Mengenai Saya

Senin, 12 Desember 2022

GADIS PANTAI

 

Novel karangan Pramoedya Ananta Toer. Termasuk novel (sejarah) yang paling saya sukai dan paling sering saya ulang-ulang membacanya. Tak ada yang terbuang rasanya membaca seluruh novel-novel karangan Pram. Pram memang aduhai. Termasuk novel yang ingin saya komentari ini, Gadis Pantai. "The Girl from the Coast". Saya membeli novel tersebut, saat masih semester 5 . Sekitar tahun 2012. Terbitan Hasta Mitra. Tetapi, Sudah hilang. Beberapa hari yang lalu, saya baca Versi PDFnya. 

Dalam novel ini, Pram fokus kepada kisah hidup seorang gadis. Gadis Pantai merupakan julukan yang diberikan oleh Pram. Gadis yang masih belia. Tapi ia dipaksa "nilai zaman" untuk menikah dengan seorang elit Jawa. Bendoro orang memanggilnya. Sudah tua. Sama sekali, Gadis Pantai tak pernah mengenalnya. Ia harus menerimanya. Tak boleh ada protes. Bertanya pun, tak diperkenankan. 

Demikianlah. 

Lalu, si Gadis Pantai mulai menjalani kehidupannya. Dengan Bendoro kaya harta dan dari kalangan elit terhormat lagi dipuja itu. Awalnya hidup bak "putri cinderella". Apa yang diinginkannya, ia dapatkan. Semuanya. Gelimang harta. Status sosial yang langsung berada di puncak. Tapi, Gadis Pantai tak pernah mendapatkan yang namanya "Cinta".  Si Bendoro hanya menikahi Gadis Pantai karena nafsu. Nafsu syahwat semata, yang dilegalkan dengan "pendekatan" agama. 

Seiring perjalanan waktu, Gadis Pantai tersisih. Tak masuk hitungan. Ia terbuang. Tak lagi terbilang. Semua itu terjadi, setelah ia melahirkan anak. Gadis Pantai dipaksa untuk kembali ke kampungnya. Dengan rasa pilu seorang ibu. Dengan membawa kesadaran perempuan terbuang. Ia kemudian, dalam bahasa kalangan Marxis, "teralienasi". Dikondisikan oleh pemegang kapital, dalam hal ini, si Bendoro. Dikucilkan dari kehidupan. Hanya dilokalisir di kehidupan nDesonya semata. 

Gadis Pantai merasa harga dirinya tercampakkan. Dicampakkan. Kebahagiaan yang pantas untuk dinikmatinya (kesediaan untuk menjadi istri serta kebahagiaannya kala memiliki anak) justru berujung pada kepahitan seorang perempuan muda. Bahkan belia. Karena adat serta "pembenaran" tafsir sepihak ajaran agama yang dimanfaatkan oleh elit dan nilai zaman. 

Novel yang indah. Memaparkan kegelisahan. Tepatnya, melalui gelisahnya Si Gadis Pantai, Pram memperlihatkan sebuah fragmen  kegelisahan kehidupan yang dianggap lazim masa itu. Bagaimana elit memanfaatkan berbagai sumber pembenaran yang justru pada hakikatnya mengangkangi kebenaran itu sendiri. 

Sejak saya mulai membaca novel tersebut serta dibaca dan saya mereviuw dalam konteks pendekatan sejarah sosial budaya, saya menemuka, bahwa tak ada "nilai kiri" apatah lagi "nilai destruktif" yang diketengahkan Pram. 

Tapi .... ! 

Bagi Orde Baru, novel Gadis Pantai bukanlah novel yang aduhai. Bukanlah novel inspiratif. Bukanlah novel yang baik untuk dibaca oleh mahasiswa. Ada potongan kliping majalah Tempo. Tentang Jaksa Agung, Sukarton Marmosudjono sedang memegang sebuah buku. Tepatnya, novel. Ya, Novel Gadis Pantai. Karangan Pramoedya Ananta Toer. Jaksa Agung didampingi oleh loyalis Presiden Soeharto, Soedomo. Masa itu, beliau adalah Menteri Kordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam, waktu itu tidak Polhukam). Sukarton, Sang Jaksa Agung mengeluarkan perintah, melarang buku Gadis Pantai dibaca dan diedarkan. Bagi yang sudah terlanjur beredar, harap diserahkan dan dinyatakan ditarik dari peredaran. "Buku yang berbahaya, membawa spirit Marxisme serta tidak sesuai dengan Pancasila", demikian kira-kira kata Sukarton yang didukung oleh Soedomo. 

Dalam keterangan Majalah Tempo, hal Itu terjadi, pada bulan Agustus 1988. 

Ketika hal ini saya utarakan kepada beberapa kawan-kawan mahasiswa waktu diskusi, hampir semua Wan Kawan saya mengatakan, "dimana letak membahayakannya ?". 

Namun semuanya terjawab, ketika itu diletakkan dalam konteks 1988. Tepatnya ketika Orde Baru. Dimana posisi Gadis Pantai tak bisa dilepaskan secara historiografis dari penulisnya. Dari posisi politik pengarangnya. 

Walaupun bukunya diberangus masa itu, Pram tetap abadi hingga kini. Abadi karena apa?. "Karena tulisannya".  Verba Vallent Scripta mannent, ucapan mudah hilang tulisan abadi. Karya Pram jadi buah bibir hingga kini. Politik tak bisa memberangus dalam waktu yang lama. Waktu mejadi penentu. Pemberi titah. 

"Ketika saya mati, saya ingin orang mengenal saya bukan dari kuburan saya, tapi orang mengenal saya karena kitab-kitab saya", tulis Al Ghazali, seribu sekian ratus sekian puluh tahun yang lalu. 

Beberapa keterangan Lain yang saya baca, Kalau tidak salah novel itu hanya sekuel dari beberapa buku. Bila kita baca beberapa wawancara Pram di beberapa media, naskah yang ditulisnya memang banyak hilang atau tepatnya dihilangkan - dibakar aparat saat Pram di pulau Buru. 

Padahal Gadis pantai sendiri, menurut cerita lainnya, adalah novel biografi nenek Pram. Sekian.


*Pustaka Hayat
*Rst
*Pejalan Sunyi
*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar