Hampir 3 malam di minggu-minggu sebelum Idul adha, Senggama Digelar Sampai Bedug Subuh Menggema Di Corong-Corong Masjid. Padahal, tahun-tahun belakangan, saya lebih banyak tidur cepat, tidak sanggup lagi berkalang Malam, apalagi sampai Sinar lembayung Fajar mengintip dibibir Subuh. Di Cecar Tanya dari Tiap sudut, tentang Manusia, Alam, Tuhan, Agama dan Cinta?.
Agama memang selalu bermula pada yang numinous, Yang Tak Tercakapkan : "La harfin wa la shouf". Lalu, berakhir dengan konstruksi. Agama juga diawali dengan gigil cinta yang ganjil, ada harapan, ada ketakutan, ada amor dan horor yang bertaut. Ada momen tak lazim, unik, tapi juga terpuncak, ketika seseorang mengalami “kehadiran” Yang Maha Lain, yang diandaikan Rudolf Otto sebagai mysterium- tremendum, fascinosum.
Di abad 5 M Santo Agustinus dikerkah pengalaman yang mirip : “Dan aku gemetar dengan kasih dan ngeri”. Di lekukan sejarah yang dingin, di Abad Pertengahan, pun penyair Dante mengeja kembali pesan kesenyapan dan Kesunyian itu dalam Divine Comedy, sebilah karya sastra-mistik yang dianyamnya dalam semesta kode yang sublim, yang mengandaikan seseorang mengalami “ketercelupan ontologis” ke yang numinous melalui tiga fase perjalan ruhani : inferno - purgatorio - paradiso.
Ramadhan telah kita lalui, beberapa waktu yang lalu. Ramadhan juga identik dengan purgatorio, semakna dengan “pembakaran” atau “penempaan”. Ibarat emas, terpisah dari logam yang merengkuhnya justru ketika dibakar dengan titik didih tertentu. Atau, sebilah keris menampakkan tuahnya, setelah ditempa ketelitian dan kesabaran yang agung seorang empu. Di bulan semesta-cahaya itu, Allah melimpahkan kasih-Nya yang tak tepermanai, agar manusia segera membersihkan diri dari selubung kegelapan dosa (zhulmâni) atau inferno : fase di mana manusia tercerabut dari kebahagiaan sejati (paradiso) dan kesucian primordialnya (fitrah). Itu sebab, alegorisme Alquran mengandaikan manusia-ruhani yang tercerahkan adalah mereka yang bergegas bangkit meluruhkan selubung “ego-inferno” yang kelam-pekat menuju “ego-paradiso” yang cahaya : min al-zhulumâti ila al-nûr.
Alam purgatorio - Ramadhan, mengandaikan kita untuk berlatih (riyâdhah), yaitu latihan sang ego dalam menyelami “pusat” dirinya yang tuah dan otentik, agar tidak terjatuh ke lembah inferno. Dalam tradisi Abrahamic Religions - Yahudi, Nasrani, dan Islam. simbol “kejatuhan” manusia primordial dan terusir dari paradiso, mengalir dalam narasi tentang Adam dan Hawa. Meski kedua insan pertama, kakek dan nenek buyut seluruh manusia itu pada urutannya mendapatkan magfirah Allah Subhannallahu wa Taala. karena teguh menjalankan “Kalimat-kalimat-Nya” (Qs. 2: 37), namun mereka mewariskan anak cucu yang kesucian primordialnya selalu terancam jatuh perdetik. Setiap orang, berpotensi jatuh martabat kemuliannya dan tersandera pada ego-tak-otentik alias ego-nisbi.
Latihan menahan diri (shiyâm) di alam purgatorio-ramadhan bersumbu pada latihan “membakar” ego-nisbi, agar menemukan ego-otentik dan sepenuhnya merasakan “Kemahahadiran Allah” dalam segenap detak hidup : sebuah episentrum cahaya yang membawa ego-puasa menemukan kesucian asalnya dan kembali ke fitrah (‘îd al-fithr). Pada momen ini ego-puasa berada pada “puncak-terdalam” kebahagiaan sejati (paradiso) atau dalam tradisi Budhisme di sebut sunyata, karena sukses menemukan dirinya yang tuah, asli, fithri, dan otentik.
Ikhtiar menemukan kembali ego-otentik menjadi sesuatu yang penting, karena kehidupan kita kini tengah dikepung oleh jejaring simulakrum, arena dimana simulasi ego-tak-otentik bertumpu. Akibatnya, pencarian sungguh-sungguh terhadap otentisitas diri pun, dengan sendirinya, termangsa oleh imperium citra, galaksi kode, jagat lambang dan semesta imajinasi. Hal itu seturut dengan pendakuan Adorno dalam The Jargon of Authenticity (1983) sebagai “suasana penuh jebakan dan perangkap yang menyesatkan, karena dunia citra dan simulakrum dipenuhi oleh jargon-jargon semu, termasuk jargon keotentikan”. Realitas kontemporer kita kini tengah tersedot ke dalam “lorong gelap” pos-realitas: sebuah realitas palsu yang tidak lagi setia terhadap ada-sejati dan otentik.
Di titik ini, purgatorio-ramadhan hadir sebagai pelecut ego-puasa agar kian menemukan ego-otentiknya yang tuah dan selalu diimpit rasa horor - amor kepada yang numinous. Resapilah Kalam-kalam-Nya yang kudus: “Dia (Allah) bersama kamu di manapun kamu berada, dan Allah Maha Awas akan segala sesuatu yang kamu perbuat” (Qs. 57:4). sebab itu, kita selalu merasa dalam rengkuhan cinta-Nya yang Tak Tepermanai, karena “Kemanapun kamu menghadap di sanalah Wajah Allah”. “Kami (Allah) lebih dekat dari urat lehernya sendiri (Qs. 50:16).
Diriwayatkan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s : "Wahai Dawud ketahuilah bahwa dzikir-Ku / Kuperuntukkan para pendzikir / surga-Ku buat orang-orang yang taat / cinta-Ku buat orang yang merindukan-Ku / sedangkan diri-Ku / Kuistimewakan buat mereka yang mencintai-Ku".
Dalam shahifah Nabi Idris a.s. juga disebutkan : “Sungguh beruntung suatu kaum yang menyembah-Ku karena cinta kepada-Ku / menjadikan-Ku Tuhan mereka / menghabiskan malam dan siangnya untuk berbakti kepada-Ku / semata karena cinta kepada-Ku / dan penyerahan diri mutlak untuk-Ku / dan menihilkan segala sesuatu selain-Ku.
Pengalaman sublim “kemahahadiran” dan “kemahaawasan” Tuhan yang numinous, dalam detak-detik jantung para perindu dan pecinta, pada urutannya tidak hanya menyalakan spirit ketakwaan, tapi juga menginternalisasikan sifat Cinta-Kasih-Nya ke dalam ego-puasa. Di titik ini pula mengapa “puasa” dan “takwa” terpaut dalam buhul yang erat. Kualitas ego-takwa, sebab itu, adalah ego-tuah yang tercerahkan visun sosiokultural, moral, intelektual, dan spiritualnya: lokus kesadaran ego-otentik yang sejauh ini justru terbungkam hiruk pikuk kehidupan pos-reralitas yang “menuhankan” materi.
***
Soal lain misalnya, Sebenarnya Penemuan-penemuan teori baru yang memberi pedoman kepada umat manusia dan bermanfaat lebih luas, boleh jadi juga melalui jalur utusan, meski yang bersangkutan tidak mesti disebut Rosul atau Nabi. Karena dalam Kitab Suci disebutkan secara eksplisit bahwa pewahyuan Tuhan tidak terbatas kepada manusia, tapi juga kepada makhluk selain manusia.
Ilmu atau sains merupakan salah satu cara Tuhan mencahayai wujud-wujud potensial agar menjadi aktual. Maka, ilmu berfungsi menemukan, bukan menciptakan. Ilmu bukan dihafalkan, melainkan difungsikan untuk penemuan. Tuhan mencipta, sedangkan manusia menemukan. Dalam kaitan ini, sungguh menarik pernyataan Rosulullah SAW, bahwa “Ilmu adalah cahaya“.
Jika ilmu adalah salah satu cara Tuhan mencahayai wujud-wujud potensial menjadi wujud aktual, maka cukup jelas bahwa pada ‘kotoran’ yang merupakan hasil proses kimiawi dari pencernaan kita, ada aktivitas ilahia. Melalui ilmu, Tuhan mencahayai wujud potensial pupuk pada kotoran sapi dan wujud potensial air minum pada sampah.
Why?, karena Akal adalah poros utama pengetahuan. Tanpa akal, persepsi hanya sebatas gambaran partikel-partikel yang tidak memiliki relasi satu sama lain. Seperti kamera yang hanya merekam gambar. Tanpa akal, baris-baris yang direkam oleh mata pada lembaran-lembaran buku hanya sebatas warna hitam di atas kertas. Begitu pula pembacaan teks ayat-ayat dalam kitab suci, tanpa akal hanya sebatas tulisan di atas kertas.
Suatu ketika, pikiran kita sedang sibuk akan sesuatu. Pada saat yang bersamaan, kawan kita mengajak berbicara dengan sesuatu yang lain sama sekali. Apakah pembicaraan kita nyambung?. Tentu Tidak. Misalnya ; Software super canggih, Windows 10, jika diinstal pada hardware generasi pra pentium, pasti tidak nyambung. Ini yang kita sebut kompatibel. Antar makhluk saja membutuhkan kompatibilitas biar bisa terhubung, apalagi dengan "Tuhan" yang Nominuos. Artinya Setiap pembicaraan mengenai Tuhan tanpa kebersatuan jati diri hanyalah syirik belaka. Tanpa (kebersatuan-Tajalli). Sebab, kesadaran persepsional maupun konseptual hanyalah personalisasi Tuhan. Padahal Dia impersonal. Tuhan tidak dapat dipersepsikan, juga tidak dapat dikonseptualkan karena Dia impersonal. Sebagaimana Yang Saya gambarkan diatas.
Hampir bisa dipastikan tanpa mengenali diri (Manusia), mustahil mengenali Tuhan. Ketika para malaikat memprotes atas penciptaan manusia, mereka mengkhawatirkan manusia akan menjadi penyebab kerusakan bumi dan sumber pertumpahan darah. Pada kenyataannya, demikianlah adanya. Tuhan bermanifestasi dalam Diri manusia sebagai cermin yang merefleksikan Tuhan dan makhluk-Nya.
Setelah mengurai Semua jenis struktur atau elemen- elemen yang menciptakan Manusia. maka, Mengenali Tuhan berarti menyatu dengan-Nya. Hal itu disebut Fana. Fana adalah suasana kosong saat pengalaman menyaksikan Tuhan dalam kemanunggalan-Nya, yang membuat seseorang tiada dalam keberadaannya, ibarat lilin yang tak lagi terlihat sinarnya lantaran terserap oleh sinar matahari yang memenuhi ruangan. Dalam suasana kosong, manusia dapat menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandang Tuhan Dan tentunya, menyaksikan betapa segala sesuatu mengalami perubahan di setiap ruang dan waktu. Sebab, Tuhan tidak pernah berhenti menyinari wujud-wujud potensial hingga menjadi wujud aktual.
Jika agama-agama menjadikan misinya adalah tauhid, sesungguhnya akan menuntun manusia menuju suasana kosong dan fana. Ajaran-ajaran agama melalui konsep ibadah ditujukan untuk membentuk sudut pandang, sikap dan perilaku berdasar ketuhanan. Hal Ini, hanya bisa terealisasi jika manusia terbebas dari segala hasrat diri dan kecenderungan individual. Sudut pandang sikap dan perilaku berketuhanan yang sesungguhnya adalah fana. Kemampuan membebaskan diri dari hasrat-hasrat dan kecenderungan individual, lantaran menangkap kehadiran Tuhan yang dominan. Persis seperti cahaya lilin terhadap dominasi cahaya matahari.
Melalui firman-firman-Nya, Tuhan menegaskan bahwa pengalaman tersebut adalah nyata dan realistis. Sebagaimana diperankan oleh Nabi Yusuf dan para perempuan pemujanya, keterpesonaan pada sosok Yusuf mengakibatkan para pemujanya lupa diri dan tanpa sadar memotong jari jemari mereka dengan pisau di tangan mereka sendiri.
Pengalaman menangkap kehadiran Tuhan tidak hanya merealisasikan transformasi spiritual. tetapi, juga transformasi intelektual. Sehingga potensi-potensi intelektual, baik indrawi maupun rasional, mengalami semacam penyesuaian atau kompabilitas. Karena kapasitas kompatibilitasnya, maka kualitas dan daya tangkap intelektual, baik indrawi maupun rasional, melampaui batas-batas konvensionalnya. Segenap entitas tertangkap oleh kesadaran secara harmonis dan integral, sehingga tidak hanya benar, tapi juga indah. Dan sebaliknya, tidak hanya indah, tapi juga benar.
Pengalaman menangkap kehadiran Tuhan juga tidak hanya meningkatkan kualitas daya intelektual indrawi maupun rasional, tapi juga melahirkan kemampuan intelektual baru yang lebih berdaya guna, yakni kemampuan intuisi.
Bertuhan adalah Bercinta, Karena anugerah-Nya yang tidak terbatas, karena pemberian-Nya tiada henti, maka Allah Mahabbah. Tuhan adalah Cinta. Karena Dia Maha Pemberi tanpa pamrih. Maka bertuhan adalah bercinta. Hanyalah kesia-siaan belaka berketuhanan tanpa berkecintaan. Mengapa kemanunggalan atau kebersatuan harus dengan cinta?. Karena, hanya cinta yang memiliki mekanisme transformasi diri sang kekasih pada kekasihnya. Menjalin hubungan dengan Tuhan bukan dengan pendekatan persepsional dan konseptual, melainkan dengan intimasi cinta.
Hakikat tauhid ialah meng-ahad-kan Tuhan. Memahami hakikat ahad-Nya Tuhan sebagai yang Satu, Esa, Tunggal. Ahad bukan “1” numerik yang mengasumsikan ada setaranya, melainkan Esa, Tunggal. Tiada sesuatu pun selain-Nya. Tanpa intimasi cinta. maka, ahad-Nya Tuhan hanya sebatas konsepsi teologis pasif yang tidak bermanifestasi pada kehidupan. Ini berimplikasi pada kecenderungan orang-orang beragama menyembah Tuhan sebagai “berhala” yang diletakkan di hadapannya, bukan menyembah Tuhan oleh Tuhan sendiri, melalui manifestasi-Nya pada diri hamba-Nya.
Bukankah "Baa" itu berasal dari Titik dibawahnya". Sebagai awal mula proses penciptaan semua sistem tata surya bahkan Manusia sekalipun, seperti gambaran Bing Bang, yang dirumuskam kembali Einstein.
*Kopi silong
*Pustaka Hayat
*Pejalan sunyi
*Pena koesam
*Rst
*Nalar Pinggiran




Tidak ada komentar:
Posting Komentar