pemicu kesadaran baru, untuk merubah laku dan sikap. Apa boleh buat, kita harus terima fakta bahwa Al-Qur’an telah memberikan ibrah kepada kita tentang semua kerusakan (alam) diakibatkan oleh perbuatan keji manusia, sebagaimana ayat yang saya sampaikkan diatas (Q.S. Ar-Rum :41). Bahkan ayat tersebut menggunakan diksi “ telah terjadi”, bukan akan terjadi. Maka hari ini pembuktian Al-Qur’an kita alami secara massif.
Lalu, dengan Sesumbar Kita menyeret dan Menghadirkan Tuhan sebagai Maha Pemarah dan penanggung jawab atas semua ini. Padahal Yang melakukan Eksperimen dengan menabrak Kodrat alam adalah Manusia, yang terdampak akibat itu juga adalah manusia. 'Rumi yang Maulana' itu pernah menyinggung dengan sangat gambalang, "bahwa secara mikrocosmos, manusia adalah pusat orbit kehidupan". maka, kelakuan manusia yang melanggar kodrat kemanusiannya adalah satu bagian dari rusaknya tata kosmos dalam pengertian manusia sebagai pusat orbit kehidupan.
Bukankah seluruh Kebutuhan hidup dan penghidupan adalah Nikmat dan karunia yang di Titipkan Tuhan untuk "di mengerti" dan "di manfaatkan" oleh manusia. kita tidak bisa berharap semua ini akan selesai, Jika kita menyeret Tuhan yang tidak terbatas Ruang menjadi terbatas Ruang. Itu bukan solusi pada manusia yang diberi amanah, potensi sebagai Khalifah untuk bertanggung jawab atas sesamanya disemesta ini.
Namun sebagai Manusia yang temporal, syarat dengan kenisbian bahwa Ada kebenaran dibalik semua Illat peristiwa, tapi kita enggan mendedahnya. Setiap peristiwa adalah pesan dan ayat, tapi kita seakan tak ingin mencernanya. bencana sealur dosa, secepat itu Tuhan mengirim pesan. tapi, kita tidak memproyeksi hikmah dibaliknya. Merebaknya Covid-19 dihampir seluruh Dunia, bukan bencana alam biasa. Peristiwa alam yang dimaksud ialah suatu pesan dari langit yang perlu dibaca dengan daya supra-Rasional yang kuat. Sebab, adakalanya bencana dan bala dibutuhkan untuk membangunkan kesadaran kita, tentang perilaku manusia yang rusak dan merusak tatana kehidupan yang seharusnya menjadi taman-taman surga mejadi belantara khuldi yang menyebabkan derajat kemanusiaan kitah jatuh.
Seturut pernyataan pembanding tersebut, kita berhenti dan menjawab pasrah. Bahwa hukum-hukum metafisikalah yang berlaku. Hukum yang bisa ditangkap dengan kecerdasan supra-rasional. Kata 'Abang Munir', "Bahwa kejadian demi kejadian harus ditangkap dengan kecerdasan supra Rasional, karena kejadian empirik hanyalah tanda kecil untuk memahami kehendak dan hukum yang lebih tinggi dibaliknya.
Tuhan dengan segala keinginan dan hukumnya adalah realitas tertinggi yang apodiktif. Maka, kejadian demi kejadian harus dibaca sebagai tanda (Ayat Kauniyah), agar manusia dapat menangkap isyarat akan kehendak Tuhan dengan segala kebaikan yang melingkupinya. Bukankah selalu terjadi dua dinamika gerak dalam hidup ini, dari yang universal ke partikulir atau partikulir ke universal.
Untuk hal itu, Rosulullah Saw bersabda : " Sesungguhnya Allah akan memberi makan orang Mukmin dengan Musibah, sebagaimana seorang Ibu memberi Makan anaknya dengan Susu". Juga disampaikkan dalam sebuah Hadist Qudsi bahwa : "Aku memberi musibah kepada hambaku agar mereka ingat kepadaKu dan Aku menyukai suara hambaKu yang merintih; dan Berkeluh kesahlah dihadapan pintuKu". itu juga menjadi dasar bagi Penuturan Imam Ali R.a bahwa: 'sesungguhnya Musibah bagi Orang Dzolim adalah peringatan, bagi orang mukmin adalah ujian, bagi para Nabi adalah derajat dan bagi para Wali adalah karomah'.
senada dengan hal itu, Salah seorang Tokoh Sufi terkenal, 'Junaid Al-Baghdadi' pernah ditanya, "bagaimana saya dapat mengetahui bahwa bala' (Musibah) yang terjadi itu bukan Hukuman (Azab) dari Allah atau penghapus Dosa, ataukah sebagai akibat diangkatnya derajat disisi Allah". Lalu, Beliau (Junaid) menjawab : " Jika engkau Marah atas Musibah tersebut maka itu adalah Murka dan azab dari Allah. Sedangkan, Jika engkau bersabar maka itu adalah penghapus Dosa. Dan atau Jika engkau ridho dengan Musibah tersebut maka itu adalah jalan yang mengangkat derajatmu".
Lalu bagaimana Kita Menyikapi orang Yang mengatakan Kematian itu adalah Kuasa dan Takdir Tuhan?.
Tawaqqal itu adalah Pasrah, Setelah Ikhtiar. Saya menganggap orang Yang pasrah pada Keadaan Mewabahnya Covid-19 adalah "Bunuh diri". Bunuh Diri itu merupakan Dosa yang teramat besar karena termasuk bentuk keputusasaan terhadap Rahmat dan Karunia Allah yang diberikan kepada Manusia sebagaimana yang saya sampaikkan diatas. seperti yang disampaikan, Allah Dalam Qolamnya : " laa yay asumu min dauhril (janganlah kamu putus asa dari Rahkmat Tuhan)".
Rosulullah Saw adalah orang yang jelas-jelas mendapat Jaminan Lansung dari Allah saja, saat menghadapi wabah justru mengambil sikap dengan bertutur dalam H.R Bukhari : " Larilah Engkau dari Lepra sebagaimana Larinya engkau dari Singa". Artinya, Jika kita Tau bahwa Covid-19 bisa menjadi sebab Seseorang putus Nyawannya, lalu kita Pasrah tanpa Ikhtiar dan berasumsi : "Ini adalah Kehendak Allah", itu namanya "Bunuh diri" atau Mati Konyol.
Dalam Islam, ikhtiar itu penting. Menghindari mudarat dan mengambil maslahat, itu kaidah. Rosulullah, 1.300 tahun Nan Silam menerapkan Lock Down saat wabah melanda. Umar Bin Khottab yang keras kepala saja, Cuman Taat pada Rosulullah dan Allah juga pernah mengurungkan perjalananya karena tempat tujuannya dilanda wabah.
Agama itu sangat Logis. Jika pun ada ghaibnya, itu karena kemampuan Rasional Kita tidak mampu menembus yang suprarasional. Butuh Supra Genialitas untuk menjangkaunnya. Larangan sholat berjama'ah dengan argumen-argumen medis itu juga agamais berdasarkan kaidah.
Beragama itu bukan berarti menjadi seorang Fatalis. Toh, takdir juga bukan sesuatu yang given. Kematian selalu ada sebabnya, dalam Hadist yang Diriwayatkan Imam Tirmidzi, Rosulullah bertutur, "Setiap anak Cucu Adam itu memiliki 99 sebab kematian". Jadi, kematian pun punya faktor-faktor logis atau dalam Bahasa medis disebut Cause of Death (COD). Apa jadinya, jika Positiv Covid-19 mengalami peningkatan kurva normal atau meningkat secara Eksponsial. Membludak di RS dengan Faskes yang terbatas, pun tenaga medis yang tidak memadai?. Ini menyebabkan tingkat Mortality melambung tinggi. Sekarang saja, secara Mortality Rate, indonesia tertinggi Di Asia tenggara pada Kasus Covid-19.
Sosial Distancing hingga Lockdown itu fungsinya menekan penularan. Agar yang terpapar Covid-19 berada dibawah Kurva normal. Tetapi, kalau masih kepala batu, Keras hati, yah mau bagaimana lagi. Mungkin mau seperti italia dan iran.
Dalam kasus wabah Corona, tindakan medis adalah upaya menekan tingkat sebab kematian dibawah kurva normal. Agar mendapat pelayanan medis yang optimal bagi yang menderita. Jadi kematian adalah akhir dari Ikhtiar manusia. Bunuh diri itu bukan Takdir, sebab Tuhan tidak pernah memberikan sesuatu yang jelek pada manusia. Karena Takdir itu syaratnya, "Qoddaru Yaqoddiruna Takdiran". Takdir itu Fleksibel, Mau selamat dan Hidup, Dengarkan Himbauan lembaga yang memiliki otoritas dalam mengupayakan penyebarannya agar tidak meluas. Keputusan MUI menutup Rumah-Rumah Ibadah demi Mashlahat. Secara Insitusi adalah tindakan yang tepat. Sebab dalam H.R Bukhari, Nabi Berkata : "Janganlah engkau mencampur adukkan antara yang sakit dan sehat".
Fatwa itu dikeluarkan Demi memininalisir Penyebaran Virus, bukan menghindarkan diri dari Kematian. Ada tidaknya Virus tersebut, Mati itu Pasti. Tetapi Kapan kita mati?, ia menjadi Relatif (tergantung). Disisi lain juga, merawat kehidupan adalah kewajiban setiap insan. Harusnya Peran Para Da'i, Ustadz, Muballig bahkan MUI, memberikan pemahaman dan Penjelasan pada pada Publik atau ummat tentang , Hukum Melaksanakan Sholat Berjama'ah di Masjid dan Hukum menyelamatkan Nyawa Manusia dari ancaman bahaya Corona?.
Setelah diuraikkan Koherensi Ushul Fiqihnya (Dasar Hukum) yang menjadi kerangka rujukan semua aktivitas Ibadah, barulah melanjutkan pembahasannya pada Soal, apakah sama Kaidah Hukumnya melaksanakan sholat Berjamaah dimasjid diluar kondisi Wabah dengan Sholat Dirumah dalam Masa Wabah - Corona. Jika pun hendak mengurai Pembahasannya sampai pada level apakah sama pahalanya Sholat DiMasjid dan dirumah dalam kondisi dan situasi yang berbeda, karena sebahagian kita masih banyak yang genit mengejar Laba pahala Ibadah - sholat . Bisa juga diurai sampai kesitu.
Sebahagian ummat atau Rakyat masih gagap diwilayah itu, sehingga meributkan bahkan menghela perdebatan menjadi panjang kali lebar, tentang : Masjid ditutup sedang pasar Dibuka, yang juga menjadi sentrum perkumpulan Orang. Sementara Masjid ditutup dengan Asumsi, menghindari persebaran Virus karena juga alasan berkumpul.
Yah, Sholat dimasjid memang Kebutuhan. Bahkan pada Maqom Spiritual Tertentu - Tasawuf, Irfan atau dalam Bahasa Prof Quraish Shihab adalah al-Isyraqi, Atau dalam Bahasa Imam Al-Ghazali disebut Intuisi, Sholat adalah kebutuhan Biologis dan Psikologis. Tetapi, tidak semua Ummat, bisa sampai pada maqom Spiritual tersebut. Sehingga kita harus menerima suatu konsesus bahwa Sholat adalah Kebutuhan spiritual yang wilayahnya prinsipil - Subjektif. Sementara Kebutuhan makan dan minum dalam Rantai kebutuhan Hidup Biologis manusia, dalam Ulasan Abraham Maslow, adalah kebutuhan Primer, yang pemenuhannya wajib terpenuhi agar manusia tetap Survive - melansungkan hidup.
Artinya Pasar harus dibuka sebab semua sumber pemenuhan Hidup (makan dan Minum) manusia, berputar dipasar. apa jadinya jika semua Pasar-pasar diTutup?.
Dulu, ada seorang Sahabat berdialog dengan sahabat Yang lainnya, dimasa Tabi'in. kata sahabat , "mengapa engkau Tak berpuasa Sunnah, bukankah Puasa itu merupakan suatu amalan yang sangat dianjurkan Oleh Rosulullah Saw". Jawab sahabat tersebut," jika aku berpuasa, maka Tubuhku lemah dan aku tidak kuat dalam membaca Al-Qur'an, sementara itu merupakan aktivitas yang aku cintai". Artinya kebaikan itu banyak jenisnya, ia relatif pada apa yang kita senangi dan cintai.
Sedangkan Sholat yang Juga merupakan kebutuhan, tetapi masih ada alternatif Lain untuk ditegakkan selain dimasjid, dirumah, misalnya. Bahkan pada level Keyakinan Guruku (Semoga Allah meRahmati Beliau), ia Dulu sering menuturkan kepada saya, "Allah hanya menyebutkan Dua Nama Masjid yang diabadikan Dalam Al-Qur'an untuk kita beribadah (Sholat didalamnya) yaitu Masjidil Haram dan Masjidil Aqso". Lalu saya Tanya, bagaimana dengan Kita yang DiIndonesia Guru?, apakah Tidak sah sholat kita, jika tidak sholat dikedua masjid tersebut. Jawab Beliau, " baitullah Qolbun Mukminin".
sangatTidak relevan jika membandingkan Antara Masjid dan pasar. Sebab sependek pengetahuanku, Sholat berjama'ah dimasjid itu Ushul fiqihnya adalah Fardhu, sedangkan menyelamatkan nyawa manusia dari ancaman Wabah, juga adalah Fardhu. Namun didalam Ushul, ada Fardhu Kifayah dan ada Fardhu ain. Dua perkara tersebut masuk dalam Kategori Fardhu, apa dan mana yang lebih diprioritaskan dalam Masa wabah?.
Sebagai Konklusi dari Coretan Pena ini, saya Teringat dengan Tutur Imam Asy-Syafi'i : "aku belum menemukan Solusi yang lebih Manjur, ditengah wabah selain bertasbih kepada Allah".
- Makassar, 03/04/2020 -
***
JANGAN BIKIN ALLAH CEMBURU ; TERIMA KASIH CORONA
Jika kita mengikuti perkembangan penduduk bumi saat ini, dilanda kepanikan dan kecemasan yang luar biasa akibat merebak dan merambatnya virus Covid-19. Meski memang belum ada vaksinnya, namun mobilisasi dunia sungguh luar biasa menghadapinya dan belum pernah ada yang menyamai hebohnya kecuali, barangkali suasana Perang Dunia II.
Terlepas dari perdebatan bahwa virus tersebut adalah semacam senjata biologi yang dilepaskan. entah, oleh negara mana dan dimana, tapi melihat eskalasi jumlah korbannya dan akselerasi penularannya memang sungguh mengerikan. Amat sangat Rasional, jika negara-negara didunia mengambil sikap satu barisan untuk melawan dan menghentikan penularannya.
Melihat suasana dunia sekarang, terbayang dalam benak saya, lima ayat pertama dalam QS. Al-Hajj. Dengan amat impresif Allah menggambarkan suatu keadaan yang membuat manusia panik begitu rupa seolah mereka mabuk padahal sangat sadar. "Zalzalah al-sa’ah", istilah yang digunakan Al-Qur`an yang berarti hentakan atau guncangan waktu yang amat dahsyat. Tafsir tradisional memahaminya secara dogmatis sebagai awal proses kehancuran sistem tata surya dan pertanda manusia berproses menuju kiamat. Namun sejatinya lebih relevan manakala dipahami secara realistis, terutama jika kelima ayat tersebut dibaca secara keseluruhan, bahwa Allah menyapa ummat manusia dan mengingatkan agar " berhati-hati" terhadap hentakan waktu yang akan membuat manusia memuntahkan seluruh kandungan-kandungan batinnya padahal mereka amat sadar.
Covid-19 hendak menyadarkan ummat manusia bahwa realitas yang di pahami bukanlah realitas yang sejati, melainkan realitas hasil rekayasa alam pikiran manusia sendiri. Manusia mempercayai keunggulan dirinya di antara berbagai makhluk lain. Manusia mempercayai keunggulan ilmu pengetahuannya yang bahkan mampu menjelajahi ruang angkasa, tapi sangat lemah dihadapan makhluk kecil yang namanya virus. Inilah pesan pertama yang hendak disampaikan Tuhan dalam Covid-19 agar dalam mengapresiasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tetaplah harus melibatkan Tuhan. Pengetahuan harus bertransformasi menjadi makrifat agar umat manusia tidak tertipu oleh buah pikirnya sendiri.
Boleh jadi, keengganan manusia melibatkan Tuhan dalam aktivitas alam semesta dan karena rumusan konsepsi teologi menusia yang memandang Tuhan sebagai ‘sosok’, Padahal pandangan Al-Qur`an tentang Tuhan sama sekali berbeda. Menurut Al-Qur`an, Tuhan bukanlah ‘sosok’ yang dipersepsikan atau Dipikiran. Melainkan Al-Haqq, yakni sang Mutlak yang transenden juga sekaligus yang imanen dalam laku kebaikan dan cinta. Dengan sendirinya konsep ilmu pengetahuan menurut Al-Qur`an juga berbeda, dimana akal pikiran tidak hanya difungsikan untuk membangun persepsi dan konsepsi, tapi lebih dari itu, akal harus difungsikan untuk memperoleh pengetahuan yang melekat dihati dan menjadi keyakinan yang utuh. Dengan kata lain, membangun keyakinan berdasarkan nalar dan hati nurani. Proses kognitif yang menyatukan nalar dengan hati nurani ini disebut makrifat. Al-Qur`an memberi pedoman untuk sampai kepada makrifat, akal harus dibebaskan dari segala macam syahwat dan hawa nafsu.
Andai semua Ramadhan, kita persembahkan untuk dan hanya milik Allah, masih sempatkah kita mencemburui Mall-Mall yang melanggar aturan PSBB. Masih adakah ruang di hati kita untuk mengumpati tenaga kerja asing. Sebagai pembanding atas masjid yang "dikekang". Bukankah Allah itu Pencemburu. Puasamu hanya untukKu, tapi banyak unsur duniawi turut serta memalingkanmu dariKu. Jangan-jangan Ia sedang cemburu berat.
Masjid sama sekali bukan tandingan Mall, apalagi dengan tenaga Kerja Asing (TKA). Masjid bukan instrumen politik untuk menekan penguasa. "Jika mall kau buka, masjid akan kami buka!. Jika TKA tetap kamu datangkan, tarawih kami gelar lagi di masjid..!!!". Tak ada Allah dalam negoisasi itu. Hanya jiwa partisan yang lupa diri dan lupa tempat. Partai masjid vs partai Mall. Wajar jika Allah cemburu.
Partai masjid menegakkan bendera. Ini daerah kekuasaanku, ummatku, pengikutku. Ketika masjid dibuka atau ditutup, semuanya adalah tentang aku dan posisiku, juga penghidupanku. Bukan tentang ummat apalagi tentang Dia. Bukankah Rasulullah lebih sering tarawih di rumah, beliau sembunyikan tarawihnya. Agar kamu paham, mana yang harus kamu sembunyikan dari dunia, hanya Allah yang tahu, dan mana yang harus kamu gelar keluar. Dan Allah yang maha adil tak pandang bulu. Ia tugasi virus ini memangsa siapapun, beragama atau tidak, beriman atau kafir. Di masjid atau di mall. Jika mall akan menjadi biang masalah, jadikan masjid solusi penyembuhan, bukan malah menjadikan masjid sumber masalah yang lain.
Dalam ramadhan tanpa puncak ini kita didorong untuk beribadah nyaris tanpa harapan duniawi. Tak banyak THR, tak ada mudik, tak nampak kue-kue, tak perlu baju baru. Mungkin kalian berbeda, memaksakan diri menjadi lebaran normal. Enggan kehilangan harapan duniawi dari ramadhan kali ini.
Makhluk kecil itu telah mengosongkan ramadhan kita dari anasir-anasir duniawinya, ia (jika ia makhluk) memurnikan ibadah kita. Status kita dilucuti, kemewahan dan semua makanan enak dibatasi, warung dan mall sunyi. Pusat berpindah dari masjid ke diri kita. Mungkin itu hanya aku. Kalian berbeda, memaksakan diri menjadi puasa normal. Seseorang menyebut makhluk ini tentara Allah. Pelan-pelan, aku paham. Semoga ini menjadi puasa terbaik kita.
Kawan, aku hampir tak mempercayai lagi bahwa puasa kita akan lebih baik jika disyiarkan, diumumkan, dideklarasikan, diramaikan. Ikuti teladan 'Ibu Mariam' yang menggunakan kata Shaum sebagai "berdiam". Maka diamlah dalam puasamu. Tak ada sedikitpun hak kita atas puasa ini. Semuanya, Totally, milik Allah sendiri. Aku khawatir Ia tak berkenan saat puasa ini kubagi-bagi ke alam semesta. Maka diamlah dalam puasamu.
Baginda Nabi bersabda, ada dua jenis kebahagiaan dalam puasa. Kebahagiaan saat ifthar (berbuka, kebahagiaan hewaniah kita), dan kebahagiaan karena Musyahadah (bersua langsung tanpa hijab dengan Allah). Ya.. hanya puasa yang memberi kesempatan kita bersua tanpa hijab, sebagai hadiah khusus. karena, kita menjalankan ibadah yang berlawanan dengan nature atau hakikat kita. Kesempatan bersua yang langka ini akan menjauh manakala kita sertakan selain Allah dalam puasa ini. Kita libatkan dunia dengan segala isinya yang heboh ini. Kemeriahan yang menyempitkan peluang Musyahadah. Maka, diamlah dalam puasamu. Sembunyikan puasamu dari dunia.
Tetiba kita di pintu keluar nan sunyi. Sahur terakhir di musim ini. Melongok lebih dalam, ternyata tak ada yang kita menangkan dari tantangan abadi ini. Lulus tanpa ijazah, jikapun lulus puasa kita. Dan tantangan ini hanya sandiwara raksasa yang tak pernah kita menangi. Dengan kepalsuan bertaburan tiap hari. Kulakukan berkali-kali, hanya demi puaskan hati, merasa lebih tinggi.
Aku tak lebih baik dari oknum keturunan mulia yang mancak-mancak ingin diperlakukan beda, walau gamblang telah melanggar aturan demi keselamatan bersama. Simbol-simbol dipergunakan untuk mengintimidasi si awam kecil, bodoh miskin yang telah kelelahan menjaga ketertiban. Guru kencing berdiri Satpol PP kencing berlari. Sama dengan beliau, akupun enggan meminta maaf terlebih dahulu, walau itu anjuran paling mulia bagi orang yang merasa lebih berilmu. Tetap saja si kecil bodoh miskin yang harus datang duluan, meminta maaf plus cium tangan.
Shalawat berkumandang rayakan takluknya si kecil. Demikianlah hukum dunia. Tak pernah sempurna.
Tantangan ini tak pernah kita menangi. Semoga Allah hanya tersenyum melihat kepongahan kita, persis ketika Ia memberi tawaran kepada batu, pohon dan gunung-gunung, semua menyerah tak sanggup. Hanya manusia yang merasa mampu menerima tantanganNya.
Tantangan itu mustahil kita penuhi. Namun aku hanya teringat pesan 'Rumi'. Teruslah, teruslah mendekatiNya, sepalsu apapun persembahan kita tetaplah mencoba mendekat. Semoga kita diberi kesempatan lagi di musim mendatang.
Terima kasih Ibn Arabi. Terima kasih Corona.
***
SOLD OUT - DARI RACUN INFORMASI
Hari-hari serasa musim cuci gudang. Setiap pagi, siang, malam muncul "promosi" diawali bahasa Arab ditulis dengan aksara latin, innalillahi wa inna ilaihi rajiun, di setiap grup Whatsapp dan Medsos lainnya. Objeknya bisa kita tidak kenal atau kita kenal langsung. Tapi, makin kesini semakin banyak yang kita kenal langsung.
Cuci gudang?. Rerata yang kita kenal langsung adalah paruh baya ke atas dan atau berkomorbid. Bagaikan seleksi alam.
Ada juga yang terlihat segar bugar, seperti kenalan kakak saya yang "sold" seminggu lalu, padahal 10 hari sebelumnya dia masih mampir di Kantor dengan riang memberitahu teman rencana pernikahan ketiganya, Agustus depan. Ternyata kalah cepat dari ajal.
Menyangkut soal "terlihat bugar" ini ternyata hanya pendapat subjektif dan sekaligus sugestif. Banyak dari kita yang enggan memeriksakan kesehatan secara rutin (baca: takut ketahuan penyakitnya). Pada kelas sosial lebih rendah, ketakutan ini semakin kompleks melibatkan faktor ekonomi juga. Banyak kasus di pedesaan (mungkin juga di perkotaan) warga yang menahan rasa sakit, tanpa mau periksa atau berobat. Lalu ketika sudah sangat parah terpaksa digotong ke RS dengan akhir tragis.
Jadi soal komorbid menjadi pertanyaan klasik; who knows?. Kita tidak pernah periksa rutin. Kita kira dia baik-baik saja, ternyata...?
Teror dari udara ini juga semakin mencekam. Dengan varian Delta yang konon bisa menular hanya karena berpapasan saja. Varian asal India ini lebih tahan mengapung di udara (aerosol) sehingga lebih rajin menyapa kita.
Seperti anda ketahui, tidak semua masyarakat mempercayai pandemi ini, dari yang tidak percaya sama sekali, percaya tapi menganggap dilebih-lebihkan, percaya tapi masih mencurigai motif RS dan dokter, percaya tapi menyangkal karena bisnisnya ambruk, termasuk sejumlah Ulama yang garang menantang pembatasan rumah ibadah lalu pada saat yang sama iri pada pasar dan kantor yang boleh sedikit dibuka, bagi mereka mungkin urusan masjid tidak boleh kalah penting dari urusan makan. Juga yang percaya tapi meragukan dan mencurigai kebijakan pemerintah menangani pandemi. Itu lumrah semua. Namanya juga masyarakat.
Pemerintah, seperti kita tahu, membuat kebijakan buka tutup sejak awal. Rem dan gas ditekan bergantian karena dua hal: tidak mampu memberi makan seluruh warga dalam penguncian yang lama, kedua; tidak mau ekonomi ambruk total. Masalahnya ritme rem dan gas kadangkala tak dilakukan tepat, sesuai kondisi. Seperti yang terjadi pasca Idul Fitri lalu. Tapi kita pun seharusnya tahu bahwa tidak ada satupun negeri di muka bumi ini yang pemerintahnya tidak gelagapan melawan pandemi. Singapura yang maha tertib baru menitahkan pesan: Covid harus dianggap seperti flu biasa (seasonal flu), putusnya asa.
Walaupun sejak awal ditentang sengit, konsep herd immunity akhirnya yang menang. Semua akan herd immunity pada saatnya. Mustahil kita menang berlomba sprint melawan virus yang demikian mudah berubah bentuk (varian). Butuh lomba maraton, untuk itulah vaksin diadakan.
Namun vaksin, sebagaimana obat, adalah produk pabrikan, bukan home made. Selalu ada alasan persaingan dagang yang dibalut macam-macam prasangka. Bersandar pada kriteria minimal 70% populasi harus divaksin untuk dapat mencipta herd immunity dikalikan 2 dosis ditambah 1x booster setelah 6 bulan, dapat anda hitung berapa jumlah uang beredar dari vaksin di dunia yang ekonominya sedang hancur lebur. Jika susah menghitung, perkirakan saja kebutuhan Indonesia untuk vaksin; 180 juta x 2 dosis + 180 juta booster vaksin x Rp 56.000-Rp 354.000,-. Setan mana yang tidak ngiler melihat jumlah uang ini. Maka wajar publik digoyang-goyang dengan isu pilihan vaksin. Itu perang dagang bambanggggg.
Tidak ada vaksin manapun yang efikasinya 100%. Pasti ada yang efikasinya lebih tinggi dari yang lain, tapi ini bukan memvaksin kamu sendirian, ini untuk 180 juta manusia Indonesia yang lain dengan biaya ditanggung pemerintah. Bila pemerintah mempertimbangkan harga, biaya perawatan dan teknologi, maka itu wajar belaka. Kaum agamamapun turut menimpa dengan isu halal, satu egoisme yang patut dipikirkan ulang dengan bijak. Doktrin agama sudah jelas, pada setiap kedaruratan, semua hal halal dikonsumsi agar selamat dari kedaruratan tersebut.
Nah, Saya tak punya kemampuan akademik untuk meyakinkanmu tentang hal ihwal Covid 19. Ilmu saya rendah di bidang itu. Ibarat orang berenang, bila orang bertanya, paling saya hanya bisa jelaskan bagian tepinya saja. Tak berani sampai ke tengah. Takut tenggelam. Karenanya, saya sarankan untuk mendengarkan penjelasan dari mereka yang memiliki otoritas keilmuan. Para ahli medis. Istilah lainnya, ulama di bidang kesehatan.
"Tapi ada ahli medis yang tak sependapat dengan arus umum? !".
Benar. Selalu begitu. Tapi tak banyak. Sejak manusia ada di muka bumi ini, pendapat yang berseberangan itu, selalu ada. Semua itu tergantung bagaimana cara kita dalam memilih. Kalau kita memilih berita-berita dan dasar argumentasi yang anti terhadap kebijakan dalam penanganan COVID 19 tersebut, walau (sekali lagi) tak banyak, kita juga akan terbawa serta. Di sisi lain, bila kita membaca dan memahami pilihan-pilihan kebijakan yang diambil seperti kebijakan-kebijakan yang selama ini berlaku, dengan dukungan argumentasi tentunya. maka saya yakin, kita menjadi paham. Mengerti. Tentu dengan catatan, singkirkan "genitnya" aroma kontestasi politik yang hingga kini masih tertinggal.
"Bagaimana dengan kalangan agamawan. Selama ini mereka memiliki pengaruh yang signifikan ?"
Sama dengan konstruksi pemikiran di atas. Tinggal memilih. Kita lebih menyukai ceramah-ceramah mereka yang membangun narasi untuk menolak, bahkan mensinisi, atau sebaliknya turut serta menjadi bagian dalam upaya penanggulangan. Karena itu, dengarkanlah ceramah-ceramah mereka yang melihat kebijakan-kebijakan tersebut sebagai ikhtiar untuk kemaslahatan hidup manusia.
Ke dua-duanya terhidang. Kita tinggal memilih. Sekali lagi, singkirkan "genitnya" aroma sisa kontestasi politik yang masih tertinggal.
"Ah .... banyak yang meninggal di rumah sakit. Semakin ke rumah sakit, semakin bertambah parah !".
"Semuanya bermula dari tempat tinggal mereka. Di rumah, mereka sudah sakit. Dalam bentuk ikhtiar, dirujuk dan ditangani ke rumah sakit. Bayangkan, ketika di rumah, mereka sakit, lalu di bawa ke pasar, ke hotel dan sebagainya. Karena di bawa ke rumah sakit, tentu ada yang sembuh, ada pula yang tidak. Namanya saja, rumah sakit. Persentase kesembuhan yang mungkin, makin lama harus ditingkatkan. Tapi, coba bayangkan, kalau di bawa ke hotel, ke pasar, misalnya. bagaimana kira-kira ?
Yakinlah, semakin lama, tingkat kesembuhan semakin tinggi. Optimisme itu harus dipupuk. Mereka yang ahli di bidang itu, sedang bekerja. Harusnya, sekecil apapun ikhtiar yang mereka lakukan, kita harus berikan tepuk tangan. Proses medis itu, ilmiah. Selalu, berusaha untuk menutupi kelemahan-kelemahan terdahulu. Ditemukan vaksin hari ini, tak mungkin langsung bisa menyembuhkan seratus persen. Semuanya berproses secara ilmiah. Presisinya makin lama, seiring perjalanan waktu, akan semakin tinggi.
"Saran kamu ?".
Ada perumpamaan. Waktu saya kecil dulu, ayah pernah bercerita. Tentang dua bangunan. Berdekatan, Berhampiran. Bangunan pertama, sebuah gedung tua beberapa tingkat. Lusuh. Di dalamnya ada beberapa ruangan yang digunakan untuk berjudi. Lalu, disebelah gedung tua bertingkat itu, terdapat bangunan lain, yaitu masjid. Terlihat kokoh. Dua bangunan dengan aktifitas kontradiktif.
Dalam pemikiran kita, tentu muncul anggapan, Tuhan akan menjaga masjid. Aktifitas dalam bangunan masjid, pasti luhur. Tapi, suatu ketika, waktu itu hujan deras dan petir menyambar, kubah masjid terbakar.
"Mengapa petir menyambar kubah masjid?, Mengapa tidak menampar gedung tua bertingkat itu, Ada apa dengan Tuhan ?".
Rupanya, pemilik gedung tua tersebut membaca "ayat" Tuhan yang berhamparan di muka bumi. Alam takambang menjadi guru. Pemilik gedung itu, memasang penangkal petir. Sementara, kubah masjid, tidak. Petir datang, mana yang tak punya penangkal, yaaa disambarnya.
Mari berikhtiar, dengan tetap berlandaskan keyakinan teologis. Minimal, untuk diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Tulisan ini sudah terlalu panjang dari rencana awal. Baiklah, hanya ingin mewejang bahwa di dalam musim cuci gudang ini, semua kita wajib waspada dan bersiap diri. Bukan tidak mungkin kita sendiri yang... SOLD OUT.
Ada satu ungkapan yang kudengar dari satu film (lupa judulnya): kaki manusia tak diciptakan untuk peperangan modern. Merujuk pada besarnya jumlah prajurit atau warga sipil yang buntung kakinya akibat kesandung ranjau darat. Rasanya hal yang sama boleh kita pertanyakan antara otak kita dengan media sosial.
Apakah otak kita memenuhi syarat atau kompatibel dengan media sosial?.
Merujuk pada tingkat stress atau pikiran melenceng atau perubahan prilaku atau kelakuan orang-orang di seluruh penjuru planet bumi sejak era medsos menggulir.
Jumlah remaja putri di AS yang mencoba bunuh diri akibat bulliying di medsos meningkat tajam. Yang lebih senior tiba-tiba meyakini bumi itu datar, 400 tahun setelah Galilio Galilei meninggal di pengasingan, dan bahkan setelah ada sekitar 5000 satelit melayang berputar mengelilingi dan memonitor bumi.
Kawanku mengejek budaya pamer dan selebrasi di semua kalangan, para pesohor dan pemanjat sosial, bahkan kita sendiri setiap hari berganti status atau posting semacam ini dan selalu mengecek siapa saja yang suka atau memberikan komentar, bahkan ada yang tega memberi like status sendiri. Lebih penting dari sarapan dan silaturahmi.
Uniknya, semakin banyak kita dihajar informasi, banjir bandang berita, justru semakin didominasi hoax. Semakin kita ingin mencari persamaan dengan teman, satu kerabat, satu suku, satu ras, satu organisasi, satu agama, satu negara, ketimbang mencari persamaan dengan mereka yang beda dari kita. Akibatnya politik identitas menguat, kebencian terhadap yang berbeda identitas turut meluap-luber.
Jadi saya bertanya, apakah otak kita memang diciptakan untuk era medsos ini?.
Beruntung lah generasi X. dulu, mereka nonton TV hitam putih, sekarang mengalami dunia yang berubah. Dunia bahkan berkembang pesat.
Dulu untuk bisa menulis di media massa atau bahkan media komunitas, ada standar pendidikan dan bahkan harus ada kursus jurnalistik, sekarang itu semua tak perlu. Bangun tidur kalau ada ide langsung menulis status atau bahkan bisa langsung buat tulisan mengkritik pemerintah dan itu tak perlu dikoreksi oleh editor atau pemimpin redaksi.
Kecepatan perubahan dunia itu secara mendadak dilambatkan oleh pandemi covid. Sehingga kita akhirnya menyusun ulang tata cara berkehidupan yang baru dengan istilah era new normal. Namun jangan berfikir lantas media sosial ikutan membuat tata cara bermedsos yang baru, hoax dan kampanye negatif tetap saja tak berhenti hadir di timeline kita. Meskipun tetap bersyukur ada juga gerakan masyarakat dan pemerintah yang secara simultan ingin menciptakan ekosistem yang sehat buat dunia digital.
Akhirnya saya bertanya: Perlukah media sosial disambangi pandemi, atau Tuhan mungkin punya cara lain menyesuaikan kapasitas otak manusia baru dengan medsos yang “begini” ini?.
***
DARI PENJARA TERBESAR DUNIA, AGEN HERD IMUNITY SAMPAI KEHIDUPAN BARU
Ketika dunia menciptakan Penjara terbesar, yang bernama CORONA. Ketika setiap jiwa dipaksa menerima kenyataan bahwa Diluar sana, ada ancaman dan Horor. Ketika rasa takut dan cemas menciptakan ruang-ruangnya tersendiri dijiwa kita dan itu berwujud jeruji-jeruji besi penghalang. Ketika kita sadar tidak ada yang memberitahu, seberapa lama kita berada didalam.
Kita mulai membatin dan mencoba menghitung hari-hari yang tak pasti, sambil mengumpat diri, tentang tidak lagi berguna kecantikan, ketampanan, Uang, popularitas, gaya hidup, jabatan dan bahwa pesta-pesta itu adalah ancaman kematian. Dan bahwa Romantisme Istambul, paris Vanise atau hangat pasir putih tropis hanyalah jembatan bambu rapuh untuk mempercepat datangnya tanganmu melambaikan salam perpisahan terkakhir pada kehidupan.
Ah, mungkin seseorang akan mengatakan semua itu terlalu berlebihan. sebab, kehidupan tetap berjalan dan angin utara tetaplah berhembus. Malam tetap dipenuhi bintang gemintang, juga Purnama tetap menyapa, serta matahari tetap memberi kehangatan.
Nun, jauh disana mawar tetap tumbuh berkecambah dengan semerbak wanginya, atau Aku, kau dan kita tetap menikmati lagu panas " Despacito" dalam irama latin yang gegap gempita dengan aroma birahi yang Aduhaaai...!. Atau kau tetap masih bisa meminta angin malam yang syahdu membawa pesan rindumu untuk seseorang yang Nun jauh disana.
Pun semua itu tidak juga menghalangimu menghadirkan yang tercinta itu menemani mimpi-mimpi indahmu, sesaat sebelum matamu terpejam bayanganya, masih tetap ada mengecup dua matamu hingga kau lelap.
Oh iyya, engkau benar, hidup dan kehidupan tetap berjalan dengan semua masalahnya, dengan semua harapan-harapannya, juga tentu dengan semua kegetirannya. Seakan hidup memang tidak pernah berhenti, membuat kita terus dan harus tetap bergerak dan tetap bernafas untuk mempertahankannya.
Itulah.. masalahnya, Sayang. Kita berada pada satu gelombang ketakutan dan kecemasan yang sama, dimana pun kau berada diatas bumi saat ini. Kita sedang berhadapn dengan musuh yang tak terlihat. tetapi, ada dan tetap mengintaimu, menunggu lengahnmu, Juga menanti lemah dan putus asamu. Sungguh, mereka adalah hantu yang meninggalkan korbannya tanpa permisi. Seperti juga kedatangannya, persis seperti Al-Maut.
Maka, suka atau tidak suka, kita patut berterima kasih pada ketakutan dan kecemasan. sebab, kehadirannya telah menciptakan penjara-penjara bagi tiap-tiap kita diatas bumi ini. Kita sedang berada didalam penjara terbesar dibumi bersama-sama.
**
Seluruh dunia, bukan hanya Indonesia, sedang belajar hidup bersama Coronaviruses. Hidup bersama, bukan dalam pengertian berdamai sebagaimana anggapan para dangkal. tapi, mengembangkan jenis perang yang lebih masuk akal. Perang dingin. Sedangkan, perang frontal terhadap virus, yang kerap disebut lockdown, sudah terbukti gagal, kecuali di China. Kita perlu mengembangkan perang jenis lain, yang tidak mematikan kehidupan kita, tidak membangkrutkan kita. Karena, virus ini tidak layak merampas seluruh kehidupan kita.
Kabar yang lain. Dari 143.043 orang Indonesia yang dinyatakan positif, 96.306 di antaranya telah sembuh. Jumlah itu mencapai 67,33% dari total positif, sedikit lebih tinggi dibanding angka kesembuhan dunia (67,09%), pertanggal tulisan ini saya Posting. Banyak yang sembuh,dan akan semakin banyak, tanpa harus disuntik vaksin.
Pengalaman penyembuhan sesungguhnya merupakan pengalaman subjektif. Dalam kasus Covid-19 yang vaksinnya masih pro kontra di masyarakat, dengan jenis pengobatan yang beragam, dari pengobatan dengan pendekatan ilmu kedokteran modern, sekadar vitamin C, herbal, probiotik, jamu, berjemur, hingga hanya modal telur rebus, seperti pengalaman kerabat temanku, tingkat kesembuhan Indonesia dapat dibilang cukup berhasil, kendati sangat beragam.
Keragaman ini selayaknya membuat kita sedikit tenggang rasa terhadap semua tawaran cara penyembuhan. Ini bukan mendukung klaim Mister Profesor Hadi Pranoto. tapi, fakta di lapangan banyak beredar herbal sejenis, yang juga tidak bisa dipertanggungjawabkan dari sudut pandang keilmuan dan teknologi medis. namun, terbukti banyak pasien sembuh. Mereka bekerja diam-diam, tidak perlu diviralkan Anji.
Sebaiknya Sains membuka diri bahwa pengetahuannya tentang virus ini belum komplet, atau masih jauh dari itu. Kita mengakui untuk kasus-kasus yang berat, mereka yang butuh ventilator atau gejala kronis lainnya, yang jumlahnya tak lebih dari 20%, peran medis sangat dominan, walaupun banyak juga yang mati. Namun, untuk mereka yang bergejala ringan atau tanpa gejala, yang tidak memerlukan perawatan medis secara intensif, aneka cara penyembuhan telah ditempuh, dan 67% dari mereka berhasil sembuh.
Sebagian dari para penyintas ini akan mengungkap testimoni: kami sembuh berkat herbal, cukup vitamin C dan berjemur saja, cukup telur rebus 5 butir sehari!. Tak ada yang bisa membantah pengalaman subjektif nan beragam itu, kendati sains medis kelak akan mendesakkan teori tunggal, seperti biasanya.
Namun saya juga ingin menggarisbawahi. Dari banyaknya korban positif, banyak hal yang masih belum terungkap dari bangsat mikro ini. Mengapa kita tak tertular dalam kontak sehari-hari?. Sebab, siapa yang tau kalau sejawat atau kawan dan kerabat kita ada yang tertular dan kita ngopi bersama?. Apakah setiap positif memiliki kemampuan berbeda dalam menyebarkan virus?. Apakah kondisi ruangan, suhu, dan kelembapan dapat meluruhkan virus sebelum mencapai kami?. Apakah teori penularan airborne sepenuhnya benar?. Apakah kita semuanya dalam kondisi imun yang baik sehingga tidak tertular?. Apakah kita sudah menjadi agen rahasia herd immunity?. Banyak dan masih banyak pertanyaan belum terjawab.
Sementara, dari kasus lain yang marak di media. Digambarkan bagaimana ganasnya virus. Itu juga fakta yang tak bisa dibantah. Ini virus, seperti saudara kembar kita. Ada yang ganas, banyak pula yang jinak. Yang ganas silakan diperangi. Yang jinak kita ajak berlatih untuk menguatkan tubuh kita. Bukankah seluruh riwayat keluarga besar flu berakhir dengan herd immunity, bukan dengan vaksin.
Hormat ; Agen Herd Immunity. Tagline "Semua akan Imun pada waktunya".
**
-KEHIDUPAN BARU-
Dunia Akan merubah tatanannya yang baru pasca pandemi Covid-19. Semua relasi formal runtuh. Baik di dunia kerja, bisnis hingga percintaan, dll.
Ada istilah baru yang disebut Suzi Tahirian. Kolumnis senior di Forbes ini memperkenalkan istilah kesenjangan digital (digital divide).
Kecepatan internet dan ketersambungan, menjadi faktor baru ekonomi global. Yang lelet akan tertinggal. Sentrum ekonomi global adalah kendali internet of things. Agar tuan dan puan ketahui, indeks adopsi teknologi dan komunikasi Vietnam naik 26 poin sedangkan Indonesia cenderung turun 6 poin. Adalah studi Atlas & Boots pada 2019, kecepatan unduh rata-rata Vietnam mencapai 7 Mbps sementara Indonesia hanya 6,7 Mbps.
Riset Hootsuite, pada Januari 2020, kecepatan Internet Indonesia rata-rata hanya 20,1 Mbps atau jauh di bawah rata-rata dunia (worldwide) yang mencapai 73,6 Mbps. Tapi mau bagaimana?. Kalau Menteri Johnny Gerald Plate bilang internet Indonesia tak ada masalah ya sudah, tak ada masalah. Mau bantah?.
Dinamika mendasar dari kerangka kerja global saat ini menegangkan lembaga-lembaga tata kelola global. Perlu ada struktur baru pembangunan ekonomi. Kita harus menyadari bahwa kita sebenarnya sudah berada di puncak disrupsi.
Akar-akar formalisme itu sudah tercerabut. Sebentar lagi satu dunia sudah melayang-layang dalam jagat artifisial. Siapa menguasai “big data, dia yang kuasai dunia.”
Ada yang guyon, jangan-jangan dalam Vaksin itu ada microchip. Kelak bila semua orang sudah disuntik, data pribadinya dikendalikan oleh satu CPU raksasa yang dikuasai kekuatan besar. Tapi ini bukan guyon. pada pertengahan 2020. berdasarkan survei Yahoo/YouGov sebanyak 44% responden pendukung partai Republicans percaya teori konspirasi microchip dalam vaksin Covid-19. Sementara dengan 19% pendukung partai Democrats. Bill Gates sudah bantah, itu hoax.
Jika benar adanya, mulai dari tidur, bangun, tidur lagi, semua dideteksi. Mau beli feniti sampai odol gigi, transaksinya terdeteksi. Tak bisa mengelak. Ini yang disebut 'Muhammet Ali Guler' (Kandidate doktor di the University of Malaya) sebagai “The new world order with new values.” Tata dunia baru dengan nilai-nilai baru.
Adanya zoom meeting, llustrasi WhatsApp, Google Hangout Meet, skype, Facetime, Slack dan cisco webex. Ini planet baru manusia pasca Covid-19. Dari control smartphone, para manejer memonitoring anak buah. Pekerja tak lagi bertemu bendahara kantor. Orang tak lagi kenal uang cash. Upah pekerja sudah berbasis layanan daring. Semua serba Electronic Funds Transfer (EFT).
Berita di China Start, merilis, sejak Mei 2020, Tiongkok sudah bayar gaji PNS dengan uang digital RMB (virtual renmimbi).
Di Indonesia, presiden sudah bicara “mudik digital.” Tak perlu bersua, mencium kaki ibu dan ayah di hari lebaran.
Kehadiran dan sentuhan diganti dengan yang artifisial. Ruang, jarak, kehadiran dan sentuhan menemukan pattern baru. Hubungan kemanusiaan sudah terlanjur bersandar pada berbagai platform sosial media. Kita akan alami impersonal relationship. Berelasi tanpa perlu hadir secara fisik (impersonal).
Bentuk asli manusia dan bangunan sosial, ada dalam rekayasa industri digital. Yang jelek bisa jadi baik secara artifisial. Yang bajingan bisa jadi humanis. Resolusi layar digital dan kecepatan “internet of things,” menyulap semuanya. Jarak manusia dekat. Terpampang. Tapi absurd.
Suatu waktu, hasrat biologis, akan direkayasa sebagai gelombang signal yang mampu ditransmisikan kepada sesama. Cinta, kerinduan dan sentuhan, menemukan pola baru-- artifisial.
***
INDONESIA AKAN DI INDIAKAN - POLITIC WAR TOOL
Media internasional itu sudah di bawah kendali negara Produsen Vaksin. Kalau Negara Produsen Vaksin ada maunya, maka berita itu akan di sesuaikan dengan Tujuan mereka. Virus Corona, awalnya di buat pengayaannya di laboratorium wuhan. Hal itu tidak perlu di perdebatkan lagi, datanya banyak dan ada dimana-mana. Saya pernah tulis juga panjang lebar dan sempat di muat di media mainstream. Virusnya bocor dan semua orang tau itu di bocorkan, sehingga menjadikan virus covid sebagai man made disaster (petaka ciptaan manusia).
Siapa manusia yang menciptakan dan mengendalikan semua itu?. Yah, Negara Produsen Vaksin.
Ketika media internasional membesar-besarkan tumbangnya orang dimana-mana di wuhan, mulai yang mati mendadak, lalu di sebarkan secara massif ke seluruh dunia. Kemudian juga negara Eropa di beritakan banyak zombie dan total lockdown secara berlebihan. Hal Ini merupakan mesin perang, mesin propaganda. Covid menjadi senjata perang. Beritanya kemudian menjadi mesin uang Bagi negara Produsen Vaksin, yaitu Vaksin, obat dan vitaminnya.
Hampir dua tahun, setelah beritanya di besar-besarkan. Sekarang terbukti, bahwa covid menjadi mesin ekonomi, menjadi Komoditas, panen akbarlah para broker kesehatan, kaki tangan negara produsen vaksin, dengan produk yang bernama vaksin dan berbagai macam obat-obatan, termasuk vitamin.
Kemudian, mendadak di semua media sosial dan media mainstream dunia kembali di hebohkan, dengan bertumbangnya orang di india, yang di katakan bisa satu hari, ada 50.000 kematian. Lalu, satu hari, bisa ratusan orang terpapar. Walaupun faktanya mendekati demikian. Jumlah yang sangat besar itu memang mencerminkan kegagalan pemerintah india mengantisipasi gelombang covid kedua. Benar, di India saat itu memang mengalami gelombang covid kedua.
Triple Mutasi atau Bengal Strain, memapar 300.000 kasus baru dan menyebabkan lebih dari 2.300 kematian dalam 1 hari. Yang menempatkan india berada di nomor urut kedua, dengan 16 juta kasus covid. Nomor dua, setelah Amerika dengan 32 juta kasus covid.
India beberapa waktu lalu, dalam keadaan darurat, sampai tidak ada kayu untuk mengkremasi pembakaran jenazah. Ihwal itulah, sehingga membuat dunia menganalisa lagi, Dr. Paul Tambyan, seorang profesor dari nasional University of singapore mengatakan, "data terbaik menunjukkan, bahwa sistem imunitas tubuh manusia yang tinggi, jauh lebih bisa merespon multi mutasi virus, ketimbang anti body Vaksin.
Kembali ke india, india punya varian double Mutasi (B1617) di Maharastra, gabungan mutasi dari varian E484Q dan L452R. Kombinasi ketiga strain ini berbeda. Sehingga, menghasilkan triple mutasi yaitu B1617. CSIR (Insitut Of Genomics And Integrative Biologi) menyamakan triple mutasi sebagai Imune escape varian (virus menempel di sel manusia dan sembunyi dari imun sistem, dengan kata lain kita belum tentu aman dari berbagai varian ini, walaupun kita sudah di vaksin, karena kecepatan mutasi virus lebih cepat.
Sebagai tambahan informasi, varian india sudah sampai di singapuran dan kabar terakhir telah masuk indonesia, yang membuat Jawab dan Bali menerapkan PPKM secara ketat. Pemerintah kita mestinya, berpikir 2 kali lebih cepat atau 2 langkah lebih cepat dalam berPerang melawan covid ini atau dalam mengantisipasi mutasi virus ini. Ahhh, apa lagi, Varian sudah merebak, baru pemerintah kita mulai kelabakan. Inilah, jika awalnya pemerintah kita tidak serius menghadapi pandemi dan tidak berempati pada Rakyat.
Apa itu 2 langkah lebih awal yang harusnya di pikirkan?. Pemerintah harus punya langkah alternatif, untuk mengantisipasi, jika ternyata vaksin tidak efektif. Maka, percepat riset dan uji klinis Dendritic Immune theraphy nusantara (Dinus), ini saran dari para New Mind dan Produksinya di modali dengan printing money.
Kembali ke topik awal, yang kita mau tekankan dalam hal ini adalah cara kita memberitakannya, harus benar-benar di target. Ini yang di sebut propaganda. Siapa yang di curigai?. Tidak ada Musuh terbesar negara produsen vaksin dalam produksi vaksin covid saat itu. Selain india. India menjadi target assassin dari intelejen operasinya Negara Produsen vaksin. Target operasi berita yang di rekayasa sampai yang di lebih-lebihkan untuk memukul india dan memastikan vaksin mereka di pakai oleh India dan India tidak sempat memproduksi vaksin untuk dunia.
Negara produsen vaksin sangat hebat mengemas beritanya, untuk menjadikan Tool, agar membunuh india di mata internasional. Jadi, kita sudah mengerti mengapa india di serang. Lalu, beritanya di besar-besarkan?. Karena, india adalah salah satu negara penghasil vaksin non Globalis (negara produsen vaksin) terbesar dan tercepat di dunia, serta India Tidak mau ikut vaksin globalis. Sebab, India dari awal menantang dan selalu melawan, sama seperti vaksin lokal indonesia, yang merah putih, nusantara dan banyak lagi, yang sekarang sedang di kembangkan. Semua nantinya akan di terget juga oleh Negara Produsen Vaksin.
Maksudnya, silahkan produksi Vaksin indonesia, juga produksi sistem peningkatan imunitas, yang harus segera di lakukan dan semua itu harus di lindungi oleh negara. bukan di halangi atau di perlambat dengan izin BPOM yang faktanya di persulit, bahkan Penggagasnya di matikan karakternya, juga tenaga ahlinya dianggap abal-abal.
Kenapa justru, membangun narasi antipati begini terhadap anak bangsa yang hendak berkhidmat untuk kemanusiaan.!. Ini keadaan darurat, Ini perang, bela bangsamu. Mana Nasionalismemu, Bro.
Makanya, kaum patriotis nasionalis New Mind ambil posisinya, pro produk lokal, juga vaksin yang telah di beli pemerintah tetap di dukungm namun, kalau bisa 80% atau mayoritas vaksin dan imunitas obatnya pakai yang lokal, karya anak bangsa. Kembali ke sistem perlindungan negara Indonesia, bukankah berkali-kali para ahli mengatakan : pentingnya Loby-loby politik luar negeri, kalau tidak. Maka bersiaplah, indonesia akan di Indiakan, serta di beritakan secara Internasional.
Bagaimana caranya?. Di depan kita pura-pura taat pada Negara produsen Vaksin, di dalam negeri kita percepat produksi DINUS. Sebab, Efeknya berat, kalau propaganda mematikan indonesia sudah di luncurkan. Maka, indonesia akan di kunci dari semua akses internasional. Kita harus Menangkan perang melawan covid, dengan starategi politik luar negeri : Printing Money, Vitamin gratis, genose gratis, vaksin lokal dan Dinus.
*RST
*PENA KOESAM
*SAMAR CAKRAWALA
*NALAR PINGGIRAN









Tidak ada komentar:
Posting Komentar