Mengenai Saya

Senin, 12 Desember 2022

MINIATUR PERILAKU (CUACA MANUSIA) DAN SOLUSI KECERDASAN KOLEKTIF

 

Dalam kereta, kita seperti menemukan suatu miniatur masyarakat.

Ada orang yang culas. ada orang yang sombong. ada orang yang sahaja. Ada pembaca yang berusaha giat dan fokus.

Semua karakter itu menumpuk dalam kereta.

Tempo waktu, ada nenek berkebaya jingga dan bersarung. kakinya keriput dibungkus sandal jepit kumal. setengah membungkuk dan tergopoh-gopoh. kaki diangkat menginjak pintu masuk, Nampak kursi penuh. 

Dikursi prioritas; duduklah dua orang gadis baru puber. tanpa masalah, dua biji matanya melototin smartphone. sambil membungkuk; tangan si nenek menghela pegangan diatas ubun-ubunnya. ekor mata si gadis menyasar si nenek. sontak ia pura-pura tertidur. masker yang tadinya dipakai menutup hidung; di hela keatas sampai menutup kedua biji matanya.

Wajah mudanya yang lembut, tak selembut perangainnya. semestinaya kedua gadis itu berdiri, agar peredaran darahnya lancar. agar sirkulasi oksigen lancar menuju otak kanannya; pasalnya dia tidak peka, otak kanannya lemot. hatinya tumpul, tentu orang-orang disekitar yang agak jauh, hanya mendongakkan kepala, sebatas melihat kelakuan gadis ABG super tega.

Setali Tiga Uang dengan Hal itu. Suatu masa, ada seorang perempuan hamil, usia kandungannya kira-kira 7-8 bulanan. Ia berdiri dengan muka mengeram beban berat kandungan. Dengan menggunakan tangan kanannya ia menyanggah Tiang pegangan diatas kereta dan satu tangannya yang lagi sedang memegang perutnya. 

Tampak kursi telah penuh, di isi oleh lelaki, yang tak mau tahu, ada yang tertidur, ada pula yang memainkan gedgetnya dan ada juga yang termenung. Entah apa yang ada di pikiran dan Hatinya melihat situasi tersebut.

Dari raut muka mereka terlihat biasa-biasa saja melihat seorang perempuan Hamil berdiri karena tidak mendapatkan kursi. Jangankan empati, Simpati di Hati mereka telah mati.

Apakah Tidak ada perbedaan antara orang yang membaca dengan orang yang tidak membaca?. Di titik itulah Kemanusiaan melampaui semuanya, Sebab, ia tidak memiliki jenis kelamin. 

Serigala memakan domba dalam sebuah rantai makanan karena disitu terjadi keseimbangan dan untuk terciptanya keseimbangan pasti dibutuhkan cuaca yang tepat. Sebab, cuaca menentukan benih mana yang tumbuhnya besar.

Cuaca panas menumbuhkan kurma dan kaktus. Jika airnya payau, yang tumbuh adalah bakau. Cuaca sangat mempengaruhi benih apa yang tumbuh dalam rantai makanan.

Intensitas Hujan yang banyak atau sedikit sangat mempengaruhi seberapa banyak rumput yang tumbuh. Banyaknya rumput mempengaruhi jumlah domba, dan juga menentukan banyaknya serigala. Kira-kira begitu siklusnya.

Misalnya yang dianggap tumbuh besar itu sebagai penguasa. jika untuk menjadi walikota, Gubernur atau bahkan presiden seseorang sampai perlu melakukan serangan fajar dan bermain kayu (pakai preman yang banyak). maka, siapa yang canggih melakukan itu akan jadi penguasa. Karena cuacanya membentuk orang berbuat seperti itu, maka benih yang akan tumbuh, yah, seperti itu juga. Mau dengan sistem apapun.

Kita dedah Nilai dari semut. Mereka punya pembagian pekerjaan yang rapi. Siapa yang menjadi tentara, siapa yang bertugas sebagai petani dan seterusnya, dilaksanakan tanpa ada kabinet kerja seperti manusia yang mengatur. Kerapian ini terwujud agar terjadi keseimbangan cuaca komunal.

Keseimbangan ini ditopang oleh dua syariat sederhana yang semut tidak memahaminya. Mereka hanya menjalaninya secara istiqomah, yaitu silaturahmi dan berani menjadi.

Apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dengan Islam adalah mencoba membuat kecerdasan kolektif. Seperti semut dengan kecerdasan komunalnya. Kecerdasan kolektif tidak dibentuk oleh satu atau dua orang yang pandai. tetapi, dibuat oleh interaksi antar manusianya. Contohnya adalah Piagam Madinah.

Kecerdasan kolektif terbentuk dengan kita bersama-sama istiqomah terhadap sesuatu. Jika sebuah komunitas konsisten berkumpul, kecerdasan kolektif pasti terjadi. Hanya saja jenisnya yang berbeda-beda. Bisa penakluk, Bisa pendobrak, Bisa Pembaharu, atau yang lainnya. Misalnya bangsa Romawi, untuk menjadi orang terkenal dan terhormat adalah dengan menjadi jagoan perang. Sehingga budayanya menjadi budaya ekspansi dan perang Dan kecerdasan kolektifnya berjenis penakluk.

Apa Yang dilakukan para Wali dan Nabi adalah ingin menumbuhkan kecerdasan kolektif, ingin menumbuhkan sebuah tatanan yang muncul dari kepandaian Tuhan, bukan dikarang oleh manusia. Manusia sangat boleh mencoba tapi jadilah generasi pembaharu, bukan hanya generasi pendobrak dan penerus saja.

Ditengah kepungan Kepalsuan dan matinya Nurani. Kenapa Kita Tidak menjama'ahkan juga akal-Akal kita menjadi Kecerdasan kolektif dengan Modal Silaturahmi dan berani menjadi?. Sebab, Hidup tanpa tetes tangis keharuan, ibarat padang rumput tanpa Guyuran Hujan.


NB ; Pena Koesam - Jakarta, 12 Juli 2017


*Pustaka Hayat
*Rst
*Nalar Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar