Kita baru membicarakan soal Hijab, para Ulama dahulu sudah berbeda pendapat soal hijab. Ada ulama yang mengatakan Hijab itu menggunakan pakaiaan yang sopan. ada juga ulama yang berpendapat hijab itu menjulurkan pakaian dari ujung rambut sampai mata kaki kecuali muka dan telapak tangan dan ada juga Ulama yang berpendapat Hijab itu seperti Cadar atau purda.
Jika ulama saja berbeda pendapat soal menafsirkan Hijab. Lantas, kita punya otoritas apa menyalahkan segelintir muslimah kita yang bercadar dengan anasir-anasir kebenaran, menurut tengkorak kelapa kita saja.
Yang salah jika muslimah kita bercadar kemudian merasa paling suci dan paling berhak masuk surga. Yang fatal, jika muslimah kita yang bercadar, lalu menganggap dirinya paling benar, paling Islami. Jika tidak, apakah anasir-anasir kita, yang kerap kita gunakan untuk mencecar mislimah kita yang menggunakan cadar atau purda itu bisa di pertanggung jawabkan.
Apa yang salah dengan Cadar?. Apakah orang yang memakai cadar menyebabkan orang lain terganggu?. Bagaimana jika pertanyaannya saya balik, orang yang memakai bikini juga menyebabkan orang lain terganggu?.
Memakai cadar lebih cenderung mengeliminasi potensi nasut bagi yang memandangnya. Memakai bikini lebih banyak memancing potensi nasut lebih aktual.
Coba lihat, para perempuan dengan tidak punya rasa malu memperlihatkan wilayah erotis lekuk tubuhnya dan dengan santai didepan orang-orang. Apa ini dinilai waras?, apa ini dinilai etis?. Jika asumsi orang menilai lekuk tubuh tersebut, masih dianggap wajar, maka saya bisa pastikan bahwa disket jiwanya mengalami resesi dan anomali.
Moderinitas telah memanipulasi semua norma agama menjadi suatu kepatutan yang sangat disesalkan. Ini alaram moral yang harus diantisipasi, jika tidak menginginkan kebenaran menjadi kesalahan yang sistematis dan terstruktur.
Beragama itu Vis a Vis dengan keyakinan, yang bebas dari intervensi siapapun, bahkan negara dan kekuasaan sekalipun. Memakai cadar adalah kesadaran personal atas keyakinan kebenaran agamanya. Sehingga orang diluar dari diri pengguna cadar dan negara serta kekuasaan tidak perlu terusik. karena, dia bukan sebuah aliran yang dapat mengancam sebuah wibawa dan harga diri kita dan negara kita.
Nusantara, Alexis, Gandoli dan rumpun lainnya yang banyak mengeksploitasi nilai-nilai kepatutan, kenapa tidak diberangus. Apakah Alexis, gandoli dan Nusantara dan lain sebagainnya adalah wahana relaksasi erotisasi yang masih dinilai sebagai kebenaran?. karena, menjadi lahan perederan obat-obat terlarang yang di back up oleh kekuasaan dan segerombolan manusia yang Sok Jago, sehingga ia tumbuh menjadi cendawan dimusim hujan.
Disinilah letak distorsi logika kekuasaan dan pemujanya, bangunan logika kita yang menganggap agama sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting. Jika pemimpin mereguk tampuk kekuasaan dengan cara yang culas, serta jika kita kurang tamasya pada perbendaharaan, perbandingan pengetahuan. maka, kita menganggap kejahatan-kejahatan adalah sebuah keniscayaan dari pilihan bebas manusia.
Beragama adalah wilayah privat dan memakai cadar adalah bukan sebuah dosa yang dapat mendatangkan azab Allah. Oleh karena itu, jangan mencari alasan dengan legitimasi nalar naif yang kebablasan bahwa memakai cadar tidak ada rujukan normatifnya.
Mari kita hargai pilihan seseorang dalam beragama, selama pilihan-pilahan itu tidak mengancam kedaulatan, harga diri sebuah negara dan tidak menggerogoti diri kita. Gitu aja Kok Repot, Guman Guru bangsa, Gusdur. Andaikkan Gusdur Masih Hidup. maka, dia akan geli dengan tipologi sebahagian besar masyarakat kita yang suka sewot.
Memakai cadar itu bukanlah sebuah dosa, apalagi tidak berimplikasi pada penguasa yang suka sewot dan sebahagian kita yang kerap kali bertutur bahwa terjebak dengan konsep arab. Berkenaan dengan itu saya ingat Apa yang disampaikkan Imam Ali bahwa memakai cadar adalah suatu yang Konsitusional dan dilindungi oleh negara.
sementara Pandangan Jalaluddin al-Rumi, master sufi yang penyair itu, mungkin menarik atau justru sama sekali tidak menarik, Katanya, " Manusia sering menginginkan hal-hal yang dilarang. Manakala kau menyuruh perempuan untuk mengenakan "hijab" (penutup), maka, dia semakin ingin memperlihatkan dirinya dan orang-orang semakin berhasrat kepadanya karena keterhijabannya itu". (Kaidah 24, dalam buku "Kaidah cinta dan kearifan". Hal. 89).
Berhijab (Cadar atau purda) itu baik, berhijab dengan menggunakan pakaian yang sopan juga baik. Jadi sama-sama baik.
Namun, kita tidak bisa berpikir bahwa dengan kita bercadar, berjenggot, bercelana cigkrang. Kita bisa mendapatkan pahala.?. Pahala adalah hadiah yang diberikan Allah atas kecintaan kita kepada Rosulullah, bukan karena alasan kita bercadar, berjenggot, dan bercelana cingkrang. Kita bercadar karena Pahala adalah Syari'at. sedangkan, kita bercadar karena Cinta kita pada Rosulullah adalah Hakikat.
Al-Qur'an itu mesti diterima sebagai Hukum, sebagai Ilmu dan sebagai Cinta. Kata Allah, "saya membeli Hambaku dan harta benda dengan surga". Memangnya diri kita ini Milik siapa?. "Diri kita milik Allah". So, harta benda milik siapa?. Lantas, mengapa Allah menggunakan Akronim "beli". Bukankah hal itu menunjukkan bahwa Allah sedang bermesraan dengan kita (bercinta). Jika Allah mau, Dia tidak perlu beli, Dia bikin kiamat saja, selesai. Jika demikian, kita tidak bisa bermesraan dengan Allah lagi.
Coba baca Al-Qur'an, bagaimana Allah sangat mesra dengan menempatkan diri ditempat yang berbeda-berbeda, "Subhanalladzi assroo bii abdhi laylan minal masjidil Harom ilal masjidil aqso. Alladzi barokna haulahu min ayatihi (Maha Suci Allah yang telah memperjalankan Hambanya dimalam hari dari Masjidil Haram ke masjidil aksa. Yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami memperlihatkan tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia maha mendengar, Maha melihat.)".
Pada Ayat ini Allah berada diPihak keberapa?.
Allah berada dipihak ketiga, sebab yang menyampaikkan atau menyebut, "Subhanalladzi (Maha suci Allah)" adalah Kita (diri). Lantas, yang bilang " Alladzi barokna Haulahu min ayatihi (kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan tanda-tanda kebesaran kami)", Siapa?. Yang menyampaikkannya adalah Allah. Sebab, Bunyinya adalah "Alladzi Barokna Haulahu min ayatihi". Bukan ""Barokallahu min ayatihi".
Artinya, yang tadinya Allah berada dipihak ketiga, menjadi pihak pertama. Ini kan, Allah sedang bermesraan, bercinta. Lalu, kita lagi yang bilang, "Innahuu huwas samii'ul baashir " bukan, "Inna huwa Samii'ul Baashir". Apa namanya, kalau bukan bermesraan itu?. Kadang diatas, kadang dibawah, kadang dipinggir. Kadang pertama, kedua dan ketiga.
Jika kita dapat kesadaran Al-Qur'an, tidak dengan Instrumen Kemesraan. maka, kita akan kehilangan banyak dimensi.
Misalnya, Sholat yang tertinggi itu, hasilnya sebenarnya untuk apa?. Untuk kebaikan kah, untuk kebenaran kah atau untuk khusyu?. Jika jawabannya Sholat itu untuk khusyu. Khusyu itu adalah sebuah kebenaran, kebaikan atau keindahan?. Jika jawabannya adalah keindahan. Keindahan yang tertinggi itu apa?. Jika jawabannya adalah Cinta. Maka, Transaksi antara Hamba dan Allah itu adalah "Transaksi cinta". Bukan yang lainnya.
Itulah alamat yang di sampaikkan Rosulullah bahwa, "In kuntum Tuhibbunallah fatta bi uni (jika engkau cinta pada Allah Maka ikutilah aku-Muhammad)". Jadi, Urusan kita dengan Allah, itu urusan cinta. Kebenaran itu hanya bahan dasarnya saja, belum hasilnya. Sebab, semua kebenaran niscaya dijadikan sebagai sebuah kebaikkan agar menghasilkan keindahan.
Messi itu pemain terbaik dunia atau pemain terbenar didunia?. Jadi, hasilnya harus kebaikan. Sebab, sebenar apapun kita jangan pamer, apalagi Ujub. Tapi, jadikanlah itu sebagai sebuah kebaikan. Karena, Allah memerintahkan kita untuk "Fasstabikuul khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan)", bukan " Fasstabikuul Haq (berlomba-lomba dalam kebenaran)".
Maka Menurut saya, Al-Qur'an itu metodelogi sosial, strategi politik untuk Rahmatal lil alamin. Tidak boleh Rahmatal lil alamin dipaksakan kepada semua orang. Apalagi Islam merasa bersalah, jika tidak Rahmatal lil alamin. Seperti, "Ayo, kita bangun Islam Rahmatal lil alamin". Ini, Logika macam apa ini?. Kalau tidak Rahmatal lil alamin, bukan Islam namanya. Jika dia Islam maka Konsekuensi yang inheren dan otomatis adalah ia pasti Rahmatal lil alamin.
Berkaitan dengan Hijab dan sebagainnya, mari kita sejenak Belajar dari Wojdan Shaherkani dan Officialnya.
Ia adalah Atlet Yudo asal Arab saudi, saat ia mengikuti olimpiade london 2012. pada awalnya ia tidak boleh tampil. karena, memakai Hijab. namun, ia dan Timnya menyadari, itu bukan tindakan diskriminatif, peraturan itu di buat untuk keselamatan Atlet sendiri.
Dalam Yudo, ada Teknik mencekek batang leher, bahaya jika lawan memanfaatkan itu. Ia tidak Patah arang, ia kembali lagi dengan model hijab yang telah di modifikasi agar bisa berpartisipasi.
Dari Wojdan dan officialnya kita bisa belajar untuk tidak melihat persoalan dari satu sisi, terlebih prasangka buruk. Di diskualifikasi ia dan Timnya mengundang Inovasi.
Terakhir, Menurut Salah satu Tokoh Tafsir di indonesia, beliau menyatakan bahwa Jilbab itu tidak wajib?.
Saya Pikir, jika beliau menyatakan bahwa Jilbab Tidak wajib. Maka sebagai Ulama, yang kredibilitasnya sebagai tokoh tafsir patut di pertanyakan. Di indonesia sendiri, yang di anggap tokoh tafsir adalah Prof. Dr. Quraisy Shihab. Jika kita amati dari buku-buku beliau, misalnya salah satu Karya beliau, yaitu Tafsir Al misbah.
Tafsir Al- misbah itu sumbernya dari 3 kitab. Pertama, Tafsir Al manar, Tulisan Syaikh Sayyid Rasyid Ridho dari Ceramah Gurunya, yaitu Muhammad Abduh. Jika di perhatikan dengan teliti, Jika Sayyid Rasyid Ridho Keliru, maka Prof. Dr. Quraisy Shihab akan keliru juga. Mengapa?. Karena, Prof. Dr. Quraisy Shihab Taqlid pada Rasyid Ridho. Kedua, sumber Tafsir Al Misbah itu adalah Tafsir At-tahrir wa Tanwir, karangan Ulama Tunisia, Muhammad At Thohir bi Asyur Al Maliki. Ketiga, "Nal mut Dhuror fi tanasu bi ayathi wa stuwar", karangan Ulama abad 9, Al imam Burhanuddin Ibrahim Bin Umar Al biqoi.
Jilbab itu Hukumnya Wajib dan hal itu tertuang di dalam ayat Al Qur'an, mana yang di buka dan apa saja yang di tutup. Yang boleh di buka itu adalah "zhina Dzohiro (perhiasan luar)", bagi perempuan. Perhiasan luar, "wa la Yub dhina zhinata hunna illa wa dzohoro min ha (perempuan tidak boleh menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa di tampakkan)".
Di sini ulama ikhtilaf, sebab yang biasa di tampakkan ini apa?. Menurut, Ibnu abbas, yang biasa di tampakkan adalah muka dan telapak tangan. Artinya perempuan tidak wajib bercadar. Sementara menurut Ibnu Mas'ud, yang biasa Di tampakkan adalah pakaian Luar, maka wajah harus bercadar.
Artinya, kalau seperti leher. Nah, hal itu tidak boleh di tampakkan. Karena di dalam ayat jelas di sebutkan, " wal yatdribna bi khumurihinna wal ju yu bihim (dan pasangkan kerudung mereka pada bagian dada mereka)". Jika kerudung di lilitkan pada bagian dada, maka leher mereka tidak kelihatan.
**
Pandangan tidak wajibnya Jilbab atau jilbab budaya arab kerap dikampanyekan oleh kalangan sekuler-liberal, jika di Indonesia sendiri kebanyakan merujuk pada buah pikir prof. Quraish Shihab. Bahkan menjadi rujukan anaknya sendiri, yaitu Najwa yang mengatakan bahwa berjilbab tidak wajib bagi muslimah yang penting pakaian sopan dan memenuhi etika sosial.
Prof. Quraish Shihab dalam kitabnya "Jilbab Pakaian Perempuan Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendekiawan Kontemporer", menyatakan : Berjilbab tidak wajib yang penting berpakaian sopan dan “terhormat”.
Pendapat Prof. Quraish ini banyak dikritik, karena kacauanya penggunaan metode tafsir, minimnya referensi fiqih dan banyak mengambil pendapat pemuka sekuler yang tidak otoritatif.
Salah satu tokoh sekuler yang pendapatnya paling diandalkan prof. Quraish adalah Qosim Amin (1803-1908). Qosim Amin merupakan tokoh sekuler Mesir, alumni Prancis yang dididik oleh para Orientalis.
Dalam bukunya "Tahrir Al Mar’ah (Pembebasan Perempuan), Qosim mengajak perempuan Mesir menanggalkan jilbabnya. Dia menulis bahwa tidak ada satupun ayat di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan perempuan memakai pakaian khusus berupa jilbab. Qosim juga membolehkan perempuan menampakkan sebagian tubuhnya pada lelaki non-mahram. Lewat pemikirannya itu, Qosim Amin dianggap sebagai penanggung jawab utama banyaknya muslimah Mesir yang kini melepaskan jilbab, berpakaian nyeleneh, dan berani berbikini alias setengah telanjang.
Seorang Jurnalis Muslim dan Alumni di DDI, "Dr. Adian Husaini", menyatakan prof. Quraish dalam bukunya, selain mengandalkan pendapat "Qosim Amin", dia juga banyak menggunakan pendapat dari "Nawal Sa’dawi" (Feminis Mesir), "Syahrur", dan tokoh sekuler Mesir bernama "Muhammad Said Al-Asymawi".
Ust. Adian menyebutkan, sekitar 30% isi buku Quraish Shihab mengambil dari buku "Haqiqatul Hijab Wa Hujjiyatul", Hadis karya Asymawi.
Bahkan prof. Quraish menuliskan pendapat tidak wajibnya berjilbab yang diambilnya dari Asymawi dan Syahrur sebanyak 49 halaman.
Asymawi dan syahrur adalah dua tokoh liberal yang mengimani cara berfikir ; semua agama sama benarnya (relativisme) dan cenderung berpikiran hermeunetik. Keduanya menyatakan tidak ada yang pasti dalam Al-Qur'an. Semua bisa ditafsirkan sesuai kehendak yang menafsirkan dan berdasarkan logika kontekstual. Termasuk dalam kaitan ini adalah jilbab. Boleh ditafsirkan sesuai kehendak penafsir berdasarkan konteks perkembangan zaman.
Metode tafsir kontekstual berbasis cara berfikir hermeunetik seperti ini, tidak bisa diterima. Sebab Al-Qur'an akan ditafsirkan semaunya sesuai kepentingan dan berpotensi dikanibalisasi sesuai perkembangan zaman.
Ketika mengambil pendapat tidak wajibnya jilbab dari Asymawi dan Syahrur, prof Quraish sadar, keduanya bukan ulama dan tidak otoritatif dalam masalah hukum fikih. Namun Quraish Shihab menukil pendapat mereka untuk melawan pendapat mayoritas ulama salaf.
Anehnya, Quraish Shihab sendiri mengakui bahwa Syahrur dalam memaparkan pandangannya mengenai tidak wajibnya berjilbab tidak menggunakan dalil sama sekali melainkan tafsir logika subyektifitas belaka.
Dari sini terlihat, kecondongan Referensi yang dikutip Quraish Shihab dominannya bersumber dari tokoh-tokoh Sekuler yang tidak otoritatif dalam persoalan fiqih, terutama fiqih mengenai kewajiban berjilbab. Mereka sama sekali tidak menggunakan dalil yang bersumber dari Al-Qur'an dan hadits, alias hanya menggunakan logika subyektif.
Padahal semua orang Islam di dunia, termasuk prof. Quraish sendiri mengerti, fungsi menggunakan jilbab adalah untuk menutup aurat.
Secara bahasa, aurat berasal dari kata (‘aurah), ‘ara, ya’iru, artinya cacat. Dimana kecacatan adalah keburukan yang tidak boleh dilihat orang lain.
Di arab, orang-orang membahasakan aurah sebagai rumah tak terjaga atau lemah penjagaannya yang rawan sekali di masuki pencuri. Hal ini sejalan dengan makna kalimat, “inn buyutana ‘aurah wa ma hia bi’aurah“.(al-ahzab: 13).
Maka orang arab setelah turun ayat di atas, mereka meyakini menutup aurat adalah cara terbaik bagi orang berakal melindungi diri dari hal-hal yang negatif yang dapat merusak kehormatan diri.
Sementara bagi orang beriman, menutup aurat adalah murni kerja ibadah demi memperoleh ridha-Nya. Dalam hal ini, orang beriman tidak punya catatan apa-apa, selain patuh dan tunduk kepada agama.
Bagi orang beriman dan berakal, soal kewajiban menggunakan jilbab sudah selesai dari dulu. Sebab dalam pandangan empat mazhab, menutup aurat bagi perempuan adalah wajib mutlak. Yang menjadi titik perbedaan hanya di dua bagian tubuh saja, yakni wajah dan telapak tangan.
Hal Ini sesuai perintah Allah Swt, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: Al Ahzab : 59).
Hadis dari Rasulullah Saw, “Tidak dibenarkan bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya, kecuali sampai di sini (Nabi kemudian memegang setengah tangan beliau).”(HR: At Thabari).
Di hadis yang lain yang berbunyi, “Apabila perempuan telah haid, tidak wajar terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan.” HR. Abu Daud).
Dari Sayyidah Aisyah Ra, ia berkata, “Semoga Allah merahmati kaum perempuan yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya : “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dadanya.” (QS: An Nuur :31), maka kaum perempuan itu merobek kain sarung mereka dan menutup kepala mereka dengannya.” (HR Bukhari
*Pustaka Hayat
*Coretan Pena koesam
* Nalar Pinggiran
* Rst
* Pejalan Sunyi


Tidak ada komentar:
Posting Komentar